“Familiar
deh sama sesuatu yang bernama dewasa. Itu apa sih? Penting emang yaa? Bosen,
ketika banyak orang mengatakan, ‘kamu dewasa dooong.’ Emang dewasa tuh kaya
gimana sih? Dewasa itu mesti berpura-pura nerima sesuatu yang kita enggak suka?
Dewasa itu ketika kita berubah jadi manusia munafik? Bilang iya, tapi hatinya
berontak? Dewasa itu berarti bebas menilai orang seenaknya, gitu? Kalo seperti
itu bentuknya, lebih baik aku enggak pernah dewasa.” *
Hanya lengkung senyum dan wajah simpati yang bisa aku berikan
untuk sahabatku itu, atas ceritanya yang berapi-api tentang apa yang sedang
dialaminya. Dituntut dewasa oleh lingkungannya. Diharapkan dewasa oleh
orang-orang di sekitarnya. Tapi menurutnya, mereka yang memintanya untuk bersikap
dewasa itu juga belum memiliki kedewasaan itu sendiri. Aduh, ribet.
Aku tidak sepenuhnya sepakat dengan apa yang dikatakannnya. Tapi
aku memilih diam mendengarkannya. Ketidaksepakatan tidak harus diungkapkan
dengan tergesa-gesa bukan? Selayaknya, ketidaksepakatan diungkapkan untuk
saling meluruskan, bukan untuk menunjukan siapa yang benar siapa yang salah,
atau menunjukan siapa yang lebih tahu daripada siapa. Aku tidak sepakat dengan
apa yang dikatakannya, tapi belum tentu aku yang benar. Bisa jadi memang dia
yang benar. Tapi siapapun yang benar dan siapapun yang salah, ketidaksepakatan
harus menyediakan ruang untuk saling meluruskan. Hanya saja, saat ini sahabatku
itu tidak membutuhkan ruang seperti itu. Ia membutuhkan ruang lain, ruang untuk
didengarkan.
“Udah keselnya? Mau makan apa mau tidur?” tanyaku melihat emosinya yang mulai reda, menawarkan
kebiasaannya kalau lagi kesel.
“Mau makan terus tidur.”
“Jiaah, enggak tahu malu ya, di rumah orang minta
makan sama tidur.” Aku
mengajaknya bercanda
“Biarin. Lagian kamu yang nawarin ya, bukan aku yang
minta.” Jawabnya
asal, sudah bisa tersenyum
***
Selagi sahabatku tidur, setelah makan tentunya, aku mencoba
mengingat kembali tentang apa yang diceritakannya. Hmm, dewasa? Aku tentu saja
tak layak untuk menyebut diriku sendiri dewasa, untuk beberapa hal mungkin iya.
Tapi untuk banyak hal lain, aku sendiri masih jauh dari kata itu. Dan tentu
saja aku belum layak untuk menasihatinya tentang itu. Aku putuskan untuk
membantu dalam hal lainnya, bukan tentang dewasa yang masih sangat sensitif di
pendengarannya. Tapi aku tetap tertarik untuk membawa pikiranku melanglangbuana
menelesuri tiga suku kata itu; de-wa-sa.
Aku sendiri, tak terlalu mengerti tentang bagaimana sebenarnya
sisi dewasa, yang proporsinya masih sangat kecil itu muncul di dalam diri. Yang
aku ingat, semenjak aku masuk sekolah menengah atas, ada perubahan dari
perlakuan mama terhadapku. Tingkat kecerewetan mama turun drastis. Bahkan yang
menurutku paling lucu adalah cara beliau marah.
“Mama lagi marah nih sama kamu.”
Awalnya aku bingung, marah kok bilang-bilang. Marah kan harusnya
spontan. Ya marah aja, dengan bentak-bentak misalkan, atau cerewet kemana-mana,
atau ekspresi lain yang menandakan sedang marah. Lah ini mama, marah malah curhat.
Mama ini lagi begini begitu loh, dan bla-bla-bla nasihat lainnya. Terus mama
akan mendiamkanku seharian. Memberikan waktu kepadaku untuk memikirkan
kesalahanku apa dan bagaimana cara memperbaikinya. Besoknya aku tinggal minta
maaf, melaporkan hasil perenunganku tentang kesalahan itu dan bagaimana nanti
aku memperbaikinya. Lalu mama tersenyum manis sebagai tanda perdamaian, artinya
mama enggak marah lagi.
Yang lebih lucu lagi, kalau mama lagi lupa kalau hari itu dia
sedang marah sama aku, terus ngajak ngomong duluan. Biasanya mama jadi ngomong
sama diri sendiri. “Eh, mama
gimana sih. Kan mama lagi marah.” Terus mama menjauhi aku. Kalau
akunya lagi kesel banget, enggak terima dengan marahnya mama, merasa kalau aku
yang bener mama yang salah; diam-diaman itu berlangusng sampai esok harinya.
Aku enggak mau minta maaf dan mendatangi mama. Kalau sudah begitu, di hari
ketiga mama akan mengalah, terus mendatangiku dan meminta maaf duluan. Aku yang
giliran tersenyum duluan, tanda berdamai.
Belakangan aku baru sadar, kalau itu adalah salah sata cara mama
mendidikku agar bisa dewasa. Mendidik dengan perbuatan, dengan keteladanan,
dengan sikap dewasa itu sendiri. Bukan dengan kata-kata ‘kamu harusnya dewasa’.
Bukan juga dengan tuntutan seharusnya kamu begini atau seharsnya kamu begitu
yang terasa memberatkan. Dan sampai sekarang, pemahaman itu masih melekat dalam
diriku, dan sedikit banyak mempengaruhi untuk bersikap ke orang lain.
Ibaratnya, mama itu kayak cermin, tempat aku berkaca tentang kekuranganku. Tempatku
mencari refleksi tentang kebaikan yang harus dilakukan.
***
“Hey,,” tiba-tiba sahabatku itu mengagetkanku dari belakang, aku
masih duduk di meja belajarku
“Udah bangun toh, gimana udah lebih baik?”
“Lumayan lah, tadi lagi ngelamunin apa sih? Serius amat?”
“Gpp. Eh, temenin aku ngaca yuk..” aku menariknya tanpa persetujuan di meja rias kamar,
ada cermin yang cukup besar disana
“Ih, ganjen deh, ngaca aja minta ditemenin.”
“Gpp. Sekali-kali.” Kami sudah ada di hadapan cermin
“Astaga, muka aku lecek banget ya, berantakan..” dia kaget melihat mukanya yang bangun tidur, ditambah
lagi banyak pikiran
“Hahaha, emang...”
“Kurang ajar, hahaa...”
“Eh, sadar atau enggak kita butuh banget cermin yaa?”
“Iya lah, mana ada cewek yang enggak butuh cermin. Bahkan
sebagian besar cewek selalu bawa cermin kecil di tasnya. Kamu juga kan?”
“Iya, hehe... Buat tampil oke, ngeliat
kekurangan-kekurangan apa aja yang terjadi di area wajah. Terus memperbaikinya
dengan make-up yang dibawa.”
“Iya, bener.”
“Maaf ya, kalau aku ikut campur sama masalah kamu, tapi kalau
aku biasanya mengibaratkan kritakan orang lain, entah itu baik ataupun buruk,
benar ataupun salah kayak cermin. Cermin di hadapan kita ini bisa ngeliat
kekurangan wajah kita, kalau lagi kusut, bedaknya ketebalan, lipstiknya agak
belepotan, dan sebagainya dan sterusnya. Karena cermin itu kita tahu, karena
cermin itu jugalah kita mengerti apa yang harus diperbaiki, manaa yang harus
dipoles. Sayangnya, cermin ini hanya bisa meihat kekurangan di area wajah, atau
are fisik yang lainna. Tapi enggak bisa melihat kekurangan kita yang nonfisik,
seperti keperibadian, sikap, karakter dan sejenisnya. Kita butuh cermin dalam
bentuk lain untuk melihatnya. Untuk kemudian, memperbaiki apa yang kurang dari
diri kita berdasarkan bayangan dari cermin itu. Dan menurutku itu enggak salah,
ketika kita menjadikan orang lain sebagai cermin itu, malah bagus juga demi
kebaikan kita kan?”
“Iya ya, kamu bener. Harusnya aku enggak terlalu berlebihan
menanggapi kritikan atau permintaan teman-temanku itu. Btw, kamu kok baik
banget sih sama aku? Padahal akunya suka nyebelin.”
“Soalnya aku udah tahu pintu surga itu dimana.”
“Dimana emang?”
“Di setiap kebaikan yang kita lakukan.”
“Haha, mulai keluar deh ustadzahnya, Assalamualaikum ukhtii,,”
“Sial, haha ...”
“Hah, mana boleh salam dijawab dengan sial. Haha..”
“Iya, aku ralat, Waalikumsalam ...”
“Tapi makasih banget ya, buat semuanya ...” tiba-tiba ia
memelukku
Memang, masih sulit sekali memberitahukan sahabatku itu tentang
agama, tentang harus sholat lima waktu, juga tentang syurga dan neraka. Aku
pernah membuat kesalahan dengan berkeinginan untuk mengubahnya menjadi lebih
baik agar kita sama-sama bahagia. Dan ternyata itu menyakitkan, yang aku dapat
hanya kekecewaan. Harusnya dari dulu aku memiliki keinginan untuk tetap
berbahagia bersahabat dengannya, walaupun dia belum bisa berubah. Seperti saat
ini.
*Quote from @syabania, dengan sedikit
penyesuaian.
#diorama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar