Jumat, Januari 22, 2016

Dua Aku

Satu hal yang paling aku sukai dari orangtuaku adalah mereka hampir selalu melibatkanku dalam memutuskan hal-hal yang bersifat keluarga, apalagi jika hal itu penting banget untuk hidupku. Dari hal yang sifatnya pendidikan, tentang sekolahku atau adikku, tentang karier mereka di pekerjaan, tentang liburan keluarga, sampai hal remeh-temeh besok enaknya menu apa yang akan dimasak untuk makan malam.

Untuk hal-hal tertentu yang kami belum ngerti banget kondisinya, Ayah dan Bunda kompak banget untuk memahamkan anak-anaknya kenapa keputusan atau pilihan itu yang diambil. Setidaknya, kami tetap didengarkan dan dimintai pendapatnya. Bahkan untuk beberapa hal, kami sekeluarga suka rame untuk memutuskan sesuatu. Kadang juga, ayah dan bunda berlomba-lomba untuk mencari dukungan anak-anaknya, ketika mereka berbeda pendapat untuk beberapa hal. Nah, aku pernah nanya ke Bunda kenapa harus seperti itu, harus repot-repot melibatkan kami;

“Karena, ayah dan bunda ingin membesarkan kalian dengan cinta.”
“Lha, apa hubungannya Bunda?”
“Putri tahu, apa itu cinta?”
“Tahu sih, Bun. Tapi untuk kondisi begini Putri enggak ada ide. Emang apa itu cinta, Bunda?”
“Cinta, adalah hubungan yang mesra antara dua aku yang berbeda.” *

“Maksudny, Bun?”
“Maksudnya, belum bisa dikatakan cinta kalau kita hanya melibatkan satu aku. Kalau Ayah dan bunda memutuskan sesuatu untuk keluarga, tapi tidak melibatkan kamu dan adikmu sebagai anak, berarti keputusan itu hanya melibatkan satu aku saja. Hanya akunya orangtua belum akunya anak-anak. Padahal dalam keluarga kan ada orangtua dan anak. Begitu juga kalau suatu saat nanti, Putri menjadi pemimpin. Baiknya, melibatkan dua aku. Akunya pemimpin dan akunya orang yang dipimpin.”

“Emang harus kayak gitu ya, Bun?”
“Enggak sayang, kan tadi bunda bilang sebaiknya, bukan harus. Bahkan ada kondisi-kondisi tertentu yang tidak memungkinkan kita menjalin hubungan dua aku tadi. Entah karena kondisinya yang darurat, atau karena alasan lain yang memang tidak memungkinkan untuk itu. Yang pasti, hubungan dua aku tadi akan sangat mempengaruhi keberhasilan sebuah keputusan.”

“Kenapa begitu, Bunda?”
“Karena, dengan hubungan yang baik dua aku tadilah kasih sayang dan kepercayaan itu akan muncul. Masing-masing akan berusaha untuk saling menghormati antar aku, menghargai pendapatnya, mengetahui pandangan-pandangannya, mengetahui baik-buruknya, sama-sama saling tahu. Dengan begitu, rasa kepemilikan dan tanggungjawab juga akan lebih mudah terbentuk. Secara sadar atau tidak, masing-masing akan saling belajar untuk tidak egois, untuk mencoba mengetahui apa yang orang lain pikirkan dan rasakan.”

“Oh, begitu ya, Bun?”
“Iya, contohnya lagi, banyak pemimpin yang mengaku mencintai rakyatnya, padahal orang itu tidak mencintai siapa-siapa selain dirinya sendiri. Melakukan ini itu dengan alasan kepentingan rakyat, padahal tidak benar-benar tahu apa sesungguhnya kebutuhan rakyat. Inilaah contoh pemimpin yang egois untuk hanya mengedepankan akunya diri sendiri atau akunya golongannya saja. Pantas, jika kepemimpinannya kurang diterima oleh rakyatnya. Padahal, sebaik-baiknya pemimpin adalah pemimpin yang mencintai dan dicintai rakyatnya, yang mendoakan dan didoakan rakyatnya.”


***

Adalah Ibrahim, bapak para nabi, salah satu generasi pendahulu yang mengajarkan bagaimana caranya menghormati cinta. Sebelum dirinya berencana untuk menghancurkan berhala, yang sudah jelas-jelas salah, syirik dan dosa besar pula. Ia tetap bertanya kepada ayahnya yang berprofesi sebagai pembuat berhala, perihal kenapa kita harus menyembah berhala yang bahkan untuk dirinya sendiri saja berhala itu tidak bisa berbuat apa-apa. Apa juga untungnya bertanya, toh dirinya sudah tahu betul kejahiliahan kaumnya waktu itu dengan menyembah berhala. Tapi Ibrahim, ingin menghormati ayah yang dicintainya, ingin mendengarkan apa pendapat orang yang dicintainya. Walaupun, jawaban itu sama sekali tidak memuaskan Ibrahim. Toh dalam sejarah, Ibrahim tetap menghancurkan berhala itu. Tapi setidaknya, Ibrahim sudah menjalankan kewajiban cintanya, kepada ayahnya sekaligus kepada Allah.

Anaknya yang bernama Ismail lah yang beruntung menangkap pesan penghormatan cinta itu, ketika puluhan tahun kemudian dirinya ditanya oleh Ayahnya:

“Wahai anakku, semalan ayah bermimpi, dan dalam mimpi itu ayah diperintahkan Allah untuk menyembelihmu. Bagaimana menurutmu, anakku?”
Kenapa pula harus bertanya pendapat Ismail, jika itu sudah jelas-jelas perintah Allah langsung yang harus dilaksanakan dan tidak layak untuk dibantah. Sekali lagi, Ibrahim ingin menghormati anak yang dicintainya, tidak sekedar mencintai Tuhannya. Ah, bukankah mereka yang mengaku cinta kepada Allah seharusnya juga mencintai makhluk-Nya, mencintai kemanusiaan yang ada pada sesama. Maka, Ibrahim memang layak mendapatkan jawaban cinta dari Putra yang akan disembelihnya itu:

“Ayah, Laksanakanlah apa yang telah diperintahkan oleh Allah kepadamu. Insya Allah, saya akan sabar dan patuh terhadap perintahNya. Tolong, nanti saya diikat kuat-kuat agar tidak merepotkan ayah ketika disembelih. Jangan sampai juga meninggalkan darah di pakaian saya, khawatir itu akan membuat ibu semakin sedih. Tolong sampaikan salam saya kepada ibu.”

***

Cinta adalah hubungan yang mesra antara dua aku yang berbeda.* Itulah jawabannya; jawaban yang menjelaskan kenapa bunda begitu sabar mendengarkan segala keluh kesahku di forum perempuan, jawaban atas pertanyaan enaknya yang mana ya, Nak? Menurut Putri gimana? Kalo begini saja enggak apa-apa? yang itu biar Putri aja yang ngurusin ya, atau mau dibantu sama bunda? Putri, coba deh bantuin adekmu itu, masa dari tadi enggak selesai-selesai. Gimana kata Ayah, ada masalah dengan itu? Eh, Putri gpp kan kalau jatahnya dibagi dua.

Aduh, kenapa baru sadar ya. Makasih Bunda....


#diorama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar