Jujur
ya, aku paling enggak suka banget sama orang-orang yang kurang peka. Udah gitu
susah banget lagi buat diingetin. Enggak sadar-sadar. Tega melihat
teman-temannya terdzolimi karena kesalahannya. Karena tugasnya yang enggak
beres-beres. Suka banget buat alasan ini itu yang seolah-olah dibuat-buat dan
dibenar-benarkan, dan lagi merasa sudah selesai hanya dengan permintaan maaf.
Padahal, maaf tidak selalu bisa menyelesaikan masalah. Udah gitu lagi nih ya,
belakangan ini aku banyak banget nemuin orang-orang model begini. Enggak tahu
lagi gimana harus membasminya. Lengkap sudahlah penderitaan. Bundaaaaaaaaaaaaa
.....
***
“Bunda,
gimana sih cara menasihati yang baik itu? Kok ada temen-temen Putri yang susah
banget ya, buat diingetin. Diginiin enggak mempan, digituin sama saja. Enggak
nyadar-nyadar gitu, Bun.” Aku
bertanya kepada bunda setelah menjelaskan semuanya. Panjang dan detail sekali
aku menjelaskan, sekaligus menumpahkan segala kekesalanku. Asiknya, si bunda
setia betul mendengarkan aku. Tak ada satu katapun yang terlewat dari
perhatiannya.
“Sebagian
besar orang lebih senang didengarkan daripada dinasihati. Kalaupun kita harus
menasihati seseorang, tujuannya untuk memperbaiki orang tersebut, karena kita
sayang sama orang yang kita nasihati. Kita ingin agar orang yang kita nasihati
itu lebih baik, kita tidak mau membiarkannya dalam keburukan. Coba deh, Putri
tanya lagi ke diri sendiri, apa tujuan Putri menasihati temennya. Apa
bener-bener untuk kebaikan dan perbaikan temennya atau jangan-jangan nasihat
itu, masukan itu, hanyalah salah satu ekspresi kekesalan dan kekecewaan Putri
terhadap orang yang dingatkan. Bukan demi kebaikan orang tersebut, tapi lebih
kepada kebaikan Putri, agar tugas Putri bisa selesai lah, agar Putri enggak
direpotkan lagi lah.”
“Kita
boleh saja mengaku sayang kepada siapapun, mengaku cinta demi apapun, dengan
sesayang-sayangnya, dengan secinta-cintanya. Tapi, tidak ada bahasa cinta yang
lebih nyata selain bahasa amal, dengan perlakuan. Maka sebenernya, seberapa
sayang kita kepada seseorang hanya bisa benar-benar dibuktikan dengan bagaimana
kita memperlakukan orang tersebut. Tentu saja selain niat yang terkandung di
dalamnya.”
“Coba
Putri inget-inget lagi, selain menasihati apa yang sudah Putri lakukan pada
temen Putri tadi? Sudah pernah bertanya kendalanya apa, dimana susahnya? Sudah
pernah menawarkan bantuan, apa yang bisa Putri lakukan untuk meringankan
bebannya? Sudah pernah mencoba untuk mendengar keluh kesahnya?
Deg,
aku langsung speechless dengar penjelasan bunda. Baru sadar
kalau selama ini aku egois banget. Pertanyaan bunda dalem banget. Tapi aku cuma
bisa diam, enggak bisa jawab. Tentu saja bunda sudah mengerti kalau diamku
adalah pengakuan kesalahan. Bunda hafal banget deh sama gelagatku yang satu
ini. Kalau sudah begitu, biasanya bunda akan memperhalus suaranya:
“Nak,
banyak sekali orang yang merasa sudah cukup dengan menasihati, merasa
kewajibannya untuk menyampaikan kebaikan sudah gugur dengan menasihati.
Padahal, tugas kita bukan hanya menyampaikan kebaikan dan kebenaran, tapi juga
memastikan agar orang lain mengerti tentang kebaikan itu, menerimanya, dan
tentu saja melakukannya.”
“Ada
juga yang sebelum menasihati, hati dan sikapnya terlanjur menjustifikasi kalau
dia begini lah, begitu lah. Padahal hanya perkataan yang berasal dari hati yang
akan sampai ke hati. Bagaimana nasihatnya akan sampai jika nasihat itu adalah
keluhann, ketidaksukaan, kekesalan atau kekecewaan kita. Lagipula, kita
bukan hakim yang bisa menjustifikasi kesalahan seseorang. Bisa jadi dia memang
salah di suatu kondisi, tapi bisa jadi di sisi lain, yang bersangkutan lebih
benar dan lebih baik daripada kita. Misalkan, ada temen Putri yang jarang ikut
acara di organisasinya, tapi ternyata dia rajin banget membantu orangtuanya
bekerja, membantu menghidupi adik-adiknya. Dalam hal organisasi Putri mungkin
lebih baik, tapi dalam bakti kepada orangtua, bisa jadi Putri kalah jauh sama
temennya yang tadi. Bahkan bisa jadi secara keseluruhan, Putri jauh kurang peka
daripada orang yang dimaksud. Bayangkan, diantara kesibukan beliau membantu
keluarganya, masih sempat-sempatnya beliau membantu Putri dan temen-temen di
organisasi. Walaupun bantuan itu masih belum optimal. Tapi Putri, pernahkah
menyempatkan diri membantu keluarganya yang kesusahan.”
“Terkadang,
kebenaran dan kebaikan itu tidak bisa dilihat dari satu sisi saja. Kita harus
melihat dari beberapa sisi agar bisa menangkapnya dengan utuh, agar bisa
menyikapinya dengan perlakuan yang sebijak-bijaknya. Dengan sikap yang
setepat-tepatnya. Tidak melulu hanya dari sisi kita. Dan yang paling penting, kita
tidak selalu benar. Makanya, kita tidak boleh selalu merasa yang paling benar.
Makanya juga, kita diharuskan untuk berkhusnudzon, berprasangka baik kepada
yang lain.”
***
Wajah
itu masih saja tersenyum, sambil tangannya menyuapi orang buta yang ada
dihadapannya. Tulus sekali. Telinganya dengan sabar mendengarkan segala cacian,
hinaan, yang ditujukan orang buta tersebut kepada dirinya. Itulah salah satu
keajaiban kemanusiaan yang tercatat dalam sejarah.
Adalah
Abu Bakar, saksi yang menggenapkan keajaiban itu. Setelah rasulullah meninggal,
dan dirinya menjadi khalifah, ia bertanya kepada Aisyah, anaknya yang menjadi
isteri rasulullah tentang kebiasaan rasulullah semasa hidupnya yang belum
dilakukan oleh dirinya sebagai khalifah. Kata Aisyah, rasulullah rutin menyuapi
seorang yahudi buta yang ada di salah satu pinggiran jalan kota.
Abu
Bakar ingin menggantikannya. Maka datanglah Abu Bakar pada yahudi buta itu.
Sambil menahan marah, karena Abu Bakar mendengar secara langsung cacian dan
makian untuk rasulullah, Abu Bakar tetap menyuapinya. Yahudi buta itu langsung
sadar, kalau orang yang ada di hadapannya bukanlah orang yang biasa
menyuapinya. Ada yang berbeda dengan makanan yang dimakannya, walaupun
makanannya sama. Makanan itu terasa lebih keras, karena Abu Bakar tidak
menghaluskannya (memamahnya) terlebih dahulu seperti yang rasulullah lakukan.
Abu Bakar menangis begitu juga Yahudi buta itu, setelah mengetahui bahwa orang
yang selama ini menyuapinya sama dengan orang yang selama ini dicaci dan dimaki
oleh dirinya sendiri, dihadapan orangnya langsung Pula. Keajaiban itu, ditutup
dengan syahadat dari yahudi buta.
Di
hari yang lain lagi, waktu rasulullah masih hidup, ketika sedang berjalan, kaki
beliau tersandung batu, sendalnya putus dan ada jarinya yang berdarah. Kalian
tahu, waktu itu rasul enggak pernah nyalain batu, enggak pernah juga bertanya
siapa yang membuat batu sebesar itu ada di tengah jalan. Beliau hanya duduk di
batu yang lebih besar, dan bertanya:Ya Allah, apa kesalahan yang saya lakukan, sehingga Engkau menegurku
dengan cara seperti ini.
***
Itu
salah satu cerita Ayah di forum keluarga. Ayah memang suka sekali bercerita
tentang ini itu. Salah satunya tentang sejarah orang-orang hebat terdahulu,
yang bisa diambil hikmahnya. Awalnya aku sempat bingung, kenapa cerita-cerita
ayah suka nyambung dengan masalah yang aku hadapi. Eh ternyata si bunda yang
suka laporan ke Ayah kalau aku lagi punya masalah ini dan itu. Sukanya, ayah
tidak ribut-ribut membahas masalah ini dan itu. Bercerita saja, dan kami akan
menyimpulkan sendiri maksud ceritanya. Dan sepanjang ayah bercerita, aku hanya
tertunduk. Malu sekali. Di seberangku, bunda menatap aku, mengangguk pelan, dan
tersenyum. Manis sekali. Ekspresi bunda yang itu, kalau diterjemahkan dengan
kata-kata, artinya kurang lebih seperti ini:
“Enggak
apa-apa, sayang. Masih bisa diperbaiki kok. Tapi jangan diulangi lagi.”
#diorama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar