Malam itu, ada yang kering di hatiku. Tak jelas karena apa.
Kering saja. Mungkin bosan, mungkin malas, mungkin penat, mungkin enggan. Ah,
susah sekali mendeskripsikannya. Ih, kalian pernah merasakannya juga bukan?
Hampa, kosong dan membingungkan. Merasa bukan apa-apa. Merasa bukan
siapa-siapa. Kalau aku sudah seperti itu, tak ada tempat pelarian terbaik
selain bunda.
***
“Kenapa, Nak. Kok mukanya ditekukk begitu?”
“Enggak tahu Bun, bingung aja.”
“Bingung kenapa emang?”
“Kenapa ya, Putri kok berbeda banget sama bunda?”
“Lho, emang kenapa Putri harus sama dengan bunda?”
“Emang bunda enggak pengen Putri kayak Bunda?”
“Ih, Putri ke-PD-an deh. Enggak tuh, bunda enggak
pengen Putri kayak bunda.”
“Kok gitu sih, Bun?”
“Bunda pengennya Putri jauh lebih baik daripada
Bunda. Dan untuk itu, Putri tak harus sama dengan bunda. Putri harus punya cara
yang berbeda, menjalani hidup yang berbeda.”
“Tapi, Putri ingin seperti Bunda.”
“Iya. Sayangnya, Putri enggak akan bisa lebih baik
daripada bunda, kalau Putri hanya belajar dari bunda. Putri harus belajar dari
siapapun. Tak peduli siapa dan darimana latarbelakang orangnya, selama kita
bisa mengambil pelajaran darinya.”
“Kalaupun bunda bercerita tentang ini itu, ngomong
begini begitu, maksudnya tidak selalu kamu harus seperti itu. Sebenarnya maksud
bunda itu mau nunjukin ke Putri; Begini lho, kalau Putri mengambil jalan yang
itu; jangan lewat jalan yang itu, di depan ada jurang soalnya. Sehingga Putri
tidak melakukan kesalahan seperti yang pernah bunda lakukan. Sehingga, Putri
bisa lebih cepat untuk belajar dan memahami. Kalaupun harus berbuat kesalahan,
buatlah kesalahan yang lain. Agar mendapatkan pembelajaran yang baru. Tidak
itu-itu melulu. Sedangkan, terkait jalan mana yang akan Putri ambil, itu haknya
Putri, tanggungjawab Putri. Tugas bunda dan ayah hanyalah memastikan, kalau
jalan apapun yang kamu ambil, adalah jalan yang benar, jalan yang baik. Bukan
jalan yang salah apalagi menyesatkan.”
“Nanti, kalau Putri sudah berkeluarga; Putri akan
banyak sekali menjumpai orangtua yang menginginkan anaknya begini dan begitu,
harus ini dan harus itu, menuntut ini menuntut itu; memerintahkan ini dan
memerintahkan itu. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan cara pendidikan
seperti itu. Lagipula, orangtua juga punya hak atas anak-anaknya. Hanya saja,
kita harus memahami perintah itu sebagai pembiasaan, bukan kekuasaan. Anak-anak
perlu dididik dengan porsi yang banyak melalui cara itu, karena anak-anak masih
belum bisa membedakan mana yang baik, mana yang buruk. Repot kalau semenjak
anak-anak sudah terbiasa dengan hal yang buruk, bukan? Perintah dan larangan
bagi mereka, dimaksudkan untuk membiasakan yang baik.”
“Tapi, bagi remaja yang menjelang dewasa seperti
kamu, perintah dan larangan yang terlalu banyak, hanya akan menimbulkan
pelarian, menimbulkan ketergantungan. Lagipula, usia-usia seperti kamu; butuh
aktualisasi, suka mencoba ini dan itu, haus dengan keingintahuan. Perintah dan
larangan yang terlalu banyak tentu saja menghambat proses kedewasaan itu.
Sebaliknya, seperti yang pernah ayah kamu sampaikan, cara terbaiknya adalah
dengan memberikan kebebasan yang bertanggungjawab. Perintah dan larangan, cukup
sekali dua kali saja ketika kondisinya membutuhkan itu atau ketika sudah
menyimpang terlalu jauh.”
“Tapi, kadang Putri merasa Putri bukan siapa-siapa
bunda, belum apa-apa. Jauh sekali dari bunda.”
“Kamu memang tidak perlu menjadi siapa-siapa, Nak.
Cukup menjadi diri kamu sendiri. Sejatinya, mereka yang bukan apa-apa atau
mereka yang bukan siapa-siapa adalah mereka yang lebih banyak hidup untuk
dirinya sendiri.”
“Maksudnya, Bunda?”
“Iya, mereka hanya memikirkan tentang dirinya
sendiri. Tentang keberhasilannya, tentang kelebihannya, tentang apa yang harus
didapatkannya, dan semua hal tentang dirinya sendiri. Padahal, mereka yang
lebih mulia adalah mereka yang memberikan manfaat untuk orang lain. Mereka yang
sadar bahwa dari beberapa bagian hidupnya selalu ada hak untuk orang lain.
Makanya, kalau Putri ingin jadi siapa-siapa cukup berusaha memberikan yang
terbaik untuk kemanfaatan orang lain. Dengan begitu hidup kita jadi lebih
bermakna, walaupun kita bukan siapa-siapa atau kita bukan apa-apa.”
“Gitu ya, Bunda?”
“Iya, sayang. Hayo, Putri udah mengeluarkan infak
berapa banyak buat minggu ini; sudah menolong dan membantu temennya belum;
sudah silaturahim belum; sudah mentraktir anak jalanan belum; sudah memberikan
hadiah belum.”
“He, he, he,, “
Aku cuma nyengir kuda, malu. Bunda sudah memasang
tangan di pinggang, mukanya pura-pura marah, tapi lucu.
#diorama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar