Aku
selalu senang menikmati episode hening dalam hidupku. Suka, sangat suka.
Jika ditanya alasannya kenapa, sebenarnya, aku lebih suka menjawabnya dengan
entah. Bukan karena tak tahu, tapi memang sulit untuk digambarkan. Tapi tak ada
salahnya juga untuk mencoba kan?
Buatku, hening tak harus malam. Walaupun malam sudah ditunjuk
Tuhan untuk memfasilitasi hening yang terbaik di sepertiga akhirnya. Hening
juga tak melulu sepi. Walaupun sepi sudah mengakuisisi hening agar identik
dengannya. Maka, jika tidak berjodoh dengan sepi karena waktu yang tak sepakat,
atau karena kondisi yang tak memihak, hening itu masih bisa dicari. Jika tak
berhasil menaklukan malam, karena lelah yang tak tertanggungkan, atau mata yang
sudah tak bisa berkompromi, hening itu juga masih bisa ditemukan. Ini, karena
hening tak selalu memihak malam, juga tak harus membersamai sepi. Karena itu,
banyak yang setia menemani malam tapi belum beruntung mendapatkan hening.
Banyak yang berteman dengan sepi, tapi tak kunjung dekat dengan hening.
Hening, adalah jeda. Jeda untuk mengenal diri sendiri, juga
untuk mengenal-Nya lebih dekat. Karena siapa yang tak mengenal dirinya, akan
sulit untuk mengenal Tuhan-nya. Hening juga bisa digunakan untuk mengenal
kemanusiaan, beserta dinamika hidup dan kehidupan yang melekatinya. Jika punya
sedikit jiwa nakal, sesekali boleh juga menggunakan hening untuk mengintip,
mengintip kepribadian dan pengalaman orang lain. Tak lain, untuk belajar dari
kelebihan dan kekurangan mereka. Karena bisa jadi, hening itu bisa mengusir
iri, yang selalu menggoda jika kita melihat kelebihan orang lain. Atau minimal
bisa membungkam sombong, yang selalu merayu jika kita berjumpa dengan
persimpangan antara kelebihan diri sendiri dan kekurangan orang lain.
Hening, bisa juga digunakan untuk mengumpulkan oksigen, agar
bisa bernafas dengan segar di sela lelah. Agar bisa bergerak lebih cepat di
kala sibuk. Agar bisa menguapi penat yang bisa kapan saja menggoda. Jika sedang
bernasib baik,hening bisa menghasilkan air mata yang menghapus titik-titik noda
dalam hati agar tak berbiak layaknya virus, yang akan menggerogoti kebaikan
sedikit demi sedikit, lantas menggantinya dengan penyakit hati yang
mematikan.Tapi terkadang, hening juga tak menghasilkan apa-apa, selain
ketenangan yang tak terdefinisi.
Hening, adalah jejak-jejak pencarian. Untuk mendalami lautan
syukur yang baru sekedar terucap manis dari mulut. Juga untuk menjelajahi
samudera sabar, yang masih sekedar menjadi penghibur lara yang begitu mudah
ditaklukan kesah. Hening, adalah waktu untuk merangkai mimpi, membuat harapan
yang menghidupkan, juga eksperimen ide untuk menggapainya. Jika gagal, gunakan
saja hening untuk mengevaluasinya. Bisa jadi, hening adalah senyuman sekilas
tentang kebodohan kita, yang disusul dengan bara semengat untuk memperbaikinya.
Hening, adalah romantisme antara kita dengan Tuhan. Romantisme
untuk bertanya dan menjawab rahasia-rahasia Tuhan tentang kenyataan yang
menimpa kita. Monolog, tapi tetap mesra. Jika cinta kita kuat, Tuhan akan
memberitahukan rahasiaNya. Bisa jadi melalui pikiran selintas, atau dengan
isyarat berupa peristiwa yang terjadi di hadapan mata. Bisa jadi juga itu
berupa kejutan dari Tuhan, dan kita tidak menyadarinya kalau itu kejutan cinta
dari Tuhan. Bukankah cinta tak harus selalu diketahui. Karenanya, hening,
adalah cinta rahasia antara kita dengan kerabat dan sahabat. Bisa jadi cinta
itu berupa doa tulus yang selalu terucap, yang menjadi rahasia kita dengan
Tuhan saja. Bisa juga cinta itu berbentuk celah waktu untuk memikirkan
mereka, jika ada kesempatan, cinta itu bisa saja berwujud hadiah dan kejutan
untuk mereka.
Itulah, kenapa aku menyukai episode hening. Mungkin kamu punya
pandangan lain tentang hening. Dan itu mungkin lebih baik dari yang aku
gambarkan. Seperti yang kujelaskan di atas, aku kesulitan untuk
menggambarkannya. Tapi semoga bisa diambil hikmahnya. Sampai jumpa pada tulisan
berikutnya.
***
Disekanya
air mata yang menetes perlahan dengan jilbab lebarnya. Sore itu, kampus memang
sudah sepi. Sehingga tidak seorangpun yang melihatnya menangis. Tapi hatinya
masih gerimis, artikel tanpa judul yang baru saja dibacanya di mading mushola,
telah membuatnya sadar. Bahwa, selama ini dirinya terjebak pada rutinitas.
Kuliah yang silih berganti, agenda organisasi yang menumpuk, ibadah yang hanya
mengikatnya pada sekedar targetan penggugur kewajiban. Sedangkan jiwanya begitu
lelah, begitu kering.
“Aku
harus segera menemukan dan menikmati episode heningku,”
lirihnya
dalam hati.
#diorama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar