“Ayah,
hari ini saya senang sekali.”
“Begitukah? Kenapa memang?”
“Tadi di kelas saya berdebat dengan teman, dan saya menang
Ayah.”
“Wah, hebat anak Ayah.”
“Iya, dong. Tahu nggak sih, Yah, tadi semua temen-temen kelas
tepuk tangan. Bu guru juga ngasih pujian. Apalagi lawan debat saya tuh siswa
paling bandel di kelas. Pokoknya hari ini saya senang”
“Terus, temanmu yang kalah gimana?”
“Mukanya merah gitu, Ayah. Malu kali ya.”
“Kalau begitu, kamu kalah, Nak?”
“Lho, kenapa bisa begitu Ayah?”
“Iya, di mata teman-teman yang lain dan bu guru, mungkin kamu
hebat Nak, bisa mengeluarkan argumen yang baik dan bisa mengalahkan lawan kamu.
Tapi di mata lawan debatmu, apakah kamu menang?”
“Maksudnya, Yah?”
“Apakah teman yang kalah tadi senang karena kamu kalahkan dan
bisa menerima kekalahannya? Atau dia malah sedih dan membencimu karena
mempermalukannya di depan kelas?”
“Mmm, sepertinya agak kurang suka gitu sih, Yah.”
“Berarti kamu masih belum menang, Nak. Karena perdebatan tadi
adalah antara kamu dan lawan kamu, bukan antara kamu dan teman kamu yang lain.
Bukan juga antara kamu dan gurumu. Sehingga, kamu dikatakan menang, kalau
lawanmu mengakui kemenangan kamu, bisa menerima kekalahannya. Bukan malah
menjadi membencimu. Kalau dia membencimu berarti kamu kalah, karena kamu telah
kehilangan kepercayaan darinya, telah kehilangan persahabatan dengannya”
“Saya salah ya, Yah?”
“Tidak, Nak. Tidak sepenuhnya salah. Nanti kalau ada debat,
diskusi, atau kompetisi apapun, kamu harus menjadi pemenang sejati ya, Nak.”
“Apa itu pemenang sejati, Ayah.”
“Mereka yang bisa memenangkan hati lawannya. Bukan yang sekedar
menang dalam pertandingan. Jika menang, tetap rendah hati dan menghargai
lawannya. Jika kalah, tetap senang dan berbangga dengan kemenangan lawannya ”
“Iya, Ayah.”
“Kenapa kamu menangis, Nak?”
“Tidak, Ayah. Saya hanya sedang menyesali kekalahan saya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar