Minggu, Januari 17, 2016

Konferensi Cinta

Syahdan, di negeri entah berantah, ada segerombolan makhluk bernama cinta. Setiap minggu di tengah malam, mereka berkumpul bersama untuk mengobati rindu setelah menjalankan tugas yang begitu berat; bersemayam dalam makhluk yang bernama manusia. Biasanya, selain melepas rindu, mereka juga saling bercerita tentang suka duka menghadapi manusia yang makin hari makin aneh saja di mata mereka. Seperti pada malam itu, mereka saling berbagi kesah, kesah yang sudah lama menggerimisi bakti mereka. Ada juga yang berbagi bahagia, yang terkadang memberisiki obrolan mereka. Dan inilah beberapa hal yang mereka bagi diantara sesama, sesama cinta. Memang tak jelas cinta mana yang mengeluh, cinta apa yang menanggapi, cinta siapa yang bertanya, cinta macam apa yang menjawab, karena mereka sama-sama cinta, memiliki nama yang sama yaitu cinta, dan berbicara dengan bahasa yang sama, bahasanya cinta.


“Ah, jika saja aku punya air mata, aku ingin sekali menangis.”
“Apa yang ingin kau tangisi, Cinta?”
“Aku tidak rela dengan kebohongan manusia atas nama kita, atas nama cinta.”

“Apa maksudmu?”

“Mereka mengaku saling cinta, padahal tidak. Mereka hanya mencintai diri sendiri yang hidup pada diri orang lain. Tidak mencintai dengan tulus orang lain tersebut. Mereka hanya saling mencintai diri sendiri, tidak mencintai satu sama lain.”

“Apa yang sebenarnya kau inginkan, Cinta?”

“Aku hanya ingin mereka mencintai dengan tulus. Mencintai kemanusiaannya, bukan hanya mencintai karena golongan, karena kesamaan, karena keturunan. Aku tak mau melihat mereka saling memaksa atas nama kita, atas nama cinta. Bukankah cinta adalah kerelaan, dan bukan keterpaksaan. Tak perlu mengubah orang lain agar sepenuhnya sesuai dengan keinginan kita. Biarlah ada beda, biarlah ada yang bertolak belakang, biarlah ada yang berlawanan, selama nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan tak dilanggar, lalu biarkan cinta yang menjembataninya, yang menghubungkannya, yang menyesuaikannya, yang menegosiasikannya.”

“Cinta, mungkin kamu hanya belum bertemu dengan jenis manusia yang benar-benar menghormati kita, menghormati cinta.”
“Manusia jenis apakah itu, Cinta?”

“Manusia yang bisa menempatkan kita, menempatkan cinta, pada tempat yang benar dan waktu yang tepat, yang sadar untuk apa dan untuk siapa cinta diciptakan, menghormati siapa pencipta cinta, sehingga manusia itu juga hanya mencintai dengan aturan penciptanya. Sehingga ia mampu menjaga kesucian cinta. Tidak menyakiti. Tidak menodai.”
“Ah, beruntung sekali aku pernah menemukannya. Sangat memukau, aku akan menceritakannya untukmu, cinta. Walaupun hanya sebagiannya saja.”

“Kalau begitu, cepatlah kau beritahukan kepada kami, cinta.”

“Baru saja kemarin malam, ada seseorang yang mengetuk pintu rumah majikanku, ternyata ia teman baik majikanku, ingin berhutang untuk biaya persalinan isterinya. Majikanku sedang tak ada di rumah, hanya ada isterinya. Isterinya langsung bertanya kebutuhannya berapa dan langsung mengambilkan uang suaminya. Sepulangnya majikanku dari kerja, isterinya langsung menceritakannya, kemudian majikanku menangis. Isterinya sampai bingung, merasa bersalah dan minta maaf, karena memberikan uang itu tanpa persetujuan suaminya. Tapi kata majikanku; bukan itu yang membuatku menangis, tapi aku menangis karena dia yang harus datang ke sini, meminjam pula, kenapa aku tidak tahu, kenapa aku tidak datang dan memberikan uang itu secara suka rela.”

“Aku juga pernah mendengar kisah tentang Ali dan Fatimah. Tentang sepotong dialog mereka setelah menikah:


“Ali, ada yang ingin aku sampaikan.”
“Ada apa, Fat?”
“Aku mau jujur, tapi janji dulu ya, kamu jangan marah.”
“Iya, apa yang ingin kamu katakan?”
“Sebenernya, dulu, sebelum menikah denganmu, aku pernah mencintai seorang pria.”
“Siapa pria yang beruntung itu?”
“Kamu.”

"Memang, kedua orang itu saling mencintai, saling menyukai, sekaligus saling malu-malu mengatakannya. Mungkin malu kepada Tuhan, juga malu kepada kemanusiaan. Beruntung sinyal itu ditangkap oleh Ayah Fatimah, dinikahkanlah mereka."

“Kalau aku paling enggak suka, sama orang-orang yang melakukan kekerasan atas nama cinta, cinta kepada Tuhan. Aku sampai bingung, Tuhan yang mana ya, yang mereka maksud?”
“Cinta, kamu jangan selalu berfikiran negatif seperti itu dong. Aku pernah denger kok, sebenarnya niat mereka baik. Untuk menegakkan perintah Tuhan, dalam rangka mencegah dan memberantas kejahatan di muka bumi. Mulia sekali bukan, daripada jenis manusia yang sama sekali tak peduli dengan itu, sama sekali tak memikirkannya, dan hanya bisa menghujat saja.”
“Tapi bukankah cinta harus disampaikan dengan bahasa dan perilaku yang baik? Agar pesannya juga bisa ditangkap dan tersampaikan dengan baik, agar tidak menimbulkan prasangka yang tidak-tidak.”
“Iya, aku juga enggak setuju dengan cara mereka. Tapi mereka tak sepenuhnya salah, kita juga harus menghargai semangat dan pengorbanan mereka.”
“Iya, kamu benar, Cinta.”

“Aku paling sedih, dengan orang yang mengerjakan pekerjaannya tanpa cinta, kasihan banget ngeliatnya. Lelah yang tidak terbayar dengan kepuasan. Apalagi dengan prestasi. Semuanya datar. Apa adanya dan sangat terbebani.”
“Semuanya kan butuh proses, Cinta. Mungkin mereka sedang berada pada fase pencarian. Biarkanlah mereka mencari sampai bertemu dengan kecintaannya terhadap pekerjaan mereka.”
“Kenapa ya mereka tidak berusaha mencintai apa yang ada saja. Apa yang di depan mata. Toh dimanapun, dengan siapapun, melakukan apapun, cinta tetaplah cinta, yang jika dijalankan dengan benar, penuh kesungguhan, akan menghasilkan kebaikan dan kemanfaatan juga?”
“Itu masalah pilihan, Cinta. Bisa saja yang kamu sampaikan benar. Tapi tak semua orang menyukai itu, tak semua orang bisa bertahan dalam ketidaksukaan, dalam ketidaknyamanan. Mungkin mereka butuh tempat yang lebih tepat untuk mengembangkan kecintaan mereka, agar kemanfaatannya lebih banyak bertaburan, dan kebahagiaannya lebih sering berhamburan.”
“Benar juga ya, Cinta.”

“Masalah kita dengan manusia banyak banget ya?”
“Iya, nih. Manusia memang makhluk terunik yang pernah ada ya?
“Oh, ya. Bagaimana kalau bulan depan kita mengadakan konferensi? Konferensi cinta.”
“Untuk apa?”
“Untuk mencari cara dan strategi agar manusia bisa memahami dan menempatkan cinta, pada tempat dan waktu yang tepat, sesuai dengan fitrahnya, sesuai dengan nilai ketuhanan dan kemanusiaan.”

Tak terasa, dua jam berlalu sudah. Waktunya habis. Pertemuan itu, mau tidak mau harus diakhiri. Mereka harus menjalankan tugas kembali, bersemayam dalam makhluk yang bernama manusia. Sebelum terlambat. Sebelum majikannya masing-masing bangun dari tidurnya. Itulah saratnya, yang berkumpul dalam forum rutinan itu hanyalah cinta yang majikannya sedang tertidur. Apa jadinya kalau manusia terbangun, hidup, dan berkeliaran tanpa cinta? Akan semakin kacaulah dunia. 


#diorama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar