Satu
hal yang paling aku sukai dari orangtuaku adalah mereka hampir selalu
melibatkanku dalam memutuskan hal-hal yang bersifat keluarga, apalagi jika hal
itu penting banget untuk hidupku. Dari hal yang sifatnya pendidikan, tentang
sekolahku atau adikku, tentang karier mereka di pekerjaan, tentang liburan
keluarga, sampai hal remeh-temeh besok enaknya menu apa yang akan dimasak untuk
makan malam.
Untuk
hal-hal tertentu yang kami belum ngerti banget kondisinya, Ayah dan Bunda
kompak banget untuk memahamkan anak-anaknya kenapa keputusan atau pilihan itu
yang diambil. Setidaknya, kami tetap didengarkan dan dimintai pendapatnya.
Bahkan untuk beberapa hal, kami sekeluarga suka rame untuk memutuskan sesuatu.
Kadang juga, ayah dan bunda berlomba-lomba untuk mencari dukungan anak-anaknya,
ketika mereka berbeda pendapat untuk beberapa hal. Nah, aku pernah nanya ke
Bunda kenapa harus seperti itu, harus repot-repot melibatkan kami;
“Karena,
ayah dan bunda ingin membesarkan kalian dengan cinta.”
“Lha,
apa hubungannya Bunda?”
“Putri
tahu, apa itu cinta?”
“Tahu
sih, Bun. Tapi untuk kondisi begini Putri enggak ada ide. Emang apa itu cinta,
Bunda?”
“Cinta,
adalah hubungan yang mesra antara dua aku yang berbeda.” *
“Maksudny,
Bun?”
“Maksudnya,
belum bisa dikatakan cinta kalau kita hanya melibatkan satu aku. Kalau Ayah dan
bunda memutuskan sesuatu untuk keluarga, tapi tidak melibatkan kamu dan adikmu
sebagai anak, berarti keputusan itu hanya melibatkan satu aku saja. Hanya
akunya orangtua belum akunya anak-anak. Padahal dalam keluarga kan ada orangtua
dan anak. Begitu juga kalau suatu saat nanti, Putri menjadi pemimpin. Baiknya,
melibatkan dua aku. Akunya pemimpin dan akunya orang yang dipimpin.”
“Emang
harus kayak gitu ya, Bun?”
“Enggak
sayang, kan tadi bunda bilang sebaiknya, bukan harus. Bahkan ada
kondisi-kondisi tertentu yang tidak memungkinkan kita menjalin hubungan dua aku
tadi. Entah karena kondisinya yang darurat, atau karena alasan lain yang memang
tidak memungkinkan untuk itu. Yang pasti, hubungan dua aku tadi akan sangat
mempengaruhi keberhasilan sebuah keputusan.”
“Kenapa
begitu, Bunda?”
“Karena,
dengan hubungan yang baik dua aku tadilah kasih sayang dan kepercayaan itu akan
muncul. Masing-masing akan berusaha untuk saling menghormati antar aku,
menghargai pendapatnya, mengetahui pandangan-pandangannya, mengetahui
baik-buruknya, sama-sama saling tahu. Dengan begitu, rasa kepemilikan dan
tanggungjawab juga akan lebih mudah terbentuk. Secara sadar atau tidak,
masing-masing akan saling belajar untuk tidak egois, untuk mencoba mengetahui
apa yang orang lain pikirkan dan rasakan.”
“Oh,
begitu ya, Bun?”
“Iya,
contohnya lagi, banyak pemimpin yang mengaku mencintai rakyatnya, padahal orang
itu tidak mencintai siapa-siapa selain dirinya sendiri. Melakukan ini itu
dengan alasan kepentingan rakyat, padahal tidak benar-benar tahu apa
sesungguhnya kebutuhan rakyat. Inilaah contoh pemimpin yang egois untuk hanya
mengedepankan akunya diri sendiri atau akunya golongannya saja. Pantas, jika
kepemimpinannya kurang diterima oleh rakyatnya. Padahal, sebaik-baiknya
pemimpin adalah pemimpin yang mencintai dan dicintai rakyatnya, yang mendoakan
dan didoakan rakyatnya.”
***
Adalah
Ibrahim, bapak para nabi, salah satu generasi pendahulu yang mengajarkan
bagaimana caranya menghormati cinta. Sebelum dirinya berencana untuk
menghancurkan berhala, yang sudah jelas-jelas salah, syirik dan dosa besar
pula. Ia tetap bertanya kepada ayahnya yang berprofesi sebagai pembuat berhala,
perihal kenapa kita harus menyembah berhala yang bahkan untuk dirinya sendiri
saja berhala itu tidak bisa berbuat apa-apa. Apa juga untungnya bertanya, toh
dirinya sudah tahu betul kejahiliahan kaumnya waktu itu dengan menyembah
berhala. Tapi Ibrahim, ingin menghormati ayah yang dicintainya, ingin
mendengarkan apa pendapat orang yang dicintainya. Walaupun, jawaban itu sama
sekali tidak memuaskan Ibrahim. Toh dalam sejarah, Ibrahim tetap menghancurkan
berhala itu. Tapi setidaknya, Ibrahim sudah menjalankan kewajiban cintanya,
kepada ayahnya sekaligus kepada Allah.
Anaknya
yang bernama Ismail lah yang beruntung menangkap pesan penghormatan cinta itu,
ketika puluhan tahun kemudian dirinya ditanya oleh Ayahnya:
“Wahai
anakku, semalan ayah bermimpi, dan dalam mimpi itu ayah diperintahkan Allah
untuk menyembelihmu. Bagaimana menurutmu, anakku?”
Kenapa
pula harus bertanya pendapat Ismail, jika itu sudah jelas-jelas perintah Allah
langsung yang harus dilaksanakan dan tidak layak untuk dibantah. Sekali lagi,
Ibrahim ingin menghormati anak yang dicintainya, tidak sekedar mencintai
Tuhannya. Ah, bukankah mereka yang mengaku cinta kepada Allah seharusnya juga
mencintai makhluk-Nya, mencintai kemanusiaan yang ada pada sesama. Maka,
Ibrahim memang layak mendapatkan jawaban cinta dari Putra yang akan
disembelihnya itu:
“Ayah,
Laksanakanlah apa yang telah diperintahkan oleh Allah kepadamu. Insya Allah,
saya akan sabar dan patuh terhadap perintahNya. Tolong, nanti saya diikat
kuat-kuat agar tidak merepotkan ayah ketika disembelih. Jangan sampai juga
meninggalkan darah di pakaian saya, khawatir itu akan membuat ibu semakin
sedih. Tolong sampaikan salam saya kepada ibu.”
***
Cinta
adalah hubungan yang mesra antara dua aku yang berbeda.* Itulah jawabannya; jawaban yang menjelaskan kenapa
bunda begitu sabar mendengarkan segala keluh kesahku di forum perempuan,
jawaban atas pertanyaan enaknya yang mana ya, Nak? Menurut Putri gimana? Kalo
begini saja enggak apa-apa? yang itu biar Putri aja yang ngurusin ya, atau mau
dibantu sama bunda? Putri, coba deh bantuin adekmu itu, masa dari tadi enggak
selesai-selesai. Gimana kata Ayah, ada masalah dengan itu? Eh, Putri gpp kan
kalau jatahnya dibagi dua.
Aduh,
kenapa baru sadar ya. Makasih Bunda....
#diorama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar