Jumat, Januari 22, 2016

Sama-sama Manusia

Yey, bentar lagi aku libur dong. Artinya, aku akan punya waktu yang lebih banyak bersama keluarga. Berantem sama adikku, ngerumpi bareng bunda, atau bercerita sama ayah. Jalan-jalan bareng, makan bareng, ngobrol bareng. Pokoknya menyenangkan.  

***

Kita sering sekali terjebak pada mekanisme hubungan formal antara anak dan orangtua, membuat hubungan begitu berjarak. Sulit untuk saling jujur dan terbuka. Peran mereka yang begitu luar biasa, yang melahirkan anak-anaknya, yang memeberi makan, memberi uang jajan, memberi tempat tinggal dan penghidupan lainnya; membuat kita memiliki kekhawatiran tersendiri untuk selalu terbuka dan jujur kepada mereka, terutama tentang kekurangan, kelemahan dan hal-hal yang dirasa kurang berkenan lainnya. Takut sekali mengecewakan mereka. Banyak sekali yang berusaha kita sembunyikan dari mereka. Akibatnya, orangtua kita tidak benar-benar mengenal anaknya karena anak-anaknya tidak leluasa menunjukan keasliannya, apa adanya, identitasnya sebagai individu.

Di sisi lain, sebagian besar orangtua juga lupa melihat anaknya sebagai manusia, terlalu banyak memandangnya sebagai anak, sebagai pewaris keturunan juga harapan keluarga. Lalu, mekanisme peran dan tanggungjawab itu jika tidak ditempatkan dengan proporsional, membuat hubungan menjadi kaku. Banyak sekali anak yang kesulitan mengucapkan kalau mereka sayang sama orangtuanya, begitu juga sebaliknya. Padahal, dibalik status dan peran sebagai anak atau sebagai orangtua, kita sama-sama manusia yang tentunya juga memiliki kebutuhan untuk dikenal dan diperlakukan sebagai manusia biasa, yang nyata juga sejajar. Tidak melulu sebagai anak, tidak selalu sebagai orangtua.

***

Orangtuaku mengerti betul tentang itu, bahwa dibalik peran kami masing-masing sebagai orangtua ataupun anak, kami juga sama-sama manusia. Dengan sedih senangnya, dengan segala kurang lebihnya. Entah dari kapan pemahaman itu tertanam. Sering sekali kami melepas peran kami sebagai anak atau sebagai orangtua ketika dibutuhkan, ketika peran itu membuat kami semakin jauh atau semakin tak terjangkau. Berbicara sejajar, sesama manusia yang perlu dukungan satu sama lain, sesama manusia yang membutuhkan hiburan ketika sedih, sesama manusia yang saling tolong menolong. Seperti kata ayah;

“Sesempurna apapun sebuah hubungan, seberapa banyakpun cinta yang di dalamnya, seberapa rekatpun kedekatan antar sesamanya, seberapa sucipun latar belakang yang melandasinya; selalu membutuhkan mekanisme yang tepat untuk bisa tetap bertahan, untuk tetap mengembangkannya pada tahap yang lebih dalam lagi.”

Itulah kenapa keluarga kami memiliki forum keluarga, forum perempuan antara aku dan bunda atau forum lelaki antar ayah dan adikku, atau acara-acara kebersamaan yang lainnya, atau dari cara-cara ayah bunda memperlakukan kami. Layaknya seperti manusia biasa; ayah terbuka tentang kesulitan dengan kerjaan kantornya, bunda yang kerepotan ngurusin rumah tangga, atau aku dan adikku yang bertanya dan bercerita ini itu. Ayah bunda juga tidak keberatan atau canggung untuk menceritakan perjalanan kehidupan mereka, jika itu dibutuhkan. Sering malah, bahkan dari cerita-cerita itulah kami lebih mengenal mereka.

Ayah dan Bunda melakukan tugasnya dengan baik untuk mendidik, mengayomi dan memberikan teladan, tanpa melupakan satu hal; diri sendiri. Bahwa seberapa banyak harapan yang mereka gantungkan kepadaku, seberapa inginnya mereka agar aku seperti ini seperti itu, aku tetaplah diriku sendiri yang tidak selalu bisa seperti apa yang mereka inginkan. Terkadang, aku yang mengalah, lebih sering mereka yang mengalah. Walaupun aku yang sering salah, ruang salah itu selalu bisa mereka manfaatkan menjadi ruang pembelajaran untukku. Seperti kata bunda;

“Kali ini mungkin bunda yang benar, tapi tidak selalu bunda yang salah. Setiap kita punya kebenaran dan kesalahan di sisi masing-masing. Tapi setidaknya, jangan biarkan hatimu berhenti bersuara. Dengarkan dengan baik, karena tak ada siapapun yang bisa memaksa hatimu.”

“Hanya saja, kita harus menggunakan akal dan perasaan secara bijaksana, karena; secerdas-cerdasnya akal enggak mungkin bisa mengerti bahasa hati, dan sebersih-bersihnya hati juga tidak selalu bisa menjangkau kemampuan akal. Mungkin kondisi bunda dulu berbeda dengan kondisi kamu sekarang. Bunda hanya bisa ngasih masukan seperti ini seperti itu, pada akhirnya kamu yang harus memutuskan. Kamu yang akan menjalankan.”

***

Maka, karena aku dan orangtuaku sama-sama manusia. Buatku, membahagiakan orangtua tak harus serepot menunggu menjadi orang sukses terlebih dahulu, mengiriminya uang rutin, atau memberikannya hadiah dari uang hasil keringat sendiri.Bisa jadi itu salah atu bagiannya. Tapi tentu saja bukan satu-satunya. Kasihan sekali orangtua kita jika hanya itu yang bisa kita berikan untuk membahagiakan atau membalas jasa-jasa mereka. Rata-rata kita baru bisa melakukan itu setelah bekerja, setelah lulus kuliah. Tentu saja kita dikejar target lain untuk membangun keluarga sendiri, dan jika sudah memiliki keluarga sendiri, sudah pasti juga intensitas untuk membahagiakan orangtua dengan jalan itu akan berkurang.

Buatku membahagiakan ayah bunda cukup dengan mengenal dan memperlakukan mereka seperti manusia yang lainnya dengan berbagi sedih bahagia atau sekedar tertawa bersama, mendengar keluhnya, sekedar memberikan perhatian kepada mereka atau dengan kebaikan-kebaikan kecil lainnya. Tentu saja dengan menghargai dan menghormati peran mereka sebagai orangtua.


***

“Assalamualaikum...”
“Waalaikumsalam... Eh, anak bunda udah pulang” bunda berhenti dari kerjaan menyapu terasnya
“Ye, ngaku-ngaku. Emang aku anaknya bunda? Orang aku anaknya ayah kok.”
“Putri...” bunda pura-pura marah dengan gagang sapu yang terangkat.


#diorama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar