Nakalku lagi kumat waktu segerombolan teman satu SMP
mengajakku untuk bolos sekolah. Enggak terima dibilang pengecut (ini memang cukup
menyakitkan untuk sebagian kaum lelaki termasuk diriku yang waktu itu masih
belia), ditambah PR matematika yang belum selesai, Bu guru nya juga
menyebalkan, dan ajakan untuk bermain video game, benar-benar menggoda imanku.
Alhasil, setelah menimbang-nimbang, juga bergantian antara membayangkan wajah
galak bunda kalau marah dan asiknya bermain, aku memilih untuk ikut bolos.
Sialnya, karena
belum terlalu profesional dalam urusan bolos-membolos, aku ketahuan oleh salah
salah seorang guru (rencana membolosnya memang bareng-bareng, tapi cara
bolosnya sendiri-sendiri, dan hanya aku seorang yang ketahuan). Lebih sial lagi
pihak sekolah memberitahu keluargaku. Malamnya, seperti yang sudah aku
bayangkan, aku diceramahin bunda.
***
“Kamu
itu seharusnya bersyukur, udah diberi kesempatan buat sekolah. Ini malah bolos
sekolah lagi. Mau jadi apa nanti kalau suka bolos. Lihat di luar sana masih
banyak orang yang tidak berkesempatan untuk sekolah. Makanya, jangan main sama
teman-teman yang bandel, nanti kamu ketularan bandelnya.” Bla bla bla, bla bla bla, bla, ..
***
Salah satu hal yang
paling aku tidak suka dari bunda adalah omelannya. Memang benar perempuan itu
lebih peka dalam hal perasaan. Repotnya, karena saking pekanya, banyak yang
bermain asumsi dengan perasaan, mengira perasaan orang lain begini dan begitu.
Terlalu sibuk memikirkan bagaimana orang lain kalau dirinya begini dan begitu.
Padahal, asumsi tidak selamanya benar. Sebagian asumsi adalah salah. Apalagi untuk hal serumit perasaan. Belum tentu hal-hal yang
biasanya membuat orang lain marah membuat seseorang menjadi marah. Belum tentu
hal-hal yang biasa membuat orang lain bahagia, selalu membuat seseorang menjadi
bahagia. Tidak selalu hal-hal yang biasanya membuat orang sedih, otomatis
membuat seseorang menjadi sedih.
Misalnya saja,
bukankah masih banyak manusia di bumi ini yang malah senang dengan penderitaan
orang lain. Ada juga yang sebaliknya, sedih dengan kebahagiaan orang lain. Atau
ada yang memberikan ekspresi sedih padahal baru saja dikasih hadiah, karena
masih terpengaruh dengan cerita sinetron yang ditontonnya. Ada yang sendalnya
hilang dicuri orang tapi malah tertawa karena sudah bosan marah seharian misalkan.
Bahkan ada yang dijahilin sedemkian hingga sama temen-temennya tapi enggak
marah. Bukan karena orang yang dimaksud sabar banget, bukan juga karena bijak
bestari. Tapi karena memang dia tidak punya bakat untuk marah, jadi kalau marah
jelek banget. Makanya memilih untuk tidak marah. Ibarat orang yang suaranya
kurang dari pas-pasan, tentu saja memilih untuk tidak menya Dan sebagainya dan
seterusnya. Pokoknya rumit deh. Sayangnya, banyak sekali manusia yang terjebak
dengan perasaan. Membuang banyak waktu untuk resah, gelisah dan khawatir untuk
suatu perasaan yang belum tentu seperti itu. Lagian juga, tidak semua masalah
bisa diselesaikan dengan perasaan. Bijak sekali bukan, perintah agama untuk
tidak banyak berprasangka itu.
Juga tidak selalu
nasihat seseorang, walaupun orang tersebut sebaik dan sebijaksana bunda,
langsung membuat orang sepertiku sadar akan kesalahannya, menyesal, lalu
langsung memperbaikinya. Menurutku ini salah satu asumsi paling fatal yang
dimiliki oleh sebagian besar orangtua. Merasa dengan memarahi, dengan mengomel,
dengan menasihati, dengan menghukum, anaknya akan sadar kemudian menjadi anak
yang baik, pintar dan rajin. Karenanya, tidak ada cara yang lebih baik untuk
mengetahui perasaan seseorang selain dengan memastikannya. Dan ayah paham betul
tentang ini. Makanya, setiap kali aku dimarahin bunda karena kenakalanku, atau
diceramahin karena ini dan itu, Ayah selalu memastikan perasaan itu.
***
“Sudah
berapa kali bolos sekolah?” Ayah bertanya sedikit berbisik,
“Satu
kali.” Jawabku
singkat, agak takut.
“Astaga, satu kali
dan ketahuan?”
“Iya.” Aku mengangguk pelan
“Kamu tahu, dulu
ayah membolos berapa kali ketika seusia kamu?”
“Berapa emang?”
“Lebih dari sepuluh
kali.”
“Hah,
emang ayah enggak dimarahin nenek?” aku kaget sekaligus antusias
“Enggak dong,
nenekmu enggak tahu dan lagipula nenek enggak secerewet bunda.”
“Kenapa dulu Ayah
suka bolos sekolah?”
"Karena sekolah
itu membosankan, suka diejek teman-teman kalau ayah itu pengecut karena
enggak berani bolos.”
“Terus, sampai kapan
ayah membolos?”
“Sampai
ada teman yang lain yang mengejek kalau ayah itu nakal, suka membolos, bukan
anak baik, dan teman-teman perempuan enggak ada yang mau berteman dengan ayah.
Tentu kamu enggak suka dibilang nakal kan? Walaupun misalkan kamu benar-benar
nakal?” ayah tersenyum menyindirku. Aku cuma cengengesan, malu.
“Nak, dengerin Ayah. Terkadang, hidup ini hanya
mengenai perbandingan-perbandingan. Kalau kita membandingkan dengan orang yang
suka bolos tentang keberanian, kita pasti dibilang pengucut. Coba yang kita
bandingkan adalah kenakalan, tentu kamu sepakat kalau mereka lebih nakal
daripada kamu. Coba kalau kita membandingkan kerajinan dengan mereka, tentu
kamu juga jauh lebih rajin daripada mereka. Jangan terjebak pada
perbandingan-perbandingan yang salah. Kalaupun kita harus membanding-bandingkan
sesuatu, buatlah perbandingan itu menjadi semangat pembelajaran dan perbaikan.
Bandingkan diri kita dengan orang yang lebih rajin dan jadilah lebih rajin
karenanya. Bandingkan diri kita dengan orang yang lebih pintar, dan
bersemangatlah untuk menjadi lebih pintar. Bandingkan diri kita dengan orang
yang jauh kurang beruntung, maka kita akan jauh lebih bersyukur karenanya.”
“Tapi, kamu harus memahami kalau kita tidak akan
pernah bisa menjadi orang lain. Kita hanya bisa menjadi lebih buruk atau lebih
baik daripada orang lain. Tapi bukan berarti, menjadi lebih buruk daripada
orang lain adalah suatu kejelekan. Bukan berarti juga menjadi lebih baik
daripada orang lain, selalu menjadi kebaikan. Setiap orang punya standar
masing-masing, tergantung dari standar mana kita melihatnya. Banyak yang
menganggap orang lain buruk dengan standar kebaikannya sendiri, padahal bisa
jadi yang buruk tadi lebih mulia karena tidak pernah meremehkan dan menganggap
buruk orang lain.”
“Kita akan capek kalau kita mengikuti standar
semua orang. Cukup standar Allah, standar diri kita sendiri, dan standar yang
harus diikuti saja yang kita gunakan. Tidak akan ada manusia yang sempurna.
Karenanya, tidak perlu repot-repot untuk menjadi seperti orang lain, karena
tiap orang punya keunikan, karakter, kelebihan, dan kekurangan masing-masing.
Banyaklah belajar dari orang lain tersebut. Tapi tidak perlu menjadi persis
seperti mereka. Karena kita akan jauh lebih hebat dengan menjadi diri kita
sendiri, dengan segala kelebihan dan kekurangan kita.”
“Ehm,
mau ayah ajarin, gimana caranya bolos biar enggak ketahuan?”
“Eh,
enggak deh Ayah, makasih.”
***
Aku dah ayah
sama-sama tertawa. Tuh kan ayah pinter banget dalam memastikan perasaanku,
memastikan nasihat bunda itu benar, memastikan aku mengerti dan tidak mau
mengulanginya. Tapi kalian tahu siapa yang lebih pintar daripada ayah untuk
hal-hal yang seperti ini? Ah, selalu saja bunda. Karena ternyata bunda
yang meminta ayah untuk melakukannya, mendekatiku setelah puas aku
diomelinnya.
#diorama
Maka, kalau punya
adik perempuan yang masih SD dan suka dijahilin sama temen laki-lakinya,
sedangkan waktu itu adik perempuannya enggak punya waktu atau lagi enggak mood buat
melayani kenakalan itu, saranku, suruh saja dia pura-pura menangis. Pasti
kenakalan lelaki itu langsung berhenti seketika. Atau minimal bisa diredam
sementara waktu. Dan ini bisa jadi kenyataan yang cukup kejam, berhentinya
bukan karena takut atau kasihan. Tapi dengan melihat perempuan tersebut
menaggis, lelaki sudah berada pada tingkat kepuasan yang maksimum. Harap
diingat baik-baik, ini contoh kasusnya waktu SD ya, belum tahu kalau masa
setelah SD. Nanti deh, aku coba tanyakan lagi di forum lelaki.
#diorama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar