Ada
denting yang tercipta antara genting kamar dan gerimis yang samar-samar
terdengar sore ini, menemaniku menyelesaikan pekerjaan kantor yang terpaksa
harus kubawa ke rumah karena deadline.
Pekerjaan yang sebelumnya tak terbayangkan olehku, pekerjaan yang tak ada
hubungannya dengan empat tahunku jatuh bangun mengejar sarjana, dan pekerjaan
yang (jujur) aku sendiri masih belum tahu bisa menikmatinya ataupun tidak. Tapi
kamarku, tiba-tiba menjadi cerah oleh senyuman perempuan dengan secangkir
coklat hangatnya, setelah ketukan pintu lembut khasnya yang sembarangan aku jawab
dengan kata ‘masuk’.
“Eh, Mama. Kenapa Ma?”
“Gpp, ini mama bawain coklat?”
“Wuih, asyik. Makasih ya, Ma.” Aku masih meniup-niup coklat yang panas
“Iya. Masih belum beres ya kerjaannya?” Mama bertanya dengan senyumnya
“Masih banyak banget nih, Ma. Oh ya Ma, aku boleh
tanya-tanya?” Tiba-tiba
ada ide untuk mengobrol sejenak dengan mama, menghilangkan penat. Mama mulai
duduk di tempat tidurku.
“Boleh, mau tanya apa emang?”
“Ma, emang salah ya, kalau misalkan kita kerja enggak
sesuai dengan bidang yang kita dalami ketika kuliah?”
"Mama juga dulu kuliahnya di jurusan apa, sekarang kerjanya
di bidang apa. Enggak nyambung. Tapi kalau memang itu adalah sebuah kesalahan,
mama minta maaf atas kesalahan yang mama buat. Yang pasti, sekarang mama
bahagia dengan pilihan mama, menikmati apa yang mama kerjakan, dan seneng
karena pekerjaan mama bisa memberikan banyak manfaat ke orang lain. Dan buat
mama, itu sudah lebih dari sekedar cukup. Dulu emang suka kesel sih, kalau ada
yang nyindir kok kerjaan mama enggak sesuai dengan bidangnya sih, kok begini
sih, kok begitu sih.”
“Terus, dulu cara menghadapinya gimana, Ma?”
“Dengan menerima, Sayang. Bukan dengan mencari pembenaran dengan
banyak alasan. Menerima kalau apa yang mereka katakan ada benarnya. Benar juga
kan, ngapain mendalami suatu ilmu bertahun-tahun, tapi setelah lulus ilmunya
enggak digunakan. Menerima kalau Mama juga ada salahnya. Masa, bertahun-tahun
enggak bisa suka juga dengan apa yang mama pelajari. Menerima kalau Allah
selalu punya rencana dan ketetapan yang terbaik akan kehidupan kita. Walaupun
kadangkala ketetapan itu adalah apa yang bukan kita inginkan dan kita
rencanakan. Menerima bahwa ternyata; kebahagiaan, ketentraman, ketenangan hati,
jauh lebih berharga dari sekedar kesesuaian antara pekerjaan dan jurusan ketika
kuliah, apalagi dari sekedar sindiran orang lain.”
“Hmmm, iya juga ya Ma, ngapain kita harus pusing
dengan kata-katanya orang lain, padahal kita yang merasakan, kita juga yang
menjalankan. Toh rezeki masing-masing kan sudah diatur ya, Ma.”
“Iya, dan rezeki itu, bukan apa yang bisa kita nikmati
secara fisik aja, Sayang. Bukan juga sekedar tentang penghasilan atau
pendapatan. Buat mama, tubuh yang sehat, ilmu yang bermanfaat, punya suami yang
memperlakukan mama dengan baik seperti papamu, punya anak secantik dan semenyenangkan
kamu, adalah rezeki yang sangat luar biasa.” Aku tersenyum
geli, bukan karena kata-kata mama, tapi karena tangan mama yang sudah menarik
gemas kedua pipiku, aku segera menyelamatkan diri dengan menjauhkan mukaku dari
jangkauan mama.
“Bisa aja kita kerja di perusahaan yang besar, dengan gaji yang
besar juga, tapi kalau misalkan pekerjaan itu enggak kita nikmati, terus materi
yng kita kumpulkan itu enggak bermanfaat kecuali untuk diri kita sendiri,
bahkan materi itu malah semakin menjauhkan kita dengan Allah, bisa dikatakan
rezeki kita itu sangat sedikit. Karena sejatinya, rezeki itu adalah sesuatu
yang membuat kita semakin bersyukur dan semakin dekat sama Allah.”
“Idih, jawaban mama soleh banget, berasa pengajian
nih. Siap, ustadzah.” Baru
saja aku mau hormat, mama sudah melemparku dengan bantal. Lalu seperti biasa,
kami saling tertawa. Selalu menyenangkan bercanda dengan mama.
“Lanjut lagi dong pengajiannya, Ma. Lagi butuh banyak
petuah nih.” Aku
tersenyum masih menggoda mama, mama udah males menanggapi sepertinya.
"Mama cerita aja deh. Dulu ya, di zaman rasul itu ada
seorang kembang desa yang menikah dengan orang yang tampangnya biasa-biasa
saja, pendek, gendut lagi. Suatu ketika, setelah pulang kerja, suaminya tak
henti-henti memuji isterinya yang makin hari makin cantik saja. Ah, tentu saja,
isteri yang baik akan selalu berusaha tampil secantik mungkin di hadapan
suaminya. Menyambut suaminya dengan senyum dan perilaku terbaik sepulang kerja.
Tiba-tiba isterinya itu bilang, kalau mereka adalah calon penghuni syurga.
Suaminya itu masih bingung, kok bisa? Isterinya berbaik hati menjelaskan;
imbalan orang yang bersyukur dan bersabar adalah syurga. Sementara, suaminya
sudah bersyukur diberikan isteri seperti dirinya. Dan diapun sudah sangat bersabar
diberikan suami seperti itu"
"Ha.. ha.. ha... " kali ini aku ngakak denger ceritanya Mama
"Eh, ketawanya enggak boleh berlebihan gitu,
ah." mama
mengingatkan, seperti biasa dengan nada dan ekspresi marah sayangnya.
"Habisnya lucu banget sih Ma, Ha.. ha..." aku masih bicara sambil menahan tawa
"Ih, inti ceritanya kan bukan tentang lucunya. Tapi tentang
bagaimana kedua orang itu menghadapi rezeki yang Allah berikan kepada mereka,
yang satu bersyukur diberikan isteri yang sebegitu cantiknya. Yang satunya lagi
bersabar untuk menerima apa yang sudah Allah tetapkan untuknya. Dan rasa syukur
dan sabar itu yang membuat mereka hidup berbahagia. Nah, begitulah seharusnya kita melihat rezeki, Sayang. Bukan tentang
seberapa banyak yang kita dapatkan. Tapi tentang seberapa banyak yang kita
syukuri, tentang seberapa besar penerimaan kita atas apa yang Allah beri, juga
tentang sejauh mana hati kita merasa cukup.”
Seketika tawaku benar-benar berhenti. Agak canggung mengangkat
secangkir coklat hangat yang tinggal setengahnya. Malu. Begitu banyak yang
sudah Allah beri, tapi hatiku tak kunjung merasa cukup. Betapa banyak hal yang
tidak aku minta, tapi Allah memberiku begitu saja. Dan aku sering sekali tak
menyadarinya. Seperti secangkir coklat hangat ini misalnya, atau perempuan luar
biasa yang sedang tersenyum manis di hadapanku ini. Mungkin mama memang benar,
kalau ternyata, Allah jauh
lebih sayang sama kita daripada diri kita sendiri.
#diorama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar