Senin, Januari 18, 2016

Kuliah Cinta 3

Biar enggak banyak basa-basi, langsung aja ya, Putri ceritain lanjutan kuliah cinta dari bunda yang sempat terpotong, selamat menyimak:

***“

“Oh ya Bunda, kata anak rohis di kampus, pacaran itu enggak boleh, dosa karena mendekati zina. Itu bener enggak sih, Bunda?”

“Kalau menurut Putri, gimana?”
“Yah, Bunda enggak asik nih, ditanya kok malah nanya.”
“Boleh dong, bunda pengen denger pendapat Putri dulu.”

“Jujur nih ya Bunda, Putri juga masih bingung untuk hal yang satu itu. Kalau kata temen Putri yang anak rohis sih enggak boleh, katanya pacaran itu enggak ada dalam islam. Terus pacaran itu cenderung mendekati zina, membawa kita bermaksiat dan melakukan hal-hal yang tidak diperbolehkan kayak bergandengan tangan lah, berciuman lah, dan sebagainya gitu deh. Tapi Puteri punya banyak temen yang pacaran tapi enggak sampe segitunya kok. Mereka masih bisa menjaga batas, masih wajar-wajar saja. Mereka hanya berusaha untuk saling dekat dan mengenal sebelum menikah. Kalau kata temen rohis caranya dengan taaruf bukan dengan pacaran. Eh lucunya nih ya Bun, kadang temen rohis dan temenku yang pacaran suka perang dingin gitu. Sama-sama segan, sama-sama enggak enakan, jadinya pada saling menjauh deh.”

“Terus?”
“Udah, Bunda. Sekarang giliran bunda.”

“Iya, temen rohis Putri benar kok. Sayangnya, tidak semua orang memiliki pemahaman seperti itu. Sehingga kitapun tidak boleh memperlakukan semua orang dengan standar pemahaman yang kita punya lantas menganggapnya selalu salah karena tidak sesuai dengan pemahaman kita. karena sejatinya, tugas kita belum selesai dengan menyampaikan kebenaran, tapi juga membuat orang lain memahami dan menerima kebenaran itu. Sayangnya, Tidak semua orang siap untuk menerima dan menunaikan kebenaran.

“Jikapun masih belum siap untuk menerima suatu kebenaran, mungkin yang bersangkutan sudah siap menerima kebenaran yang lain. Misalkan, kalaupun ada yang berprinsip pacaran itu tidak boleh karena dosa atau apapun itu, dan tidak ingin melihat temannya berpacaran, temennya sudah diingatkan tapi tak mau berubah, tidak lantas menjauhi teman tersebut. Enggak gampang kali, berpisah dengan orang yang kita sayangi,  apalagi diputuskan begitu saja, apalagi masih belum paham.”

“Cie, bunda berpangalaman banget deh kayaknya.”
“He, he, Bunda jadi malu. Udah ah, kamu godain bunda melulu. Waktu itu kan bunda belum tahu.”

“Nah, kalau temen tadi masih belum siap dengan kebenaran mengenai pacaran, mungkin dengan mendorong dia untuk segera menikah dengan pacarnya, akan menjadi alternatif yang lebih bijak. Jikapun masih belum siap menikah karena berbagai macam alasan, sebagai teman harus tetap kita jaga agar tidak terjerumus lebih dalam. Bukan malah menjauhinya. Okelah untuk hal itu kita berbeda prinsip, tapi enggak mungkin beda untuk semuanya kan? Bahkan, jika dalam 10 hal ada 9 perbedaan dan 1 kesamaan, kita diutamakan untuk lebih fokus pada persamaannya. Bukan meributkan perbedaannya.”

“Oke deh, Bunda. Aku jadi lebih paham sekarang. Terus kalau yang masalah taaruf gimana, Bunda?”

“Taarauf itu salah satu cara aja, sayang. Mungkin ada orang-orang yang memahami dan mempunyai fasilitas untuk taaruf. Punya banyak kenalan yang bisa merekomendasikan siapa calon yang baik dan memprosesnya. Masalahnya, tidak semua orang punya fasilitas dan akses untuk bertaaruf kan? Sedangkan menikah itu adalah hak sestiap orang, bukan hak mereka yang memahami dan punya akses atau fasilitas bertaaruf saja. Bagaimana nasib orang yang punya pemahaman lain dan tidak punya akses itu? Bagaimana mereka mau mengenal calon pasangan hidupnya?”

“Iya, juga yah Bun.”

“Nah, makanya banyak orang yang memilih pacaran sebagai cara untuk mengenal pasangan hidupnya, untuk memahami karakter masing-masing, intinya untuk mempersiapkan diri menuju fase kehidupan berkeluarga. Sama seperti ada orang-orang yang melakukannya dengan cara lain seperti taarauf, atau mungkin dijodohkan oleh keluarga. Walaupun untuk pacaran mungkin lebih beresiko untuk melanggar norma agama ataupun moral seperti yang diceritakan teman rohis kamu.”

“Nah, kalau pacaran Putri ngerti sih Bun, masuk akal banget penjelesannya. Nah, kalau taaruf masih belum kebayang. Bisa ya, yang sebelumnya enggak saling kenal, baca biodata, kenalan, dan seterusnya bisa langsung menikah? Bagaimana kita tahu pasangan kita mencintai kita kalau begitu?”

“Bunda juga enggak begitu tahu, Nak. Kan bunda enggak pernah merasakan prosesnya.”
 “Oh, iya ya. Bunda kan dulu pacaran sama ayah.”
 “Udah deh, jangan mulai godain bunda lagi atau nanti bunda cubit pipimu yang tembem itu.”
 “Jangan, Bunda. Oke, oke, peace”

“Bunda memang belum pernah merasakan proses taaruf Nak. Tapi setelah bunda menikah dengan ayah, bunda mengerti satu hal tentang cinta.”

“Apa itu, Bunda?”

“Nak, kamu boleh mencari siapapun orang yang paling mencintai kamu, tapi jangan lupa kebijakan yang sederhana ini. Cinta itu tidak konstan, dia akan tumbuh dan berkembang. Dia juga bisa hilang dan mengerdil. Semuanya berproses. Artinya, siapapun nanti yang akan menjadi orang yang paling mencintai kamu, pastilah dia orang yang banyak menjalani proses kehidupan bersama kamu. Dan berkeluarga adalah proses kehidupan sepanjang hidup. Sederhananya, jika hubungan itu dijaga dengan baik, tidak akan ada laki-laki yang lebih mencintai kamu daripada suami kamu.”

“Walaupun itu ayah, bunda?”

“Iya, walaupun itu ayah. Karena intensitas hubunganmu dengan ayah akan semakin berkurang setelah kamu berkeluarga, dan suami kamu akan menggantikannya. Cinta ayah mungkin tidak akan berkurang, tapi cinta suamimu akan lebih cepat bertambah.”

“Artinya juga, cinta seseorang kepadamu, sebesar apapun cinta itu, mau sebesar gunung atau seluas lautan, itu belum teruji kebenarannya, belum bisa dipastikan kevalidannya, jika masih belum terikat dalam tali pernikahan. Dalam arti lain pacaran tidak sekalipun menjamin kualitas kebahagiaan kehidupan berumah tangga.”

“Kalau begitu, siapapun laki-lakinya jadi enggak penting dong, Bunda?”

“Bisa dikatakan begitu, Nak. Selama laki-laki itu bisa membuat kamu bahagia, bisa tahu caranya mencintai kamu, bisa menunaikan hak dan kewajibannya sebagai suami. Dan setahu bunda, itu salah satu hal yang dipahami oleh orang-orang yang memilih proses taaruf. Selain meniatkan pernikahan sebagai ibadah, bukan hanya sekedar berkeluarga.”

“Apa nantinya tidak bermasalah dalam menyesuaikan karakter, Bunda?”

“Selalu ada masalah dalam sebuah hubungan, Nak. Apapun hubungan itu. Tinggal bagaimana kita menyikapinya. Kamu jangan melihat proses taaruf  dengan sesederhana itu. Ada banyak faktor lain seperti latar belakang keluarga, pemahaman dan visi mereka yang sudah sama tentang membangun keluarga, proses persiapan diri sendiri, dan sebagainya.”

“Apa dengan taaruf seseorang akan mendpatkan pasangan yang baik, Bunda?”

“Nak, pasangan yang baik bukan ditentukan dari cara bertaarufnya. Tapi ditentukan dari seberapa baik seseorang mempersiapkan diri. Kalau kamu ingin mendapatkan pasangan yang baik, persiapkan diri kamu menjadi manusia yang sebaik-baiknya. Karena hanya perempuan yang baik yang akan mendapatkan lelaki yang baik.”

“Jadinya lebih baik pacaran atau taaruf ya?”

“Putri, kamu itu perempuan. Dan tidak boleh perempuan di keluarga kita yang lemah dengan keyakinan. Semua prinsip yang kamu yakini harus kamu perjuangkan. Bahkan, jika semua orang di sekitarmu merasa benar tentang sebuah kesalahan yang kamu yakini, tidak serta merta kesalahan itu menjadi benar. Kamu harus membela keyakinanmu. Kamu harus mencari kebenarannya. Tapi bukan berarti, dengan begitu kamu tidak meghargai orang lain. Tapi bukan berarti, dengan begitu kamu boleh merasa yang paling benar.”

“Siap, Bunda.”

“Eh, ngomong-nomong Putri kok nanyanya gitu ya. Jangan-jangan, putri mau minta izin buat pacaran ya?”
“Eh,,...”
“Siapa, siapa, siapa?”
“Siapa apanya, Bunda?”
“Siapa nama laki-lakinya, siapa?”
“Eh, Bunda mau apa?”
“Mau nyuruh dia buat datang melamar kamu.”

“TIDAAK”

***

Begitulah, misi rahasiaku malam itu gagal total. Bunda benar,  sebenarnya malam ini aku bermaksud untuk meminta pertimbangan Bunda perihal surat cinta yang dikirimkan seorang lelaki kepadaku. Sebenernya aku masih ragu suka atau enggak sih, makanya berdiskusi dengan Bunda. Masih enggak yakin mau menerima atau menolak. Tapi sepertinya, setelah mendengar kuliah cinta dari Bunda, aku harus memikirkan kembali tentang semuanya. Dan bayangpun, semenjak itu forum perempuan sering banget ngomongin tentang pernikahan. Dari mulai persiapannya, kisah cinta ayah-bunda, pengalaman-pengalaman bunda, bagaimana membangun keluarga sakinah, mawaddah, warrohmah dan sejenisnya. cukup dulu ya, semoga lain kesempatan bisa bercerita kembali.

#diorama


Tidak ada komentar:

Posting Komentar