“Jangan pernah menganggap perempuan itu lemah.
Karena, jika kamu tahu bagaimana perjuangan dan pengorbanan perempuan dalam
hidupnya, lemah tidak sepantasnya disandingkan dengan kaum perempuan.”
Itu nasihat ayah di
salah satu forum lelaki, ketika aku cerita tentang malasnya aku menghadapi
perempuan dari mulai bunda, Kak Putri atau teman-teman perempuanku di sekolah.
Ayah tak berkeberatan ketika aku bilang perempuan itu suka cerewet, suka
cengeng, dan begini begitu yang lainnya. Tapi, ketika aku bilang bilang
perempuan itu lemah, ayah menasihatiku dengan tegas.
Sayangnya, aku tak
begitu mengerti dengan nasihat ayah waktu itu. Sampai aku kuliah dan bertemu
dengan gegap gempitanya ilmu pengetahuan. Yang selama ini kudengar, dan entah
kenapa begitu saja aku mempercayainya: perempuan itu lemah, laki-laki itu kuat.
Kalian sering atau setidaknya pernah mendengar kata-kata itu kan? Kata ayah,
itu tak sepenuhnya benar.
***
Empat
sampai enam tahun. Itulah selisih angka harapan hidup antara laki-laki dan
perempuan. Selalu lebih tinggi perempuan. Artinya, secara rata-rata perempuan
memiliki usia yang lebih panjang daripada laki-laki. Sedangkan, berbicara
mengenai kekuatan, tentunya kita juga sedang berbicara tentang daya tahan. Jika
begitu, terlepas dari variabel takdir dan variabel peran laki-laki dan
perempuan, angka harapan hidup membuktikan kalau ternyata, dalam menjalani
kehidupan, perempuan jauh lebih kuat daripada laki-laki.
Aku sempat
bertanya-tanya kenapa bisa begitu. Aku curiga ini semua disebabkan oleh
kecengengan dan kesensitifan kaum hawa. Boleh jadi banyak yang beranggapan
menangis itu tidak penting. Boleh jadi banyak yang kesal dengan prilaku
perempuan yang terlalu banyak menggunakan aspek perasaan dalam hidupnya. Tapi
sedikit yang mengetahui, bahwa ternyata itu salah satu alasan yang membuat
menjadikan perempuan lebih kuat.
Kalian pernah
mendengar teori imunitas? Semakin banyak seseorang menghadapi suatu masalah,
semakin banyak yang bersangkutan memiliki peluang untuk berkembang, untuk
mendapatkan solusi, untuk lebih tahan banting dan kuat untuk menghadapi
permasalahan-permasalahan lainnya. Dan karena faktor perasaan tadi, secara
rata-rata perempuan memiliki permasalahan yang lebih banyak daripada laki-laki.
Perasaan sering sekali memanipulasi apa yang tidak bermasalah nampak
seolah-olah bermasalah. Perasaan juga yang membuat hal-hal yang sebenarnya
tidak terlalu penting dipikirkan dengan sangat mendalam. Sedangkan laki-laki
cenderung lebih cuek, bahkan terkadang tidak peduli dengan permasalahan yang
ada. Sehingga intensitas permasalahannya cenderung lebih sedikit daripada
perempuan.
Akibatnya, secara
akumulasi, daya tahan perempuan dalam menghadapi masalah-masalah besar dalam
kehidupannya cenderung lebih kuat daripada laki-laki. Pengalaman masalahnya
lebih banyak soalnya. Jadi wajar, kalau laki-laki cenderung lebih mudah stress
ketika menghadapi permasalahan besar dalam hidupnya. Wajar juga kalau usianya
cenderung lebih singkat daripada perempuan.
***
Adalah bunda,
perempuan hebat yang melahirkanku, bukti hidup dari kata-kata ayah di atas.
Bisa jadi beliau adalah perempuan tercerewet dalam hidupku. Tapi bunda juga
yang bertekad sedari awal menjadi ibu untuk tidak melewatkan satu haripun tanpa
memeluk dan mencium anak-anak nya, selama anak-anaknya masih satu atap dengannya.
Walaupun menginjak SMP, aku punya syarat untuk itu; tak ada pelukan dan ciuman
di hadapan teman-temanku, kecuali moment-moment tertentu. Untuk kalian para
lelaki, seharusnya mengerti dengan syarat itu. Kalian mau dipanggil sebagai
anak mami dan manja? Aku, jelas saja tidak. Untungnya, bunda tak
mempermasalahkan syarat itu. Walaupun sekali dua kali sengaja betul menggodaku
di hadapan teman-temanku.
Untuk kalian yang
punya ibu seorang wanita karier, yang memiliki pekerjaan selain ibu rumah
tangga, coba saja bandingkan ayah dan ibunya sepulang kerja. Aku pernah
iseng-iseng membandingkannya. Jika mereka berdua sama-sama tersenyum, pasti
senyuman bunda yang lebih manis. Bisanya muka bunda juga yang lebih cerah. Dan,
masih sempet-sempetnya bunda mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Mengecek ini
mengecek itu, bertanya ini bertanya itu, bercerita ini bercerita itu, kadang
mengomel ke sana ke mari. Sedangkan ayah, tidak seaktif bunda. Lebih banyak
terlihat lelahnya. Kalau sudah begitu, siapa coba yang lebih kuat. Mungkin
karena itu juga kali ya, tugas melahirkan dilimpahkan Allah kepada kaum
perempuan bukan laki-laki.
Fenomena lainnya,
perempuan yang ditinggal mati suaminya lebih banyak yang memilih setia, tidak
mencari penggantinya. Kalaupun harus mencari pengganti, butuh waktu yang lama
untuk memutuskannya. Kecuali kondisi-kondisi tertentu, misalkan yang
berhubungan dengan ekonomi. Sedangkan laki-laki yang ditinggal mati isterinya,
butuh waktu yang tidak terlalu lama untuk menemukan penggantinya. Adakah hubungannya
dengan kekuatan. Bisa jadi laki-laki lebih rapuh untuk hal ini, sedangkan
kapasitas kesabaran dan daya tahan perempuan rata-rata lebih tinggi unuk
menghadapi kondisi yang sama. Walaupun untuk masalah kesetiaan, tidak bisa
didefinisikan sesederhana menikah lagi atau tidak setelah pasangan meninggal.
Karena
sejatinya, kesetiaan cukup diperuntukkan kepada Allah. Jikapun ada orang paling
setia sedunia kepada pasangannya, seharusnya itu hanyalah salah satu wujud
kesetiaan kepada Allah. Kalau begitu, untuk urusan ini (boleh sepakat boleh
tidak), bisa jadi lelaki yang berpoligami jauh lebih setia daripada mereka yang
memilih satu isteri. Catatannya, proses poligami itu harus benar-benar
dibingkai dalam kerangka kesetiaan menjalankan perintah Allah dengan segala
turunan syarat dan ketentuannya, bukan ambisi apalagi sekedar nafsu pribadi.
***
“Berarti
perempuan itu tidak lemah ya, Ayah?”
“Secara fisik bisa
jadi laki-laki lebih kuat daripada perempuan. Sayangnya, kekuatan bukan hanya
diukur dari fisik saja. Yang jelas, mereka yang kuat adalah mereka yang bisa
menghadapi permasalahan hidupnya dengan baik, mereka yang membela yang lemah,
mereka yang bisa melindungi yang lain, mereka yang bisa mengendalikan dirinya
sendiri. Lagipula, kalau perempuan itu lemah, mana mungkin bunda bisa
melahirkan kamu dan Kak putri. Kalau perempuan itu lemah, mana bisa bunda
melahirkan anak sekuat kamu.”
Ayah tersenyum. Aku
mengiyakan dalam hati. Bunda baru pulng kerja, gak telat kali ini. Mengucapkan
salam dari luar rumah, membuka pintu, nampak tergesa-gesa. Tersenyum sebentar
ke arah kami, mencium tangan ayah, mencium aku yang waktu itu masih belia,
langsung ke dapur mempersiapkan makan malam. Oh iya, secerewet-cerewetnya
bunda, bunda tidak akan mengomel sebelum tugas-tugasnya beres. Jadi, untuk
sementara waktu aku aman, walaupun belum menjalankan hukuman dari bunda atas
kesalahanku sebelumnya. Apa itu? Nanti sajalah aku ceritakan.
#diorama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar