Minggu, Januari 17, 2016

Dua Surat Cinta

Ibu, belajar adalah segalanya bagiku. Walau aku harus tertatih dan merangkak. Seperti yang pernah kau titahkan, seperti yang sering kau katakan; hanya dengan belajar, kita bisa memperbaiki nasib keluarga.

Ibu, terimakasih sudah berjuang, walaupun seorang diri, walaupun tanpa Ayah, untuk menghidupiku, untuk menyekolahkanku. Aku tahu itu berat untukmu. Tapi aku juga tahu kau sangat tulus dan bahagia melakukannya. Demi masa depanku dan kelurga kita. Tapi jujur Ibu, aku tidak suka sekolah. Aku tak berminat melanjutkan sekolah. Aku tak mau terpenjara dalam kelas lagi. Mendengarkan penjelasan para guru yang tak tahu untuk apa. Harus begini, harus begitu, mengerjakan soal ini, soal itu, sesekali dimarahi, diberikan tugas yang menumpuk, dihantui ujian, hanya mendengarkan sepanjang hari, sepanjang minggu, sepanjang tahun, sepanjang sekolah.  Aku bosan, Ibu. Aku tertekan. Aku sangat tidak suka itu. Sangat tidak suka mempelajari yang aku tidak tahu untuk apa sebenarnya. Aku ingin bebas ibu, aku sudah muak dengan semua ini.

Ibu, kau sering bercerita tentang begitu ajaibnya pendidikan. Yang bisa merubah nasib seseorang, keluarga, bangsa dan negara. Dan selalu kupegang teguh cerita Ibu, menjadi pecut semangat ketika malas. Tapi maaf Ibu, aku masih bingung, harus mempercayai Ibu atau kenyataan. Kenyataannya, pendidikan masih belum bisa mengubah nasib kita sekeluarga, padahal sudah sepuluh tahun lebih aku sekolah. Pendidikan juga masih belum bisa mengubah nasib tetangga kita, nasib masyarakat kita menjadi lebih makmur dan sejahtera. Pendidikan hanya membuat aku bisa membaca dan menulis, lebih dari itu belum.

Ibu, sekarang aku sadar, aku lebih membutuhkan kemandirian daripada pendidikan. Aku tidak ingin ijazah, Ibu. Aku ingin kemampuan untuk menjalani kehidupan. Aku juga mengerti, belajar tak selamanya di ruang kelas. Belajar adalah dimanapun. Selama kita punya keinginan untuk memahami. Belajar adalah apapun, tak melulu mata pelajaran di sekolah. Toh, permasalahan hidup kita sehari-hari juga tidak bisa diselesaikan dengan pelajaran matematika, bahasa inggris, atau mata pelajaran yang lain. Sementara, selama ini waktuku habis untuk mempelajari mata pelajaran di sekolah Ibu, bukan pelajaran kehidupan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah di sekitar kita.

Ibu, jika berkenan, aku mohon izin untuk berhenti sekolah. Tapi bukan untuk berhenti belajar. Aku akan terus belajar dan bertindak untuk memperbaiki nasib kita sekeluarga, memperbaiki nasib tetangga-tetanga kita dan berusaha untuk menjadi orang yang bermanfaat bagi sesama. Tapi bukan dengan sekolah, Ibu. Aku punya bakat berdagang, dan aku sangat senang melakukannya. Aku akan membantu orang lain, Ibu. Aku akan mempekerjakan orang lain. Aku akan menolong kehidupan orang lain. Aku juga akan membina anak-anak jalanan yang ada di sekitar kita, kalau aku sudah mandiri, Ibu.

Maaf, Ibu. Aku harus menulis surat ini. Aku tak berani langsung berhadapan denganmu. Langsung bertatapan denganmu. Aku tak kuasa untuk menentangmu, untuk tidak memenuhi inginmu. Jika diizinkan, aku akan sangat bahagia, Ibu. Jika tidakpun, aku akan berusaha untuk tetap sekolah. Walaupun aku tak suka. Walaupun aku terpaksa. Aku akan mencobanya, untuk Ibu.

Ibu tertegun, membaca surat tak terduga dari anak semata wayangnya, perasaannya berkecamuk, campur aduk menjadi satu. Ada kecewa, ada sedih. Tapi tak tahu harus kecewa dan sedih pada apa dan siapa. Tangannya langsung menyambar kertas dan pulpen, lalu menulis surat balasan untuk orang yang saat ini paling dicintainya,,,

^_^

Nak, maaf jika selama ini ibu belum menjadi ibu yang baik untukmu. Belum memahami keinginanmu. Tidak peduli dengan kesulitan dan penderitaanmu di sekolah. Ibu  hanya senang dan bangga ketika menceritakan tentang prestasi-prestasimu di sekolah kepada tetangga yang sebagian besar memang tak berpendidikan.

Nak, kamu tahu. Saat ini hanya kamu yang bisa ibu banggakan dan harapkan. Dulu, ibu tidak melanjutkan kuliah karena biaya. Ayahmu juga punya nasib yang sama. Setelah kami menikah, impian terbesar kami adalah kami tidak akan membiarkanmu tidak kuliah karena biaya. Kami ingin melihat kamu jadi sarjana, Nak. Jadi orang sukses. Kamu harus mengubah nasib keluarga kita, Nak. Seperti pesan ayahmu sebelum beliau wafat.

Maafkan ibu. Karena kebodohan ibu, ibu berfikir hanya sekolah saja yang membuat orang pintar dan sukses. Karena yang ibu lihat, yang jadi pejabat, orang sukses, orang kantoran adalah mereka yang berpendidikan. Sedangkan yang jadi pengemis, anak jalanan, gelandangan, adalah mereka yang tidak berpendidikan. Ibu juga lupa, kalau diantara pejabat itu banyak juga yang suka korupsi. Tapi ibu tidak tahu, Nak, mereka korupsi karena pendidikan atau bukan.

Maafkan ibu juga Nak, sudah egois untuk mengatur hidupmu, sudah salah menentukan apa yang terbaik untukmu. Ibu lupa, ujung dari pendidikan yang tinggi adalah membuat kamu bahagia, bukan membuat ibu bahagia karena keinginan ibu. Bukan membuat ibu bahagia, tapi kamu tersiksa. Maaf sekali, karena kebodohan ibu, ibu sedikit sekali mengajarimu kehidupan. Makanya, ibu menitipkanmu ke sekolah. Berharap agar pendidikan bisa mencerdaskanmu.

Mungkin ibu terlalu berharap pada pendidikan, Nak. Karena saat ini hanya itu yang ibu tahu. Ada orang yang sukses, kaya, pintar, berhasil karena pendidikannya, karena gelarnya. Tapi tidak semua orang sukses karena pendidikannya. Banyak juga orang yang berpendidikan yang gagal, yang tidak mulia menjalani kehidupannya, yang tidak menolong orang lain malah menyusahkan orang lain.  Dan kamu benar Nak, orang bisa sukses karena ilmunya, bukan karena pendidikannya, bukan karena sekolahnya. Dan mungkin nanti kamu akan masuk ke dalam golongan itu Nak, bukan golongan yang berpendidikan tinggi.

Nak, terimaksih atas segala baktimu. Juga atas kebanggaan serta kehormatan keluarga yang sudah kau jaga dengan baik. Terkait dengan keinginanmu untuk berdagang, untuk membantu tetangga dan sesama, ibu sangat senang mendengarnya, Nak. Silahkan kau kejar dengan sungguh-sungguh cita-citamu itu, Nak.

Tapi untuk berhenti sekolah, jika ibu boleh meminta, tunggulah satu tahun lagi, Nak. Sampai kamu lulus SMA, agar suatu hari nanti, ketika kamu berubah pikiran. Kamu tidak menyesal, Nak. Kamu masih bisa melajutkan kuliah dengan ijazah SMA-mu. Nak, sekarang ibu banyak memiliki penyesalan, tapi ibu tidak menyesal atas apa yang pernah ibu lakukan, ibu juga tidak menyesal dengan banyak kegagalan yang ibu alami. Ibu menyesal atas apa yang tidak ibu lakukan dahulu. Dan ibu tidak mau kamu menyesal, Nak, karena kamu tidak mencoba untuk menyelesaikan sekolahmu.

Tapi ibu juga tidak ingin kamu menderita di sekolah, Nak. Nikmati sekolahmu. Bukankah sekolah juga yang secara tidak langsung mengajarkanmu apa itu belajar, sampai kamu punya kesimpulan kalau sistem pendidikan itu masih belum sepenuhnya tepat. Nak, ibu sangat menginginkan kamu bisa berbakti, tapi kamu harus berbakti dengan tulus, Nak. Bukan karena keterpaksaan atau karena sekedar kewajiban untuk berbakti kepada orangtua. Dan ibupun ingin kau menjalankan sekolahmu dengan tulus, bukan hanya karena keinginan ibu. Kamu boleh mulai berdagang dan menyusun strategi untuk mencapai keinginanmu sambil sekolah, sambil mengajarkan anak-anak jalanan itu baca tulis, sambil membantu sesama. Tidak harus mengorbankan sekolah kamu. Ibu juga akan berusaha mengajarimu kehidupan, sebisa ibu. Walaupun kamu lebih pandai daripada ibu. Ibu harap kamu mengerti ya, Nak.

Kedua ibu anak itu terlarut dalam haru. Tenggelam dalam pikiran dan rasa masing-masing. Walaupun rumit, jika boleh ditarik benang merah dari kedua surat itu, dan menyimpulkannya menjadi satu kata, itulah: cinta. Cinta selalu punya jalan tengah, tak melulu lurus, tak selalu sejalan. Yang harus adalah saling memahami, saling merasakan. Dan buah dari cinta, selalu bisa dirasakan oleh orang lain, bukan hanya oleh orang yang terlibat dalam cinta itu saja, seperti kisah dua surat cinta di atas, yang pada akhirnya, sang anak menjadi pengusaha sukses, yang memberikan lapangan pekerjaan, menolong orang susah, dan melanjutkan kuliahnya, untuk menjadi menteri pendidikan, agar bisa mengubah sistem pendidikan di negaranya.  


#diorama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar