“Kak,
mau cerita.”
“Boleh, cerita apa?”
“Aku lagi kesel banget sama seseorang. Dia nggak pernah mau ngertiin
aku, ngertiin kondisi yang lain, egois, seenaknya sendiri, bisanya cuma nyuruh,
nyalah-nyalahin. Enggak peduli kalau aku punya banyak beban, punya banyak
urusan, punya banyak kerjaan. Enggak mau ngerti kalo aku enggak suka dengan
cara seperti ini.”
“Dek, kamu jangan terlalu mengimani perasaan kamu.
Karena sebagian perasaan manusia adalah cermin dari keegoisannya.”
“Tapi, saya enggak bisa terima ini, Kak. Saya punya perasaan.
Saya bukan robot dan perasaan saya enggak bisa dipaksa untuk menerimanya.”
“Iya, kamu boleh merasakan apapun, juga boleh memilih
untuk merasa apa yang ingin kamu rasakan. Catatannya, sebelum kamu memutuskan
untuk memilih merasakan itu, rasa itu harus disaring dengan logikamu atau
dinetralisir dengan nuranimu. Agar kamu tidak terlarut menenggelami rasa itu.
Karena sebaik-baiknya rasa yang kamu rasakan, tidak akan pernah bisa bertahan
selamanya. Malang sekali seseorang yang sudah tenggelam dalam sebuah perasaan,
karena Tuhan menciptakan banyak rasa yang harus dicicipi, bukan hanya satu
rasa.”
“Apa yang sebaiknya saya lakukan, Kak?”
“Kamu, harus pandai-pandai untuk menggunakan
perasaanmu. Boleh semuanya dirasakan, tapi tidak semua perasaan harus diingat
dan disimpan. Lupakan perasaan yang tidak perlu, ganti dengan perasaan lain
yang yang lebih baik.”
“Tapi susah, Kak.”
“Memang susah. Tapi masih bisa diusahakan kan.
Kalaupun masih belum bisa melupakannya, ingatlah betapa tidak nyamannya, betapa
resahnya, betapa tidak enaknya merasakan perasaan yang seperti itu. Perasaan
itu sangat bisa dikelola, siapa yang bisa mengendalikan perasaannya, dia akan
lebih mudah mengendalikan orang lain.”
“Baiklah, akan saya coba, Kak.”
“Iya, semoga berhasil.”
“Makasih, Kak.”
“Sama-sama.”
#diorama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar