Bunda
dilanda bingung. Untuk kesekian kalinya, ia dibingungkan oleh keinginan
anaknya. Bukan tak mau, ibu mana yang tak ingin membahagiakan anaknya. Ibu mana
yang tak mau mengabulkan keinginan anaknya, selama itu baik dan mampu. Walaupun
dulu Bunda punya kesalahan besar terlalu memanjakan anak sulungnya. Akhirnya si
sulung tidak bisa mandiri, terlalu lemah untuk menyelesaikan masalah-masalahnya
sendiri.
Untuk
si bungsu, bunda tak ingin mengulanginya. Pernah suatu ketika bunda pura-pura
meninggalkan si bungsu di tempat wisata, karena si bungsu terlalu bandel dan
tidak mau mendengar nasihatnya untuk menggandeng tangannya agar tidak hilang di
keramaian. Akhirnya si bungsu menangis tak karuan, ketika sadar bunda sudah tak
ada di sampingnya. Sedangkan dari suatu sudut, satu jam lamanya bunda mengamati
si bungsu dengan sangat khawatir. Tak tega. Tapi tetap dibiarkan putri
bungsunya menangis dalam ketakutan. Sampai ada petugas yang mengumumkan anak
hilang. Semenjak itu si bungsu lebih menurut dengan Bunda.
Suatu ketika lagi, bunda meminta si bungsu untuk berjalan
di atas papan kecil. Di bawah papan itu ada lubang yang cukup dalam
bagi anak-anak. Si bungsu ketakutan. Beberapa kali terjatuh dan menangis, tapi
bunda tetap meminta si bungsu mencoba sampai berhasil. Ketika berhasil kedua
ibu anak itu sama-sama bahagia, bunda bertepuk tangan dan memeluk si bungsu.
Semenjak itu juga si bungsu jadi jauh lebih berani.
Pernah juga si bungsu meminta dibelikan boneka yang
sangat besar. Bunda tidak mengabulkannya. Bukan karena tak sanggup membelikannya. Bunda sedang mengajarkan
kepada si bungsu kalau keinginan tak selamanya harus dituruti, dan ingin
mengajarkan bagaimana menyikapi kesedihan. Sayangnya, kali ini bunda gagal. Ia
luluh juga dengan permintaan si bungsu, setelah anaknya tak mau makan dan tak
keluar kamar seharian. Tapi bunda tak kehabisan akal untuk mendidik anaknya,
sebelum boneka itu diberikan kepada si bungsu, bunda memberi syarat si bungsu
hanya boleh bermain dengan boneka setelah belajar, semenjak itu si bungsu juga
lebih rajin belajar.
Tapi akibat buruknya, si bungsu jadi agak manja. Kalau minta
sesuatu dan tak dipenuhi, kebiasaannya kumat untuk mengurung diri di kamar,
tanpa makan. Lagi-lagi bunda tak kehilangan akal. Bunda tetap tidak mengabulkan
keinginan si bungsu. Walaupun si bungsu sudah menangis, tak mau makan dan
mengurung diri seharian. Sementara di kamarnya bunda sangat gelisah dan
khawatir dengan kondisi anaknya, sampai ikut sedih dan menangis. Hampir saja
bunda luluh lagi, jika saja ayah tidak meyakinkan bunda kalau anaknya tidak
akan meninggal dengan tak makan seharian. Tengah malam, bunda terbangun,
mendengar suara berisik dari dapur. Setelah dilihat, bunda bahagia sekali,
melihat si bungsu sedang makan di dapur. Bunda membiarkan si bungsu sendiri,
dan kembali ke kamarnya. Paginya, bunda memasuki kamr si bungsu yang sudah tak
terkunci lagi, dan tak tahu siapa yang memulai, ibu anak itu saling berpelukan,
saling meminta maaf, dan berbicara dari hati ke hati tentang keinginan si
bungsu, tentang keberatan bunda. Semenjak itu, mereka sering diskusi tentang
keinginan dan harapan masing-masing. Ah, bunda ingin mengajarkan kedewasaan,
tapi bukan hanya kedewasaan yang tesampaikan, lengkap satu paket dengan
keterbukaan dan demokrasi dalam keluarga.
Salah
satu hobi Bunda adalah mendaftarkan si bungsu pada kompetesi yang menurut bunda
sesuai dengan bakat anaknya itu. Tujuan utamanya bukan prestasi, walaupun bunda
akan menjadi orang yang paling berbahagia jika anaknya menjuari suatu
kompetesi, entah itu menggambar, pidato, atau lomba baca tulis al-qur`an. Bunda
ingin mengajarkan si bungsu bagaimana caranya memaknai kegagalan. Awalnya si
bungsu akan sangat kesal dan kecewa jika gagal dalam suatu lomba, pernah juga
sesekali menangis, bunda akan tersenyum dan menghibur, sambil mengevaluasi,
meminta anaknya bekerja lebih keras, dan mengajarkan bagaimana bersikap ketika
menang dan kalah. Dalam lomba menggambar yang kesekian kalinya, si bungsu gagal
lagi. Tapi kali ini tak seperti biasanya, putrinya tidak megajaknya untuk
langsung pulang. Tiba-tiba si bungsu berlari menuju para pemenang, bersalaman
da mengucapkan selamat. Bunda terharu melihatnya. Semenjak itu, bunda
jarang melihat anaknya mengeluh ketika gagal.
Tapi untuk kali ini, bunda benar-benar bingung bagaimana
menyikapi putri bungsunya itu;
“Bunda, aku ingin merayu setan.”
“Hah, apa Nak?”
“Aku ingin merayu setan, bunda harus membantu ya.”
^_^
Tapi untuk kali ini, bunda benar-benar bingung
bagaimana menyikapi putri bungsunya itu;
“Bunda,
aku ingin merayu setan.”
“Hah, apa Nak?”
“Aku ingin merayu setan, bunda harus membantu ya.”
“Kenapa?”
“Bunda, kata pak ustadz setan itu jahat, suka
menjerumuskan manusia. Pokoknya enggak ada baik-baiknya deh.”
“Iya, kalo itu Bunda tahu.”
“Nah, makanya aku ingin merayu setan Bunda. Biar dia enggak
jahat lagi. Biar jadi baik. Biar dia enggak menjerumuskan manusia lagi, Bunda.”
“Emang bisa, Nak?”
“Kan selama ini aku jago merayu Bunda sama Ayah, masa enggak
bisa merayu setan sih.”
“Caranya gimana, Nak?.”
“Caranya biar aku yang urus Bunda, tugas bunda cukup mengantar
dan mempertemukan aku dengan setan.”
“Lho, kok gitu?.”
“Aduh, maaf, aku nggak sopan ya nyuruh-nyuruh Bunda. Aku ganti
deh kata-katanya. Bunda sayang, tolong bantuin aku buat ketemu setan, ya? Mau
kan? Mau ya, Bun? Tolong ya Bunda.”
“Bukan begitu, Nak. Tapi kita enggak mungkin ketemu setan.”
“Kenapa enggak mungkin, Bunda?”
“Karena, manusia dan setan itu hidup di alam yang berbeda, Nak.”
“Maksudnya, Bun?”
“Gimana, ya. Nak, kamu percaya enggak sama Allah?”
“Percaya dong Bunda, kata Pak ustadz kalo kita enggak percaya
berarti kita orang kafir.”
“Nah, percaya juga kan kalo Allah yang menciptakan manusia,
hewan, tumbuhan, malaikat, juga setan.”
“Iya, percaya.”
“Kamu pernah lihat malaikat atau setan, Nak?”
“Belum. Bun. Makanya minta dianterin bunda untuk ketemu setan.”
“Bunda juga belum pernah melihatnya, Nak. Karena kita ada di
alam nyata, sedangkan setan ada di alam ghoib.”
“Oh, gitu ya, Bun. Tapi kalau kita enggak pernah lihat setan, malaikat,
atau Allah. Bagaimana kita percaya kalau mereka ada?”
“Hmm... Nak, kamu tahu angin?”
“Tahu..”
“Kamu percaya kalau angin itu ada?”
“Percaya... angin itu kan sejuk Bunda.”
“Kenapa percaya? Emang kamu pernah liat angin?”
“Belum, Bun. Oh iya, ya. Enggak semua yang ada harus bisa
dilihat ya Bun?”
“Nah, itu tahu.”
“Berarti, aku enggak bisa merayu setan dong, Bun?”
“Kamu memang enggak bisa merayu setan, Nak. Tapi kan kamu bisa
merayu manusia.”
“Maksudnya, Bun?”
“Nak, masalah itu selalu punya banyak jalan keluar. Bukan cuma
satu jalan keluar saja.”
“Bunda yang baik, aku boleh jujur?”
“Boleh, Nak. Kenapa?”
“Enggak ngerti.”
“Gini deh. Tadi yang bunda tangkep masalah kamu kan, kamu enggak
suka sama setan, karena setan suka menjerumuskan manusia kan?”
“Iya, dan karena setan manusia jadi banyak yang jahat. Kesel deh
pokoknya.”
“Nah, kan kamu bisa merayu teman-teman kamu, agar mereka jangan
tergoda sama setan.”
“Oh, iya Bunda. Tapi caranya gimana ya, Bun?
“Nak, setan itu takut sama orang yang deket sama Allah. Jadi
kamu harus merayu teman-teman kamu agar lebih deket sama Allah.”
“Oh iya, aku inget Bunda. Untuk deket sama Allah, kita harus
rajin ibadah, rajin berdoa, rajin menolong, rajin berbuat baik, rajin berbakti
sama orang tua, rajin belajar, kan Bunda?”
“Iya, pinter anak Bunda.”
“Bunda, aku baru inget,, aku masih bisa merayu setan Bunda.”
“Ya, Nak. Bunda udah capek-capek jelasin masa belum ngerti
juga...”
“Enggak, Bunda. Aku ngerti kok. Aku baru inget, kalau pak ustadz
pernah bilang, banyak juga lho manusia yang kelakuannya kayak setan. Aku juga
mau merayu manusia kayak gitu, Bunda.”
“Hah?”
“Boleh ya, Bunda sayang?”
“iya, iya. Boleh”
Bunda menarik napas, lalu menghembuskannya. Sangat
lega. Setiap ibu memang punya cara tersendiri untuk mendidik anaknya. Tapi,
apapun itu, selalu ada kasih sayang dibalik semuanya. walaupun terkadang, cara
itu salah. Walaupun tidak selalu, cara itu disukai anaknya. Itulah ibu.
Sedangkan anak, tak selalu bisa memahami kasih sayang itu. Atau banyak juga
yang terlambat untuk memahaminya. Ada juga yang kurang beruntung untuk tidak
pernah bisa memahaminya.
#diorama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar