Sumpah
ya, demi apapun aku belum pernah dapat tugas se-membingungkan ini dari bunda. Biasanya hanya diminta untuk mengerjakan pekerjaan
rumah tangga, belanja, memastikan adik lelakiku yang nakal itu baik secara
pelajaran (sekolah) dan pergaulan, memasak dan rupa-rupa pekerjaan rumah
lainnya. Tapi untuk buat proposal kehidupan? Ah, benar-benar blank. Masalahnya aku salah satu jenis orang yang easy going, jalani aja apa yang ada di hadapan, enggak
mau repot. Ayah pernah protes tentang sifatku yang satu ini. Gara-garanya,
kalau aku ditanya sesuatu pasti jawabnya terserah, terserah ayah aja deh,
terserah bunda aja deh, atau terserah yang lainnya. Bandel enggak mau berubah
(ayah bilang takut kalau aku lama-lama tergantung sama orang lain dan enggak
berani ambil keputusan), akhirnya ayah mengeluarkan aturan yang cukup kejam
buat aku dan adikku (waktu itu aku masih SMP).
Aturannya
sederhana sih, enggak boleh jawab terserah kalau ditanya ayah atau bunda. Yang
bikin kejam, kalau kami jawab dengan terserah, uang bulanan dipotong 10 ribu
untuk satu kata terserah. Dari kecil aku memang terbiasa dengan uang bulanan,
kata bunda belajar agar bisa mengatur keuangan, berhemat, dan mandiri. Di sana
sudah termasuk uang jajan, uang SPP (zaman aku SMP, SPP masih per bulan), uang
makan siang, biaya les dan keperluan lainnya. Jangan coba-coba menghabiskan
sembarangan, bunda enggak akan ngasih lagi, kecuali penting banget, itupun
jatah bulan depan akan dikurangi dengan jumlah yang sama. Yang bikin
kesel, semenjak ada aturan itu, ayah bunda sengaja betul banyak nanya
pendapatku tentang ini-itu. Dan bayangpun, bulan pertama lebih dari 10x aku
kena jebakan mereka. Akhirnya, aturan menyebalkan itu pun berakhir setelah aku
dan adikku dianggap tidak lagi banyak mengeluarkan kata terserah dan selalu
berfikir dulu sebelum menjawab ini itu atau mau mengambil keputusan.
Malam
itu, forum perempuan dibuka dengan keluhan bunda tentang tetangga yang suka
banget ngerumpi dan ngomongin aib tetangga yang lain. Entah ketika arisan, beli sayur di depan rumah, dan
forum-forum lainnya. Bunda sebenarnya enggak mau terlibat dalam forum yang
enggak penting banget itu, nambah dosa kata bunda. Tapi di sisi lain, bunda
juga harus bertetangga dengan baik dan trauma pernah dikucilkan tetangga serta
pernah jadi hot news
karena kurang bersosialisasi dengan yang lain. Alhasil sesekali bunda terlibat
juga dalam forum-forum itu, entah secara tidak sengaja atau sengaja untuk
bersilaturrahim. Biasanya bunda hanya bisa senyum salah tingkah, mengalihkan
pembicaraan, atau kalau udah parah banget mengingatkan kalau ngomongin aib
orang itu tidak baik.
Dan
malam itu, kami hanya bisa tertawa berbarengan setelah menyadari bahwa
ngomongin tetangga yang suka ngomongin tetangga yang lain termasuk ngomongin
orang lain juga. Lalu sama-sama beristighfar, tertawa lagi dan beristighfar
lagi. Sampai bunda nanyain tentang tugas proposal kehidupan yang membingungkan
itu.
***
“Oh
ya, gimana proposal kehidupan yang bunda minta, Nak?”
“Ah,
belum apa-apa bunda. Putri masih bingung banget.”
“Bingung
apanya emang?”
“Berat,
Bunda. Enggak tahu harus mulai darimana.”
“Mungkin
Putrinya masih terpaksa kali ngerjain tugas dari Bunda, masih belum menganggap
penting.”
“He,
he. Ada benernya juga sih Bun. Habisnya tugas kuliah lagi numpuk-numpuknya.
Amanah organisasi di kampus juga lagi sibuk-sibuknya. Belum lagi Putri lagi
kesel banget sama temen Putri yang bisanya nyuruh-nyuruh, marah-marah, enggak
peka sama yang lainnya.”
“Mungkin,
Putri perlu membolak-balikkan hati Putri.”
“Maksudnya,
Bun?”
“Nak,
semua orang memiliki hati. Tapi sedikit sekali yang mengerti kalau hati itu
bisa berbolak-balik. Tidak semua memahami, karena sifatnya yang mudah
berbolak-balik itu, hati harus sering diatur. Dijaga sebaik mungkin agar tepat
bertindak dan tepat merasa. Tidak boleh dibiarkan begitu saja. Coba Putri
bolak-balik sedikit saja hati Putri. Dari terpaksa menjadi sukarela, dari
merasa disuruh-suruh menjadi penerimaan, dari merasa tidak diperhatikan menjadi
diandalkan. Dengan begitu, kita akan lebih bersahabat dengan kehidupan.”
“Iya,
ya Bun. Putri baru nyadar, kalau selama ini Putri terlalu banyak mengeluh.
Harusnya Putri berfikir positif, bahwa apapun kejadian yang menimpa Putri, itu
bukan salah kejadiannya. Juga tidak bijak menyalahkan orang yang menybabkan
kejadian itu. Karena pada dasarnya, apapun peristiwa yang terjadi, mau baik
atau buruk, mau bahagia atau menyedihkan, tergantung bagaimana aku
menyikapinya. Bukan begitu Bunda?”
“Nah,
itu pinter anak Bunda. Makanya, Putri juga harus mengerjakan tugas-tugas dari
Bunda, tugas kuliahnya, tugas organisasinya dengan kesadaran, dengan suka rela,
bukan dengan keterpaksaan.”
“Iya
deh, Bunda. Nih aku mau tanya ya, Bun. Bagaimana caranya agar kita mengerjakan
sesuatu dengan suka rela, padahal kita sangat tidak suka dengan sesuatu itu?”
“Sebagai
manusia kadang kita sangat egois, lupa bahwa hidup ini bukan hanya tentang diri
kita. Tapi juga tentang orang lain. Lupa, bahwa kewajiban dan tanggungjawab
kita tidak selalu apa yang kita sukai. Bahkan, banyak kewajiban-kewajiban yang
tidak kita sukai. Itulah ujiannya, sayang. Itulah tantangannya. Sejatinya,
hidup itu adalah ujian. Dan tidak ada kesejatiaan sebelum ada ujian.”
“Dan
tidak ada kebaikan yang sia-sia kan, Bunda?”
“Iya,
bener. Selalu ada balasan untuk kebaikan, sebagaimana selalu ada hukuman untuk
sebuah kesalahan. Hanya saja, terkadang kita harus bersabar untuk menerima
balasan dari kebaikan itu. Karena bisa jadi, kita lebih membutuhkan balasan
dari kebaikan itu nanti, bukan sekarang. Makanya, Allah menyimpannya terlebih
dahulu.”
“Oke
deh, Bun. Insya Allah Putri akan kerjakan tugas propsal kehidupan itu dengan
sadar sesadar-sadarnya, dengan rela serela-relanya, dengan baik
sebaik-baiknya.”
“Nah,
itu baru anak bunda.”
“Oh
ya Bun, salah yang buat aku bingung dalam membuat proposal kehidupan, terkadang
aku memiliki pilihan-pilihan, bagaimana aku menentukan yang paling tepat?”
“Tidak
ada yang salah dalam suatu pilihan, Nak. Selama pilihan itu bermuara pada
kebaikan. Selama kita berusaha menjalankan konsekuensi dari pilihan itu
sebaik-baiknya, sesungguh-sungguhnya. Bahkan, kita bisa memilih dua pilihan
sekaligus, tidak hanya satu. Catatannya, pilihan itu harus sesuai dengan tujuan
hidup kita, dan kita yakin bisa menjalankan keduanya.”
“Bagaimana
jika di tengah jalan, kita merasa kurang cocok dengan pilihan yang kita ambil,
Bunda?”
“Terkadang
memang hanya ada satu jalan ntuk sampai pada sebuah tujuan yang kita inginkan
dalam hidup. Tapi tidak selalu, dengan memilih jalan itu, kita harus
meninggalkan jalan yang lain. Kita hanya harus siap untuk berjalan, berlari,
terjatuh, bahkan melompat.”
“Intinya,
kita harus fleksibel ya, Bunda.”
“Iya,
tapi bukan berarti meremehkan dan selalu berubah-ubah lho ya. Fleksibel itu
tetap teguh, tapi tidak kaku. Bijak dalam mengganti strategi, peka terhadap
kondisi dan kebutuhan.”
“Oke,
Bunda. Sementara itu dulu ya. Nanti kalau ada yang masih bingung lagi aku tanya
bunda. Sekarang, kayaknya aku butuh waktu buat menyendiri.”
“Oke,
kalau begitu bunda tinggal dulu ya.”
“Iya,
Makasih bunda sayang. Hush, hush...”
***
Aku
mengusir bunda dari kamarku dengan suara seperti mengusir ayam (tentu saja
bercanda, kayak enggak tahu aku sama bunda aja :D). Bunda hanya bisa tersenyum,
tentu saja setelah melempar bantal ke mukaku, lalu pergi meninggalkan kamarku.
Aku? Memang butuh menyendiri, tapi nagantuk banget. Tentunya, aku memilih
tidur. Nanti-nanti saja menyendirinya.
#diorama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar