Menurutku, tak ada pekerjaan yang lebih rumit selain mengurusi
orang-orang. Astaga, ribet sekali menghadapi orang dengan beragam kemauan dan
karakternya masing-masing. Ada yang begini, ada yang begitu, suka ini tapi
enggak suka itu, suka itu tapi enggak suka ini. Dan, aku paling ribet dan males
menghadapi orang yang melankolis. Dikit-dikit mainnya perasaan. Serasa hanya
mereka saja yang punya perasaan dan bisa merasakan. Sialnya, itulah yang sedang
aku hadapi di sebuah kepanitiaan, kebetulan aku ketua panitianya. Masalahnya
lagi, ternyata yang harus aku hadapi adalah masalah orang-orang yang ada di
kepanitiaannya, yang berefek pada tanggungjawab mereka di kepanitiaan. Mau
enggak mau, aku terpaksa terlibat dalam masalah mereka.
***
“Manusia itu terlalu unik dan kompleks untuk
dibedakan dengan kotak-kotak seperti itu. Kamu jangan terjebak dengan
teori-teori macam begitu. Cukup gunakan pembagian itu sebagai salah satu cara
untuk memahami orang lain, tapi bukan untuk menjustifikasi apalagi digunakan
sebagai acuan pembenaran.”
Itu penjelasan ayah setelah mendengar ceritaku
tentang masalah orang-orang yang di kepanitiaan. Entah yang melankolis,
korelis, sanguinis ataupun plegmatis.
“Maksudnya, Yah?”
“Iya, mentang-mentang melankolis, seolah-olah
dibenarkan untuk terlalu sensitif. Mentang-mentang korelis, inginnya dominan
melulu. Mentang-mentang plegmatis, selalu lama mengambil keputusan walaupun
banyak orang yang terdzolimi. Padahal, setiap kondisi membutuhkan penyikapan
yang berbeda. Sebagaimana manusia juga memiliki karakter yang berbeda. Parahnya
lagi, sulit yang mau berubah akibat pembagian-pembagian itu. Serasa, karakter
tersebut adalah pemberian Tuhan yang sudah melekat dan tak bisa diubah.
Padahal, yang namanya karakter, serumit apapun itu, seberapa lambatpun itu
selalu bisa berkembang dan berubah. ”
“Lalu, bagaimana memperlakukan orang dengan
masing-masing karakter itu, Ayah?”
“Cara terbaik memperlakukan orang lain adalah dengan
memperlakukan mereka seperti apa yang mereka inginkan; memperlakukan mereka
dengan cara yang mereka senangi. Catatannya perlakuan itu harus membuat mereka
lebih baik, tidak manja apalagi menimbulkan ketergantungan.”
“Dulu, ketika zaman rasulullah masih hidup,
sekelompok sahabat ditanya oleh sahabat yang lain; siapa diantara kalian yang
paling dekat dengan rasulullah. Semua orang yang ada di ruangan itu mengaku
kalau merekalah yang paling dekat dengan rasulullah. Setelah diselidiki,
ternyata rasul memperlakukan mereka dengan cara yang berbeda-beda, sesuai
dengan karakternya masing-masing. Itulah salah satu sebab kenapa rasul sangat
dicintai oleh para sahabatnya.”
“Kalau begitu, kita plin-plan dong, Yah? Kok
menghadapi orang lain dengan menggunakan karakter yang berbeda?”
“Bukan plin-plan, Nak. Kita hanya sedang berusaha
untuk menghormati mereka, untuk memahami mereka, juga memberikan yang terbaik
yang kita bisa untuk mereka. Tentu saja kita harus punya prinsip dan karakter
tersendiri sebagai jati diri kita, yang menggambarkan siapa sebenarnya kita.
Perbedaan perlakuan terhadap orang yang berbeda karakter itu adalah cara
mengkomunikasikan karakter dan kepribadian kita. Isinya sama, maksudnya juga
sama, Cuma caranya saja yang berbeda. Agar maksud itu bisa tersampaikan dengan baik.
Banyak tujuan yang mulia tapi ditangkap sebagai sesuatu yang tidak mulia karena
kita salah menyampaikannya, salah mengkomunikasikannya.”
“Tapi ada lho, Yah, yang dikomunikasikan dengan cara
yang baik malah jadi keenakan; sulit sekali berubah. Malah tidak sadar-sadar
dengan kesalahannya.”
“Yang dimksud dengan cara yang baik itu, tidak
selalu menggunakan cara yang lemah lembut. Cara yang baik itu cara yang bisa
dimengerti, dipahami, dan dilaksanakan. Bisa saja sesekali kita menggunakan
cara yang keras dan tegas. Catatannya, ketegasan itu bukan berasal dari
kekesalan atau kekecewaan kita, tapi untuk benar-benar membuat orang yang
dimaksud menjadi lebih baik. Percaya deh, sesuatu yang diniatkan dengan baik,
dilakukan dengan proses yang terbaik, selalu menghasilkan sesuatu yang baik
pula.”
“Kita adil enggak sih, Yah, kalau memperlakukan
orang berbeda-beda begitu?”
“Kita akan sulit melihat keadilan, jika kita hanya
melihat suatu masalah dari satu sisi saja. Semakin kita melihat dari banyak
sisi, semakin mudah keadilan itu bisa terlihat. Lalu, kalau kita sudah bisa
melihat dari berbagai sisi, kita tentukan sisi mana yang paling tepat untuk
menyelesaikan masalah itu. Dengan begitulah proses memahami keadilan sekaligus
pendewasaan akan berjalan dengan baik.”
“Bahkan, disitulah letak keadilannya. Memperlakukan
orang sesuai dengan proporsinya masing-masing. Sesuai kapasitas juga
karakternya masing-masing. Tidak melulu sama. Tak harus disamaratakan.
Memberikan tanggungjawab yang lebih besar kepada seseorang akan dilihat tidak
adil jika kita melihatnya dari sisi kesamarataan. Padahal, dengan tanggungjawab
itu sebenarnya orang yang dimaksud memiliki kesempatan yang lebih banyak untuk
mengembangkan potensinya.”
“Lalu, seberapa jauh kita harus ikut terlibat dalam
masalah mereka, Ayah?”
“Coba deh, ayah tanya dulu, apa sebenernya tujuan
acara yang kamu dan temen-temen kamu buat?”
“Ya, intinya untuk memberikan kemanfaatan kepada
orang lain, Ayah.”
“Nak, tanggungjawab kita dalam sebuah acara,
bukan sekedar membuat acara menjadi sukses. Egois sekali jika hanya itu
motivasinya. Padahal, secara tidak langsung kita diberikan tanggungjawab untuk
membuat orang-orang yang terlibat dalam acara itu menjadi manusia yang lebih
baik lagi; lebih berkembang secara karakter ataupun potensi. Jangan ngomong
tentang kemanfaatan untuk orang lain jika kita masih belum mengerti tentang hal
sesederhana itu. ”
“Seberapa jauh kita harus terlibat, tergantung
kondisinya masing-masing. Ada saatnya kita membiarkan mereka bekerja sendiri,
agar mereka bisa lebih kreatif, mandiri dan jauh dari ketergantungan. Ada
saatnya kita harus bersama mereka, turun secra langsung untuk menyelesaikan
masalah bersama-sama. Intinya, apapun sikap kita sebagai seorang pemimpin,
harus memastikan semua tugas berjalan dengan baik.”
“Bagaimana kalau diantara mereka ada yang tidak
menyukai tindakan atau kebijakan yang kita ambil, Ayah?”
“Tugas kita bukan unuk membahagiakan semua orang.
Lagipula, tidak mungkin semua orang bisa kita bahagiakan. Dalam hal ini, tugas
kita adalah memastikan kebaikan yang sebaik-baiknya untuk organisasi. Artinya,
jika ada beberapa orang yang tidak menyukai, padahal itu adalah yang terbaik
untuk organisasi, tinggal dipahamkan baik-baik antar personal. Tidak perlu
diperpanjang dengan macam-macam pemikiran.”
“Oke deh, Ayah. Trims atas masukannya.”
***
Kalian tahu kenapa Ayah bisa berbicara seperti itu?
Karena bagi ayah, keluarga adalah organisasi paling penting dalam kehidupan
kami; yang harus diatur dan dijaga baik-baik. Nantilah, lain kali aku ceritakan
bagaimana ayah mengaturnya. :D
#diorama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar