Senja
sore ini mengantarku untuk berkenalan lebih dekat dengan bahagia. Sebenarnya,
sudah sekian lama aku tahu apa itu bahagia, semenjak aku mengenal apa itu rasa.
Tapi ternyata, seberapa lama kita kenal dengan sesuatu, tidak melulu
menunjukkan kedekatan kita dengan sesuatu itu. Bisa jadi ada beberapa orang
yang sudah saling tahu dan kenal sekian lama, tapi tak kunjung bisa dekat juga.
Seperti yang kurasakan dulu. Antara aku dan bahagia;
Sebelumnya, kesoktahuanku membuat bahagia begitu sulit untuk
dijangkau, sehingga bahagia juga agak segan untuk sering-sering menghampiriku;
atau aku yang masih malu untuk menjemputnya. Padahal, manusia jauh lebih
membutuhkan bahagia daripada sedih, walau keduanya sama-sama dibutuhkan dalam
keseimbangan tata surya kehidupan.
Sebelumnya,
sebagaimana kebanyakan orang; definisi bahagia yang ada di kamus hidupku masih
terlalu sempit. Belum masuk pada derivasi makna dan penggunaannya dalam
kehidupan yang kadang begitu sulit untuk diprediksi. Sehingga, dalam penggunaan
dan penghayatan rasanya, banyak yang sudah tidak relevan untuk disandingkan
dengan arti yang masih sempit tersebut. Akibatnya, bahagia itu menjadi jarang
digunakan.
Bahagia adalah ketika kita berhasil, ketika kita mendapatkan apa
yang kita inginkan, ketika kita bisa melakukan apa yang ingin kita lakukan,
ketika harapan kita terpenuhi, ketika kemudahan datang, ketika pertolongan
menghampiri, dan sejenisnya, dan seterusnya. Kira-kira begitulah arti bahagia
dalam sebagian besar kamus kehidupan seseorang.
Lantas, kalau ternyata apa yang kita inginkan tidak kita capai
dan dicapai oleh orang lain; bagaimana nasib bahagia? Jika kita tidak bisa
melakukan apa yang kita inginkan; tidak layakkah kita berbahagia? Bagaimana
jika harapan itu tinggal harapan? Karena terkadang, kenyataan jauh lebih kejam
daripada yang kita bayangkan.
Dan
senja sore ini, semoga bisa memperdalam pengetahuanku tentang bahagia, bahwa:
Bahagia adalah pilihan. Dan kita bisa berbahagia
kapanpun, dimanapun, dalam kondisi apapun. Jika kita memilih untuk berbahagia.
Karena bahagia adalah tentang bagaimana kita menyikapi peristiwa. Bahkan jika
kita dihadapkan pada ujianpun, kita bisa berbahagia jika kita mau. Jika kita
menyikapi ujian itu sebagai tantangan, bukan beban, sebagai kenangan yang tak
terlupakan, bukan bagian hidup yang menyuramkan. Kita pun bisa berbahagia
dengan kebodohan kita, setidaknya bisa menertawakan kebodohan kita untuk
kemudian dengan rileks memperbaikinya, daripada terpuruk dalam malu dan rendah
diri.
Bagi yang memilki keterbatasan akan sesuatu, tidak
usah khawatir, bahagia itu masih bisa dirasakan, jika klita mau dan memilih
untuk merasakannya, alih-alih terjebak pada lingkaran kesedihan yang
menghanyutkan. Karena bahagia juga bukan tentang apa yang belum kita dapatkan,
tapi bagaimana mengakui dan menghargai apa yang telah kita dapatkan.
Jika memiliki harapan yang sudah kandas berantakan,
bahagia itu juga masih bisa didapatkan, sekali lagi, jika memilih untuk
berbahagia. Bukankah membuat harapan itu sangat gratis, jika kandas; berbahagia
saja karena masih bisa membuat harapan yang jauh lebih banyak, lebih besar,
sesuka hati.
Bahkan jika ingin konyol, orang yang merasakan
sedihpun bisa berbahagia. Jika mau dan memilih berbahagia. Bukankah kadang
sedih dan bahagia hanya dibedakan dengan senyuman dan air mata. Tersenyum saja
jika sedang sedih. Dan bukankah pelangi selalu ada setelah hujan, bersiap saja
untuk menikmati pelangi, agar tidak larut di dalam hujan. Dengan begitu bisa
memahanmi bahwa kebahagiaan adalah sumber kebijaksanaan
dan untuk semuanya:
semoga bisa berjodoh dengan bahagia.
#diorama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar