Minggu, Januari 17, 2016

Membunuh Malam

Malu. Mentari masih sangat malu untuk menunjukkan dirinya. Lembut dan tersipu. Gelap. Langit masih berat berpisah dengan gelap. Nampak enggan dan terpaksa. Pagi. Pagi masih tetap menjalankan tugasnya. Sibuk dan bersemangat. Sedangkan Tuhan, selalu punya rahasia. Rahasia itu bisa bersembunyi dibalik awan, untuk diturunkan kepada manusia bersama hujan. Rahasia itu bisa bersembunyi dibalik peristiwa, untuk diturunkan kepada manusia bersama paket ujian dan solusinya. Atau ia membersamai hari, yang terasa begitu panjang dikala susah, dan amat sebentar manakala senang.

Rahasia itu selalu menjelma menjadi kenyataan. Tentang kedalaman seseorang untuk menyelami kenyataan tersebut, tentunya berbeda satu sama lain. Toh Tuhan juga punya rahasia untuk orang perorang. Mengenai kapan rahasia itu dibongkar, itu suka-suka Tuhan, toh Dia yang punya rahasia. Yang jelas yang bisa membongkar rahasia-Nya adalah mereka yang menggunakan hati dan akalnya untuk berusaha menganalisisnya. Walaupun analisis itu tak selalu benar, dan bisa jadi mengungkapkan hal yang berbeda untuk rahasia yang sama. Tentunya kita harus tetap sopan untuk menganalisis yang boleh dianalisis, untuk yang tak diperbolehkan, biarkan ‘iman’ yang melakukan tugasnya.

Kembali kepada pagi;

Syahdan, sebangun dari tidurnya, seorang pemuda berencana untuk membunuh malam. Entahlah, dia sangat tidak suka dengan malam. Malam baginya begitu kelabu, begitu dingin dan mencekam. Dia begitu trauma dengan malam. Sangat menyalahkan malam. Bosan bertemu malam. Tak ingin lagi ada malam.

Belum genap usianya seminggu, Ibunya membuangnya di waktu malam. Ia juga memutuskan menggelandang di waktu malam. Ketika usianya kurang dari lima tahun, beberapa hari setelah pemulung yang memungutnya meninggalkannya seorang diri karena tak sanggup lagi menghidupinya. Ia sering diusir sewaktu malam, ketika mengamen atau meminta sesuap nasi dari warung ke warung. Ia juga sering disiksa di waktu malam, ketika uang setoran hariannya tidak mencapai yang diharuskan oleh bosnya. Buatnya, malam adalah cacian, hinaan, ketidakpedulian, ketidakacuhan, kedinginan, kelaparan, kemiskinan, kesedihan, ditertawakan, tapi keniscayaan. Wajar, jika keinginannya untuk membunuh malam tak terbendung lagi.

Entah siapa yang harus disalahkan. Pemimpin yang dzolim? Dia tak kuasa untuk menjangkaunya. Tetangga yang tak peduli? Mungkin ia juga tak tega menuntut mereka, apalagi sampai membunuhnya. Toh mereka sama-sama miskin dan tidak berdaya. Ah, entahlah. Begitulah. Pilihannya jatuh pada malam.

Dipacunya kaki secepat-cepatnya untuk menemukan malam. Walaupun ia tak tahu malam ada dimana. Apalagi sekarang masih pagi. Tapi dia sudah tak sabar. Tiba-tiba, tanpa diniatkan, tanpa sadar, dirinya menabrak motor yang melaju kencang. Pengendara motor melarikan diri, ada beberapa tukang ojek mengejar, menangkap, dan memukuli. Pemuda itu masih tergeletak bersimbah darah. “Aku ingin membunuh malam,” desisnya, lalu seketika meninggal.

Beberapa pemilik toko dan warung sedih sesaat, lalu senang. Sebab setelah ini tak ada lagi yang mengganggu tokonya. Tak ada lagi yang menakuti pelanggaannya. Beberapa anak kecil sedih, lalu senang. Setelah ini mereka tidak perlu berlari-lari takut ketika bertemu dengannya. Beberapa pejabat sedang menikmati sarapannya, sambil membaca koran hari ini.

Sedangkan, seorang pemuda lain yang baru beberapa tahun ini mengetahui sejarah hidupnya dari cerita orang-orang, hanya tertunduk haru. Malu. Mungkin di hadapan Tuhan, pemuda gila yang baru meninggal tertabrak tadi jauh lebih baik dari kebanyakan orang yang mengerubunginya. Ia sudah gila dari belia. Gila akibat beban yang terlalu berat untuk diemban anak seusianya. Bukankah gila adalah pengecualian untuk perhitungan di hadapan Tuhan? Maka dosanya mungkin jauh lebih sedikit.

”Ah, aku harus segera mengurangi dosaku,”
tekadnya.

#diorama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar