Kalian
pernah merasa jenuh dengan suatu rutinitas? Melakukan hal yang sama,
begitu-begitu saja, jauh banget dari semangat, membosankan, bahkan jika
dibolehkan; ingin lari saja dari rutinitas itu. Jangan bilang untuk
mengembangkan diri di sana, bertambah ini, bertambah itu, mendapatkan ini
mendapatkan itu. Untuk bertahan saja rasanya sulit sekali. Belum lagi kalau
udah enggak begitu nyaman dengan beberapa orang yang ada di dalamnya. Belum
lagi kalau ada tuntutan ini itu yang menumpuk. Belum lagi, urusannya
masih banyak lagi. Benar-benar ada di limit kemampuanku.
***
“Putri
yang sabar dong, Nak.”
“Bunda,
kesabaranku udah habis.”
“Kesabaran
itu enggak ada habisnya, sayang.”
“Tapi,
Putri udah enggak kuat lagi Bunda.”
“Kalau
begitu, untuk hal ini Putri enggak sabar.”
“Eh,
Iya juga ya, Bun. Habis gimana dong?”
“Bisa
jadi salah satu cara terbaik untuk memperbesar kemampuan kita adalah dengan
mengambil tanggungjawab yang lebih besar. Catatannya, kita harus benar-benar
sadar, dengan kesadaran yang sesadar-sadarnya atas resiko dan konsekuensi dari
tanggungjawab itu. Agar tanggungjawab itu benar-benar membuat kita lebih
bertanggungjawab, bukan malah sebaliknya. Mungkin, Putri hanya baru sekedar
mengambil tanggungjawab, tapi lupa untuk memikirkan segala konsekuensinya di
awal, jadinya banyak yang terlalaikan.” Aih si
bunda, orang lagi pusing kok malah disuruh menambah tanggungjwab.
“Tapi
kan Bunda sendiri yang pernah bilang, kalau Allah selalu memberikan beban
sesuai dengan kemampuan hamba-Nya.”
“Iya,
bener. Bukan manusia namanya jika tidak punya keterbatasan. Tapi bukan berarti
dengan begitu, kita hanya pasrah untuk menerima kemampuan itu apa adanya. Allah
memberikan kita keleluasaaan untuk mencari tahu sendiri dan mengukur
seberapa besarbatas kemampuan
itu. Bahkan kita diberikan hak untuk memperbesarnya, terus meningkatkannya.
Lagipula, batas itu hanya bisa kita ketahui kalau kita
sudah berusaha dengan sesunggh-sungguhnya, kalau kita sudah berusaha dengan
sehabis-habisnya. Itulah batas kemampuan maksimal kita. Dan dari batas itulah
Allah akan menyesuaikan beban, amanah, sekaligus tanggungjawab kita. Makanya,
Putri jangan ngomong kemampuannya terbatas dulu, padahal belum melakukan
apa-apa, padahal kerjanya masih biasa-biasa saja, padahal masih belum
sungguh-sungguh menjalaninya.”
"Ya,
bunda kenapa baru bilang sekarang sih, kok telat banget Putri tahu konsep yang
begitu?"
"Tidak
ada kata terlambat untuk sebuah kebaikan sayang, karena suatu kebaikan, sekecil
apapun kebaikan itu, selalu punya nilai tersendiri dihadapan Allah. Bahkan bisa
jadi, kebaikan yang terlambat itu jauh lebih bernilai karena mengandung
kebaikan lain dari proses perubahannya."
"Maksudnya,
Bunda?"
"Kamu
tahu salah satu keuntungan orang yang memiliki kesalahan, bahkan kesalahan yang
paling fatal sekalipun?"
"Apa
itu, Bunda?"
"Bisa
jadi mereka lah orang yang bisa benar-benar menikmati indahnya taubat, indahnya
perubahan ke arah yang jauh lebih baik lagi. Sedangkan, orang yang selalu
merasa sudah melakukan kebaikan, padahal kebaikannya maih sangat sdikit, sulit
sekali merasakan sensasi taubat yang sesungguh-sungguhnya taubat. Terjebak
dalam rutinitas kebaikan itu sendiri, tanpa menyadari untuk apa kebaikan itu.
Lupa, bahwa kebaikan sekecil apapun harus dijaga dan ditingkatkan kualitasnya.
Makanya, sebaik apapun diri kita, jangan pernah meremehkan mereka yang lebih
buruk daripada kita. Bisa jadi, keburukan itulah yang suatu saat membuatnya
melakukan kebaikan yang jauh lebih besar daripada apa yang pernah kita lakukan.”
***
Tahun
itu adalah tahun yang paling membahagiakan bagi si tukang sepatu. Pasalnya,
setelah 30 tahun mengumpulkan uang untuk berangkat haji bersama isterinya,
tahun itu genap sudah tabungannya untuk memberangkatkan mereka berdua ke tanah
suci. Mulia sekali niat itu, walaupun dengan segala keterbatasan yang
dimilikinya sebagai tukang sepatu.
Suatu
hari isterinya tergoda untuk meminta makanan dari tetangganya, karena mencium
bau harum dari masakannya, tapi kaget mendengar jawaban tetangganya;
“Tetanggaku
yang baik, makanan ini tidak halal bagimu. Daging yang kami masak adalah
bangkai yang kami temukan di jalan. Kami tidak tega melihat anak-anak kami
kelaparan. Kami sudah banting tulang mencari makanan yang lebih baik, tapi kami
tidak menemukannya. Akhirnya hanya bangkai ini yang kami temukan, lalu kami
masak biar anak-anak dan keluarga kami tidak semakin menderita."
Di
rumah, isteri tukang sepatu menceritakan kepada suaminya tentang kondisi
tetangganya. Tanpa berfikir panjang, si tukang sepatu memberikan semua tabungan
hajinya kepada tetangga yang dimaksud. Perbuatan mulia yang membuat bukan saja
mereka berdua yang diterima hajinya (padahal mereka tidak jadi berangkat), tapi
juga membuat seluruh ibadah haji umat muslim pada tahun itu diterima Allah.
Adalah Abdullah bin Mubarrak, perantara yang ditunjuk Allah untuk memberikan
kabar bahagia tentang tukang sepatu itu melalui mimpinya.
***
Aku
merenung sejenak, mengingat cerita ayah di atas, agak kaget dengan penjelasan
bunda selanjutnya.
“Nak,
terkadang kita sering tertukar untuk menentukan sebuah limit, sebuah batas.
Menggunakan batas maksimal nikmat untuk bersyukur, dan menggunkan batas minimal
musibah untuk bersabar. Manusia baru bersyukur ketika mendapatkan nikmat yang
sangat besar, tapi sudah mengeluh dengan musibah yang begitu kecil. Padahal
seharusnya, kita harus tetap bersyukur atas nikmat sekecil apapun, dan berusaha
sesabar mungkin untuk musibah sebesar apapun.”
“Bagaimana
caranya bersabar, Bunda?”
“Sabar
adalah berkusnudzon padaNya, yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa Dia selalu
memberikan yang terbaik untuk hambaNya, seadil-adilnya. Walaupun terkadang,
kita tidak tahu dimana letak keadilanNya. Walaupun terkadang, kita harus
membuktikan sendiri bentuk keadilanNya.
“Sabar
adalah kita tetap di sini, berusaha bertahan sekuat mungkin dengan kebaikan
bersama pagi, siang, sore dan malam. Sabar adalah menunggu sambil berusaha juga
berdoa. Tidak dengan diam tapi dengan pemahaman; bahwa terkadang, Allah menunda
apa yang tidak baik bagi kita saat ini untuk ditukar nanti di waktu terbaik ,
waktu dimana kita benar-benar sudah siap atau waktu dimana kita benar-benar
nembutuhkannya. Sabar adalah berusaha untuk lebih banyak mendengar daripada
berbicara, mengendalikan diri untuk tidak sombong menunjukkan kelebihan kita
diantara kekurangan orang lain. Sabar adalah berlari sejauh-jauhnya dari segala
keluh kesah, dari penyesalan yang berlebihan, dari kekecewaan yang terlalu,
dari tuntutan yang tidak sepantasnya, atau dari sesuatu yang tak bertanggungjawab.
“Aduh,
susah sekali, Bunda. Mana yang lebih berat buat bunda?”
“Sabar
bagi bunda adalah menjaga keluarga, benar-benar menghormati ayah, membalas
kasih sayangnya dengan segala bakti, juga mencintai anak-anak dengan kasih
sayang yang berkecukupan. Dan tentu saja, meladeni segala pertanyaan dan keluh
kesah Putri.”
Bunda
tersenyum nakal. Aku cuma cemberut, pura-pura kesal, padahal dalem
banget. Lalu, kami tersenyum bersamaan. Tulus.
#diorama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar