Minggu, Januari 17, 2016

Galau

1

Ibu, aku pernah berputus asa, terlempar oleh gelap yang segelap-gelapnya. Hampa, kosong dan menyakitkan. Tak tahu harus apa, tak tahu harus bagaimana. Hidup tapi serasa mati. Resah. Gelisah. Menakutkan. Sampai akhirnya aku mengenal apa itu harapan. Ia memang tak selalu bisa membawa pada kebahagiaan, ia juga tak selalu bisa mengisi kekosongan. Tapi ia telah membuatku bertahan, memberiku alasan untuk bertahan lebih lama, untuk berjuang, untuk lebih percaya dengan kekuasaan Tuhan.

Ibu, telah lama aku mencari tahu apa yang dimaksud dengan bahagia. Kenapa begitu sulit untuk kuraih. Begitu jauh, sulit sekali terjangkau. Lantas, aku mencoba untuk menysusun mozaik-mozaik kebahagiaan yang pernah menyapa. Sebagian harus kuhapus karena semu. Apakah layak disebut kebahagiaan jika hati tak tenang, jika dengan kebahagiaan itu banyak orang lain yang menderita. Akhirnya, aku bertemu dengan kenyataan yang mengajarkan kerja keras; lalu menerima kerja keras itu dengan penuh kesyukuran, apapun hasilnya. Dengan begitu kebagian bisa lebih nyata untuk dirasakan. Akhirnya, aku menyadari, bahawa kebahagiaan itu akan lebih nikmat dirasakan sambil mengurangi penderitaan orang lain.

Ibu, aku juga sangat menginginkan untuk hidup berkecukupan. Berbagai cara pernah kujalani untuk mencapainya. Mengumpulkan harta. Mengumpulkan segala. Tapi tak pernah bisa. Sulit sekali. Sampai aku menyadari bahwa orang yang berkecukupan adalah mereka yang bisa memberi, lain dari itu bukan.

Ibu, aku pernah dibutakan oleh cinta. Cinta harta, tahta dan wanita. Dibuatnya bingung sebingung-bingungnya. Dibuatnya jahat sejahat-jahatnya. Dibuatnya resah seresah-resahnya. Dibuatnya sakit sesakit-sakitnya. Sampai aku sadar, bahwa cinta bukan sekedar tentang rasa. Tapi juga harus memiliki logika. Sampai aku menyadari bahwa keindahan cinta hanya akan benar-benar dirasakan seindah-indahnya, jika cinta itu dijalankan sesuai petunjuk pembuatnya.

***

Senja itu masih setia membungkus sore. Menemani seseorang yang juga setia menulis surat untuk ibunya dikala galau. Walaupun dia tahu surat itu tidak akan pernah bisa sampai. Tak akan bisa. Ibunya sudah lama tiada, hijrah ke alam lain melewati pintu kematian. Tapi setidaknya surat yang tak pernah terkirim itu selalu menenangkan batinnya.

2


Ibu, aku pernah menelusuri segala tempat di dalam hati.
 Berusaha mendapat jawab perihal tanya yang mencemaskan. Sudahkah dewasa itu ada di dalam diri? Aku pernah menemukannya, tersembunyi dengan apik pada marah yang terhapus, di belakang hati yang terjaga, sesekali muncul di hadapan saudara yang aku dahulukan kepentingannya atau mereka yang aku pahami karakternya. Tapi, kenapa ia cepat sekali menghilang? Menguap bersama kekecewaan, melebur dalam ketidaksukaan, membeku dalam kekanak-kanakan, atau memuai bersama keegoisan.

Ibu, ternyata aku tak sepenuhnya benar, mengira bahwa dewasa itu hanya ada di dalam hati. Pantas, aku sulit sekali menemukannya. Karena tidak setiap hati menyediakan ruang yang sama untuk kediamannya. Karena memang, hati hanyalah tempat akhirnya. Bukan permulaannya. Permulaannya ada pada setiap masalah. Sehingga sebenarnya, di mana ada masalah; serumit apapun, sesederhana apapun, selalu ada peluang untuk menemukan kedewasaan. Sedangkan seberapa besar peluang itu bisa ditangkap seseorang, tergantung kapasitas hatinya.

Ibu, aku pernah mengeluh kelu. Kenapa perihal yang sederhana, perihal yang begitu ringan, perihal yang begitu mudah, seseorang tidak bisa menyelesaikannya, tidak bisa menyikapinya, sangat kekanak-kanakan dan sangat jauh dari dewasa.

Ibu, aku sangat malu ketika menyadari bahwa keluhanku adalah bukti dari ketidakdewasaanku. Karena ternyata, dewasa itu sangatlah relatif. Seseorang bisa dewasa untuk suatu masalah, tapi belum tentu untuk masalah yang lainnya. Orang perorang punya pengalamannya sendiri, punya latarbelakang yang membentuk dirinya sendiri. Tak manusiawi jika semuanya disamakan, lebih tak manusiawi lagi jika mengharuskan mereka untuk selalu sama dengan kita, untuk mengikuti segala keinginan kita. 

Ibu, sekarang aku menyadari bahwa dewasa adalah pelajaran sepanjang hidup. Tak boleh berhenti untuk didalami, tak boleh selesai untuk diselami, tak boleh berakhir, tak boleh. Bahkan sejatinya, dewasa itu harus selalu ditambah, harus selalu digali, harus selalu ditingkatkan, dari masalah ke masalah, dari peristiwa ke peristiwa, dari fase hidup ke fase hidup yang lainnya. Dan pembelajarannya begitu unik, sangat spesial. Tak cukup sekali diajari, tak cukup berkali-kali, tak pernah cukup. Karena sebagaimana kesabaran, kedewasaan memang sengaja diciptakan Tuhan tanpa batas. 

Seperti biasa, dia mengakhiri galaunya dengan surat. Mengakhiri suratnya dengan titik. Mengakhirinya dengan kesimpulan-kesimpulan baru. Senja yang membungkus sore baru saja berlalu, yang ada tinggal gelap yang diselaputi gerimis.

3


Ibu, aku pernah terlempar dalam suatu masa, masa dimana sebagian diriku terengkuh semu.
 Mencari dalam ketiadaan, menggenggam segala keinginan. Beberapa aku dapatkan mimpi-mimpi itu. Sangat menyenangkan, sungguh membanggakan. Tapi kenapa begitu sakit ketika kehilangannya? Begitu nestapa ketika tak lagi dibersamainya.

Awalnya, kupikir karena aku terlalu mencintainya, terlampau mencintai keinginan itu, mencintai segala warnanya. Ternyata tidak, aku salah. Salah besar. Aku benar-benar masih belum sungguh-sungguh mencintainya. Karena kesungguhan tak akan pernah bisa berlepas diri dari menginsyafi sebuah hakikat. Sedangkan, hakikat cinta adalah melepaskan. Semakin sejati ia, semakin tulus melepaskannya*.

Ibu, aku pernah termenung di dalam diam. Mencermati rasa yang tak terdefinisi. Apa yang bisa didefinisikan seorang manusia tentang kehilangan, sedangkan manusia tak benar-benar bisa memiliki. Kita hanya dititipkan; dititipkan dalam kehidupan yang bernama dunia. Dititipi keluarga, sahabat, dan semua yang kita miliki. Suatu hari entah kapan, titipan itu akan diambil pemilikinya.

Ibu, aku pernah berfikir jika aku yang lebih tahu tentang diriku, dan memang demikianlah seharusnya. Tapi ternyata, Tuhan lebih aku daripada aku. Dia lebih tahu tentang keakuanku, tentang seberapa kuat pundakku mengemban beban, tentang perasaanku, tentang yang terbaik untukku, tentang pikiranku dan semua hal perihal aku.

Ibu, aku pernah begitu percaya diri dengan merasa bisa. Lalu, banyak hal yang mendekatiku. Ada pujian, kehormatan, serta sedikit sentuhan kesombongan. Baik dalam kata maupun perilaku. Parahnya, aku jarang sekali menyadarinya, sampai aku berkenalan dekat dengan padi yang semakin berisi semakin merunduk, maknanya semakin kita merasa bisa maka kita harus bisa semakin merasa* .

Ibu, engkau pernah bercerita tentang segala, sampai aku menyadari bahwa tiada cerita paling hebat yang pernah aku baca, aku dengar, bahkan yang aku jalani; selain “cerita kehidupan” yang diciptkan Tuhan. Walaupun ada aturan mainnya; setiap orang boleh memilih ceritanya sendiri, boleh menjalankan ceritanya sendiri. Yang pasti cerita itu akan berakhir. Ibu, sebagaimana dirimu, aku juga ingin mengakhiri cerita hidpku dengan akhir yang baik, dengan akhir yang membawa kebahagiaan.

Itu surat kesekian yang ia buat untuk ibunya; lebih tepatnya untuk dirinya sendiri. Bukankah pernah diceritakan sebelumnya, jika ibunya telah tiada. Dan senja hanya bisa tersenyum jingga, bersiap meninggalkannya, meninggalkan galau, juga meninggalkan sore.

4

Ibu, aku pernah terpenjara dalam perasaan, perasaan yang menipu hakikat waktu. 
Bilamanakah aku tak terjebak di dalamnya; jika rasa itu mengusir tenangku, menggantinya dengan cemas yang meresahkan. Jika rasa itu menyemukan kebaikan, menghalanginya dengan berat yang menggelantungi hati. Membuat waktu berjalan lebih lama, membuatku bermusuhan dengan waktu. Padahal seharusnya, aku bersahabat baik dengannya. Bukankah ia yang membersamaiku setiap detik menitnya.

Ibu, tak tahulah apa nama rasa itu. Setiap orang punya definisinya masing-masing. Setiap orang bisa memilih sesukanya. Dulu aku sempat terjebak di dalam bingung, sampai disapa fakta bahwa kebahagiaan seseorang bisa jadi adalah kesedihannya, sebaliknya kesedehihan seseorang mungkin bisa jadi akan menjadi kebahagiaannya suatu hari nanti. Maka, sekarang aku tak hendak terlalu mempedulikan lagi rasa itu; biarlah semua rasa menjumpaiku. Menyapaku dan mengenalku. Apapun itu. Apalah namanya. Selama rasa itu bisa menghantarkanku untuk lebih memahami hidup dan kehidupan, juga untuk semakin dekat dan memahami-Nya.

Ibu, aku pernah ditakuti ketakutan. Ditipunya dengan kekhawatiran yang berlebih, digodanya dengan ketidakpastian yang tak menentu. Padahal ketakutan itu tak semuanya terjadi, bahkan lebih banyak yang tak terjadi. Akhirnya, aku sadar bahwa cara satu-satunya untuk mengalahkan ketakutan adalah dengan menghadapinya.

Begitulah manusia, Ibu. Banyak yang takut miskin, takut tidak bahagia, takut sengsara, takut yang bersifat dunia. Tapi sedikit sekali yang takut mendozlimi orang lain, yang takut berbuat jahat, yang takut mengambil hak orang lain, yang takut melalaikan amanah. Padahal sejatinya, ketakutan hanyalah kepada Tuhan.

Ibu, aku pernah diseliputi malu. Malu dengan kelemahan yang melekat di dalam diri. Malu karena lebih rendah daripada yang lain. Malu karena begini dan begitu. Padahal, apa yang salah dengan kelemahan, bukankah Tuhan menciptakan manusia satu paket dengan kelebihan dan kelemahannya untuk saling melengkapi dan melengkapkan?

Begitulah manusia, Ibu. Banyak yang malu karena hal yang bersifat dunia. Tapi sedikit sekali yang malu karena melakukan kesalahan, karena masih sedikit melakukan kebaikan, karena tidak jujur, karena tidak adil. karena melanggar perintah Tuhan. Padahal hakikat malu adalah keinsyafan ketika melanggar perintah Tuhan.

Seperti biasa, surat itu selalu berhubungan dengan ibu, senja, sore dan galau. Tak ada yang tahu sampai kapan surat itu akan tetap ditulis. 


#diorama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar