Selasa, Januari 19, 2016

Forum Lelaki 3

Nakalku lagi kumat waktu segerombolan teman satu SMP mengajakku untuk bolos sekolah. Enggak terima dibilang pengecut (ini memang cukup menyakitkan untuk sebagian kaum lelaki termasuk diriku yang waktu itu masih belia), ditambah PR matematika yang belum selesai, Bu guru nya juga menyebalkan, dan ajakan untuk bermain video game, benar-benar menggoda imanku. Alhasil, setelah menimbang-nimbang, juga bergantian antara membayangkan wajah galak bunda kalau marah dan asiknya bermain, aku memilih untuk ikut bolos.

Sialnya, karena belum terlalu profesional dalam urusan bolos-membolos, aku ketahuan oleh salah salah seorang guru (rencana membolosnya memang bareng-bareng, tapi cara bolosnya sendiri-sendiri, dan hanya aku seorang yang ketahuan). Lebih sial lagi pihak sekolah memberitahu keluargaku. Malamnya, seperti yang sudah aku bayangkan, aku diceramahin bunda.

***

“Kamu itu seharusnya bersyukur, udah diberi kesempatan buat sekolah. Ini malah bolos sekolah lagi. Mau jadi apa nanti kalau suka bolos. Lihat di luar sana masih banyak orang yang tidak berkesempatan untuk sekolah. Makanya, jangan main sama teman-teman yang bandel, nanti kamu ketularan bandelnya.” Bla bla bla, bla bla bla, bla, ..

***

Salah satu hal yang paling aku tidak suka dari bunda adalah omelannya. Memang benar perempuan itu lebih peka dalam hal perasaan. Repotnya, karena saking pekanya, banyak yang bermain asumsi dengan perasaan, mengira perasaan orang lain begini dan begitu. Terlalu sibuk memikirkan bagaimana orang lain kalau dirinya begini dan begitu. Padahal, asumsi tidak selamanya benar. Sebagian asumsi adalah salah. Apalagi untuk hal serumit perasaan. Belum tentu hal-hal yang biasanya membuat orang lain marah membuat seseorang menjadi marah. Belum tentu hal-hal yang biasa membuat orang lain bahagia, selalu membuat seseorang menjadi bahagia. Tidak selalu hal-hal yang biasanya membuat orang sedih, otomatis membuat seseorang menjadi sedih.

Misalnya saja, bukankah masih banyak manusia di bumi ini yang malah senang dengan penderitaan orang lain. Ada juga yang sebaliknya, sedih dengan kebahagiaan orang lain. Atau ada yang memberikan ekspresi sedih padahal baru saja dikasih hadiah, karena masih terpengaruh dengan cerita sinetron yang ditontonnya. Ada yang sendalnya hilang dicuri orang tapi malah tertawa karena sudah bosan marah seharian misalkan. Bahkan ada yang dijahilin sedemkian hingga sama temen-temennya tapi enggak marah. Bukan karena orang yang dimaksud sabar banget, bukan juga karena bijak bestari. Tapi karena memang dia tidak punya bakat untuk marah, jadi kalau marah jelek banget. Makanya memilih untuk tidak marah. Ibarat orang yang suaranya kurang dari pas-pasan, tentu saja memilih untuk tidak menya Dan sebagainya dan seterusnya. Pokoknya rumit deh. Sayangnya, banyak sekali manusia yang terjebak dengan perasaan. Membuang banyak waktu untuk resah, gelisah dan khawatir untuk suatu perasaan yang belum tentu seperti itu. Lagian juga, tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan perasaan. Bijak sekali bukan, perintah agama untuk tidak banyak berprasangka itu.

Juga tidak selalu nasihat seseorang, walaupun orang tersebut sebaik dan sebijaksana bunda, langsung membuat orang sepertiku sadar akan kesalahannya, menyesal, lalu langsung memperbaikinya. Menurutku ini salah satu asumsi paling fatal yang dimiliki oleh sebagian besar orangtua. Merasa dengan memarahi, dengan mengomel, dengan menasihati, dengan menghukum, anaknya akan sadar kemudian menjadi anak yang baik, pintar dan rajin. Karenanya, tidak ada cara yang lebih baik untuk mengetahui perasaan seseorang selain dengan memastikannya. Dan ayah paham betul tentang ini. Makanya, setiap kali aku dimarahin bunda karena kenakalanku, atau diceramahin karena ini dan itu, Ayah selalu memastikan perasaan itu.

***

“Sudah berapa kali bolos sekolah?” Ayah bertanya sedikit berbisik,
“Satu kali.” Jawabku singkat, agak takut.
“Astaga, satu kali dan ketahuan?”
“Iya.” Aku mengangguk pelan
“Kamu tahu, dulu ayah membolos berapa kali ketika seusia kamu?”
“Berapa emang?”
“Lebih dari sepuluh kali.”
“Hah, emang ayah enggak dimarahin nenek?” aku kaget sekaligus antusias
“Enggak dong, nenekmu enggak tahu dan lagipula nenek enggak secerewet bunda.”
“Kenapa dulu Ayah suka bolos sekolah?”
"Karena sekolah itu membosankan, suka diejek teman-teman kalau ayah itu pengecut karena enggak berani bolos.”
“Terus, sampai kapan ayah membolos?”
“Sampai ada teman yang lain yang mengejek kalau ayah itu nakal, suka membolos, bukan anak baik, dan teman-teman perempuan enggak ada yang mau berteman dengan ayah. Tentu kamu enggak suka dibilang nakal kan? Walaupun misalkan kamu benar-benar nakal?” ayah tersenyum menyindirku. Aku cuma cengengesan, malu.

“Nak, dengerin Ayah. Terkadang, hidup ini hanya mengenai perbandingan-perbandingan. Kalau kita membandingkan dengan orang yang suka bolos tentang keberanian, kita pasti dibilang pengucut. Coba yang kita bandingkan adalah kenakalan, tentu kamu sepakat kalau mereka lebih nakal daripada kamu. Coba kalau kita membandingkan kerajinan dengan mereka, tentu kamu juga jauh lebih rajin daripada mereka. Jangan terjebak pada perbandingan-perbandingan yang salah. Kalaupun kita harus membanding-bandingkan sesuatu, buatlah perbandingan itu menjadi semangat pembelajaran dan perbaikan. Bandingkan diri kita dengan orang yang lebih rajin dan jadilah lebih rajin karenanya. Bandingkan diri kita dengan orang yang lebih pintar, dan bersemangatlah untuk menjadi lebih pintar. Bandingkan diri kita dengan orang yang jauh kurang beruntung, maka kita akan jauh lebih bersyukur karenanya.”

“Tapi, kamu harus memahami kalau kita tidak akan pernah bisa menjadi orang lain. Kita hanya bisa menjadi lebih buruk atau lebih baik daripada orang lain. Tapi bukan berarti, menjadi lebih buruk daripada orang lain adalah suatu kejelekan. Bukan berarti juga menjadi lebih baik daripada orang lain, selalu menjadi kebaikan. Setiap orang punya standar masing-masing, tergantung dari standar mana kita melihatnya. Banyak yang menganggap orang lain buruk dengan standar kebaikannya sendiri, padahal bisa jadi yang buruk tadi lebih mulia karena tidak pernah meremehkan dan menganggap buruk orang lain.”

“Kita akan capek kalau kita mengikuti standar semua orang. Cukup standar Allah, standar diri kita sendiri, dan standar yang harus diikuti saja yang kita gunakan. Tidak akan ada manusia yang sempurna. Karenanya, tidak perlu repot-repot untuk menjadi seperti orang lain, karena tiap orang punya keunikan, karakter, kelebihan, dan kekurangan masing-masing. Banyaklah belajar dari orang lain tersebut. Tapi tidak perlu menjadi persis seperti mereka. Karena kita akan jauh lebih hebat dengan menjadi diri kita sendiri, dengan segala kelebihan dan kekurangan kita.”


“Ehm, mau ayah ajarin, gimana caranya bolos biar enggak ketahuan?”
“Eh, enggak deh Ayah, makasih.”


***

Aku dah ayah sama-sama tertawa. Tuh kan ayah pinter banget dalam memastikan perasaanku, memastikan nasihat bunda itu benar, memastikan aku mengerti dan tidak mau mengulanginya. Tapi kalian tahu siapa yang lebih pintar daripada ayah untuk hal-hal yang seperti ini? Ah, selalu saja bunda. Karena ternyata bunda yang meminta ayah untuk melakukannya, mendekatiku setelah puas aku diomelinnya. 

#diorama

percK � a a �� �^� waktu masih kecil, buat lelaki, kenakalan itu akan jauh lebih sempurna jika dilengkapi dengan kecengengan perempuan. Ada kebanggaan dan kepuasan tersendiri.


Maka, kalau punya adik perempuan yang masih SD dan suka dijahilin sama temen laki-lakinya, sedangkan waktu itu adik perempuannya enggak punya waktu  atau lagi enggak mood buat melayani kenakalan itu, saranku, suruh saja dia pura-pura menangis. Pasti kenakalan lelaki itu langsung berhenti seketika. Atau minimal bisa diredam sementara waktu. Dan ini bisa jadi kenyataan yang cukup kejam, berhentinya bukan karena takut atau kasihan. Tapi dengan melihat perempuan tersebut menaggis, lelaki sudah berada pada tingkat kepuasan yang maksimum. Harap diingat baik-baik, ini contoh kasusnya waktu SD ya, belum tahu kalau masa setelah SD. Nanti deh, aku coba tanyakan lagi di forum lelaki.

#diorama


Tidak ada komentar:

Posting Komentar