“Nak, kamu boleh punya banyak keinginan, punya banyak rencana.
Tapi jangan lupa, tidak semua keinginan dan rencana yang kamu miliki bisa
dieksekusi di waktu yang sama. Kadang kita harus bijak memilah-milih, mana yang
lebih dulu harus kita eksekusi. Bahkan, kadang kita dituntut dewasa untuk
mengorbankan keinginan yang satu untuk keinginan yang lainnya.”
“Tapi kalau bener-bener ingin semuanya, gimana dong
Bunda? Semuanya penting.”
“Iya, sayangnya tidak semua keinginan kita harus
dituruti. Karena bisa jadi sebagian keinginan kita hanyalah nafsu. Tidak akan
pernah habis jika kita menuruti semua yang kita inginkan. Tapi jika memang ada
yang bener-bener kita inginkan, sebanyak apapun itu, selama itu baik, catat
saja keinginan terlebih dahulu. Prioritaskan sesuai waktu, kebutuhan, dan
kemampuan. Mungkin saja, suatu hari kita punya kesempatan dan kekuatan untuk
mewujudkannya. Mungkin saja keinginan-keinginan tersebut yang membuat hidup kita
lebih bermakna juga lebih bersemangat.”
“Tapi kalau keinginan-keinginan itu tidak segera
terwujud, kurang asyik bunda. Tertinggal sama teman-teman yang lain.”
“Putri, kamu tahu kenapa dalam mencapai suatu tujuan tertentu,
terlambat selalu lebih baik daripada tidak sama sekali?”
“Kenapa emang Bun?”
“Karena sejatinya, hidup ini adalah perjalanan.
Sedangkan hal terpenting dari sebuah perjalanan adalah memulainya. Kita tidak
akan pernah sampai pada sebuah tujuan kalau kita tidak pernah berani untuk memulainya.
Walaupun kita punya bekal yang sangat banyak. Sedangkan terlambat hanyalah
masalah waktu. Mungkin mengganggu, tapi tak seharusnya menghambat. Tujuan
adalah tujuan, yang berhasil manakala kita bisa sampai padanya. Tak selalu yang
tercepat yang lebih baik. Kadang ketepatan jauh lebih baik dari sekedear
kecepatan.”
***
Itu nasihat bunda ketika aku konsultasi tentang
proposal kehidupan yang buatku, bingungnya naudzubillah itu. Aku dibingungkan
pada banyak pilihan, pengen lulus cepet, pengen aktif organisasi juga, pengen
exchange ke luar negeri, punya beberapa rencana membangun bisnis dengan
teman-teman, rencana berkeluarga dan masih banyak rencana-rencana yang lainnya.
Bunda hanya tersenyum mendengarnya. Tentu saja, ini bukan senyum malu bunda ketika
berantem sama ayah dan menyadari kesalahannya.
Senyum itu adalah senyum penghargaan. Penghargaan
atas kepolosanku, atas ketidaktahuanku, atau atas kesalahan yang tidak aku
sadari. Senyum yang sama ketika aku mulai belajar memasak dan rasanya berantakan,
ketika menyapu lantai sembarangan tidak sampai bersih, atau ketika aku
dijahilin sama adik lelakiku yang nakal itu.
Maka seperti biasa, setelah senyum itu akan banyak
penjelasan bunda yang membuat aku cengengesan sendiri, menyadari banyak hal
yang harus diperbaiki:
***
“Emang sebenarnya, tujuan hidup Putri apa sih?”
“Nah itu dia Bun, Putri masih bingung sebenarnya.”
“Mungkin, Putri harus memulai dari menjawab
pertanyaan itu dulu. Baru lebih mudah untuk menentukan pilihan. Betapa
banyak orang yang sibuk ke sana kemari, repot ini-itu tapi tak pernah sampai
pada tujuan. Karena lupa menetapkan tujuannya apa. Akhirnya, kesibukan itu
tidak kunjung membuatnya bahagaia, tak kunjung membuatnya berhasil. Padahal
salah satu seni hidup hidup adalah menyimpulkan dan memutuskan. Menyimpulkan
dari kondisi yang ada, dari kemampuan yang dipunya, dari tujuan dan keinginan
yang sebenar-benarnya, lalu memutuskan untuk mendapatkannya.”
“Berarti enggak boleh rakus ya, Bunda. Termasuk
dalam menentukan tujuan. Harus fokus ya?”
“Iya, itu tahu. Tapi fokus tidak selalu satu ya.
Fokus adalah mengerjakan apa yang harus dikerjakan dengan baik, benar dan
tuntas. Mengenai jumlah pekerjaannya, disesuaikan dengan kemampuan
masing-masing.”
“Iya ya, Bun. Kan enggak ada manusia yang sempurna.”
“Memang benar, tidak ada manusia yang sempurna yang
bisa melakukan semua hal dan mengatasi segala masalah. Kita punya banyak
keterbatasan. Tapi dalam keterbatasan itu, kita diharuskan untuk berusaha juga
untuk tidak menyerah. Kalaupun hasilnya masih belum sesuai dengan harapan, kamu
harus memahami hakikat hidup yang satu ini...”
“Apa itu Bunda?”
“Tak ada yang lebih bahagia daripada mereka yang
menerima bahwa apapun peristiwa yang menimpa mereka, semanis dan sepahit apapun
itu adalah yang terbaik untuk mereka. Banyak yang mengetahui perkara sederhana
ini, tapi sedikit yang menerimanya.”
“Walaupun itu menyakitkan, Bunda?”
“Nak, menyakitkan atau membahagiakan hanyalah
tentang rasa. Sedangkan rasa adalah ciptaan hati seseorang. Sebenarnya bukan suatu
peristiwa atau keadaan yang membuat seseorang bahagia atau sedih. Tapi
bagaimana hati seseorang tersebut memilih untuk menyikapinya.”
“Tapi itu kan manusiawi bunda. Kalau kita berhasil ya bahagia,
kalau kita gagal ya sedih. Ada persitiwa-peristiwa yang membuat bahagia, ada
peristiwa-peristiwa yang membuat sedih.”
“Iya, Putri bener. Memang manusiawi. Sudah fitrahnya
memang seperti itu. Tapi, kita tetap punya pilihan untuk tidak tenggelam dalam
kesedihan kan, kita punya pilihan untuk mencoba lagi setelah gagal, kita punya
pilihan untuk tidak larut dalam suatu perasaan.”
“Berarti harus proporsional ya, Bunda?”
“Iya, intinya perasaan apapun yang dipilih oleh hati
kita, harusnya bisa membuat kita menjadi manusia yang lebih baik.”
“Oke deh Bunda, makasih banget ya buat
penjelasannya.”
“Iya, sayang. Apa sih yang enggak buat Putri.”
“Hah, Bunda gombal..”
***
Dan malam itu, ternyata bunda enggak gombal. Setia
betul menemani aku sampai tengah malam menyelesaikan proposal kehidupan itu.
Kebetulan ayah lagi ke luar kota. Ah, lagipula tidak ada orangtua yang
bergombal ria dalam menyayangi anaknya. Mereka selalu bisa membuktikan kasih
sayang itu. Tidak seperti anak yang kadang lupa membuktikan baktinya. Dan sst,
ini rahasia, kamu boleh percaya atau tidak, bukti kasih sayang itu lebih banyak
yang tidak diketahui oleh anaknya.
#diorama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar