Jumat, Januari 22, 2016

Kesalahan

Jujur ya, aku paling enggak suka banget sama orang-orang yang kurang peka. Udah gitu susah banget lagi buat diingetin. Enggak sadar-sadar. Tega melihat teman-temannya terdzolimi karena kesalahannya. Karena tugasnya yang enggak beres-beres. Suka banget buat alasan ini itu yang seolah-olah dibuat-buat dan dibenar-benarkan, dan lagi merasa sudah selesai hanya dengan permintaan maaf. Padahal, maaf tidak selalu bisa menyelesaikan masalah. Udah gitu lagi nih ya, belakangan ini aku banyak banget nemuin orang-orang model begini. Enggak tahu lagi gimana harus membasminya. Lengkap sudahlah penderitaan. Bundaaaaaaaaaaaaa .....

***

“Bunda, gimana sih cara menasihati yang baik itu? Kok ada temen-temen Putri yang susah banget ya, buat diingetin. Diginiin enggak mempan, digituin sama saja. Enggak nyadar-nyadar gitu, Bun.” Aku bertanya kepada bunda setelah menjelaskan semuanya. Panjang dan detail sekali aku menjelaskan, sekaligus menumpahkan segala kekesalanku. Asiknya, si bunda setia betul mendengarkan aku. Tak ada satu katapun yang terlewat dari perhatiannya.

“Sebagian besar orang lebih senang didengarkan daripada dinasihati. Kalaupun kita harus menasihati seseorang, tujuannya untuk memperbaiki orang tersebut, karena kita sayang sama orang yang kita nasihati. Kita ingin agar orang yang kita nasihati itu lebih baik, kita tidak mau membiarkannya dalam keburukan. Coba deh, Putri tanya lagi ke diri sendiri, apa tujuan Putri menasihati temennya. Apa bener-bener untuk kebaikan dan perbaikan temennya atau jangan-jangan nasihat itu, masukan itu, hanyalah salah satu ekspresi kekesalan dan kekecewaan Putri terhadap orang yang dingatkan. Bukan demi kebaikan orang tersebut, tapi lebih kepada kebaikan Putri, agar tugas Putri bisa selesai lah, agar Putri enggak direpotkan lagi lah.”

“Kita boleh saja mengaku sayang kepada siapapun, mengaku cinta demi apapun, dengan sesayang-sayangnya, dengan secinta-cintanya. Tapi, tidak ada bahasa cinta yang lebih nyata selain bahasa amal, dengan perlakuan. Maka sebenernya, seberapa sayang kita kepada seseorang hanya bisa benar-benar dibuktikan dengan bagaimana kita memperlakukan orang tersebut. Tentu saja selain niat yang terkandung di dalamnya.”

“Coba Putri inget-inget lagi, selain menasihati apa yang sudah Putri lakukan pada temen Putri tadi? Sudah pernah bertanya kendalanya apa, dimana susahnya? Sudah pernah menawarkan bantuan, apa yang bisa Putri lakukan untuk meringankan bebannya? Sudah pernah mencoba untuk mendengar keluh kesahnya?


Deg,  aku langsung speechless dengar penjelasan bunda. Baru sadar kalau selama ini aku egois banget. Pertanyaan bunda dalem banget. Tapi aku cuma bisa diam, enggak bisa jawab. Tentu saja bunda sudah mengerti kalau diamku adalah pengakuan kesalahan. Bunda hafal banget deh sama gelagatku yang satu ini. Kalau sudah begitu, biasanya bunda akan memperhalus suaranya:


“Nak, banyak sekali orang yang merasa sudah cukup dengan menasihati, merasa kewajibannya untuk menyampaikan kebaikan sudah gugur dengan menasihati. Padahal, tugas kita bukan hanya menyampaikan kebaikan dan kebenaran, tapi juga memastikan agar orang lain mengerti tentang kebaikan itu, menerimanya, dan tentu saja melakukannya.”

“Ada juga yang sebelum menasihati, hati dan sikapnya terlanjur menjustifikasi kalau dia begini lah, begitu lah. Padahal hanya perkataan yang berasal dari hati yang akan sampai ke hati. Bagaimana nasihatnya akan sampai jika nasihat itu adalah keluhann, ketidaksukaan, kekesalan atau kekecewaan kita.  Lagipula, kita bukan hakim yang bisa menjustifikasi kesalahan seseorang. Bisa jadi dia memang salah di suatu kondisi, tapi bisa jadi di sisi lain, yang bersangkutan lebih benar dan lebih baik daripada kita. Misalkan, ada temen Putri yang jarang ikut acara di organisasinya, tapi ternyata dia rajin banget membantu orangtuanya bekerja, membantu menghidupi adik-adiknya. Dalam hal organisasi Putri mungkin lebih baik, tapi dalam bakti kepada orangtua, bisa jadi Putri kalah jauh sama temennya yang tadi. Bahkan bisa jadi secara keseluruhan, Putri jauh kurang peka daripada orang yang dimaksud. Bayangkan, diantara kesibukan beliau membantu keluarganya, masih sempat-sempatnya beliau membantu Putri dan temen-temen di organisasi. Walaupun bantuan itu masih belum optimal. Tapi Putri, pernahkah menyempatkan diri membantu keluarganya yang  kesusahan.”

“Terkadang, kebenaran dan kebaikan itu tidak bisa dilihat dari satu sisi saja. Kita harus melihat dari beberapa sisi agar bisa menangkapnya dengan utuh, agar bisa menyikapinya dengan perlakuan yang sebijak-bijaknya. Dengan sikap yang setepat-tepatnya. Tidak melulu hanya dari sisi kita. Dan yang paling penting, kita tidak selalu benar. Makanya, kita tidak boleh selalu merasa yang paling benar. Makanya juga, kita diharuskan untuk berkhusnudzon, berprasangka baik kepada yang lain.”

***

Wajah itu masih saja tersenyum, sambil tangannya menyuapi orang buta yang ada dihadapannya. Tulus sekali. Telinganya dengan sabar mendengarkan segala cacian, hinaan, yang ditujukan orang buta tersebut kepada dirinya. Itulah salah satu keajaiban kemanusiaan yang tercatat dalam sejarah.

Adalah Abu Bakar, saksi yang menggenapkan keajaiban itu. Setelah rasulullah meninggal, dan dirinya menjadi khalifah, ia bertanya kepada Aisyah, anaknya yang menjadi isteri rasulullah tentang kebiasaan rasulullah semasa hidupnya yang belum dilakukan oleh dirinya sebagai khalifah. Kata Aisyah, rasulullah rutin menyuapi seorang yahudi buta yang ada di salah satu pinggiran jalan kota.

Abu Bakar ingin menggantikannya. Maka datanglah Abu Bakar pada yahudi buta itu. Sambil menahan marah, karena Abu Bakar mendengar secara langsung cacian dan makian untuk rasulullah, Abu Bakar tetap menyuapinya. Yahudi buta itu langsung sadar, kalau orang yang ada di hadapannya bukanlah orang yang biasa menyuapinya. Ada yang berbeda dengan makanan yang dimakannya, walaupun makanannya sama. Makanan itu terasa lebih keras, karena Abu Bakar tidak menghaluskannya (memamahnya) terlebih dahulu seperti yang rasulullah lakukan. Abu Bakar menangis begitu juga Yahudi buta itu, setelah mengetahui bahwa orang yang selama ini menyuapinya sama dengan orang yang selama ini dicaci dan dimaki oleh dirinya sendiri, dihadapan orangnya langsung Pula. Keajaiban itu, ditutup dengan syahadat dari yahudi buta.

Di hari yang lain lagi, waktu rasulullah masih hidup, ketika sedang berjalan, kaki beliau tersandung batu, sendalnya putus dan ada jarinya yang berdarah. Kalian tahu, waktu itu rasul enggak pernah nyalain batu, enggak pernah juga bertanya siapa yang membuat batu sebesar itu ada di tengah jalan. Beliau hanya duduk di batu yang lebih besar, dan bertanya:Ya Allah, apa kesalahan yang saya lakukan, sehingga Engkau menegurku dengan cara seperti ini.

***

Itu salah satu cerita Ayah di forum keluarga. Ayah memang suka sekali bercerita tentang ini itu. Salah satunya tentang sejarah orang-orang hebat terdahulu, yang bisa diambil hikmahnya. Awalnya aku sempat bingung, kenapa cerita-cerita ayah suka nyambung dengan masalah yang aku hadapi. Eh ternyata si bunda yang suka laporan ke Ayah kalau aku lagi punya masalah ini dan itu. Sukanya, ayah tidak ribut-ribut membahas masalah ini dan itu. Bercerita saja, dan kami akan menyimpulkan sendiri maksud ceritanya. Dan sepanjang ayah bercerita, aku hanya tertunduk. Malu sekali. Di seberangku, bunda menatap aku, mengangguk pelan, dan tersenyum. Manis sekali. Ekspresi bunda yang itu, kalau diterjemahkan dengan kata-kata, artinya kurang lebih seperti ini:


“Enggak apa-apa, sayang. Masih bisa diperbaiki kok. Tapi jangan diulangi lagi.”

#diorama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar