Ih,
aku sebel banget tahu enggak sih sama orang yang enggak tahu terimakasih.
Dikasih hati minta jantung. Udah dibantuin bukannya merasa ngerepotin, malah
keenakan, jadi manja dan keterusan. Udah gitu nih ya, pas kita yang lagi
kesusahan dianya enggak mau bantuin coba. Banyak banget alasannya. Padahal ini
kan tugas bareng-bareng, tanggungjawab bersama. Egois banget kan? Mau enaknya
sendiri, lari dari tanggungjawab. Aduh, enaknya diapain ya orang model begini?
***
“Kebaikan
itu bukan tentang pengakuan, sayang. Tapi tentang pembuktian. Tak penting seberapa banyak atau tinggi pengakuan yang
didapatkan dari kebaikan yang kita lakukan. Yang paling penting kita memang
benar-benar melakukan kebaikan itu, tak peduli mau diakui ataupun tidak.
Berbuat baik saja. Itu sudah cukup.”
“Percayalah,
Allah selalu punya cara tersendiri untuk menghargai dan membalas kebaikan kita. Jadi tak perlu repot-repot untuk mengharapkan balasan
dari orang lain. Bahkan, balasan dari orang lain itu hanyalah salah satu cara
Allah untuk membalas kebaikan kita. Masih banyak cara yang lainnya. Kita saja
yang terlalu bebal untuk merasakan dan memikirkannya.”
“Tapi
aku kesel, Bunda.”
“Iya,
tapi bukan berarti kekesalan kita, juga ketidaksukaan kita terhadap seseorang
membolehkan kita untuk menghakimi atau menyalahkan orang yang bersangkutan. Itu
namanya tidak adil, sayang.”
“Maksudnya,
Bunda?”
“Tadi
cerita Putri terlalu berprasangka, terlalu menyalahkan. Terlalu menggunakan
sudut pandang dan perasaan Putri, asumsi Putri. Padahal, asumsi tak selamanya
benar. Padahal, itu masih belum pasti kan? Padahal, temen Putri belum tentu
seperti yang tadi Putri bilang. Padahal, setiap orang selalu punya alasan untuk
melakukan atau tidak melakukan suatu hal. Sedangkan kita, tidak mungkin
mengetahui segalanya. Bahkan tidak semuanya sesuai dengan apa yang kita lihat,
kita dengar, dan kita baca; makanya tidak ada pilihan terbaik untuk menghadapi
ketidakpastian dan kebelumjelasan, selain dengan berkhusnudzon.”
“Kalau
ternyata khusnudzon kita salah bunda, maksudnya orang yang bersangkutan
ternyata tidak sebaik yang kita sangka, malah jauh banget dari prasangka baik
kita, bagaimana? Kan kesel juga jadinya, bunda.”
“Tidak
ada yang salah dalam khusnudzon, sayang. Bahkan jikapun ternyata orang yang
bersangkutan sangat jauh dari prasangka baik kita; kita tetap mendapatkan
kebaikan. Setidaknya, hati dan mulut kita tetap terjaga dari perkataan dan
prasangka yang tidak-tidak.”
***
Jika
kalian melihat romantisme pada pasangan yang sedang berbahagia, atau
persaudaraan sekelompok orang yang saling membahagiakan; percyalah, romantisme
itu masih belum utuh seutuh-utuhnya. Karena sejatinya, [boleh percaya boleh
tidak] bagian terpenting dari suatu romantisme selalu terletak dalam
kebersamaannya dalam menyikapi penderitaan.
Bisa
jadi Romeo dan Juliet tidak akan pernah menjadi legenda; jika saja Shakespeare,
pengarang ceritanya tidak membumbui berbagai penderitaan cinta yang harus
dijalani dalam alurnya. Dari
konflik antar keluarga yang saling tidak sepakat, Juliet dinikahkan dengan
orang lain; sampai bagian paling trgais sekaligus konyol; manakala Juliet
meminum obat tidur sampai mati suri untuk beberapa hari demi menghindari
pernikahannya dengan orang yang tidak dicintainya. Sialnya, Romeo tidak tahu
kalau Juliet sedang mati suri. Demi kesetiaan dan penderitaan, akhirnya Romeo
meminum racun dan mati di samping tubuh Juliet. Dan alangkah kagetnya Juliet
ketika terbangun dan menemukan orang yang dicintainya sudah meninggal.
Akhirnya, Juliet juga meminum racun dan meninggal. Dan, penyikapan terhadap
penderitaan itu [terlepas dari benar salahnya tindakan bunuh diri mereka] yang
membuat kisah Romeo dan Juliet menjadi sangat berkesan dan begitu fenomenal.
Kisah
Ali dan Fatimah tidak akan se-mengharu-biru seperti yang kita dengar sekarang,
manakala salah satu diantaranya berani mengungkapkan perasaannya sebelum mereka
menikah. Bahkan
bisa jadi, kisah cinta mereka akan menjadi cerita cinta yang biasa saja.
Beruntung rasulullah menangkap sinyal itu lalu menikahkan mereka, lalu mereka
baru saling mengakui kalau saling suka setelah menikah. Apa yang membuat
romantis, tentu saja ‘penderitaan’ dan pengorbanan mereka dalam memendam rasa
dan mengendalikan hati yang berbuah kebaikan dan kebahagiaan.
Kalau
masih belum percaya juga, coba deh tanya sama ayah dan bundanya masing-masing;
peristiwa apa yang paling berkesan dan memberikan pelajaran yang mendalam dalam
kebersamaan mereka. Bisa jadi jawabannya beraneka rupa, tapi jika ditarik
benang merahnya tidak akan jauh-jauh dari kebersamaan mereka dalam menghadapi
penderitaan, ujian, musibah, masalah dan sejenisnya. Kalau jawabanny bukan begitu;
ya sudahlah kalian boleh untuk tidak mempercayainya. :D
Ups,
sayangnya bukan jenis romantisme model begitu yang pernah diceritakan ayah
[yang itu cuma karanganku saja, :D], tapi jenis romantisme yang lain, dalam
konteks yang berbeda tapi dengan makna yang tak jauh berbeda; tentang kebaikan
yang putih, polos, tanpa syarat, dan tanpa asumsi; tentang kebersamaan dalam
menghadapi penderitaan; juga tentang romantisme persaudaraan;
***
Kawasan
Sungai Yarmuk pernah menjadi saksi bisu dari tiga tatapan mata paling mesra
sepanjang sejarah. Adalah Ikrimah bin
Abi Jahal, Harits bin Hisyam, dan Suhail bin Umair, pemilik tiga tatapan mata itu. Ketika
ketiganya sedang sekarat di medan perang, salah seorang sahabat memberikan air
kepada Ikrimah. Ikrimah hendak meminum air itu, tetapi ketika matanya
bertatapan dengan mata Suhail, Ikrimah tidak jadi meminumnya dan meminta kepada
sahabat yang membawa air untuk memberikan airnya kepada Suhail;“barangkali
dia lebih membutuhkan,” kata
Ikrimah. Sesampainya air itu kepada Suhail, Suhail bertatapan dengan Harits,
lalu mengatakan kata yang sama seperti yang dikatakan Ikrimah. Sesampainya air
itu kepada Harits, Harits juga mengatakan hal yang sama;“barangkali
saudara-saudaraku itu lebih membutuhkan daripada aku.” Akhirnya, ketiganya keburu syahid,
tidak ada yang sempat meminum airnya.
***
“Bunda,
bagaimana jika kita ingin meminta bantuan kepada orang lain untuk menyelesaikan
tugas kita, tapi kita segan untuk memintanya, atau kitanya terlanjur berasumsi
khawatir kalau orang itu tidak bisa menyeleasaikannya dengan baik? Sementara
pilihannya sangat terbatas.”
“Kalaupun
kita harus meminta bantuan kepada orang lain, karena segala keterbatasan
kita;niatkan dalam hati kita, permohonan bantuan itu bukan untuk merepotkan saudara
kita. Bukan juga sekedar meringankan beban kita. Tapi untuk menyediakan lahan
kebaikan kepada yang bersangkutan, agar yang bersangkutan bisa menghasilkan
kebaikan yang lebih banyak lagi, dan semoga dengan begitu Allah berkenan untuk
lebih mendekatkannya kepada syurga.”
“Ayah
kemana ya, Put? Kok jam segini belum pulang ya?”
“Bunda,
kita itu harus berhusnudzon; enggak semuanya sesuai dengan apa yang kita lihat,
apa yang kita dengar ...”
Aku
sok bijak menggoda dan meniru perkataan bunda. Sebelum selesai, bunda keburu
menarik pipiku. Gemes.
#diorama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar