Jumat, Januari 22, 2016

Kecerdasan

Kalian ada yang sedang dibingungkan oleh berbagai macam pilihan? Sekarang aku sedang mengalaminya. Membingungkan sekali. Sedang dibenturkan antara perasaan dan logika. Di satu sisi perasaan mengarahkan untuk mengambil yang ini. Di sisi lain logika tak menyepakatinya. Terkadang sebaliknya, sepakat dengan logika tapi perasaan tak kunjung tenang. Bagaimanalah ini jadinya, semoga bunda punya jawabannya.

***

“Tidak ada yang lebih jujur daripada hati nurani, Nak. Sedangkan logika tak selamanya benar.”

“Berarti Putri harus mengikuti perasaan Putri ya, bunda?”
“Tidak selalu, sayang. Perasaan berbeda dengan hati nurani. Tidak semua perasaan adalah nurani. Bahkan sebagain perasaan adalah jelmaan dari hawa nafsu. Sedangkan orang yang lebih banyak mengedepankan hawa nafsunya, akan tertutup hati nuraninya.”

“Terus jadinya gimana dong, bunda?”
“Sebelum mengikuti apa kata hati nurani kita, kita harus benar-benar jujur pada diri sendiri. Apakah itu benar dari hati yang sedalam-dalamnya, atau sekedar keinginan sesaat. Sekedar hawa nafsu yang memang masih belum benar-benar kita kendalikan.”


***

Beberapa tahun kemudian, aku baru bisa menangkap dengan utuh maksud bunda, ketika mengikuti salah satu seminar di kampus:

Otak kita, yang beratnya sekitar 1.5 kg terdiri dari 80% neocortex yang mengelola kecerdasan intelektual dan 20% lymbic system yang mengelola kecerdasan emosional dan spiritual. Uniknya, lymbic system memberikan peran 80% terhadap keberhasilan seseorang, sisanya yang 20% ditentukan oleh neocortex-nya. Kapasaitas neocortex seseorang adalah given, sesuatu yang benar-benar diberikan Tuhan dan tidak bisa berubah. Makanya, secara teori, IQ, indikator yang digunakan untuk mengukur kecerdasan intelektual seseorang cenderung bersifat konstan. Adilnya, untuk lymbic system, sangat bisa berubah. Masih bisa diusahakan untuk meningkat, bahkan adakalanya menurun. Sangat fluktuatif. Itulah kenapa persentasenya jauh lebih besar terhadap keberhasilan seseorang.

Kalau kecerdasan intelektual bisa membuat seseorang bekerja lebih mudah, maka kecerdasan emosional membuat seseorang hidup lebih nyaman dan bisa diterima oleh lingkungan. Sedangkan kecerdasan spiritual membuat seseorang mampu memaknai arti hidup dan kehidupan, memberikan kebahagiaan dan motivasi yang lebih kuat. Kecerdasan spiritual jugalah yang menentukan baik atau buruknya seseorang.  

Perasaan, hati nurani, dan sejenisnya masuk dalam naungan lymbic system. Berada pada tataran kecerdasan emosional dan spiritual. Sebangsa juga dengan kemampuan untuk mempengaruhi orang lain, kemampuan untuk bekerja sama, membuat orang lain merasa nyaman, kemampuan bersabar, bersyukur, bersosialisai, mengendalikan emosi, kepekaan, bertahan pada kondisinya yang berat, menyusaikan dengan kondisi dan yang lainnya. Semuanya ada di area lymbic system.

Itulah kenapa kita cenderung menyukai orang yang membuat kita nyaman, enak diajak bicara, punya perhatian yang cukup daripada sekedar pintar atau jago dalam bidangnya. Karena secara sadar ataupun tidak, orang-orang tersebut sedang menembak atau menyentuh sisi lymbic system kita. Teorinya, karena  lymbic system itu gudangnya emosi, dimana segala emosi tercipta disana, tentu saja jauh lebih mengena dan bertahan lebih lama daripada yang ditembak adalah neocortex­-nya. Itu juga yang menyebabkan kebanyakan kita cenderung lebih menyukai mata kuliah atau pelajaran yang diajar oleh dosen atau guru yang enak dan nyambung, ketimbang melihat esensi dari materinya.

Itu juga jawaban kenapa orang yang secara akademik biasa-biasa saja terkadang lebih berkembang dan lebih sukses daripada yang akademiknya bagus. Itu juga jawaban kenapa puluhan tahun belakangan ini, semenjak riset tentang otak itu ditemukan, perusahaan-perusahaan mempertimbangkan faktor kecerdasan emosional dan spiritual, melalui spiritual capital assesment, dinamika kelompok, teamwork test dan sejenisnya selain tes potensi akademik untuk menguji kemampuan intelektual calon pegawainya.

Kebetulan di keluargaku, bunda yang memiliki kecerdasan emosional yang paling oke. Ayah lebih dominan di kecerdasan intelektualnya. Kalau kecerdasan spiritual kayaknya mereka seimbang deh, bisa saling mendukung dan menutupi satu sama lain. Kalau anak-anaknya? Jangan ditanya, masih jauh banget soalnya. :)  

Kecerdasan mana yang lebih penting? Sedangkan di sekolah-sekolah dan universitas proporsinya cenderung lebih besar mengembangkan kecerdasan intelektual. Padahal kecerdasan intelektual hanya berpengaruh 20% dari kesuksesan seseorang.Tentu saja kecerdasan intelektual tetap penting, tapi kata rasulullah; “yang paling cerdas diantara kamu adalah yang mengingat mati.”

Kalau ngomongin tentang mati dan kematian, tentu saja hubungannya dengan kecerdasan spiritual.


***

“Bagaimana caranya mempertajam hati nurani, bunda?”

“Putri harus banyak berdekatan dengan yang menciptakan hati itu sendiri, dengan yang Maha membolak-balikkan hati, dengan Allah. Sering-sering berdiskusi dengan Allah, bertanya apa yang harus kita lakukan, bagaimana dengan ini, bagaimana kalau begini dan begitu. Dengan begitu semoga Allah selalu memberikan petunjuk, berada di belakang keputusan-keputusan dan tindakan kita, memberi jalan keluar dari arah yang tak diduga-duga. Percayalah, Nak. Tidak ada balasan dari kasih sayang Allah selain kebaikan dan kasih sayang yang jauh lebih besar lagi daripada apa yang telah kita lakukan.”

“Itu saja, bunda?”

“Tentu saja tidak, sayang. Itu yang utamanya. Tapi seharusnya dengan begitu kita bisa lebih mencintai antar sesama. Bukankah hanya mereka yang benar-benar mencintai Tuhannya yang bisa benar-benar mencintai antar sesama. Dan bukankah Ayah pernah cerita, siapa yang benar-benar mencintai Allah akan dicintai juga oleh sesama.”

“Makanya, kita harus membangun hubungan yang baik antar sesama. Saling tolong menolong, juga melakukan kebaikan yang sebanyak-banyaknya. Dengan begitu, kepekaan kita akan semakin meningkat. Dengan begitu juga petunjuk dan pertolongan Allah akan lebih cepat datang.”

“Putri, bantuin bunda nyiapin makan malam dulu yuk, nanti ceritanya kita sambung lagi.”
“Oke deh, Bunda.”

dan ayah punya cerita tersendiri tentang ini. Nanti deh, kita sambung lagi ceritanya. Selamat makan. Lho? :)

 ^_^

Kalian boleh sepakat boleh enggak ya; bagiku, tak ada hal paling menyakitkan di dunia ini selain dikecewakan. Apalagi, kalau yang mengecewakan adalah orang yang benar-benar kita harapkan. Apalagi, kalau yang bersangkutan adalah orang yang benar-benar kita andalkan. Apalagi, kalau yang bersangkutan adalah orang yang benar-benar kita percayai. Apalagi, kalau orang itu benar-benar sengaja banget buat mengecewakan kita. Apalagi, kalau yang bersangkutan harusnya tak pantas melakukan kesalahan seperti itu. Apalagi, kalau yang membuat kecewa itu enggak sadar kalau sedang mengecewakan orang lain, enggak sadar kalau dengan perbuatannya banyak banget mendzolimi orang lain. Huffh....

***

“Bisa jadi Putri benar, kalau tak ada hal paling menyakitkan di dunia ini selain dikecewakan. Sayangnya, sedikit yang menyadari bahwa kekecewaan itu perkara hati. Artinya, apapan jenis kekecewaannya; yang paling bersalah sekaligus dirugikan adalah pemilik hati yang merasa kecewa.”

“Kenapa bisa begitu, Bunda?”

“Lihat aja kondisi Putri sekarang; udah mukanya ditekuk gitu, bawaannya ngeluh melulu, hatinya juga pasti lagi kesel, pake nyalah-nyalahin orang lain segala, kerjaannya pada enggak beres, hidupnya jadi enggak tenang. Siapa yang rugi, coba? Enggak tahu deh orang yang mengecewakan itu sekarang lagi ngapain, mungkin jauh lebih tenang dan menikmati hidupnya daripada Putri.”

Idih, si bunda paling bisa deh nyindir aku. Aku cuma cengengesan, mengiyakan dalam hati perkataan bunda. Wajah bunda sudah bersahabat lagi, sudah berubah dari muka pura-pura galaknya.

“Berarti kita enggak boleh kecewa ya, Bunda?”

“Tentu saja boleh, sayang. Selama kita punya hati, selama itu juga kita punya hak untuk merasa kecewa. Catatannya, kekecewaan itu jangan sampai merusak diri sendiri. Merusak hati dengan berbagai prasangka dan kebencian, juga merusak hubungan antara orang yang mengecewakan dan dikecewakan. Cukuplah kekecewaan itu menjadi pembelajaran untuk kita. Pembelajaran untuk berusaha sekuat mungkin agar tidak mengecewakan yang lain, karena kita tahu bagaimana tidak enaknya dikecewakan. Pembelajaran tentang ketidaksempurnaan manusia, juga pembelajaran tentang sebuah penerimaan. Penerimaan terhadap segala kekurangan yang melekat pada manusia.”

“Biarlah kekecewaan itu menambah kesabaran kita, menguji seberapa kita menghormati dan menghargai kemanusiaan, serendah apapun manusia itu. Juga mengajarkan betapa tidak sederhananya sebuah kesalahan, apalagi proses maaf dan memaafkan. Biarkan kekecewaan itu memahamkan sebenar-benarnya arti ketulusan, untuk juga membantu memperbaiki kesalahan orang yang mengecewakan kita, agar yang bersangkutan tidak mengulanginya lagi, menjadi lebih baik, juga tidak mengecewakan yang lainnya.”

“Tapi itu susah banget tahu enggak sih, Bun?”

“Iya, bunda tahu. Sesuatu yang berhubungan dengan hati selalu saja rumit. Setidaknya kita harus membiasakan diri untuk berdamai dengan hati kita, berdamai dengan diri kita sendiri. Dengan begitu, kita bisa siap untuk berdamai dengan siapa saja. Dengan begitu, kita bisa lebih ringan untuk memaafkan orang lain. Dengan begitu kita bisa lebih bijaksana untuk menilai orang lain. Terkadang, kita suka sekali menilai dan meributkan kesalahan orang lain, tapi lupa untuk menilai dan meributkan kesalahan sendiri. Kita hanya mengingat keburukan orang lain, tapi melupakan kebaikan yang pernah mereka lakukan. Padahal seharusnya, yang harus kita ingat adalah keburukan kita dan kebaikan orang lain, bukan malah sebaliknya.”


***

Sudah pernah aku ceritakan sebelumnya bukan, kalau di keluargaku Bunda yang memiliki kecerdasan emosional yang paling tinggi. Orang yang kurang cerdas secara emosional, biasanya melupakan hal-hal yang rasional ketika emosinya tidak stabil. Misalkan, kalau kita lagi kesel atau kecewa ada yang bawaannya pengen marah melulu; ada yang lari dari kondisi; bahkan ada yang lari dari tugas dan tanggungjawab. Lupa kita masih punya banyak tugas harus diselesaikan, lupa kalau kita enggak nyelesain tugasnya bakalan banyak yang terdzolimi, lupa kalau sikap kita juga bisa merepotkan orang lain.

Kalau kalian sering mendengar ungkapan; dibalik laki-laki yang hebat selalu ada wanita yang hebat, menurutku yang dimaksud dengan wanita hebat itu adalah wanita dengan tingkat kecrerdasan emosional yang luar biasa. Soalnya, di sisi yang lain juga, banyak laki-laki yang hancur disebabkan oleh wanita yang tidak cerdas secara emosional; tidak tahu peran dan kedudukannya sebagai isteri; malah menuntut ini-itu yang tidak pada tempatnya. Mau lebih jelas lagi, yuk kita belajar dari beberapa bunda teladan sepanjang masa;

***

Aisyah bisa jadi memiliki kapasitas intelektual yang jauh lebih baik daripada Khadijah. Ah, bahkan katanya jika saja seluruh kecerdasan wanita dikumpulkan, kecerdasan Aisyah masih lebih tinggi. Tentu saja itu hanya perumpamaan untuk menggambarkan kecerdasan beliau. Toh sejarah mencatat dirinya sebagai orang ketiga terbanyak yang meriwayatkan hadis. Di usianya yang belia sudah hafal Al-Quran, dan forum keilmuannya merupakan yang tervaforit dikunjungi pasca kematian rasulullah.

Tetapi, bisa jadi kecerdasan emsosional Khadijah lah yang membuat posisinya tidak pernah tergantikan oleh Aisyah di hati rasulullah. Bahkan menjadikan Khadijah sebagai perempuan yang paling dicemburui Aisyah; padahal waktu itu Khadijah sudah meninggal.

Adalah Khadijah, perempuan paling setia pendukung rasulullah. Perempuan pertama yang mengimani ajaran rasulullah. Mendukung perjuangan rasul dengan segala harta dan jiwanya. Yang menenangkan rasul ketika mendapatkan wahyu, juga yang menenangkan  dan menghibur rasulullah ketika mendapat cacian dan hinaan. Cerita Khadijah dan rasulullah lebih banyak dipenuhi oleh episode-episode heroik, tentang perjuangan, pengorbanan, tentu saja setulus-tulusnya cinta.

Bukan berarti rasulullah tidak mengalami episode itu bersama Aisyah, hanya intensitas dan kondisinya saja yang berbeda. Bahkan beberapa episode sejarah, menunjukkan keunikan tersendiri dari pasangan Aisyah dan Rasulullah. Tapi sederhananya, potongan episode itu juga menunjukkan keunggulan kapasitas kecerdasan emosional Khadijah.

***

“Terus, Putri harus gimana dong sekarang?”
“Berdamai dengan diri sendiri, lalu berdamai dengan orang-orang yang mengecewakan Putri.”
“Berarti, Putri juga harus berdamai dengan bunda dong?”
“Hah?”

Aku tertawa melihat muka kaget bunda. Tentu saja aku bercanda. Dan langsung kabur sebelum bunda membalas dengan cubitan atau lemparan bantalnya.


#diorama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar