Biar
enggak banyak basa-basi, langsung aja ya, Putri ceritain lanjutan kuliah cinta
dari bunda yang sempat terpotong, selamat menyimak:
***“
“Oh
ya Bunda, kata anak rohis di kampus, pacaran itu enggak boleh, dosa karena
mendekati zina. Itu bener enggak sih, Bunda?”
“Kalau
menurut Putri, gimana?”
“Yah,
Bunda enggak asik nih, ditanya kok malah nanya.”
“Boleh
dong, bunda pengen denger pendapat Putri dulu.”
“Jujur
nih ya Bunda, Putri juga masih bingung untuk hal yang satu itu. Kalau kata
temen Putri yang anak rohis sih enggak boleh, katanya pacaran itu enggak ada
dalam islam. Terus pacaran itu cenderung mendekati zina, membawa kita
bermaksiat dan melakukan hal-hal yang tidak diperbolehkan kayak bergandengan
tangan lah, berciuman lah, dan sebagainya gitu deh. Tapi Puteri punya banyak
temen yang pacaran tapi enggak sampe segitunya kok. Mereka masih bisa menjaga
batas, masih wajar-wajar saja. Mereka hanya berusaha untuk saling dekat dan
mengenal sebelum menikah. Kalau kata temen rohis caranya dengan taaruf bukan
dengan pacaran. Eh lucunya nih ya Bun, kadang temen rohis dan temenku yang
pacaran suka perang dingin gitu. Sama-sama segan, sama-sama enggak enakan,
jadinya pada saling menjauh deh.”
“Terus?”
“Udah,
Bunda. Sekarang giliran bunda.”
“Iya,
temen rohis Putri benar kok. Sayangnya, tidak semua orang memiliki pemahaman
seperti itu. Sehingga kitapun tidak boleh memperlakukan semua orang dengan
standar pemahaman yang kita punya lantas menganggapnya selalu salah karena
tidak sesuai dengan pemahaman kita. karena sejatinya, tugas kita belum selesai
dengan menyampaikan kebenaran, tapi juga membuat orang lain memahami dan
menerima kebenaran itu. Sayangnya, Tidak semua orang siap untuk menerima dan
menunaikan kebenaran.
“Jikapun
masih belum siap untuk menerima suatu kebenaran, mungkin yang bersangkutan
sudah siap menerima kebenaran yang lain. Misalkan, kalaupun ada yang berprinsip
pacaran itu tidak boleh karena dosa atau apapun itu, dan tidak ingin melihat
temannya berpacaran, temennya sudah diingatkan tapi tak mau berubah, tidak
lantas menjauhi teman tersebut. Enggak gampang kali, berpisah dengan orang yang
kita sayangi, apalagi diputuskan begitu saja, apalagi masih belum paham.”
“Cie,
bunda berpangalaman banget deh kayaknya.”
“He,
he, Bunda jadi malu. Udah ah, kamu godain bunda melulu. Waktu itu kan bunda
belum tahu.”
“Nah,
kalau temen tadi masih belum siap dengan kebenaran mengenai pacaran, mungkin
dengan mendorong dia untuk segera menikah dengan pacarnya, akan menjadi
alternatif yang lebih bijak. Jikapun masih belum siap menikah karena berbagai
macam alasan, sebagai teman harus tetap kita jaga agar tidak terjerumus lebih
dalam. Bukan malah menjauhinya. Okelah untuk hal itu kita berbeda prinsip, tapi
enggak mungkin beda untuk semuanya kan? Bahkan, jika dalam 10 hal ada 9
perbedaan dan 1 kesamaan, kita diutamakan untuk lebih fokus pada persamaannya.
Bukan meributkan perbedaannya.”
“Oke
deh, Bunda. Aku jadi lebih paham sekarang. Terus kalau yang masalah taaruf
gimana, Bunda?”
“Taarauf
itu salah satu cara aja, sayang. Mungkin ada orang-orang yang memahami dan
mempunyai fasilitas untuk taaruf. Punya banyak kenalan yang bisa
merekomendasikan siapa calon yang baik dan memprosesnya. Masalahnya, tidak
semua orang punya fasilitas dan akses untuk bertaaruf kan? Sedangkan menikah
itu adalah hak sestiap orang, bukan hak mereka yang memahami dan punya akses
atau fasilitas bertaaruf saja. Bagaimana nasib orang yang punya pemahaman lain
dan tidak punya akses itu? Bagaimana mereka mau mengenal calon pasangan
hidupnya?”
“Iya,
juga yah Bun.”
“Nah,
makanya banyak orang yang memilih pacaran sebagai cara untuk mengenal pasangan
hidupnya, untuk memahami karakter masing-masing, intinya untuk mempersiapkan
diri menuju fase kehidupan berkeluarga. Sama seperti ada orang-orang yang
melakukannya dengan cara lain seperti taarauf, atau mungkin dijodohkan oleh
keluarga. Walaupun untuk pacaran mungkin lebih beresiko untuk melanggar norma
agama ataupun moral seperti yang diceritakan teman rohis kamu.”
“Nah,
kalau pacaran Putri ngerti sih Bun, masuk akal banget penjelesannya. Nah, kalau
taaruf masih belum kebayang. Bisa ya, yang sebelumnya enggak saling kenal, baca
biodata, kenalan, dan seterusnya bisa langsung menikah? Bagaimana kita tahu
pasangan kita mencintai kita kalau begitu?”
“Bunda
juga enggak begitu tahu, Nak. Kan bunda enggak pernah merasakan prosesnya.”
“Oh, iya ya.
Bunda kan dulu pacaran sama ayah.”
“Udah
deh, jangan mulai godain bunda lagi atau nanti bunda cubit pipimu yang tembem
itu.”
“Jangan,
Bunda. Oke, oke, peace”
“Bunda
memang belum pernah merasakan proses taaruf Nak. Tapi setelah bunda menikah dengan
ayah, bunda mengerti satu hal tentang cinta.”
“Apa
itu, Bunda?”
“Nak,
kamu boleh mencari siapapun orang yang paling mencintai kamu, tapi jangan lupa
kebijakan yang sederhana ini. Cinta itu tidak konstan, dia akan tumbuh dan
berkembang. Dia juga bisa hilang dan mengerdil. Semuanya berproses. Artinya,
siapapun nanti yang akan menjadi orang yang paling mencintai kamu, pastilah dia
orang yang banyak menjalani proses kehidupan bersama kamu. Dan berkeluarga
adalah proses kehidupan sepanjang hidup. Sederhananya, jika hubungan itu dijaga
dengan baik, tidak akan ada laki-laki yang lebih mencintai kamu daripada suami
kamu.”
“Walaupun
itu ayah, bunda?”
“Iya,
walaupun itu ayah. Karena intensitas hubunganmu dengan ayah akan semakin
berkurang setelah kamu berkeluarga, dan suami kamu akan menggantikannya. Cinta
ayah mungkin tidak akan berkurang, tapi cinta suamimu akan lebih cepat
bertambah.”
“Artinya
juga, cinta seseorang kepadamu, sebesar apapun cinta itu, mau sebesar gunung
atau seluas lautan, itu belum teruji kebenarannya, belum bisa dipastikan
kevalidannya, jika masih belum terikat dalam tali pernikahan. Dalam arti lain
pacaran tidak sekalipun menjamin kualitas kebahagiaan kehidupan berumah
tangga.”
“Kalau
begitu, siapapun laki-lakinya jadi enggak penting dong, Bunda?”
“Bisa
dikatakan begitu, Nak. Selama laki-laki itu bisa membuat kamu bahagia, bisa
tahu caranya mencintai kamu, bisa menunaikan hak dan kewajibannya sebagai
suami. Dan setahu bunda, itu salah satu hal yang dipahami oleh orang-orang yang
memilih proses taaruf. Selain meniatkan pernikahan sebagai ibadah, bukan hanya
sekedar berkeluarga.”
“Apa
nantinya tidak bermasalah dalam menyesuaikan karakter, Bunda?”
“Selalu
ada masalah dalam sebuah hubungan, Nak. Apapun hubungan itu. Tinggal bagaimana
kita menyikapinya. Kamu jangan melihat proses taaruf dengan sesederhana
itu. Ada banyak faktor lain seperti latar belakang keluarga, pemahaman dan visi
mereka yang sudah sama tentang membangun keluarga, proses persiapan diri
sendiri, dan sebagainya.”
“Apa
dengan taaruf seseorang akan mendpatkan pasangan yang baik, Bunda?”
“Nak,
pasangan yang baik bukan ditentukan dari cara bertaarufnya. Tapi ditentukan
dari seberapa baik seseorang mempersiapkan diri. Kalau kamu ingin mendapatkan
pasangan yang baik, persiapkan diri kamu menjadi manusia yang sebaik-baiknya.
Karena hanya perempuan yang baik yang akan mendapatkan lelaki yang baik.”
“Jadinya
lebih baik pacaran atau taaruf ya?”
“Putri,
kamu itu perempuan. Dan tidak boleh perempuan di keluarga kita yang lemah
dengan keyakinan. Semua prinsip yang kamu yakini harus kamu perjuangkan.
Bahkan, jika semua orang di sekitarmu merasa benar tentang sebuah kesalahan
yang kamu yakini, tidak serta merta kesalahan itu menjadi benar. Kamu harus
membela keyakinanmu. Kamu harus mencari kebenarannya. Tapi bukan berarti, dengan begitu kamu tidak meghargai orang lain.
Tapi bukan berarti, dengan begitu kamu boleh merasa yang paling benar.”
“Siap,
Bunda.”
“Eh,
ngomong-nomong Putri kok nanyanya gitu ya. Jangan-jangan, putri mau minta izin
buat pacaran ya?”
“Eh,,...”
“Siapa,
siapa, siapa?”
“Siapa
apanya, Bunda?”
“Siapa
nama laki-lakinya, siapa?”
“Eh,
Bunda mau apa?”
“Mau
nyuruh dia buat datang melamar kamu.”
“TIDAAK”
***
Begitulah,
misi rahasiaku malam itu gagal total. Bunda benar, sebenarnya malam ini
aku bermaksud untuk meminta pertimbangan Bunda perihal surat cinta yang
dikirimkan seorang lelaki kepadaku. Sebenernya aku masih ragu suka atau enggak
sih, makanya berdiskusi dengan Bunda. Masih enggak yakin mau menerima atau
menolak. Tapi sepertinya, setelah mendengar kuliah cinta dari Bunda, aku harus
memikirkan kembali tentang semuanya. Dan bayangpun, semenjak itu forum
perempuan sering banget ngomongin tentang pernikahan. Dari mulai persiapannya,
kisah cinta ayah-bunda, pengalaman-pengalaman bunda, bagaimana membangun
keluarga sakinah, mawaddah, warrohmah dan sejenisnya. cukup dulu ya, semoga
lain kesempatan bisa bercerita kembali.
#diorama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar