Minggu, Januari 17, 2016

Mengintip Jeda

“Ibu, lagi berantem sama Ayah, ya?”
“Enggak, siapa yang bilang?”
“Bohong, tadi pagi aku denger ibu dan ayah rame banget debatnya.”
“Iya, deh. Ibu ngaku. Tadi pagi memang ibu dan ayah berdebat panjang lebar, tapi bukan berantem.”

“Apa dong kalau bukan berantem?”

“Saling sayang.”

“Lha, kok begitu? Aneh.”
“Nak, sayang itu enggak harus selalu sejalan, enggak harus selamanya dan semuanya seiya sekata. Kita perlu berbeda di beberapa bagian untuk saling melengkapi, untuk saling membuktikan.” 

“Tapi itu mempengaruhi sikap ibu dan ayah tau, agak gimana itu ngeliatnya.”
“Iya, ya? Maaf deh, harusnya kami tidak menunjukkannya ke kalian. Mungkin ibu dan ayah sama-sama kesal dengan sikap masing-masing. Padahal kami tahu kami sedang mempertahankan pendapat masing-masing, tak lain hanya ingin melakaukan yang terbaik untuk keluarga kita.”
“Emang boleh kesal sama ayah, ya?”
“Iya boleh, namanya juga manusia. Kita boleh kesal sama siapapun. Termasuk sama ayah. Asalkan tidak melalaikan hak dan kewajibannya masing-masing, dan tidak dimasukan ke hati,, ya kesal aja, enggak lebih.”
“Hmm..”
“lagian, ayah dan ibu juga perlu jeda. Agar tidak beku dan membosankan, bisa jadi jeda itu berupa  diam, berupa perbedaan pendapat, berupa intrik-intrik kecil, untuk mengintip lebih dalam siapa sebenarnya kita. pokoknya, kamu enggak usah khawatir. Ibu dan ayah baik-baik saja kok...”
“Iya, deh..”

“Oh ya, Bu, aku mau cerita ...”
“Boleh,, ”

“Boleh kan Bu, aku suka sama seseorang?”

“Boleh, Nak. Kamu boleh suka siapapun, menyukai apapun, selama itu membawa kebaikan untukmu dan untuk orang-orang di sekitarmu.”
“Aku lagi suka sama temen kampus ku. Orangnya pinter dan perhatian banget sama aku. Aku jadi selalu kepikiran dia, inget dia terus.”
“Hmm, siapa namanya?”

“Ada deh... Apakah itu cinta, Ibu?”

“Bukan, Nak. Itu bukan cinta, hanya rasa sesaat.”

“Kenapa bukan, Bu?”

“Cinta akan menambah imanmu, Nak. Bukan malah merusaknya.”

“Maksudnya Bu?”

“Iya, dengan banyak mengingat orang itu, dengan banyak memikirkannya, kamu akan banyak kehilangan. Kehilangan waktu, kehilangan amal, bahkan bisa jadi kehilangan siapa dirimu untuk orang yang belum pasti akan menjadi milikmu. Sama sekali tidak membuatmu lebih baik dan lebih dekat pada Tuhan kan?”
“Iya, ya, Bu. Malah sebaliknya. Selalu merasa gelisah. Tapi dia baik banget, Bu.”
“Kamu hanya belum mengetahui kekurangannya. Juga belum mengetahui betapa banyaknya orang yang sebaik bahkan lebih baik dari dia.”

“Terus, aku harus gimana, Bu?”

“Jangan biarkan perasaan itu berkembang terlalu jauh, tunggu sampai waktu yang tepat.”
“Iya, deh. Ibu mau tahu enggak siapa orangnya?”
“Siapa?”
“Itu, lho Bu. Yang malam minggu kemarin nginep di sini.”
“Lha, itu kan cewek.”
“Emang cewek, Bu. Sama-sama cewek. Siapa yang bilang cowok. Dia temen baikku. Tenang aja ibu, aku udah paham kok yang begitu-begituan.”
“Jadi, kamu ngerjain ibu ya?”
“Iya,, Dah ibu..”

Gadis itu berlari ke kamarnya, sambil tertawa. Ibu yang sedikit kesal, hendak mengejarnya ke kamar. Sayangnya, suaminya dengan tiba-tiba sudah ada di ruangan itu. Baru pulang kerja. Mereka saling diam, sekian detik. Setelah itu, suami isteri itu saling melempar. Anehnya, tak ada suara pecah. Tak ada keributan. Begitu tenang. Begitu khidmat. Mereka masih saling melempar, melempar senyum.


#diorama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar