1
Ibu,
aku pernah berputus asa, terlempar oleh gelap yang segelap-gelapnya. Hampa, kosong dan menyakitkan. Tak tahu harus apa, tak
tahu harus bagaimana. Hidup tapi serasa mati. Resah. Gelisah. Menakutkan.
Sampai akhirnya aku mengenal apa itu harapan. Ia memang tak selalu bisa membawa
pada kebahagiaan, ia juga tak selalu bisa mengisi kekosongan. Tapi ia telah
membuatku bertahan, memberiku alasan untuk bertahan lebih lama, untuk berjuang,
untuk lebih percaya dengan kekuasaan Tuhan.
Ibu, telah lama aku mencari tahu apa yang dimaksud
dengan bahagia. Kenapa
begitu sulit untuk kuraih. Begitu jauh, sulit sekali terjangkau. Lantas, aku
mencoba untuk menysusun mozaik-mozaik kebahagiaan yang pernah menyapa. Sebagian
harus kuhapus karena semu. Apakah layak disebut kebahagiaan jika hati tak
tenang, jika dengan kebahagiaan itu banyak orang lain yang menderita. Akhirnya,
aku bertemu dengan kenyataan yang mengajarkan kerja keras; lalu menerima kerja
keras itu dengan penuh kesyukuran, apapun hasilnya. Dengan begitu kebagian bisa
lebih nyata untuk dirasakan. Akhirnya, aku menyadari, bahawa kebahagiaan itu
akan lebih nikmat dirasakan sambil mengurangi penderitaan orang lain.
Ibu, aku juga sangat menginginkan untuk hidup
berkecukupan. Berbagai
cara pernah kujalani untuk mencapainya. Mengumpulkan harta. Mengumpulkan
segala. Tapi tak pernah bisa. Sulit sekali. Sampai aku menyadari bahwa orang
yang berkecukupan adalah mereka yang bisa memberi, lain dari itu bukan.
Ibu, aku pernah dibutakan oleh cinta. Cinta harta, tahta dan wanita. Dibuatnya bingung
sebingung-bingungnya. Dibuatnya jahat sejahat-jahatnya. Dibuatnya resah
seresah-resahnya. Dibuatnya sakit sesakit-sakitnya. Sampai aku sadar, bahwa cinta
bukan sekedar tentang rasa. Tapi juga harus memiliki logika. Sampai aku
menyadari bahwa keindahan cinta hanya akan benar-benar dirasakan
seindah-indahnya, jika cinta itu dijalankan sesuai petunjuk pembuatnya.
***
Senja itu masih setia membungkus sore. Menemani
seseorang yang juga setia menulis surat untuk ibunya dikala galau. Walaupun dia
tahu surat itu tidak akan pernah bisa sampai. Tak akan bisa. Ibunya sudah lama
tiada, hijrah ke alam lain melewati pintu kematian. Tapi setidaknya surat yang
tak pernah terkirim itu selalu menenangkan batinnya.
2
Ibu, aku pernah menelusuri segala tempat di dalam hati. Berusaha mendapat jawab perihal tanya yang mencemaskan. Sudahkah dewasa itu ada di dalam diri? Aku pernah menemukannya, tersembunyi dengan apik pada marah yang terhapus, di belakang hati yang terjaga, sesekali muncul di hadapan saudara yang aku dahulukan kepentingannya atau mereka yang aku pahami karakternya. Tapi, kenapa ia cepat sekali menghilang? Menguap bersama kekecewaan, melebur dalam ketidaksukaan, membeku dalam kekanak-kanakan, atau memuai bersama keegoisan.
Ibu, ternyata aku tak sepenuhnya benar, mengira bahwa
dewasa itu hanya ada di dalam hati. Pantas, aku sulit sekali menemukannya. Karena tidak
setiap hati menyediakan ruang yang sama untuk kediamannya. Karena memang, hati
hanyalah tempat akhirnya. Bukan permulaannya. Permulaannya ada pada setiap
masalah. Sehingga sebenarnya, di mana ada masalah; serumit apapun, sesederhana
apapun, selalu ada peluang untuk menemukan kedewasaan. Sedangkan seberapa besar
peluang itu bisa ditangkap seseorang, tergantung kapasitas hatinya.
Ibu, aku pernah mengeluh kelu. Kenapa perihal yang
sederhana, perihal yang begitu ringan, perihal yang begitu mudah, seseorang
tidak bisa menyelesaikannya, tidak bisa menyikapinya, sangat kekanak-kanakan
dan sangat jauh dari dewasa.
Ibu, aku sangat malu ketika menyadari bahwa keluhanku
adalah bukti dari ketidakdewasaanku. Karena ternyata, dewasa itu sangatlah relatif.
Seseorang bisa dewasa untuk suatu masalah, tapi belum tentu untuk masalah yang
lainnya. Orang perorang punya pengalamannya sendiri, punya latarbelakang yang
membentuk dirinya sendiri. Tak manusiawi jika semuanya disamakan, lebih tak
manusiawi lagi jika mengharuskan mereka untuk selalu sama dengan kita, untuk
mengikuti segala keinginan kita.
Ibu, sekarang aku menyadari bahwa dewasa adalah
pelajaran sepanjang hidup. Tak
boleh berhenti untuk didalami, tak boleh selesai untuk diselami, tak boleh
berakhir, tak boleh. Bahkan sejatinya, dewasa itu harus selalu ditambah, harus
selalu digali, harus selalu ditingkatkan, dari masalah ke masalah, dari
peristiwa ke peristiwa, dari fase hidup ke fase hidup yang lainnya. Dan
pembelajarannya begitu unik, sangat spesial. Tak cukup sekali diajari, tak
cukup berkali-kali, tak pernah cukup. Karena sebagaimana kesabaran, kedewasaan memang
sengaja diciptakan Tuhan tanpa batas.
Seperti
biasa, dia mengakhiri galaunya dengan surat. Mengakhiri suratnya dengan titik.
Mengakhirinya dengan kesimpulan-kesimpulan baru. Senja yang membungkus sore
baru saja berlalu, yang ada tinggal gelap yang diselaputi gerimis.
3
Ibu, aku pernah terlempar dalam suatu masa, masa dimana sebagian diriku terengkuh semu. Mencari dalam ketiadaan, menggenggam segala keinginan. Beberapa aku dapatkan mimpi-mimpi itu. Sangat menyenangkan, sungguh membanggakan. Tapi kenapa begitu sakit ketika kehilangannya? Begitu nestapa ketika tak lagi dibersamainya.
Awalnya, kupikir karena aku terlalu mencintainya, terlampau
mencintai keinginan itu, mencintai segala warnanya. Ternyata tidak, aku salah.
Salah besar. Aku benar-benar masih belum sungguh-sungguh mencintainya. Karena
kesungguhan tak akan pernah bisa berlepas diri dari menginsyafi sebuah hakikat.
Sedangkan, hakikat cinta
adalah melepaskan. Semakin sejati ia, semakin tulus melepaskannya*.
Ibu, aku pernah termenung di dalam diam. Mencermati
rasa yang tak terdefinisi. Apa
yang bisa didefinisikan seorang manusia tentang kehilangan, sedangkan manusia
tak benar-benar bisa memiliki. Kita hanya dititipkan; dititipkan dalam
kehidupan yang bernama dunia. Dititipi keluarga, sahabat, dan semua yang kita
miliki. Suatu hari entah kapan, titipan itu akan diambil pemilikinya.
Ibu, aku pernah berfikir jika aku yang lebih tahu
tentang diriku, dan memang demikianlah seharusnya. Tapi ternyata, Tuhan lebih aku daripada aku. Dia lebih
tahu tentang keakuanku, tentang seberapa kuat pundakku mengemban beban, tentang
perasaanku, tentang yang terbaik untukku, tentang pikiranku dan semua hal
perihal aku.
Ibu, aku pernah begitu percaya diri dengan merasa bisa. Lalu, banyak hal yang mendekatiku. Ada
pujian, kehormatan, serta sedikit sentuhan kesombongan. Baik dalam kata maupun
perilaku. Parahnya, aku jarang sekali menyadarinya, sampai aku berkenalan dekat
dengan padi yang semakin berisi
semakin merunduk, maknanya semakin kita merasa bisa maka kita harus bisa
semakin merasa* .
Ibu, engkau pernah bercerita tentang segala, sampai aku menyadari bahwa tiada cerita paling hebat
yang pernah aku baca, aku dengar, bahkan yang aku jalani; selain “cerita
kehidupan” yang diciptkan Tuhan. Walaupun ada aturan mainnya; setiap orang
boleh memilih ceritanya sendiri, boleh menjalankan ceritanya sendiri. Yang
pasti cerita itu akan berakhir. Ibu, sebagaimana dirimu, aku juga ingin
mengakhiri cerita hidpku dengan akhir yang baik, dengan akhir yang membawa
kebahagiaan.
Itu
surat kesekian yang ia buat untuk ibunya; lebih tepatnya untuk dirinya sendiri.
Bukankah pernah diceritakan sebelumnya, jika ibunya telah tiada. Dan senja
hanya bisa tersenyum jingga, bersiap meninggalkannya, meninggalkan galau, juga
meninggalkan sore.
4
Ibu, aku pernah terpenjara dalam perasaan, perasaan yang menipu hakikat waktu. Bilamanakah aku tak terjebak di dalamnya; jika rasa itu mengusir tenangku, menggantinya dengan cemas yang meresahkan. Jika rasa itu menyemukan kebaikan, menghalanginya dengan berat yang menggelantungi hati. Membuat waktu berjalan lebih lama, membuatku bermusuhan dengan waktu. Padahal seharusnya, aku bersahabat baik dengannya. Bukankah ia yang membersamaiku setiap detik menitnya.
Ibu, tak tahulah apa nama rasa itu. Setiap orang punya
definisinya masing-masing. Setiap orang bisa memilih sesukanya. Dulu aku sempat terjebak di dalam bingung, sampai
disapa fakta bahwa kebahagiaan seseorang bisa jadi adalah kesedihannya,
sebaliknya kesedehihan seseorang mungkin bisa jadi akan menjadi kebahagiaannya
suatu hari nanti. Maka, sekarang aku tak hendak terlalu mempedulikan lagi rasa
itu; biarlah semua rasa menjumpaiku. Menyapaku dan mengenalku. Apapun itu.
Apalah namanya. Selama rasa itu bisa menghantarkanku untuk lebih memahami hidup
dan kehidupan, juga untuk semakin dekat dan memahami-Nya.
Ibu, aku pernah ditakuti ketakutan. Ditipunya dengan
kekhawatiran yang berlebih, digodanya dengan ketidakpastian yang tak menentu. Padahal ketakutan itu tak semuanya terjadi, bahkan
lebih banyak yang tak terjadi. Akhirnya, aku sadar bahwa cara satu-satunya
untuk mengalahkan ketakutan adalah dengan menghadapinya.
Begitulah manusia, Ibu. Banyak yang takut miskin,
takut tidak bahagia, takut sengsara, takut yang bersifat dunia. Tapi sedikit
sekali yang takut mendozlimi orang lain, yang takut berbuat jahat, yang takut
mengambil hak orang lain, yang takut melalaikan amanah. Padahal sejatinya,
ketakutan hanyalah kepada Tuhan.
Ibu, aku pernah diseliputi malu. Malu dengan kelemahan yang
melekat di dalam diri. Malu karena lebih rendah daripada yang lain. Malu karena
begini dan begitu. Padahal, apa yang salah dengan kelemahan, bukankah Tuhan
menciptakan manusia satu paket dengan kelebihan dan kelemahannya untuk saling
melengkapi dan melengkapkan?
Begitulah manusia, Ibu. Banyak yang malu karena hal
yang bersifat dunia. Tapi sedikit sekali yang malu karena melakukan kesalahan,
karena masih sedikit melakukan kebaikan, karena tidak jujur, karena tidak adil.
karena melanggar perintah Tuhan. Padahal hakikat malu adalah keinsyafan ketika
melanggar perintah Tuhan.
Seperti
biasa, surat itu selalu berhubungan dengan ibu, senja, sore dan galau. Tak ada
yang tahu sampai kapan surat itu akan tetap ditulis.
#diorama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar