Sumpah ya, aku udah enggak tahu lagi deh mau ngomong apa. Udah
enggak ngerti juga harus gimana lagi. Seminggu terakhir, hidupku agak
berantakan. Banyak agenda yang bertabrakan. Ada tugas kuliah, kepanitiaan,
organisasi, ketemu ini, ketemu itu, harus kesini, harus kesitu. Dan yang paling
aku enggak suka; mau enggak mau harus ada tanggungjawab yang terlalaikan.
Enggak enak banget tahu rasanya, tapi apa mau dikata. Tak ada pilihan yang
lain. Untuk saat-saat seperti ini, aku bener-bener butuh nasihat bunda.
Sayangnya, karena kesibukan ini itu, minggu ini, aku tak sempat pulang.
Benar-benar menyebalkan. Terpaksa deh, forum perempuan dilakukan dengan jarak
jauh; via telepon.
***
“Assalamualaikum, Bunda?”
“Waalaikumsalam. Sudah makan, Nak? Gimana kabarnya?
Lagi ngapain sekarang?”
Selalu saja begitu. Pertanyaan yang hampir sama
setiap kali aku menelepon atau ditelepon bunda. Dan enggak berhenti sampai
disitu; makannya pakai apa? Kuliahnya gimana? Udah sholat? Tilawahnya sampai
dimana? Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Kalian tahu, ada orangtua yang suka
menganggap anaknya masih seperti anak kecil. Padahal sudah tak layak lagi
dibilang ABG. Untuk beberapa kondisi, bunda termasuk dalam golongan ini.
Sebaliknya, ada anak yang tidak suka diperlakukan seperti anak kecil, walaupun
kelakuannya kadang-kadang memang kayak anak kecil. Untuk beberapa kondisi, aku
juga termasuk dalam golongan ini. Tapi ketulusan bunda, selalu bisa
meminimalisirnya.
***
Setelah berbasa-basi, aku langsung masuk ke masalah
inti.
“Bunda, Putri lagi bingung nih. Lagi mumet banget.”
“Emang Putri lagi kenapa?”
“Itu lho bunda, banyak banget yang harus Putri
kerjain. Jadinya enggak fokus. Banyak hak dan tanggaungjawab yang terlalaikan.
Udah gitu, belakangan hasil kerjaan Putri enggak optimal. Yang penting selesai
deh pokoknya.”
“Makanya, Putri enggak usah ikut banyak-banyak
kegiatan. Secukupnya saja.”
“Enggak bisa Bunda, soalnya Putri dibutuhkan
banget.”
“Iya, Bunda ngerti. Sayangnya, hidup ini bukan
seperti lari marathon, Nak. Yang harus lari secepat-cepatnya dengan seluruh
kekuatan yang ada sekarang untuk mencapai finish. Hidup ini kayak lari estafet,
yang sambung menyambung antar masa. Masa lalu, masa sekarang dan yang akan
datang. Kalau kita lari secepat-cepatnya dengan segala kekuatan yang kita
miliki, kekuatan kita akan habis sebelum finish. Bisa jadi kita tidak akan
mencapai finish, walaupun mencapai finish, mungkin akan jauh tertinggal dengan
yang lain? Harusnya, kita bisa mengatur kekuatan; berapa yang harus kita
habiskan sekarang, berapa kekuatan yang harus kita salurkan dan investasikan
untuk masa depan.”
“Maksudnya, Bunda?”
“Coba deh, liat lagi kesibukan Putri sekarang. Bunda
lihat hampir sebagian besar sifatnya untuk sementara waktu. Untuk sekarang
saja. Masih sedikit yang diinvestasikan untuk masa depan. Kegiatan inilah,
kepanitiaan itulah, organisasi yang ini dan yang itu. Harusnya, Putri juga
sudah mulai menyiapkan kompetensi yang dibutuhkan setelah lulus, sudah nyiapin
mau kerja dimana, kursus bahasa ini bahasa itu untuk menunjangnya, ikut
pelatihan ini itu juga yang mendukung kehidupan Putri setelah lulus. Sehingga,
ketika lulus, Putri udah enggak bingung lagi. Udah siap menghadapi dunia nyata.
Dengan begitu, Putri bisa punya pelarian yang baik ketika lagi stress atau
bingung kayak sekarang. Pelariannya ya ke masa depan. Tidak berlarut-larut
dalam permasalahan yang itu-itu saja. Jadi punya motivasi lebih buat berusaha,
enggak gampang putus asa.”
“Gimana dong, Bunda. Putri cuma pengen bantuin yang
lain, pengen bermanfaat, pengen dapet pengalaman juga.”
“Aduh sayang, udah berapa kali bunda bilang, kalau
kita berusaha untuk membahagiakan semua orang, pada saat yang sama kita sedang
berencana untuk mendzolimi banyak orang. Putri harus tegas untuk memilah-milih
mana yang bisa Putri lakukan mana yang tidak bisa. Mana yang harus Putri
lakukan sekarang, mana yang tidak perlu dilakukan. Jangan sembarangan mengambil
tanggungjawab kalau Putri tidak bisa menjalankannya. Atau kalau dengan
tanggungjawab tersebut kita melalaikan tanggungjawab lain yang lebih penting.
Kasihan temen-temennya, kasihan juga organisasinya. Kalaupun kita harus
mengambil tanggungjawab itu karena tidak ada pilihan yang lain, kita harus terus
terang dengan kondisi kita. dibicarakan baik-baik jalan tengahnya seperti apa,
tidak perlu memaksakan. Sehingga tidak banyak yang terdzolimi.”
“Tapi enggak enak Bunda. Gimana gitu rasanya.”
“Tidak enak itu rasanya cuma sebentar kok, sayang.
Masa Putri mau mengorbankan masa depan yang lebih panjang hanya karena tidak
enak yang sebentar. Lagipula, belum tentu teman-temannya akan seperti itu,
siapa tahu mereka bisa memahami dan mengerti kondisi Putri. Lagipula, Putri itu
manusia biasa juga, enggak mungkin bisa melakukan semuanya. Apa yang Putri
lakukan sekarang, harus bermanfaat bukan hanya untuk sekarang, tapi juga untuk
masa depan. Terkadang, kita harus berani mengorbankan kemanfaatan saat ini,
untuk kemanfaatan masa depan yang lebih banyak dan lebih meluas.”
“Terus, enaknya Putri sekarang harus gimana dong
Bunda?”
“Coba Putri rapihin lagi prioritas hidupnya; list
lagi tanggungjawab-tanggungjawab Putri di setiap tempat. Selesaikan apa yang
bisa Putri selesaikan; yang tidak bisa minta bantuan ke temen-temennya. Jangan
lupa untuk menambahkan kegiatan-kegiatan investasi buat masa depannya. Lain
kali pikir-pikir dulu kalau mau menerima tanggungjawab yang baru.”
“Iya deh, Bunda. Eh, udah dulu ya, Bun. Putri mau
ada rapat nih, nanti disambung lagi ya. Makasih, Bunda. Assalamualaikum.”
***
Beberapa menit kemudian, ada sms masuk:
Putri jangan lupa makan dulu ya sebelum rapat. Tadi
katanya belum makan. Maaf kalau tadi bunda terlalu cerewet. Smoga anak bunda
selalu di sayang Allah.
Aku cuma nyengir, mengambil tas dan langsung
berangkat. Tidak sempat makan terlebih dulu.
#diorama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar