Eh,
kenalan dulu ya, namaku Putri. Mahasiswi tingkat satu salah satu perguruan
tinggi. Enggak usah sebut merk kali ya, apa perguruan tingginya. Aku suka
banget sama hari sabtu. Selain karena itu hari libur, sabtu adalah hari dimana
aku bisa pulang ke rumah setelah berhari-hari menimba ilmu untuk masa depan
(gaya banget dah).
Dan dari semua rangkaian bersuka cita di rumah bersama
keluarga, yang paling aku sukai adalah bagian ‘ngelabil bareng bunda’
berdiskusi dan bercerita tentang apa saja sesama perempuan. Hanya kami berdua.
Seperti malam itu, aku sedang membawa misi rahasia:
“Bunda,
kenapa di dunia ini banyak lelaki yang lebih memilih perempuan yang cantik
wajahnya daripada yang baik perilakunya?”
“Mungkin, karena di dunia ini lebih banyak lelaki bodoh daripada
lelaki buta.”
“Maksudnya,
Bunda?”
“Bodoh karena gagal memahami bahwa kecantikan wajah hanyalah
sementara, akan renta dimakan usia. Bagaimana jika suatu ketika wajah itu
tertimpa musibah sehingga dipenuhi luka? Musnah sudah kecantikan itu bukan?
Atau bagaimana jika mata lelaki itu yang terkena musibah sampai tidak bisa
melihat? Percuma kan, mata itu tidak bisa menikmati kecantikan lagi. Sedangkan
kebaikan akan kekal sepanjang masa. Apalagi jika kebaikan itu terus dipelihara,
akan menghasilkan kebaikan yag lebih luas lagi. Bahkan sejatinya, kebaikan itu
masih bisa dinikmati dengan kondisi apapun, tak ada batas.”
“Kalau
lelaki buta maksudnya apa, Bunda?”
“Itu hanya gurauan, sayang. Bukankah lelaki buta yang sadar diri
seharusnya tidak menempatkan kriteria wajah cantik sebagai prioritas utama
pasangannya? Yang pertama karena dia buta, yang kedua kalaupun wajah
pasangannya cantik, akan sulit menikmati kecantikannya tanpa mata.”
“Tapi, bunda enggak bermaksud merendahkan orang buta ya. Ini
analogi saja. Bisa jadi, orang yang punya keterbatasan tidak bisa melihat jauh
lebih mulia daripada kita karena matanya selalu terjaga dari hal-hal yang
buruk, dari hal-hal yang kita tidak diperkenankan untuk melihatnya. Bukankah
banyak manusia yang terjerumus karena tidak bisa menjaga mata. Bunda sudah pernah
bilang kan, kalau kemuliaan itu tidak akan pernah tertukar. Kemuliaan bisa
menghampiri siapa saja yang berbuat baik, siapa saja yang menghargai dan tidak
merendahkan orang lain.”
“Iya,
Bunda. Aku inget dan ngerti kok tentang itu. Oh iya, dulu Ayah dan Bunda sempet pacaran, kan?
Karena saling cinta dan ingin saling mengenal lebih jauh kan? Bukan begitu
Bunda?
“Iya, Nak. Dulu, ayah dan bunda sempat berpacaran sekian
lamanya.”
“Cie, Bunda. Ehm, ehm..”
“Sayangnya, alasan utamanya bukan saling cinta.”
“Apa, Bunda? Apa? Apa?”
“Ih, kamu dengerin cerita Bunda dulu dong, sayang. Jangan main
potong begitu.”
“Oke, oke. Maaf. Terlalu penasaran Bunda.”
“Alasannya, waktu ayah dan bunda memutuskan untuk pacaran,
kami masih belum paham bahwa sejatinya yang dibutuhkan dalam berkeluarga
itu bukan saling mengenal tapi saling menerima. Itulah sebabnya, banyak orang
yang sudah lama berpacaran akhirnya bercerai juga setelah sekian tahun menikah.
Karena mereka baru sekedar saling mengenal, belum saling menerima. Padahal,
penerimaan itulah yang mendatangkan hikmah yang luar biasa. Sayangnya, bunda
baru memahami fakta ini setelah berbilang tahun menikah dengan ayah.
“Tapi,
bukankah melalui proses pacaran itu akan lebih mudah untuk saling menerima,
Bunda?”
“Sayangnya, tidak sesederhana itu Nak. Ketika pacaran
kecenderungan seseorang untuk berbohong lebih tinggi. Terutama berbohong pada
diri sendiri. Bunda iget banget, waktu berpacaran dengan ayah, bunda selalu
berusaha tampil sebaik-baiknya, tampil secantik-cantiknya demi dilihat ayah.
Mungkin ayah juga melakukan hal yang sama. Kami berusaha untuk menampilkan hal
yang baik-baiknya saja, dan mencoba menyembunyikan keburukan masing-masing.
Memang ketika bersama terasa bahagia, tapi tak lebih dari sesaat. Setelah itu, tanpa
sadar bunda kehilangan jati diri ketika bersama ayah.”
“Begitu
ya, Bunda?”
“Itu belum seberapa, Nak. Ternyata setelah menikah kami saling
terkaget-kaget melihat siapa diri kami sebenarnya. Setelah tahu sama tahu
keburukan masing-masing. Dan rasanya akan lebih sakit, akan lebih mengecewakan
jika kita tahu orang yang selama ini kita anggap baik ternyata punya keburukan
yang sangat tidak kita sukai. Bahkan, sampai sekarangpun ada keburukan ayah
yang bunda masih enggak suka, begitu juga sebaliknya. Banyak keburukan bunda
yang ayah enggak suka. Bahkan sekarangpun, kita masih tetap belajar untuk
saling menerima, berusaha untuk menerima dengan lebih tulus lagi. Dengan lebih
sabar lagi.
“Berarti
intinya, pacarannya ayah bunda enggak ada manfaatnya dong?”
“Ada, Nak. Selalu ada manfaat untuk setiap peristiwa yang kita
dalami hikmahnya. Seburuk dan sepahit apapun peristiwa itu. Minimal, malam ini
Bunda bisa bercerita kepada Putri, dan bisa mengetahui fakta-fakta yang tadi
panjang lebar tadi bunda ceritain. Manfaat yang lain, sebenarnya bisa
didapatkan tanpa pacaran sekalipun.”
“Oh
ya Bunda, kata anak rohis di kampus, pacaran itu enggak boleh, dosa karena
mendekati zina. Itu bener enggak sih, Bunda?”
Aduh, maaf banget ya, ceritanya harus terpotong.
Soalnya aku harus segera pergi untuk memenuhi janji. Dan kata bunda; seberat
apapun, janji harus tetap ditunaikan. Sebenarnya, pertanyaan-pertanyaan di atas
hanyalah pertanyaan pembuka. Sudah aku bilang sebelumnya kan, malam itu aku
punya misi rahasia. Nanti di lain kesempatan aku akan ceritakan bagaimana
kelanjutan kuliah bunda tentang cinta di atas, juga bagaimana nasib misi
rahasiaku itu. Aku pergi dulu ya.
#diorama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar