Aku
masih ingat salah satu hari sial itu, kelas 5 SD. Hari dimana aku mendapat
hukuman yang beruntun. Aku berantem sama temen kelasku. Saling mengolok-olok.
Hal sepele sebenarnya. Tentu saja dia yang mulai. Sombong sekali bilang kalau
sepatunya yang paling bagus, kalau hasil tugas menggambarnya lebih baik.
Sebelumnya dia juga menyebalkan, suka mengejekku kalau aku kurang ini kurang
itu atau salah ini salah itu. Aku enggak terima dong, apalagi dia bilang
sepatuku sudah tak layak pakai. Akupun balas mengolok-oloknya, sampai tak
sengaja mendorongnya. Dia terjatuh, terluka, dan menangis. Tentu saja urusan
jadi lebih panjang. orangtua kami dipanggil ke sekolah.
***
“Dia
itu sombong ayah, suka mengolok-olok. Teman-teman juga banyak yang enggak suka
sama dia.”
Aku
lapor terlebih dahulu sebelum ayah menanyaiku di forum lelaki. Ayah cuma
tersenyum setelah mendengarkan ceritaku dengan lengkap. Tentu saja sebelumnya
bunda yang tadi siang langsung memenuhi panggilan sekolah sudah melaporkan
semuanya kepada ayah. Lalu ayah mencermahiku, panjang sekali.
“Nak,
sombong itu adanya di hati masing-masing. Kalau hati teman kamu itu tidak
sombong, walaupun kamu dan seisi sekolah bilang dia sombong, dia tidak sombong.
Sedangkan kamu enggak tahu dan enggak bisa lihat isi hatinya kan? Kalaupun
memang dia benar-benar sombong, itu urusan dia bukan urusan kamu. Boleh kamu
mengingatkan, tapi urusan kamu yang paling penting adalah jangan sampai kamu
sombong seperti dia. Lagipula, cara terbaik membalas ejekan adalah dengan mulut
yang diam bukan dengan ejekan yang lainnya. Cara terbaik membalas ejekan adalah
dengan membuktikan bahwa kamu tidak seperti apa yang dia katakan. Kalaupun
ejekan itu memang benar, kita hanya harus memperbaikinya. Bukan sibuk
membantahnya.”
“Lagipula,
kalian itu teman satu kelas. Kalau ada yang kalian tidak suka satu sama lain
katakan dengan baik, dengarkan dengan baik. Jangan hanya diam. Apalagi saling
menyalahkan. Dengan begitu kalian akan sadar kalau kalian itu berbeda.
Terkadang, karena kita beranggapan bahwa seharusnya kita itu sama, bahwa kita
itu benar, kita tidak suka bahkan marah kalau ada hal yang berbeda dengan apa
yang kita yakini. Padahal, tidak ada orang yang benar-benar sama. Setiap orang
memiliki pemikiran dan situasi yang berbeda untuk permasalahan yang sama. Tapi
setidaknya, kita masih sama-sama manusia. Setidaknya, kita masih tinggal di
bumi yang sama. Karena itu, kita harus tetap berbagi. Karena itu kita harus
selalu siap dengan perbedaan.”
***
Entahlah,
aku tidak begitu tahu berapa banyak tenaga yang terbuang percuma di negeri ini
untuk saling mengejek, saling mengolok-olok, saling menyalahkan, bahkan saling
menjatuhkan. Baik antar personal, antar kelompok, antar partai politik. Padahal
tenaga itu masih bisa digunakan untuk hal-hal yang jauh lebih produktif.
Pasti
kita memiliki banyak perbedaan, perbedaan pemikiran, ideologi, cara, karakter
dan segala perbedaan yang lainnya. Setidaknya, kita masih tinggal di Indonesia
yang sama. Setidaknya, kita sama-sama bertanggungjawab terhadap lebih dari
setengah penduduk yang masih tergolong miskin menurut standar dunia.
Setidaknya, bangsa ini tidak akan bisa dibangun oleh satu golongan atau satu
kelompok saja. Setidaknya, kita bertanggungjawab terhadap melinpahnya sumber
daya alam yang sebagian kita rusak sendiri, sebagian lainnya dirampok negara
lain, dan sebagian kecilnya kita manfaatkan. Setidaknya, kita sama-sama
bertanggungjawab membangun karakter bangsa, memperbaiki sumberdaya manusianya
untuk masa depan yang lebih terjamin. Setidaknya, kita sama-sama menginginkan
Indonesia yang lebih baik. Perkara siapa yang mewujudkannya tak terlalu
penting. Yang lebih penting kita bisa berkontribusi dalam prosesnya, sekecil
apapun itu. Saling mendukung program yang mengarah ke sana, dari manapun itu
selama dilakukan dengan cara yang baik.
***
Masalah
perkelahian itu masih belum selesai. Besoknya bunda menghukumku. Tak boleh
pulang ke rumah, tak ada jatah makan untukku sebelum aku melakukan sepuluh
kebaikan hari itu beserta buktinya. Tentu saja aku tak mungkin bohong, Bunda
akan sangat marah kalau sampai tahu. Dan pasti hukumanku bertambah. Lagipula,
Bunda akan mengecek bukti-buktiku itu. Bisa saja aku tersenyum kepada sepuluh
orang, selesai sudah hukuman itu. Sayangnya, walaupun aku tersenyum kepada
seratus orang, hitungannya tetap satu. Kebaikan yang sama seberapa banyakpun,
dihitung satu. Itu syaratnya. Kalian bisa membayangkan bagaimana anak kelas 5
SD memikirkan dan melakukan sepuluh kebaikan dalam satu hari? Sangat
memusingkan.
Walaupun
begitu, aku senang banget ketika pulang ke rumah setelah menyelesaikan hukuman.
Tentu saja bukan karena senang melakukan kebaikan. Emang ada anak-anak yang
senang dikasih hukuman? Lagipula, manfaat hukuman itu baru aku sadari dan
benar-benar rasakan puluhan tahun setelahnya. Aku senang karena di kamarku sudah
ada paket sepatu baru dengan selembar kertas:
“Ini
hadiah untuk sepuluh kebaikan hari ini. Jangan mengejek orang dan jangan
berantem lagi ya. Maaf, Bunda baru sekarang bisa membelikan sepatunya.”
#diorama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar