Selasa, Januari 19, 2016

Forum Lelaki 1

Salam kenal sebelumnya. Aku adik lelakinya Kak Putri. Sebut saja Putra. Di keluarga kami memang selalu ada kata Putri untuk nama perempuan dan selalu ada kata Putra untuk nama laki-laki. Biar aku tebak, pasti kakakku itu selalu bilang kalau aku nakal, bandel dan sejenisnya kan? Itu memang benar. Tapi pasti dia enggak pernah bilang kalau dia itu kadang cerewet, kadang cengeng dan kadang menyebalkan kan?

Kalau Kak Putri banyak bercerita tentang perasaan di forum perempuan bareng bunda, aku akan banyak bercerita tentang logika di forum lelaki bareng ayah. Tentu masih ada sentuhan rasanya. Kenapa aku tidak terlalu bermasalah dikatakan nakal dan ringan hati untuk meyebut Kak Putri cengeng, inilah sekelumit sejarahnya:

***

“Bukan lelaki namanya jika tidak nakal. Bukan perempuan namanya kalau tidak cengeng. Tapi lelaki dan perempuan sejati harus bisa mengendalikan kenakalan dan kecengengannya. Lelaki dan perempuan sejati adalah mereka yang saling memahami dan menghormati fitrahnya.”

Itu kata ayah, dalam suatu forum perdamaian antara aku dan Kak Putri, setelah kami adu mulut, saling mencaci dan memaki sampai Kak Putri nangis (waktu itu kami masih sama-sama SMP).

“Kurang mulia apa perempuan, jika surga ada di bawah kakinya. Dan kurang dihormati apa perempuan jika panggilan dan perintah seorang ibu harus diutamakan daripada Ayah.”

“Tapi kan Ka Putri belum jadi ibu kayak bunda, Ayah.”

“Setidaknya kakakmu itu akan jadi ibu kan, sedangkan kamu tidak akan pernah bisa menjadi ibu.” Ka Putri tersenyum penuh kemenangan

“Tapi, tenang saja, seoarang ibu yang baik akan selalu menghormati dan menghargai suaminya kan? Dan Kakakmu itu enggak akan pernah bisa jadi seorang suami.” Giliran aku yang tertawa penuh kebanggaan.

***

Akhirnya, perdamaian itu terjadi. Tapi hanya satu minggu. Setelah itu, tak terhitung lagi keributan dan peperangan yang kami ciptakan. Tentunya, dengan berbagai konflik-konflik baru. Tidak saling menghina perihal gender lagi. Lain kali aku akan ceritakan edisi lengkap forum perdamaian dan hasil diskusi forum lelaki yang mengupas tentang laki-laki dan perempuan. Sekarang, aku akan cerita terlebih dahulu pengalaman berharga masa SMP, bolehlah dibilang salah satu kenakalanku.

***

Siang itu aku pulang sekolah sedikit babak belur. Berantem dengan temen satu sekolah yang malakin aku. Aku enggak terima dong, enak saja main palak-palakan. Aku mempertahankan uangku dan mendapat pukulan. Sialnya, aku kalah dalam duel itu dan preman sekolah itu juga mengambil uangku. Sepulangnya di rumah, ibu mengomeliku sambil membersihkan luka-luka di tangan dan wajahku. Ibu bilang harusnya aku enggak melawan, kasih saja uangnya hitung-hitung infak, daripada harus luka seperti ini. Pakai ditambahin nasihat bijak bestari juga lagi, kalau tidak semua kekerasan itu harus dibalas dengan kekerasan, kalau masih banyak cara selain berkelahi, kalau harus bisa mengendalikan diri dan melatih kesabaran. Ya ampun, bunda. Tahu enggak sih kalau aku lagi kesel banget, kalau aku malu karena kalah, kalau harga diriku sebagai laki-laki menurun drastis. Dan tentu saja, tak ada satu pun nasihat dan pernyataan bunda yang aku setujui. Melihat aku yang hanya diam saja tanpa reaksi, Ayah yang waktu itu lagi cuti kerja karena ada urusan keluarga, menghampiri aku dan mengusir bunda dengan lirikan matanya. 

***

“Masa, lawan preman level sekolah saja kalah.”  Ayah berkata pelan setelah pundaknya menyenggol pundakku, lalu tersenyum.

Aku kaget, aku kira ayah mau marah atau mau ceramah panjang lebar kayak bunda. Tapi, ekspresi muka ayah bukan ekspresi marah. Tapi ekspresi penghargaan, sedikit cibiran dan kekecewaan, karena aku kalah. Ibarat melihat pahlawan pembela kebenaran yang kalah ditindas oleh musuh yang jahat. Dan ekspresi itu, langsung membangkitkan semangatku untuk membalas, untuk menyusun strategi dan tentunya beralasan kenapa kalah. Bukan laki-laki namanya, kalau tidak pandai untuk mencari alasan (kalau perempuan cenderung untuk menerima dan diam bukan?). Maka seluruh detail cerita dan alasan yang logis dan tidak logis itu meluncur begitu saja, karena enggak siap lah, karena sedikit tegang baru pertama kali berantem lah, karena lapar belum makan siang, karena masih ada rasa kasihan buat mukul lah, sampai terlalu semangatnya aku peragain segala.

Dan ketika memperagakan aksi berkelahi itulah, aku lihat si bunda yang (ternyata) lagi nguping di belakang kami. Tentunya dengan ekspresi muka yang tidak sama dengan ayah. Ekspresi gemes dan sebal mendengarkan aku dan ayah. Dan aku enggak peduli. Sementara ayah, malah tertawa melihat ulahku, dan malah ngaco, sok tahu menasihati bagaimana caranya biar enggak tegang di perkelahian pertama, biar tega mukulin lawan, cara menghindari pukulan, sampai titik-titik terlemah seseorang. Pasti di belakang bunda makin merah mukanya dengerin kata-kata ayah. Tapi setelah itu, ajaib, ayah mengeluarkan kata-kata yang tidak akan pernah aku lupakan seumur hidupku:

“Nak, kamu tahu apa salah satu perbedaan antara laki-laki bodoh dan laki-laki pintar?”
“Nilai raport, rangking kelas.” Jawabku sekenanya
“Iya, tidak salah. Tapi maksud ayah bukan itu.” Ayah tersenyum sambil mengucek kepalaku
“Apa emang Ayah?”
“Lelaki pintar selalu memberikan solusi, sedangkan lelaki bodoh selalu menjadi sumber masalah. lelaki pintar tahu betul, kapan harus menggunakan akalnya, kapan harus menggunakan ototnya. Kalau ayah jadi kamu, ayah akan laporkan preman itu kepada guru atau polisi sekalian. Tentunya minta identitas ayah dirahasiakan. Dengan begitu, kamu enggak akan diomelin sama bunda. Selain itu, tamat sudah riwayat preman sekolah itu. Tidak ada lagi teman-teman kamu yang dipalak, juga akan membuat teman-teman yang lain berpikir ulang untuk menjadi preman.”

*** 

Aku tidak terlalu bodoh untuk tidak memahami kata-kata ayah waktu itu. Dan, cam kan ini baik-baik, (terutama kalian kaum perempuan): Sebodoh-bodohnya laki-laki, selama laki-laki itu masih normal, tidak akan ada yang mau dikatakan atau diperlakukan seperti orang bodoh. Walaupun kebodohan itu adalah senyata-senyatanya kenyataan. Perempuan mungkin juga sama, tidak mau diperlakukan dan dikatakan sebagai orang bodoh. Biasanya, yang membedakan adalah penyebabnya. Laki-laki lebih banyak disibukkan dengan harga diri dan sejenisnya, sementara perempuan lebih banyak bermain-main dengan perasaan dan turunannya.

Maka daripada itu, jangan coba-coba menjadi perempuan yang sok hebat dan sok tahu di hadapan laki-laki, laki-laki tidak akan terima. Walaupun, perempuan itu benar-benar hebat dan tahu. Hanya saja, (ini bisa dichek) laki-laki punya cara tersendiri untuk mengungkapkan ketidakterimaannya. Ada yang langsung frontal, ada yang dibawa kemana-mana dengan mengalihkan tema pembicaraan, atau menggunakan keahalian lainnya untuk mencari alasan yang dibuat rumit, seneng banget memperpanjang urusan dan memakai asumsi-asumsi, ada juga yang sok iya padahal hatinya membantah, bahkan ada yang membolak-balikkan fakta. Ah, apapun itu, intinya cuma satu: Tidak mau mengalah. Dan jangan kaget, ini pemikiran konyolnya, memperjuangkan pendapat bagi laki-laki adalah memperjuangkan harga diri, maka jikapun harus kalah dan menerima, laki-laki akan memilih untuk kalah secara terhormat, tidak begitu saja.

Tentu saja tidak semua laki-laki seperti itu. Itu kan normalnya. Dan yang namanya normal biasanya mendominasi. Tenang saja, masih ada laki-laki yang kurang normal, tidak normal dan laki-laki yang hebat. Bagaimana membuat agar laki-laki bisa mengalah? Dan laki-laki bagaimana yang di luar normal itu? Ah, nanti saja aku ceritakan di forum lelaki lainnya. Sekarang kita kembali ke urusan perkelahian itu:

***

Kabar baiknya, untuk perkara kebodohan tadi, aku masih termasuk dalam golongan lelaki normal yang tidak mau dianggap bodoh. Maka semenjak itu, aku bertekad untuk tidak berkelahi lagi, dan melakukan hal-hal yang lebih pintar seputar perkelahian.

“Jadi aku termasuk lelaki bodoh ya?”
“Ayah enggak bilang begitu, dan Ayah tidak akan pernah mengatakan itu. Silahkan kamu menyimpulkan sendiri.”
“Kenapa ayah enggak langsung bilang kalau aku bodoh?”
“Enak saja, kalau kamu bodoh berarti ayah lebih bodoh daripada kamu. Kalau kamu bodoh, berarti ayah enggak bisa mendidik kamu. Kalau ayah bilang kamu bodoh, berarti ayah sedang mendoakan kamu agar menjadi bodoh. Dan itu tidak akan Ayah lakukan.” Ayah pura-pura galak
“Itu, ayah beberapa kali bilang kamu bodoh ke aku.”
“Oh iya, ya” Kami sama-sama tertawa.
“Nak, inget-inget lagi kata-kata bunda tadi ya.” Ayah tersenyum dan pergi meinggalkannku seorang diri.


Dan ajaibnya lagi, ketika aku inget lagi kata-kata bunda, aku dengan sangat sadar mengiyakan dan membenarkan perkataan bunda sebelumnya. Aku hanya bisa tersenyum malu. Dan kalian tahu siapa yang tersenyum paling lega dalam hal-hal seperti ini? Ternyata bukan ayah, selalu saja bunda. 


#diorama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar