Jumat, Januari 22, 2016

Kisah

Sebelumnya, aku hendak berceloteh tentang sebuah kisah. Ini bukan kisahku, tapi bisa jadi kisah salah seorang diantaramu. Atau mungkin kisah dari kerabat dekatmu. Sudahlah, tak usah mempedulikan siapa yang mengalami kisah ini, bukankah inti dari sebuah kisah adalah hikmah.

Maka, kehebatan sebuah kisah (menurutku) terletak dari seberapa dalam hikmah yang terkandung di dalamnya. Sedangkan, seberapa dalam hikmah yang bisa digali dari sebuah kisah, sangat tergantung dari pemahaman dan pengalaman yang membentuk penyimaknya. Bisa jadi, kisah yang sama, memberikan hikmah yang berbeda antar orang perorang. Sedangkan perihal siapa yang mengalami kisahnya, (apalagi) yang menceritakan kisahnya, itu nomor kesekian.


Syahdan, ada seorang gadis yang sedang patah hati. Berbilang minggu hidupnya jadi berantakan. Mengingat, merasa dan menyesal. Begitulah siklus hati dan logikanya. Sampai yang bersangkutan terjebak pada perenungan yang cukup dalam, dan berbicara dengan rasa yang bernama cinta. Ini kutipan dari pembicaraannya.

Kau tahu Cinta, aku tidak begitu sepakat jika warnamu merah muda. Juga tidak terlalu percaya jika rasamu selalu bahagia. Aku tahu kau jauh lebih hebat dan lebih suci daripada itu. Kau bisa menampung segala rasa, kau juga bisa beradaptasi dengan segala warna.

Cinta, pernah suatu ketika aku berpikir ada saatnya kau tak perlu ada. Pikiran itu bermula dari efek yang datang setelah seseorang merasakanmu. Gelisah tak jelas, berfikir tak produktif, sangat mengganggu. Belakangan, aku sadar bahwa itu bukan ulahmu. Karena sejatinya, engkau begitu suci. Hanya saja, perilaku manusia yang tak mengerti kesucianmu, yang tak tahu apa-apa tentang keagunganmu, yang tak paham bagaimana harus menyikapimu, membuatmu sedikit tercemar. Sejak tahu itu aku jadi lebih menghormatimu.

Cinta, semua orang mengharapkanmu, menginginkanmu. Tapi tak semua orang bisa memahamimu. Tak semua orang tahu bahwa bentukmu tak hanya satu. Terlebih lagi, tak semua orang tahu bagaimana cara merasakanmu. Padahal sejatinya, kamu hanya akan benar-benar dirasakan sebagai cinta, dengan penempatan hati yang tepat dan proporsional; dengan keinsyafan terhadap maksud penciptaanmu, juga ketaatan terhadap penciptamu. Bukan begitu, Cinta?

Cinta, aku hanya ingin memahamimu dengan sederhana; dengan keadilan antara rasa dan logika. Agar mereka tidak saling mendominasi, apalagi saling mengeliminasi. Gpp ya Cinta, kalau mereka selalu mendampingimu. Karena manusia akan benar-benar menjadi manusia seutuhnya, jika mereka bisa menggunakan hati dan akalnya dengan baik. Termasuk, ketika manusia berhadapan denganmu.

Cinta, di luar sedang gerimis. Setelah siang tadi panas memekat. Gelagatnya, sebentar lagi rinainya juga semakin menderas. Cepat sekali berubah ya, seperti hati. Semoga pemahaman agama yang baik selalu mengiringi pemahaman manusia tentangmu ya. Agar bisa merasakanmu dengan lurus, tidak seperti turunnya hujan yang didiagonalkan angin. Agar bisa abadi, tidak seperti panas, gerimis, dan hujan yang saling berganti.  

Sebelum kuakhiri kisah ini, perlu kuingatkan kembali bahwa suatu kisah bisa jadi benar-benar terjadi, tapi tak sedikit juga yang sebenarnya tak pernah terjadi. Seperti kisah-kisah yang pernah dituturkan para tetua kita. Masih ingat, tentang kisah jangan duduk atau berdiri di dekat pintu karena nanti susah dapat jodoh. Atau kisah seorang gadis yang menyapu harus bersih agar tidak dapat suami yang berewokan. Ada juga kisah yang dibuat untuk mengusir nyamuk atau sekedar mengusir kantuk. Semuanya dibuat-buat untuk mempermudah mengambil hikmah. Dan jujur kisah ini satu aliran dengan jenis kisah yang seperti itu. Mana ada manusia yang bisa berbicara dengan makhluk selain manusia. Kecuali orang-orang tertentu. Sayangnya, tokoh dalam kisah ini tak termasuk dalam golongan itu.


#diorama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar