“Putri,
Bunda sama sekali enggak keberatan kalau kamu masang foto di facebook atau
sarana komunikasi yang lainnya. Tapi please dong, yang biasa-biasa aja. Jangan
yang lagi norak, jangan yang lagi lebay, jangan yang ganjen, jangan yang enggak
penting. Bunda risih tahu enggak sih ngeliatnya.”
“Ih,
Bunda lebay deh. Biasa aja kali Bunda. Temen-temen Putri juga pada masang
fotonya kok, malah lebih parah daripada Putri.”
***
Ini
salah satu yang kurang aku sukai dari bunda. Kadang suka over protective dengan
pikiran kunonya. Masa masalah foto aja diributin, itu kan enggak penting-penting
amat. Tapi buat bunda, semua hal yang berkaitan dengan anaknya akan menjadi
penting.Jangan tanya darimana bunda tahu tentang foto itu,
bunda rajin banget ngecek facebook-ku dan adikku, bahkan terkadang suka
mengecek hp kami tanpa sepengetahuan kami. Yang terakhir aku baru tahu
belakangan dan marah banget waktu tahu itu, sampai diem-dieman sama bunda,
sampai harus didamaikan ayah, sampai bunda sedikit dimarahin sama ayah karena
enggak mau ngalah, sampai harus buat kesepakatan-kesepakatan segala.
Dan
ayah selalu bisa menjadi orang netral di hdapan kami. Apa yang dibilang ayah
benar waktu itu, walaupun bunda suka ngecek hp dan facebook-ku, walaupun
kadang-kadang bunda juga nanyain aku ke temen-temenku, tapi bunda tidak pernah
mencampuri urusanku di hadapan temen-temenku, hanya sesekali mengomel dan
mengevaluasi kalau ada yang enggak beres sama aku (itupun di forum perempuan,
hanya aku dan bunda). Akhirnya, aku dan bunda berdamai setelah tiga hari kurang
sepuluh menit (kan enggak boleh lebih dari tiga hari saling diamnya :D). Karena
ternyata, enggak enak banget harus diem-dieman sama bunda.
Setelah
itu, aku dan bunda kembali seperti semula. Malah jadi lebih deket lagi, apalagi
beberapa hari kemudian ketika bunda mengakui kesalahan dan meminta maaf dengan
tulus. Ah, oke banget deh bunda waktu itu. Tapi tetep kesel juga waktu bunda
bilang, diem-deman
itu, bunda diomelin ayah itu, semuanya skenario ayah bunda untuk melihat
seberapa dewasa aku. Dan intinya, aku enggak lulus dalam ujian itu. Masih terlalu
kekanak-kanakan. Huff.
Tapi
terkait foto tadi, tetep. Aku masih belum setuju dengan yang bunda bilang.
Akhirnya, malam itu aku kembali mendapatkan kuliah cinta dari bunda, hanya
gara-gara foto;
“Emang
tujuan Putri apa sih upload foto-fotu yang seperti itu?”
“Biar
temen-temen Putri tahu aja kegiatan Putri apa dan bagaimana, Bunda.”
“Tapi
kan enggak harus semuanya dipublish, Nak. Apalagi yang sifatnya privasi. Kamu
bisa memilih beberapa foto saja”
“Emang
kenapa sih, Bunda? Enggak boleh ya?”
“Boleh-boleh
saja Nak. Bunda, hanya ingin melihat anak bunda menjadi perempuan yang cantik.”
“Makasih
bunda, jadi malu dan terharu. Tapi apa hubungannya sama foto bunda?”
“Putri,
kamu itu perempuan. Cantik lagi kayak bundanya...”
“Please
deh bunda, jangan mulai lagi ...”
“Iya,
iya, denger ya, bunda serius nih..”
“Iya,
Bunda. Apa?”
“Putri,
sebagai perempuan, kamu harus memahami bahwa sejatinya, kecantikan perempuan
ada di hati bukan di wajah. Sedangkan, sikap kita, perilaku kita, keseharian
kita adalah cermin dari hati kita. Kamu juga harus memahami kebijakan yang
sederhana ini: Tidak semua kecantikan dan kelebihan yang kita miliki bisa
diperuntukkan untuk semua orang. Bahkan ada hak dan porsinya masing-masing. Ada
yang harus dimanfaatkan untuk sebanyak mungkin manusia. Ada kelebihan yang
hanya menjadi hak orang-orang tertentu saja. Kamu tidak boleh tertukar
menyimpan kelebihan yang harusnya diberikan kepada orang lain dan mengobral
kelebihan atau kecantikan yang sebenarnya bukan hak setiap orang.”
“Maksudnya,
Bunda?”
“Nak,
kamu tahu apa kebahagiaan tertinggi seorang perempuan?”
“Apa
bunda?”
“Mungkin
sekarang kamu masih belum merasakannya, tapi nanti kamu akan mengalaminya.”
“Apa
itu Bunda, apa?”
“Cerita
enggak ya?”
“Ayo
dong Bunda, kasih tahu, kasih tahu.”
“Tak
ada yang lebih membahagiakan bagi seorang perempuan, selain mendapatkan ridho
suami dan anak yang sholeh dan sholehah. Karena hal itulah yang bisa menjadikan
seorang perempuan mulia, bahkan jauh lebih mulia daripada para bidadari. Untuk
mendapatkan ridho suami, kamu harus menghormati dan memperlakukan suamimu
dengan baik. Salah satu cara untuk menghormati suami adalah dengan menjaga
pribadimu, dengan menjaga privasimu, dengan menjaga hak-haknya.”
“Tapi
kan Putri belum menikah, Bunda?”
“Disitulah
letak keutamaannya, sayang. Disitulah letak penghormatannya, letak
penghargaannya, sekaligus letak kesetiaannya. Ketika kamu sudah mulai menjaga,
padahal belum tahu siapa suamimu, mengenalnyapun belum. Itulah kesetiaan yang
sejati, Nak. Percyalah, tidak ada kebaikan yang sia-sia. Dan kebaikan akan
selalu dikembalikan dengan kebaikan yang lebih baik lagi.”
“Begitu
ya, Bun?”
“Iya,
Nak. Sayangnya, dulu bunda tidak bisa seperti itu. Nah, kamu harus lebih baik
daripada Bunda.”
“Oke
deh, Bunda.”
“Nah,
itu baru anak bunda yang gendut..”
“Hmmm.
Bunda, sesama gendut enggak boleh saling menghina..”
***
Dan
begitulah, kuliah cinta malam itu diakhiri dengan kejar-kejaran antara aku dan
bunda. Besok-besoknya, aku langsung menghapus foto-foto itu. Tidak semuanya, yang
aku anggap lebay aja. Dan aku baru tahu kenapa bunda kesel banget dan sampe
ceramahin aku panjang lebar tadi malam. Ternyata di album foto itu, ada foto
aku dan bunda yang lagi ketawa lebar banget, dengan close-up pula. Lebih dari
lima lagi.
#diorama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar