Senin, Januari 18, 2016

Kuliah Cinta 6

Sumpah ya, demi apapun aku belum pernah dapat tugas se-membingungkan ini dari bunda. Biasanya hanya diminta untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga, belanja, memastikan adik lelakiku yang nakal itu baik secara pelajaran (sekolah) dan pergaulan, memasak dan rupa-rupa pekerjaan rumah lainnya. Tapi untuk buat proposal kehidupan? Ah, benar-benar blank. Masalahnya aku salah satu jenis orang yang easy going, jalani aja apa yang ada di hadapan, enggak mau repot. Ayah pernah protes tentang sifatku yang satu ini. Gara-garanya, kalau aku ditanya sesuatu pasti jawabnya terserah, terserah ayah aja deh, terserah bunda aja deh, atau terserah yang lainnya. Bandel enggak mau berubah (ayah bilang takut kalau aku lama-lama tergantung sama orang lain dan enggak berani ambil keputusan), akhirnya ayah mengeluarkan aturan yang cukup kejam buat aku dan adikku (waktu itu aku masih SMP).

Aturannya sederhana sih, enggak boleh jawab terserah kalau ditanya ayah atau bunda. Yang bikin kejam, kalau kami jawab dengan terserah, uang bulanan dipotong 10 ribu untuk satu kata terserah. Dari kecil aku memang terbiasa dengan uang bulanan, kata bunda belajar agar bisa mengatur keuangan, berhemat, dan mandiri. Di sana sudah termasuk uang jajan, uang SPP (zaman aku SMP, SPP masih per bulan), uang makan siang, biaya les dan keperluan lainnya. Jangan coba-coba menghabiskan sembarangan, bunda enggak akan ngasih lagi, kecuali penting banget, itupun jatah bulan depan akan dikurangi dengan jumlah yang sama. Yang bikin kesel, semenjak ada aturan itu, ayah bunda sengaja betul banyak nanya pendapatku tentang ini-itu. Dan bayangpun, bulan pertama lebih dari 10x aku kena jebakan mereka. Akhirnya, aturan menyebalkan itu pun berakhir setelah aku dan adikku dianggap tidak lagi banyak mengeluarkan kata terserah dan selalu berfikir dulu sebelum menjawab ini itu atau mau mengambil keputusan.  

Malam itu, forum perempuan dibuka dengan keluhan bunda tentang tetangga yang suka banget ngerumpi dan ngomongin aib tetangga yang lain. Entah ketika arisan, beli sayur di depan rumah, dan forum-forum lainnya. Bunda sebenarnya enggak mau terlibat dalam forum yang enggak penting banget itu, nambah dosa kata bunda. Tapi di sisi lain, bunda juga harus bertetangga dengan baik dan trauma pernah dikucilkan tetangga serta pernah jadi hot news  karena kurang bersosialisasi dengan yang lain. Alhasil sesekali bunda terlibat juga dalam forum-forum itu, entah secara tidak sengaja atau sengaja untuk bersilaturrahim. Biasanya bunda hanya bisa senyum salah tingkah, mengalihkan pembicaraan, atau kalau udah parah banget mengingatkan kalau ngomongin aib orang itu tidak baik.

Dan malam itu, kami hanya bisa tertawa berbarengan setelah menyadari bahwa ngomongin tetangga yang suka ngomongin tetangga yang lain termasuk ngomongin orang lain juga. Lalu sama-sama beristighfar, tertawa lagi dan beristighfar lagi. Sampai bunda nanyain tentang tugas proposal kehidupan yang membingungkan itu.

***

“Oh ya, gimana proposal kehidupan yang bunda minta, Nak?”
“Ah, belum apa-apa bunda. Putri masih bingung banget.”
“Bingung apanya emang?”
“Berat, Bunda. Enggak tahu harus mulai darimana.”
“Mungkin Putrinya masih terpaksa kali ngerjain tugas dari Bunda, masih belum menganggap penting.”

“He, he. Ada benernya juga sih Bun. Habisnya tugas kuliah lagi numpuk-numpuknya. Amanah organisasi di kampus juga lagi sibuk-sibuknya. Belum lagi Putri lagi kesel banget sama temen Putri yang bisanya nyuruh-nyuruh, marah-marah, enggak peka sama yang lainnya.”

“Mungkin, Putri perlu membolak-balikkan hati Putri.”
“Maksudnya, Bun?”

“Nak, semua orang memiliki hati. Tapi sedikit sekali yang mengerti kalau hati itu bisa berbolak-balik. Tidak semua memahami, karena sifatnya yang mudah berbolak-balik itu, hati harus sering diatur. Dijaga sebaik mungkin agar tepat bertindak dan tepat merasa. Tidak boleh dibiarkan begitu saja. Coba Putri bolak-balik sedikit saja hati Putri. Dari terpaksa menjadi sukarela, dari merasa disuruh-suruh menjadi penerimaan, dari merasa tidak diperhatikan menjadi diandalkan. Dengan begitu, kita akan lebih bersahabat dengan kehidupan.”

“Iya, ya Bun. Putri baru nyadar, kalau selama ini Putri terlalu banyak mengeluh. Harusnya Putri berfikir positif, bahwa apapun kejadian yang menimpa Putri, itu bukan salah kejadiannya. Juga tidak bijak menyalahkan orang yang menybabkan kejadian itu. Karena pada dasarnya, apapun peristiwa yang terjadi, mau baik atau buruk, mau bahagia atau menyedihkan, tergantung bagaimana aku menyikapinya. Bukan begitu Bunda?”

“Nah, itu pinter anak Bunda. Makanya, Putri juga harus mengerjakan tugas-tugas dari Bunda, tugas kuliahnya, tugas organisasinya dengan kesadaran, dengan suka rela, bukan dengan keterpaksaan.”

“Iya deh, Bunda. Nih aku mau tanya ya, Bun. Bagaimana caranya agar kita mengerjakan sesuatu dengan suka rela, padahal kita sangat tidak suka dengan sesuatu itu?”

“Sebagai manusia kadang kita sangat egois, lupa bahwa hidup ini bukan hanya tentang diri kita. Tapi juga tentang orang lain. Lupa, bahwa kewajiban dan tanggungjawab kita tidak selalu apa yang kita sukai. Bahkan, banyak kewajiban-kewajiban yang tidak kita sukai. Itulah ujiannya, sayang. Itulah tantangannya. Sejatinya, hidup itu adalah ujian. Dan tidak ada kesejatiaan sebelum ada ujian.”

“Dan tidak ada kebaikan yang sia-sia kan, Bunda?”

“Iya, bener. Selalu ada balasan untuk kebaikan, sebagaimana selalu ada hukuman untuk sebuah kesalahan. Hanya saja, terkadang kita harus bersabar untuk menerima balasan dari kebaikan itu. Karena bisa jadi, kita lebih membutuhkan balasan dari kebaikan itu nanti, bukan sekarang. Makanya, Allah menyimpannya terlebih dahulu.”

“Oke deh, Bun. Insya Allah Putri akan kerjakan tugas propsal kehidupan itu dengan sadar sesadar-sadarnya, dengan rela serela-relanya, dengan baik sebaik-baiknya.”

“Nah, itu baru anak bunda.”

“Oh ya Bun, salah yang buat aku bingung dalam membuat proposal kehidupan, terkadang aku memiliki pilihan-pilihan, bagaimana aku menentukan yang paling tepat?”

“Tidak ada yang salah dalam suatu pilihan, Nak. Selama pilihan itu bermuara pada kebaikan. Selama kita berusaha menjalankan konsekuensi dari pilihan itu sebaik-baiknya, sesungguh-sungguhnya. Bahkan, kita bisa memilih dua pilihan sekaligus, tidak hanya satu. Catatannya, pilihan itu harus sesuai dengan tujuan hidup kita, dan kita yakin bisa menjalankan keduanya.”

“Bagaimana jika di tengah jalan, kita merasa kurang cocok dengan pilihan yang kita ambil, Bunda?”

“Terkadang memang hanya ada satu jalan ntuk sampai pada sebuah tujuan yang kita inginkan dalam hidup. Tapi tidak selalu, dengan memilih jalan itu, kita harus meninggalkan jalan yang lain. Kita hanya harus siap untuk berjalan, berlari, terjatuh, bahkan melompat.”

“Intinya, kita harus fleksibel ya, Bunda.”

“Iya, tapi bukan berarti meremehkan dan selalu berubah-ubah lho ya. Fleksibel itu tetap teguh, tapi tidak kaku. Bijak dalam mengganti strategi, peka terhadap kondisi dan kebutuhan.”

“Oke, Bunda. Sementara itu dulu ya. Nanti kalau ada yang masih bingung lagi aku tanya bunda. Sekarang, kayaknya aku butuh waktu buat menyendiri.”

“Oke, kalau begitu bunda tinggal dulu ya.”

“Iya, Makasih bunda sayang. Hush, hush...”

***

Aku mengusir bunda dari kamarku dengan suara seperti mengusir ayam (tentu saja bercanda, kayak enggak tahu aku sama bunda aja :D). Bunda hanya bisa tersenyum, tentu saja setelah melempar bantal ke mukaku, lalu pergi meninggalkan kamarku. Aku? Memang butuh menyendiri, tapi nagantuk banget. Tentunya, aku memilih tidur. Nanti-nanti saja menyendirinya.

#diorama


Tidak ada komentar:

Posting Komentar