Minggu, Januari 17, 2016

Kalah

“Ayah, hari ini saya senang sekali.”
“Begitukah? Kenapa memang?”
“Tadi di kelas saya berdebat dengan teman, dan saya menang Ayah.”
“Wah, hebat anak Ayah.”
“Iya, dong. Tahu nggak sih, Yah, tadi semua temen-temen kelas tepuk tangan. Bu guru juga ngasih pujian. Apalagi lawan debat saya tuh siswa paling bandel di kelas. Pokoknya hari ini saya senang”

“Terus, temanmu yang kalah gimana?”
“Mukanya merah gitu, Ayah. Malu kali ya.”
“Kalau begitu, kamu kalah, Nak?”
“Lho, kenapa bisa begitu Ayah?”
“Iya, di mata teman-teman yang lain dan bu guru, mungkin kamu hebat Nak, bisa mengeluarkan argumen yang baik dan bisa mengalahkan lawan kamu. Tapi di mata lawan debatmu, apakah kamu menang?”
“Maksudnya, Yah?”
“Apakah teman yang kalah tadi senang karena kamu kalahkan dan bisa menerima kekalahannya? Atau dia malah sedih dan membencimu karena mempermalukannya di depan kelas?”
“Mmm, sepertinya agak kurang suka gitu sih, Yah.”
“Berarti kamu masih belum menang, Nak. Karena perdebatan tadi adalah antara kamu dan lawan kamu, bukan antara kamu dan teman kamu yang lain. Bukan juga antara kamu dan gurumu. Sehingga, kamu dikatakan menang, kalau lawanmu mengakui kemenangan kamu, bisa menerima kekalahannya. Bukan malah menjadi membencimu. Kalau dia membencimu berarti kamu kalah, karena kamu telah kehilangan kepercayaan darinya, telah kehilangan persahabatan dengannya”

“Saya salah ya, Yah?”
“Tidak, Nak. Tidak sepenuhnya salah. Nanti kalau ada debat, diskusi, atau kompetisi apapun, kamu harus menjadi pemenang sejati ya, Nak.”
“Apa itu pemenang sejati, Ayah.”
“Mereka yang bisa memenangkan hati lawannya. Bukan yang sekedar menang dalam pertandingan. Jika menang, tetap rendah hati dan menghargai lawannya. Jika kalah, tetap senang dan berbangga dengan kemenangan lawannya ”
“Iya, Ayah.”
“Kenapa kamu menangis, Nak?”
“Tidak, Ayah. Saya hanya sedang menyesali kekalahan saya.”

#diorama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar