Minggu, Januari 17, 2016

Sepenggal Siang

Siang yang cukup tak bersahabat. Bukan siang yang tak bersahabat sebenarnya, hanya manusianya saja yang memilih untuk tidak bersahabat dengan siang. Bisa jadi yang bersangkutan tidak merasa sedang memilih, dan bisa juga kita tidak melihat pilihan-pilihan tersebut. Padahal, sebagaiama yang sudah  secara tidak sengaja disepakati sebagian besar manusia dalam konferensi antar ruang peristiwa yang disebut pengalaman dan kenyataan, hidup adalah pilihan. Mau tidak mau, sadar atau tidak sadar. Suka atau tidak suka. Tuh kan, pilihan lagi.  

Dalam kasus antara bersahabat dan siang tadi, pilihan itu bisa dilihat melalui keluhan terhadap panas, atau semangat menaklukan siang, ada juga yang memilih untuk mengkombinasikan keduanya, semangat diselingi keluh, atau yang mengaku netral untuk tidak memilih keduanya. Tidak semangat dan tidak mengeluh. Padahal netral, adalah salah satu bentuk pilihan itu sendiri. Beruntunglah, karena kita manusianya, bukan siang yang tak punya pilihan. Ah, terlalu banyak berfilosofi, langsung saja kita mengintip sepenggal siang, di sebuah rumah;

***

“Lho, kok jam segini udah pulang, Nak?”
“Sebel, benci, pokoknya aku mau pindah sekolah.”
“Kenapa emang, Nak? Coba cerita dulu sama Ibu.”
“Tadi di sekolah, waktu ujian, pengawasnya liat kertas di samping mejaku, Bu.”
“Terus?”
“Terus, Bapaknya mengambil kertas itu, membukanya. Tiba-tiba langsung nyuruh aku keluar.”
“Kok bisa begitu?”
“Bapknya bilang itu adalah kertas contekan yang kubuat, Bu. Padahal aku tidak tahu-menahu apa isi dari kertas itu, enggak tahu juga punya siapa.”
“Kamunya jelasin enggak ke pengawas kalo itu bukan punya kamu?”
“Aku enggak dikasih kesempatan, Bu. Enggak ditanya juga. Bapaknya langsung marahin aku di kelas, di depan teman-teman dan langsung nyuruh aku ke luar ruangan. Katanya besok aku diminta ketemu sama guru BP.”

“Aku jadinya kesel, Bu. Malu sama temen-temen, karena mereka nganggep aku nyontek, nganggep aku anak bandel, enggak baik. Dan tahu enggak sih, Bu. Pandangan mereka jadi sinis banget. Besok pasti kabar itu menyebar ke seluruh isi sekolah. Pokoknya aku mau pindah sekolah aja, Bu. Titik. Aku udah sakit hati banget.”

“Iya, kamu makan dulu ya, Nak. Istirahat dulu. Nanti kita lanjutin lagi ceritanya.”
“Enggak mau, Bu. Enggak nafsu makan.”
“Ya udah kalo begitu. Kita duduk dulu ya, kamu minum dulu...”

“Nak, besok kamu ketemu pengawas dan guru BP-nya ya, minta maaf sama mereka.”
“Ibu kok aneh, sih. Kenapa aku yang harus minta maaf, kan mereka yang salah Bu, mereka udah nuduh aku, Bu. Udah nyakitin aku. Bukankah itu namanya fitnah, Bu? Mereka yang harusnya minta maaf.”

“Nak, Menurutmu pengawas tadi, benar atau salah?”
“Salah banget, Bu. Harusnya dia tanya dulu, ngasih kesempatan dulu buat aku ngejelasin, enggak langsung nuduh, enggak langsung ngeluarin aku dari ruangan, enggak langsung marahin aku di depan temen-temen.”
“Dan menurutmu, kamu yang benar?”
“Iya, ibu. Kan aku korbannya. Aku enggak salah.”

“Nak, dalam hidup ini, ada hukum sebab akibat. Apapun yang menimpa kita, adalah buah dari tindakan kita. Pengawas tadi menemukan kertas di mejamu, karena kamu kurang hati-hati. Seharusnya sebelum ujian, kamu periksa dulu semuanya. Kalau ada kertas contekan, kamu tinggal membuangnya kan?”
“Tapi kan, Bu...”
“Eh, tadi menurut kamu apa yang dilakukan pengawas salah, kan?”
“Iya, Bu...”

“Sekarang, siapa yang mebuatnya melakukan kesalahan?”
“Maksudnya, Bu?”

“Kalau kamu lebih berhati-hati, tentunya tidak akan ada kejadian tadi, kan? Kalau tidak ada kejadian tadi, pengawas enggak akan melakukan sesuatu yang salah, kan?”
“Iya juga sih, Bu..”
“Nah, makanya, besok kamu harus meminta maaf ke pengawas tersebut. Bukan karena kamu menyontek, memang kamu enggak nyontek kan? Kamu meminta maaf padanya, karena kamu yang membuatnya memiliki prasangka yang tidak-tidak, telah membuatnya melakukan kesalahan menuduh kamu, memarahi kamu, dan mengeluarkan kamu dari ruangan.”
“Hmm.. tapi aku enggak bisa menerima itu, Bu. Sakit. Mau pindah saja..”

“Nak, emang apa untungnya sakit hati? Kamu hanya akan menyakiti diri sendiri, Nak. Kamu akan kehilangan teman-teman kamu, akan kehilangan mimpi-mimpi kamu di sekolah itu, akan kehilangan pelajaran dan pengalaman berharga yang kamu dapatkan di sana.”

“Tapi, aku punya perasaan, Ibu. Tak bolehkah sesekali sakit hati?”

“Iya, Nak. Boleh. Manusiawi kok. Tapi, kalaupun kamu harus sakit hati, kamu harus banyak-banyak mengambil hikmahnya. Kamu harus tahu penyebabnya apa, sehingga nanti kamu tidak akan membuat orang lain sakit hati. Kamu juga harus tahu obatnya. Agar kamu bisa sembuh dan mengobati orang lain yang sakit hati. Kamu juga harus bisa menikmati dan menghayati sakitnya, agar tidak mau lagi sakit hati dan berfikir berkali-kali untuk menyakiti orang lain.”

“Kalau kamu pindah, berarti kamu menyerah, Nak. Padahal hidup itu enggak selalu otomatis berada pada pihak kita. Kita yang harus membuatnya berpihak pada kita.”
“Maksudnya, Bu?”
“Enggak perlu menghindar dari masalah, hadapi saja. Bahkan, terkadang, tenaga yang dibutuhkan untuk menghindari masalah, jauh lebih besar daripada untuk menyelesaikannya. Dan kalau kita menghindari masalah, masalah itu akan datang kembali, akan mengejar kita. Misalnya, kalau nanti kamu ada di sekolah yang baru, dan kasus ini terulang, berarti kamu akan pindah sekolah lagi kan?”
“Iya, ya, Bu. Ibu bener.”
“Terus?”
“Oke.. oke.. besok aku akan ketemu pengawas dan guru BP untuk mengklarifikasi dan meminta maaf.”
“Nah, gitu dong. Itu baru anak ibu.”

“Ibu,,”
“Kenapa lagi, Nak?”
“Laper...”

Keduanya tertawa bersamaan. Siang masih begitu panas bagi yang mengeluhkannya. Padahal, keluhan itu tidak akan pernah sekalipun didengar siang. Jikapun siang berkenan untuk mengurangi panasnya. Itu semata karena perintah Tuhan. Bukan dibujuk oleh keluhan. Sementara di sebuah meja makan, sepasang anak-ibu, sedang menikmati sepenggal siangnya. Sangat akrab.   


#diorama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar