Syahdan,
di negeri entah berantah, ada segerombolan makhluk bernama cinta. Setiap minggu
di tengah malam, mereka berkumpul bersama untuk mengobati rindu setelah
menjalankan tugas yang begitu berat; bersemayam dalam makhluk yang bernama
manusia. Biasanya, selain melepas rindu, mereka juga saling bercerita tentang
suka duka menghadapi manusia yang makin hari makin aneh saja di mata mereka.
Seperti pada malam itu, mereka saling berbagi kesah, kesah yang sudah lama
menggerimisi bakti mereka. Ada juga yang berbagi bahagia, yang terkadang
memberisiki obrolan mereka. Dan inilah beberapa hal yang mereka bagi diantara
sesama, sesama cinta. Memang tak jelas cinta mana yang mengeluh, cinta apa yang
menanggapi, cinta siapa yang bertanya, cinta macam apa yang menjawab, karena
mereka sama-sama cinta, memiliki nama yang sama yaitu cinta, dan berbicara
dengan bahasa yang sama, bahasanya cinta.
“Ah, jika saja aku punya air mata, aku ingin sekali menangis.”
“Apa yang ingin kau tangisi, Cinta?”
“Aku tidak rela dengan kebohongan manusia atas nama kita, atas
nama cinta.”
“Apa
maksudmu?”
“Mereka mengaku saling cinta, padahal tidak. Mereka hanya
mencintai diri sendiri yang hidup pada diri orang lain. Tidak mencintai dengan
tulus orang lain tersebut. Mereka hanya saling mencintai diri sendiri, tidak
mencintai satu sama lain.”
“Apa
yang sebenarnya kau inginkan, Cinta?”
“Aku hanya ingin mereka mencintai dengan tulus.
Mencintai kemanusiaannya, bukan hanya mencintai karena golongan, karena
kesamaan, karena keturunan. Aku tak mau melihat mereka saling memaksa atas nama
kita, atas nama cinta. Bukankah cinta adalah kerelaan, dan bukan keterpaksaan.
Tak perlu mengubah orang lain agar sepenuhnya sesuai dengan keinginan kita.
Biarlah ada beda, biarlah ada yang bertolak belakang, biarlah ada yang
berlawanan, selama nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan tak dilanggar, lalu
biarkan cinta yang menjembataninya, yang menghubungkannya, yang
menyesuaikannya, yang menegosiasikannya.”
“Cinta,
mungkin kamu hanya belum bertemu dengan jenis manusia yang benar-benar
menghormati kita, menghormati cinta.”
“Manusia
jenis apakah itu, Cinta?”
“Manusia yang bisa menempatkan kita, menempatkan
cinta, pada tempat yang benar dan waktu yang tepat, yang sadar untuk apa dan
untuk siapa cinta diciptakan, menghormati siapa pencipta cinta, sehingga
manusia itu juga hanya mencintai dengan aturan penciptanya. Sehingga ia mampu
menjaga kesucian cinta. Tidak menyakiti. Tidak menodai.”
“Ah, beruntung sekali aku pernah menemukannya. Sangat
memukau, aku akan menceritakannya untukmu, cinta. Walaupun hanya sebagiannya
saja.”
“Kalau
begitu, cepatlah kau beritahukan kepada kami, cinta.”
“Baru saja kemarin malam, ada seseorang yang mengetuk pintu
rumah majikanku, ternyata ia teman baik majikanku, ingin berhutang untuk biaya
persalinan isterinya. Majikanku sedang tak ada di rumah, hanya ada isterinya.
Isterinya langsung bertanya kebutuhannya berapa dan langsung mengambilkan uang
suaminya. Sepulangnya majikanku dari kerja, isterinya langsung menceritakannya,
kemudian majikanku menangis. Isterinya sampai bingung, merasa bersalah dan
minta maaf, karena memberikan uang itu tanpa persetujuan suaminya. Tapi kata
majikanku; bukan itu yang membuatku menangis, tapi aku menangis karena dia yang
harus datang ke sini, meminjam pula, kenapa aku tidak tahu, kenapa aku tidak
datang dan memberikan uang itu secara suka rela.”
“Aku juga pernah mendengar kisah tentang Ali dan
Fatimah. Tentang sepotong dialog mereka setelah menikah:
“Ali,
ada yang ingin aku sampaikan.”
“Ada
apa, Fat?”
“Aku
mau jujur, tapi janji dulu ya, kamu jangan marah.”
“Iya,
apa yang ingin kamu katakan?”
“Sebenernya,
dulu, sebelum menikah denganmu, aku pernah mencintai seorang pria.”
“Siapa
pria yang beruntung itu?”
“Kamu.”
"Memang, kedua orang itu saling mencintai, saling menyukai,
sekaligus saling malu-malu mengatakannya. Mungkin malu kepada Tuhan, juga malu
kepada kemanusiaan. Beruntung sinyal itu ditangkap oleh Ayah Fatimah,
dinikahkanlah mereka."
“Kalau aku paling enggak suka, sama orang-orang yang
melakukan kekerasan atas nama cinta, cinta kepada Tuhan. Aku sampai bingung,
Tuhan yang mana ya, yang mereka maksud?”
“Cinta, kamu jangan selalu berfikiran negatif seperti itu dong.
Aku pernah denger kok, sebenarnya niat mereka baik. Untuk menegakkan perintah
Tuhan, dalam rangka mencegah dan memberantas kejahatan di muka bumi. Mulia
sekali bukan, daripada jenis manusia yang sama sekali tak peduli dengan itu,
sama sekali tak memikirkannya, dan hanya bisa menghujat saja.”
“Tapi bukankah cinta harus disampaikan dengan bahasa dan
perilaku yang baik? Agar pesannya juga bisa ditangkap dan tersampaikan dengan
baik, agar tidak menimbulkan prasangka yang tidak-tidak.”
“Iya, aku juga enggak setuju dengan cara mereka. Tapi mereka tak
sepenuhnya salah, kita juga harus menghargai semangat dan pengorbanan mereka.”
“Iya, kamu benar, Cinta.”
“Aku paling sedih, dengan orang yang mengerjakan
pekerjaannya tanpa cinta, kasihan banget ngeliatnya. Lelah yang tidak terbayar dengan kepuasan. Apalagi
dengan prestasi. Semuanya datar. Apa adanya dan sangat terbebani.”
“Semuanya kan butuh proses, Cinta. Mungkin mereka sedang berada
pada fase pencarian. Biarkanlah mereka mencari sampai bertemu dengan
kecintaannya terhadap pekerjaan mereka.”
“Kenapa ya mereka tidak berusaha mencintai apa yang ada saja.
Apa yang di depan mata. Toh dimanapun, dengan siapapun, melakukan apapun, cinta
tetaplah cinta, yang jika dijalankan dengan benar, penuh kesungguhan, akan
menghasilkan kebaikan dan kemanfaatan juga?”
“Itu masalah pilihan, Cinta. Bisa saja yang kamu sampaikan
benar. Tapi tak semua orang menyukai itu, tak semua orang bisa bertahan dalam
ketidaksukaan, dalam ketidaknyamanan. Mungkin mereka butuh tempat yang lebih
tepat untuk mengembangkan kecintaan mereka, agar kemanfaatannya lebih banyak
bertaburan, dan kebahagiaannya lebih sering berhamburan.”
“Benar juga ya, Cinta.”
“Masalah kita dengan manusia banyak banget ya?”
“Iya, nih. Manusia memang makhluk terunik yang pernah ada ya?
“Oh, ya. Bagaimana kalau bulan depan kita mengadakan
konferensi? Konferensi cinta.”
“Untuk apa?”
“Untuk mencari cara dan strategi agar manusia bisa
memahami dan menempatkan cinta, pada tempat dan waktu yang tepat, sesuai dengan
fitrahnya, sesuai dengan nilai ketuhanan dan kemanusiaan.”
Tak terasa, dua jam berlalu sudah. Waktunya habis. Pertemuan
itu, mau tidak mau harus diakhiri. Mereka harus menjalankan tugas kembali,
bersemayam dalam makhluk yang bernama manusia. Sebelum terlambat. Sebelum
majikannya masing-masing bangun dari tidurnya. Itulah saratnya, yang berkumpul
dalam forum rutinan itu hanyalah cinta yang majikannya sedang tertidur. Apa
jadinya kalau manusia terbangun, hidup, dan berkeliaran tanpa cinta? Akan
semakin kacaulah dunia.
#diorama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar