Sebelumnya,
aku hendak berceloteh tentang sebuah kisah. Ini bukan kisahku, tapi bisa jadi kisah salah seorang
diantaramu. Atau mungkin kisah dari kerabat dekatmu. Sudahlah, tak usah
mempedulikan siapa yang mengalami kisah ini, bukankah inti dari sebuah kisah
adalah hikmah.
Maka,
kehebatan sebuah kisah (menurutku) terletak dari seberapa dalam hikmah yang
terkandung di dalamnya. Sedangkan, seberapa dalam hikmah yang bisa digali dari
sebuah kisah, sangat tergantung dari pemahaman dan pengalaman yang membentuk
penyimaknya. Bisa jadi, kisah yang sama, memberikan hikmah yang berbeda antar
orang perorang. Sedangkan perihal siapa yang mengalami kisahnya, (apalagi) yang
menceritakan kisahnya, itu nomor kesekian.
Syahdan,
ada seorang gadis yang sedang patah hati. Berbilang minggu hidupnya jadi
berantakan. Mengingat, merasa dan menyesal. Begitulah siklus hati dan
logikanya. Sampai yang bersangkutan terjebak pada perenungan yang cukup dalam,
dan berbicara dengan rasa yang bernama cinta. Ini kutipan dari pembicaraannya.
Kau
tahu Cinta, aku tidak begitu sepakat jika warnamu merah muda. Juga tidak
terlalu percaya jika rasamu selalu bahagia. Aku tahu kau jauh lebih hebat dan
lebih suci daripada itu. Kau bisa menampung segala rasa, kau juga bisa
beradaptasi dengan segala warna.
Cinta,
pernah suatu ketika aku berpikir ada saatnya kau tak perlu ada. Pikiran itu
bermula dari efek yang datang setelah seseorang merasakanmu. Gelisah tak jelas,
berfikir tak produktif, sangat mengganggu. Belakangan, aku sadar bahwa itu
bukan ulahmu. Karena sejatinya, engkau begitu suci. Hanya saja, perilaku
manusia yang tak mengerti kesucianmu, yang tak tahu apa-apa tentang
keagunganmu, yang tak paham bagaimana harus menyikapimu, membuatmu sedikit
tercemar. Sejak tahu itu aku jadi lebih menghormatimu.
Cinta,
semua orang mengharapkanmu, menginginkanmu. Tapi tak semua orang bisa
memahamimu. Tak semua orang tahu bahwa bentukmu tak hanya satu. Terlebih lagi,
tak semua orang tahu bagaimana cara merasakanmu. Padahal sejatinya, kamu hanya akan
benar-benar dirasakan sebagai cinta, dengan penempatan hati yang tepat dan
proporsional; dengan keinsyafan terhadap maksud penciptaanmu, juga ketaatan
terhadap penciptamu. Bukan begitu, Cinta?
Cinta,
aku hanya ingin memahamimu dengan sederhana; dengan keadilan antara rasa dan
logika. Agar mereka tidak saling mendominasi, apalagi saling mengeliminasi. Gpp
ya Cinta, kalau mereka selalu mendampingimu. Karena manusia akan benar-benar
menjadi manusia seutuhnya, jika mereka bisa menggunakan hati dan akalnya dengan
baik. Termasuk, ketika manusia berhadapan denganmu.
Cinta,
di luar sedang gerimis. Setelah siang tadi panas memekat. Gelagatnya, sebentar
lagi rinainya juga semakin menderas. Cepat sekali berubah ya, seperti hati.
Semoga pemahaman agama yang baik selalu mengiringi pemahaman manusia tentangmu
ya. Agar bisa merasakanmu dengan lurus, tidak seperti turunnya hujan yang
didiagonalkan angin. Agar bisa abadi, tidak seperti panas, gerimis, dan hujan
yang saling berganti.
Sebelum
kuakhiri kisah ini, perlu kuingatkan kembali bahwa suatu kisah bisa jadi
benar-benar terjadi, tapi tak sedikit juga yang sebenarnya tak pernah terjadi.
Seperti kisah-kisah yang pernah dituturkan para tetua kita. Masih ingat,
tentang kisah jangan duduk atau berdiri di dekat pintu karena nanti susah dapat
jodoh. Atau kisah seorang gadis yang menyapu harus bersih agar tidak dapat
suami yang berewokan. Ada juga kisah yang dibuat untuk mengusir nyamuk atau
sekedar mengusir kantuk. Semuanya dibuat-buat untuk mempermudah mengambil hikmah.
Dan jujur kisah ini satu aliran dengan jenis kisah yang seperti itu. Mana ada
manusia yang bisa berbicara dengan makhluk selain manusia. Kecuali orang-orang
tertentu. Sayangnya, tokoh dalam kisah ini tak termasuk dalam golongan itu.
#diorama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar