Siang
yang cukup tak bersahabat. Bukan siang yang tak bersahabat sebenarnya, hanya
manusianya saja yang memilih untuk tidak bersahabat dengan siang. Bisa jadi
yang bersangkutan tidak merasa sedang memilih, dan bisa juga kita tidak melihat
pilihan-pilihan tersebut. Padahal, sebagaiama yang sudah secara tidak
sengaja disepakati sebagian besar manusia dalam konferensi antar ruang
peristiwa yang disebut pengalaman dan kenyataan, hidup adalah pilihan. Mau
tidak mau, sadar atau tidak sadar. Suka atau tidak suka. Tuh kan, pilihan lagi.
Dalam kasus antara bersahabat dan siang tadi, pilihan
itu bisa dilihat melalui keluhan terhadap panas, atau semangat menaklukan
siang, ada juga yang memilih untuk mengkombinasikan keduanya, semangat
diselingi keluh, atau yang mengaku netral untuk tidak memilih keduanya. Tidak
semangat dan tidak mengeluh. Padahal netral, adalah salah satu bentuk pilihan
itu sendiri. Beruntunglah, karena kita manusianya, bukan siang yang tak punya
pilihan. Ah,
terlalu banyak berfilosofi, langsung saja kita mengintip sepenggal siang, di
sebuah rumah;
***
“Lho, kok jam segini udah pulang, Nak?”
“Sebel, benci, pokoknya aku mau pindah sekolah.”
“Kenapa emang, Nak? Coba cerita dulu sama Ibu.”
“Tadi di sekolah, waktu ujian, pengawasnya liat kertas di
samping mejaku, Bu.”
“Terus?”
“Terus, Bapaknya mengambil kertas itu, membukanya. Tiba-tiba
langsung nyuruh aku keluar.”
“Kok bisa begitu?”
“Bapknya bilang itu adalah kertas contekan yang kubuat, Bu.
Padahal aku tidak tahu-menahu apa isi dari kertas itu, enggak tahu juga punya
siapa.”
“Kamunya jelasin enggak ke pengawas kalo itu bukan punya kamu?”
“Aku enggak dikasih kesempatan, Bu. Enggak ditanya juga.
Bapaknya langsung marahin aku di kelas, di depan teman-teman dan langsung
nyuruh aku ke luar ruangan. Katanya besok aku diminta ketemu sama guru BP.”
“Aku jadinya kesel, Bu. Malu sama temen-temen, karena mereka
nganggep aku nyontek, nganggep aku anak bandel, enggak baik. Dan tahu enggak
sih, Bu. Pandangan mereka jadi sinis banget. Besok pasti kabar itu menyebar ke
seluruh isi sekolah. Pokoknya aku mau pindah sekolah aja, Bu. Titik. Aku udah
sakit hati banget.”
“Iya, kamu makan dulu ya, Nak. Istirahat dulu. Nanti kita
lanjutin lagi ceritanya.”
“Enggak mau, Bu. Enggak nafsu makan.”
“Ya udah kalo begitu. Kita duduk dulu ya, kamu minum dulu...”
“Nak, besok kamu ketemu pengawas dan guru BP-nya ya, minta maaf
sama mereka.”
“Ibu kok aneh, sih. Kenapa aku yang harus minta maaf, kan mereka
yang salah Bu, mereka udah nuduh aku, Bu. Udah nyakitin aku. Bukankah itu
namanya fitnah, Bu? Mereka yang harusnya minta maaf.”
“Nak, Menurutmu pengawas tadi, benar atau salah?”
“Salah banget, Bu. Harusnya dia tanya dulu, ngasih kesempatan
dulu buat aku ngejelasin, enggak langsung nuduh, enggak langsung ngeluarin aku
dari ruangan, enggak langsung marahin aku di depan temen-temen.”
“Dan menurutmu, kamu yang benar?”
“Iya, ibu. Kan aku korbannya. Aku enggak salah.”
“Nak, dalam hidup ini, ada hukum sebab akibat. Apapun yang
menimpa kita, adalah buah dari tindakan kita. Pengawas tadi menemukan kertas di
mejamu, karena kamu kurang hati-hati. Seharusnya sebelum ujian, kamu periksa
dulu semuanya. Kalau ada kertas contekan, kamu tinggal membuangnya kan?”
“Tapi kan, Bu...”
“Eh, tadi menurut kamu apa yang dilakukan pengawas salah, kan?”
“Iya, Bu...”
“Sekarang,
siapa yang mebuatnya melakukan kesalahan?”
“Maksudnya,
Bu?”
“Kalau kamu lebih berhati-hati, tentunya tidak akan ada kejadian
tadi, kan? Kalau tidak ada kejadian tadi, pengawas enggak akan melakukan
sesuatu yang salah, kan?”
“Iya juga sih, Bu..”
“Nah, makanya, besok kamu harus meminta maaf ke pengawas
tersebut. Bukan karena kamu menyontek, memang kamu enggak nyontek kan? Kamu
meminta maaf padanya, karena kamu yang membuatnya memiliki prasangka yang
tidak-tidak, telah membuatnya melakukan kesalahan menuduh kamu, memarahi kamu,
dan mengeluarkan kamu dari ruangan.”
“Hmm.. tapi aku enggak bisa menerima itu, Bu. Sakit. Mau pindah
saja..”
“Nak,
emang apa untungnya sakit hati? Kamu hanya akan menyakiti diri sendiri, Nak.
Kamu akan kehilangan teman-teman kamu, akan kehilangan mimpi-mimpi kamu di
sekolah itu, akan kehilangan pelajaran dan pengalaman berharga yang kamu
dapatkan di sana.”
“Tapi, aku punya perasaan, Ibu. Tak bolehkah sesekali sakit
hati?”
“Iya,
Nak. Boleh. Manusiawi kok. Tapi, kalaupun kamu harus sakit hati, kamu harus
banyak-banyak mengambil hikmahnya. Kamu harus tahu penyebabnya apa, sehingga
nanti kamu tidak akan membuat orang lain sakit hati. Kamu juga harus tahu
obatnya. Agar kamu bisa sembuh dan mengobati orang lain yang sakit hati. Kamu
juga harus bisa menikmati dan menghayati sakitnya, agar tidak mau lagi sakit
hati dan berfikir berkali-kali untuk menyakiti orang lain.”
“Kalau kamu pindah, berarti kamu menyerah, Nak. Padahal hidup
itu enggak selalu otomatis berada pada pihak kita. Kita yang harus membuatnya
berpihak pada kita.”
“Maksudnya, Bu?”
“Enggak perlu menghindar dari masalah, hadapi saja. Bahkan,
terkadang, tenaga yang dibutuhkan untuk menghindari masalah, jauh lebih besar
daripada untuk menyelesaikannya. Dan kalau kita menghindari masalah, masalah
itu akan datang kembali, akan mengejar kita. Misalnya, kalau nanti kamu ada di
sekolah yang baru, dan kasus ini terulang, berarti kamu akan pindah sekolah
lagi kan?”
“Iya, ya, Bu. Ibu bener.”
“Terus?”
“Oke.. oke.. besok aku akan ketemu pengawas dan guru BP untuk
mengklarifikasi dan meminta maaf.”
“Nah, gitu dong. Itu baru anak ibu.”
“Ibu,,”
“Kenapa
lagi, Nak?”
“Laper...”
Keduanya tertawa bersamaan. Siang masih begitu panas
bagi yang mengeluhkannya. Padahal, keluhan itu tidak akan pernah sekalipun
didengar siang. Jikapun siang berkenan untuk mengurangi panasnya. Itu semata
karena perintah Tuhan. Bukan dibujuk oleh keluhan. Sementara di sebuah meja
makan, sepasang anak-ibu, sedang menikmati sepenggal siangnya. Sangat akrab.
#diorama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar