Selasa, Januari 19, 2016

Forum Lelaki 5

“Jangan pernah menganggap perempuan itu lemah. Karena, jika kamu tahu bagaimana perjuangan dan pengorbanan perempuan dalam hidupnya, lemah tidak sepantasnya disandingkan dengan kaum perempuan­.”
Itu nasihat ayah di salah satu forum lelaki, ketika aku cerita tentang malasnya aku menghadapi perempuan dari mulai bunda, Kak Putri atau teman-teman perempuanku di sekolah. Ayah tak berkeberatan ketika aku bilang perempuan itu suka cerewet, suka cengeng, dan begini begitu yang lainnya. Tapi, ketika aku bilang bilang perempuan itu lemah, ayah menasihatiku dengan tegas.
Sayangnya, aku tak begitu mengerti dengan nasihat ayah waktu itu. Sampai aku kuliah dan bertemu dengan gegap gempitanya ilmu pengetahuan. Yang selama ini kudengar, dan entah kenapa begitu saja aku mempercayainya: perempuan itu lemah, laki-laki itu kuat. Kalian sering atau setidaknya pernah mendengar kata-kata itu kan? Kata ayah, itu tak sepenuhnya benar.
***
Empat sampai enam tahun. Itulah selisih angka harapan hidup antara laki-laki dan perempuan. Selalu lebih tinggi perempuan. Artinya, secara rata-rata perempuan memiliki usia yang lebih panjang daripada laki-laki. Sedangkan, berbicara mengenai kekuatan, tentunya kita juga sedang berbicara tentang daya tahan. Jika begitu, terlepas dari variabel takdir dan variabel peran laki-laki dan perempuan, angka harapan hidup membuktikan kalau ternyata, dalam menjalani kehidupan, perempuan jauh lebih kuat daripada laki-laki.
Aku sempat bertanya-tanya kenapa bisa begitu. Aku curiga ini semua disebabkan oleh kecengengan dan kesensitifan kaum hawa. Boleh jadi banyak yang beranggapan menangis itu tidak penting. Boleh jadi banyak yang kesal dengan prilaku perempuan yang terlalu banyak menggunakan aspek perasaan dalam hidupnya. Tapi sedikit yang mengetahui, bahwa ternyata itu salah satu alasan yang membuat menjadikan perempuan lebih kuat.
Kalian pernah mendengar teori imunitas? Semakin banyak seseorang menghadapi suatu masalah, semakin banyak yang bersangkutan memiliki peluang untuk berkembang, untuk mendapatkan solusi, untuk lebih tahan banting dan kuat untuk menghadapi permasalahan-permasalahan lainnya. Dan karena faktor perasaan tadi, secara rata-rata perempuan memiliki permasalahan yang lebih banyak daripada laki-laki. Perasaan sering sekali memanipulasi apa yang tidak bermasalah nampak seolah-olah bermasalah. Perasaan juga yang membuat hal-hal yang sebenarnya tidak terlalu penting dipikirkan dengan sangat mendalam. Sedangkan laki-laki cenderung lebih cuek, bahkan terkadang tidak peduli dengan permasalahan yang ada. Sehingga intensitas permasalahannya cenderung lebih sedikit daripada perempuan.
Akibatnya, secara akumulasi, daya tahan perempuan dalam menghadapi masalah-masalah besar dalam kehidupannya cenderung lebih kuat daripada laki-laki. Pengalaman masalahnya lebih banyak soalnya. Jadi wajar, kalau laki-laki cenderung lebih mudah stress ketika menghadapi permasalahan besar dalam hidupnya. Wajar juga kalau usianya cenderung lebih singkat daripada perempuan.
***
Adalah bunda, perempuan hebat yang melahirkanku, bukti hidup dari kata-kata ayah di atas. Bisa jadi beliau adalah perempuan tercerewet dalam hidupku. Tapi bunda juga yang bertekad sedari awal menjadi ibu untuk tidak melewatkan satu haripun tanpa memeluk dan mencium anak-anak nya, selama anak-anaknya masih satu atap dengannya. Walaupun menginjak SMP, aku punya syarat untuk itu; tak ada pelukan dan ciuman di hadapan teman-temanku, kecuali moment-moment tertentu. Untuk kalian para lelaki, seharusnya mengerti dengan syarat itu. Kalian mau dipanggil sebagai anak mami dan manja? Aku, jelas saja tidak. Untungnya, bunda tak mempermasalahkan syarat itu. Walaupun sekali dua kali sengaja betul menggodaku di hadapan teman-temanku.
Untuk kalian yang punya ibu seorang wanita karier, yang memiliki pekerjaan selain ibu rumah tangga, coba saja bandingkan ayah dan ibunya sepulang kerja. Aku pernah iseng-iseng membandingkannya. Jika mereka berdua sama-sama tersenyum, pasti senyuman bunda yang lebih manis. Bisanya muka bunda juga yang lebih cerah. Dan, masih sempet-sempetnya bunda mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Mengecek ini mengecek itu, bertanya ini bertanya itu, bercerita ini bercerita itu, kadang mengomel ke sana ke mari. Sedangkan ayah, tidak seaktif bunda. Lebih banyak terlihat lelahnya. Kalau sudah begitu, siapa coba yang lebih kuat. Mungkin karena itu juga kali ya, tugas melahirkan dilimpahkan Allah kepada kaum perempuan bukan laki-laki.
Fenomena lainnya, perempuan yang ditinggal mati suaminya lebih banyak yang memilih setia, tidak mencari penggantinya. Kalaupun harus mencari pengganti, butuh waktu yang lama untuk memutuskannya. Kecuali kondisi-kondisi tertentu, misalkan yang berhubungan dengan ekonomi. Sedangkan laki-laki yang ditinggal mati isterinya, butuh waktu yang tidak terlalu lama untuk menemukan penggantinya. Adakah hubungannya dengan kekuatan. Bisa jadi laki-laki lebih rapuh untuk hal ini, sedangkan kapasitas kesabaran dan daya tahan perempuan rata-rata lebih tinggi unuk menghadapi kondisi yang sama. Walaupun untuk masalah kesetiaan, tidak bisa didefinisikan sesederhana menikah lagi atau tidak setelah pasangan meninggal.
Karena sejatinya, kesetiaan cukup diperuntukkan kepada Allah. Jikapun ada orang paling setia sedunia kepada pasangannya, seharusnya itu hanyalah salah satu wujud kesetiaan kepada Allah. Kalau begitu, untuk urusan ini (boleh sepakat boleh tidak), bisa jadi lelaki yang berpoligami jauh lebih setia daripada mereka yang memilih satu isteri. Catatannya, proses poligami itu harus benar-benar dibingkai dalam kerangka kesetiaan menjalankan perintah Allah dengan segala turunan syarat dan ketentuannya, bukan ambisi apalagi sekedar nafsu pribadi.
***
“Berarti perempuan itu tidak lemah ya, Ayah?”
“Secara fisik bisa jadi laki-laki lebih kuat daripada perempuan. Sayangnya, kekuatan bukan hanya diukur dari fisik saja. Yang jelas, mereka yang kuat adalah mereka yang bisa menghadapi permasalahan hidupnya dengan baik, mereka yang membela yang lemah, mereka yang bisa melindungi yang lain, mereka yang bisa mengendalikan dirinya sendiri. Lagipula, kalau perempuan itu lemah, mana mungkin bunda bisa melahirkan kamu dan Kak putri. Kalau perempuan itu lemah, mana bisa bunda melahirkan anak sekuat kamu.”
Ayah tersenyum. Aku mengiyakan dalam hati. Bunda baru pulng kerja, gak telat kali ini. Mengucapkan salam dari luar rumah, membuka pintu, nampak tergesa-gesa. Tersenyum sebentar ke arah kami, mencium tangan ayah, mencium aku yang waktu itu masih belia, langsung ke dapur mempersiapkan makan malam. Oh iya, secerewet-cerewetnya bunda, bunda tidak akan mengomel sebelum tugas-tugasnya beres. Jadi, untuk sementara waktu aku aman, walaupun belum menjalankan hukuman dari bunda atas kesalahanku sebelumnya. Apa itu? Nanti sajalah aku ceritakan.

#diorama


Tidak ada komentar:

Posting Komentar