Malu.
Mentari masih sangat malu untuk menunjukkan dirinya. Lembut dan tersipu. Gelap.
Langit masih berat berpisah dengan gelap. Nampak enggan dan terpaksa. Pagi.
Pagi masih tetap menjalankan tugasnya. Sibuk dan bersemangat. Sedangkan Tuhan,
selalu punya rahasia. Rahasia itu bisa bersembunyi dibalik awan, untuk
diturunkan kepada manusia bersama hujan. Rahasia itu bisa bersembunyi dibalik
peristiwa, untuk diturunkan kepada manusia bersama paket ujian dan solusinya.
Atau ia membersamai hari, yang terasa begitu panjang dikala susah, dan amat
sebentar manakala senang.
Rahasia itu selalu menjelma menjadi kenyataan. Tentang kedalaman
seseorang untuk menyelami kenyataan tersebut, tentunya berbeda satu sama lain.
Toh Tuhan juga punya rahasia untuk orang perorang. Mengenai kapan rahasia itu
dibongkar, itu suka-suka Tuhan, toh Dia yang punya rahasia. Yang jelas yang
bisa membongkar rahasia-Nya adalah mereka yang menggunakan hati dan akalnya
untuk berusaha menganalisisnya. Walaupun analisis itu tak selalu benar, dan
bisa jadi mengungkapkan hal yang berbeda untuk rahasia yang sama. Tentunya kita
harus tetap sopan untuk menganalisis yang boleh dianalisis, untuk yang tak
diperbolehkan, biarkan ‘iman’ yang melakukan tugasnya.
Kembali kepada pagi;
Syahdan, sebangun dari tidurnya, seorang pemuda berencana untuk
membunuh malam. Entahlah, dia sangat tidak suka dengan malam. Malam baginya
begitu kelabu, begitu dingin dan mencekam. Dia begitu trauma dengan malam.
Sangat menyalahkan malam. Bosan bertemu malam. Tak ingin lagi ada malam.
Belum genap usianya seminggu, Ibunya membuangnya di
waktu malam. Ia juga memutuskan menggelandang di waktu malam. Ketika usianya
kurang dari lima tahun, beberapa hari setelah pemulung yang memungutnya
meninggalkannya seorang diri karena tak sanggup lagi menghidupinya. Ia sering
diusir sewaktu malam, ketika mengamen atau meminta sesuap nasi dari warung ke
warung. Ia juga sering disiksa di waktu malam, ketika uang setoran hariannya
tidak mencapai yang diharuskan oleh bosnya. Buatnya, malam adalah cacian,
hinaan, ketidakpedulian, ketidakacuhan, kedinginan, kelaparan, kemiskinan,
kesedihan, ditertawakan, tapi keniscayaan. Wajar, jika keinginannya untuk
membunuh malam tak terbendung lagi.
Entah siapa yang harus disalahkan. Pemimpin yang dzolim? Dia tak
kuasa untuk menjangkaunya. Tetangga yang tak peduli? Mungkin ia juga tak tega
menuntut mereka, apalagi sampai membunuhnya. Toh mereka sama-sama miskin dan
tidak berdaya. Ah, entahlah. Begitulah. Pilihannya jatuh pada malam.
Dipacunya kaki secepat-cepatnya untuk menemukan malam. Walaupun
ia tak tahu malam ada dimana. Apalagi sekarang masih pagi. Tapi dia sudah tak
sabar. Tiba-tiba, tanpa diniatkan, tanpa sadar, dirinya menabrak motor yang
melaju kencang. Pengendara motor melarikan diri, ada beberapa tukang ojek
mengejar, menangkap, dan memukuli. Pemuda itu masih tergeletak bersimbah darah.
“Aku ingin membunuh malam,” desisnya, lalu seketika meninggal.
Beberapa pemilik toko dan warung sedih sesaat, lalu senang.
Sebab setelah ini tak ada lagi yang mengganggu tokonya. Tak ada lagi yang
menakuti pelanggaannya. Beberapa anak kecil sedih, lalu senang. Setelah ini
mereka tidak perlu berlari-lari takut ketika bertemu dengannya. Beberapa
pejabat sedang menikmati sarapannya, sambil membaca koran hari ini.
Sedangkan,
seorang pemuda lain yang baru beberapa tahun ini mengetahui sejarah hidupnya
dari cerita orang-orang, hanya tertunduk haru. Malu. Mungkin di hadapan Tuhan,
pemuda gila yang baru meninggal tertabrak tadi jauh lebih baik dari kebanyakan
orang yang mengerubunginya. Ia sudah gila dari belia. Gila akibat beban yang
terlalu berat untuk diemban anak seusianya. Bukankah gila adalah pengecualian
untuk perhitungan di hadapan Tuhan? Maka dosanya mungkin jauh lebih sedikit.
”Ah, aku harus segera mengurangi dosaku,”
tekadnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar