Salam kenal sebelumnya. Aku adik lelakinya Kak
Putri. Sebut saja Putra. Di keluarga kami memang selalu ada kata Putri untuk nama
perempuan dan selalu ada kata Putra untuk nama laki-laki. Biar aku tebak, pasti
kakakku itu selalu bilang kalau aku nakal, bandel dan sejenisnya kan? Itu
memang benar. Tapi pasti dia enggak pernah bilang kalau dia itu kadang cerewet,
kadang cengeng dan kadang menyebalkan kan?
Kalau Kak Putri
banyak bercerita tentang perasaan di forum perempuan bareng bunda, aku akan
banyak bercerita tentang logika di forum lelaki bareng ayah. Tentu masih ada
sentuhan rasanya. Kenapa aku tidak terlalu bermasalah dikatakan nakal dan
ringan hati untuk meyebut Kak Putri cengeng, inilah sekelumit sejarahnya:
***
“Bukan
lelaki namanya jika tidak nakal. Bukan perempuan namanya kalau tidak cengeng.
Tapi lelaki dan perempuan sejati harus bisa mengendalikan kenakalan dan
kecengengannya. Lelaki dan perempuan sejati adalah mereka yang saling memahami
dan menghormati fitrahnya.”
Itu kata ayah, dalam
suatu forum perdamaian antara aku dan Kak Putri, setelah kami adu mulut, saling
mencaci dan memaki sampai Kak Putri nangis (waktu itu kami masih sama-sama SMP).
“Kurang
mulia apa perempuan, jika surga ada di bawah kakinya. Dan kurang dihormati apa
perempuan jika panggilan dan perintah seorang ibu harus diutamakan daripada
Ayah.”
“Tapi kan Ka Putri
belum jadi ibu kayak bunda, Ayah.”
“Setidaknya
kakakmu itu akan jadi ibu kan, sedangkan kamu tidak akan pernah bisa menjadi
ibu.” Ka Putri tersenyum penuh kemenangan
“Tapi,
tenang saja, seoarang ibu yang baik akan selalu menghormati dan menghargai
suaminya kan? Dan Kakakmu itu enggak akan pernah bisa jadi seorang suami.” Giliran aku yang tertawa penuh kebanggaan.
***
Akhirnya, perdamaian
itu terjadi. Tapi hanya satu minggu. Setelah itu, tak terhitung lagi keributan
dan peperangan yang kami ciptakan. Tentunya, dengan berbagai konflik-konflik
baru. Tidak saling menghina perihal gender lagi. Lain kali aku akan ceritakan
edisi lengkap forum perdamaian dan hasil diskusi forum lelaki yang mengupas
tentang laki-laki dan perempuan. Sekarang, aku akan cerita terlebih dahulu
pengalaman berharga masa SMP, bolehlah dibilang salah satu kenakalanku.
***
Siang
itu aku pulang sekolah sedikit babak belur. Berantem dengan temen satu sekolah
yang malakin aku. Aku enggak terima dong, enak saja main palak-palakan. Aku
mempertahankan uangku dan mendapat pukulan. Sialnya, aku kalah dalam duel itu dan preman sekolah
itu juga mengambil uangku. Sepulangnya di rumah, ibu mengomeliku sambil
membersihkan luka-luka di tangan dan wajahku. Ibu bilang harusnya aku enggak
melawan, kasih saja uangnya hitung-hitung infak, daripada harus luka seperti
ini. Pakai ditambahin nasihat bijak bestari juga lagi, kalau tidak semua
kekerasan itu harus dibalas dengan kekerasan, kalau masih banyak cara selain
berkelahi, kalau harus bisa mengendalikan diri dan melatih kesabaran. Ya ampun,
bunda. Tahu enggak sih kalau aku lagi kesel banget, kalau aku malu karena
kalah, kalau harga diriku sebagai laki-laki menurun drastis. Dan tentu saja,
tak ada satu pun nasihat dan pernyataan bunda yang aku setujui. Melihat aku
yang hanya diam saja tanpa reaksi, Ayah yang waktu itu lagi cuti kerja karena
ada urusan keluarga, menghampiri aku dan mengusir bunda dengan lirikan
matanya.
***
“Masa,
lawan preman level sekolah saja kalah.” Ayah berkata pelan setelah pundaknya menyenggol pundakku,
lalu tersenyum.
Aku
kaget, aku kira ayah mau marah atau mau ceramah panjang lebar kayak bunda.
Tapi, ekspresi muka ayah bukan ekspresi marah. Tapi ekspresi penghargaan, sedikit cibiran dan
kekecewaan, karena aku kalah. Ibarat melihat pahlawan pembela kebenaran yang
kalah ditindas oleh musuh yang jahat. Dan ekspresi itu, langsung membangkitkan
semangatku untuk membalas, untuk menyusun strategi dan tentunya beralasan
kenapa kalah. Bukan laki-laki namanya, kalau tidak pandai untuk mencari alasan
(kalau perempuan cenderung untuk menerima dan diam bukan?). Maka seluruh detail
cerita dan alasan yang logis dan tidak logis itu meluncur begitu saja, karena
enggak siap lah, karena sedikit tegang baru pertama kali berantem lah, karena
lapar belum makan siang, karena masih ada rasa kasihan buat mukul lah, sampai
terlalu semangatnya aku peragain segala.
Dan
ketika memperagakan aksi berkelahi itulah, aku lihat si bunda yang (ternyata)
lagi nguping di belakang kami. Tentunya dengan ekspresi muka yang tidak sama
dengan ayah. Ekspresi gemes dan sebal mendengarkan aku dan ayah. Dan aku enggak peduli. Sementara ayah, malah tertawa
melihat ulahku, dan malah ngaco, sok tahu menasihati bagaimana caranya biar
enggak tegang di perkelahian pertama, biar tega mukulin lawan, cara menghindari
pukulan, sampai titik-titik terlemah seseorang. Pasti di belakang bunda makin
merah mukanya dengerin kata-kata ayah. Tapi setelah itu, ajaib, ayah
mengeluarkan kata-kata yang tidak akan pernah aku lupakan seumur hidupku:
“Nak,
kamu tahu apa salah satu perbedaan antara laki-laki bodoh dan laki-laki
pintar?”
“Nilai raport,
rangking kelas.” Jawabku sekenanya
“Iya,
tidak salah. Tapi maksud ayah bukan itu.” Ayah tersenyum sambil mengucek kepalaku
“Apa emang Ayah?”
“Lelaki
pintar selalu memberikan solusi, sedangkan lelaki bodoh selalu menjadi sumber
masalah. lelaki pintar tahu betul, kapan harus menggunakan akalnya, kapan harus
menggunakan ototnya. Kalau ayah jadi kamu, ayah akan laporkan preman itu kepada guru
atau polisi sekalian. Tentunya minta identitas ayah dirahasiakan. Dengan
begitu, kamu enggak akan diomelin sama bunda. Selain itu, tamat sudah riwayat
preman sekolah itu. Tidak ada lagi teman-teman kamu yang dipalak, juga akan
membuat teman-teman yang lain berpikir ulang untuk menjadi preman.”
***
Aku tidak terlalu
bodoh untuk tidak memahami kata-kata ayah waktu itu. Dan, cam kan ini
baik-baik, (terutama kalian kaum perempuan): Sebodoh-bodohnya laki-laki, selama
laki-laki itu masih normal, tidak akan ada yang mau dikatakan atau diperlakukan
seperti orang bodoh. Walaupun kebodohan itu adalah senyata-senyatanya
kenyataan. Perempuan mungkin juga sama, tidak mau diperlakukan dan dikatakan
sebagai orang bodoh. Biasanya, yang membedakan adalah penyebabnya. Laki-laki
lebih banyak disibukkan dengan harga diri dan sejenisnya, sementara perempuan
lebih banyak bermain-main dengan perasaan dan turunannya.
Maka daripada itu,
jangan coba-coba menjadi perempuan yang sok hebat dan sok tahu di hadapan
laki-laki, laki-laki tidak akan terima. Walaupun, perempuan itu benar-benar hebat
dan tahu. Hanya saja, (ini bisa dichek) laki-laki punya cara tersendiri untuk
mengungkapkan ketidakterimaannya. Ada yang langsung frontal, ada yang dibawa
kemana-mana dengan mengalihkan tema pembicaraan, atau menggunakan keahalian
lainnya untuk mencari alasan yang dibuat rumit, seneng banget memperpanjang
urusan dan memakai asumsi-asumsi, ada juga yang sok iya padahal hatinya
membantah, bahkan ada yang membolak-balikkan fakta. Ah, apapun itu, intinya
cuma satu: Tidak mau mengalah. Dan jangan kaget, ini pemikiran konyolnya,
memperjuangkan pendapat bagi laki-laki adalah memperjuangkan harga diri, maka
jikapun harus kalah dan menerima, laki-laki akan memilih untuk kalah secara
terhormat, tidak begitu saja.
Tentu saja tidak
semua laki-laki seperti itu. Itu kan normalnya. Dan yang namanya normal
biasanya mendominasi. Tenang saja, masih ada laki-laki yang kurang normal,
tidak normal dan laki-laki yang hebat. Bagaimana membuat agar laki-laki bisa
mengalah? Dan laki-laki bagaimana yang di luar normal itu? Ah, nanti saja aku
ceritakan di forum lelaki lainnya. Sekarang kita kembali ke urusan perkelahian
itu:
***
Kabar
baiknya, untuk perkara kebodohan tadi, aku masih termasuk dalam golongan lelaki
normal yang tidak mau dianggap bodoh. Maka semenjak itu, aku bertekad untuk
tidak berkelahi lagi, dan melakukan hal-hal yang lebih pintar seputar
perkelahian.
“Jadi aku termasuk
lelaki bodoh ya?”
“Ayah
enggak bilang begitu, dan Ayah tidak akan pernah mengatakan itu. Silahkan kamu
menyimpulkan sendiri.”
“Kenapa ayah enggak
langsung bilang kalau aku bodoh?”
“Enak
saja, kalau kamu bodoh berarti ayah lebih bodoh daripada kamu. Kalau kamu
bodoh, berarti ayah enggak bisa mendidik kamu. Kalau ayah bilang kamu bodoh,
berarti ayah sedang mendoakan kamu agar menjadi bodoh. Dan itu tidak akan Ayah
lakukan.” Ayah pura-pura galak
“Itu, ayah beberapa
kali bilang kamu bodoh ke aku.”
“Oh iya, ya” Kami
sama-sama tertawa.
“Nak,
inget-inget lagi kata-kata bunda tadi ya.” Ayah tersenyum dan pergi meinggalkannku seorang
diri.
Dan ajaibnya lagi, ketika aku inget lagi kata-kata
bunda, aku dengan sangat sadar mengiyakan dan membenarkan perkataan bunda
sebelumnya. Aku hanya bisa tersenyum malu. Dan kalian tahu siapa yang tersenyum
paling lega dalam hal-hal seperti ini? Ternyata bukan ayah, selalu saja
bunda.
#diorama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar