Jumat, Januari 15, 2016

Menunggu Bus

Sekian lama aku mencari ketenangan, tapi yang kutemukan hanyalah hampa. Sedapat mungkin aku menyibukkan diri dengan rutinitas, tapi yang kudapatkan hanyalah bosan. Apa mungkin karena kamu? Aku juga tak tahu pasti. Andai saja perasaan itu sejenis masakan, yang tinggal dikasih garam ketika kurang asin, atau ditaburi bumbu-bumbu tertentu ketika masih hambar; mungkin segalanya akan lebih mudah. Tentu saja bagi orang-orang yang pintar memasak. Sayangnya aku tak termasuk ke dalam golongan itu. Ah sudahlah, lagipula perasaan memang bukan masakan.

Seorang teman yang tahu banyak tentang agama pernah berkata; hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenang. Aku sudah melakukannya, tapi kenapa hatiku tak kunjung tenang? Well, aku cukup tahu diri lah ya. Tentu saja bukan mengingat Allah-nya yang salah, sudah pasti kesalahan ada padaku. Entah cara mengingatNya yang salah, kurang khusuk, kurang rajin, kurang sholeh, kurang beriman atau kurang-kurang lainnya. Dan tanpa mengurangi rasa hormatku kepadanya, aku mencoba mencari jalan lain untuk menghilangkan keresahan ini. Aih, maafkan aku ya Allah, jika aku masih jauh lebih banyak mengingat dunia daripada mengingatMu. Tapi jujur, itulah kenyataannya. Semoga Engkau masih berkenan memberikan kesempatan untuk mempeerbaiki diri.

Akupun menuju sahabaku yang lain, berharap mendapatkan solusi yang lain darinya, yang lebih tepat untukku. Sayangnya, sahabatku itu juga tak punya solusi.

***

"Dear, sorry ya, kali ini aku belum bisa bantu. Aku belum pernah merasakan apa yang sedang kamu rasakan sekarang. Aku juga enggak tahu baiknya kamu harus kayak gimana. Jadi, daripada aku ngomong sembarangan dan malah nanti menyesetkan, lebih baik aku ajak kamu jalan-jalan. Ayo." Sahabatku itu menarik tanganku, tanpa menunggu persetujuanku.

"Kita mau kemana?"
"Ikut aja dulu."

Dia mengajukku ke terminal bus, menunggu bus umum dengan nomor sekian yang dia sebutkan, berkumpul dengan puluhan penumpang bus yang lainnya. Lima belas menit berlalu, bus tak kunjung datang. Aku dan beberapa calon penumpang lainnya sudah mulai kesal. Tiga puluh menit berlalu bus tak kunjung datang kekesalanku memuncak. Aku mulai mengomel panjang lebar ke sana ke mari. Sahabatku itu hanya membalas dengaan senyuman. Lalu berkata pelan, tapi dalem.

"Dear, emosi yang bisa kita rasakan itu sifatnya sementara; kita bisa menunggu emosi itu berlalu seolah kita sedang menunggu sebuah bus. Kita bisa menunggunya dengan rasa frustasi, kemarahan, ataupun merasa menjadi korban, tetapi itu semua tidak akan membuat bus datang lebih cepat. Kita bisa menunggu dengan sabar, santai, tenang, tetapi itu juga tidak membuat bus datang lebih awal. Bus itu akan datang ketika waktunya tiba. Begitu juga dengan apa yang belakangan ini sedang kamu alami. Bagaimanapun kamu menyikapinya, itu tidak akan merubah apa yang sudah Tuhan tetapkan untuk kamu. Jadi, kalau tadi kamu bertanya tentang pendapatku, jawabanku adalah terserah kamu. Mau bagaimana menyikapinya."

Aku masih speechless ketika bus yang kami tunggu datang. Ia mengagetkanku dan menggandengku naik bus. Akhirnya aku tahu dimana ia mengajakku, di tempat makan eskrim favorit kami. Tak ada yang istimewa sebenarnya, selain sebuah kisah yang ia ceritakan.

***

Suatu malam ada seseorang yang pulang dan terkunci di luar rumah. Kebetulan ia hanya sendiri di rumah itu. Ia pun mencari kunci rumahnya di sekitar jalan di depan rumahnya yang diterangi lampu jalan. Beberapa tetangga ikut membantu. Tapi setelah sekian lama, kunci tersebut tak kunjung diitemukan. Salah seorang tetangganya bertanya:

"Dimana terakhir kali kamu melihat kunci itu?"
"Di bawah pintu." Jawabnya santai, tetangganya kaget sekaligus bingung
"Lalu kenapa kamu mencarinya di bawah lampu jalan?"
"Karena di sini jauh lebih terang daripada di depan pintu."

***

Aku bengong, masih mencerna ceritanya, sahabatku itu malah asik menghabiskan eskrimnya.

“Dear, perumpamaan tadi juga mirip dengan petunjuk yang kita gunakan dalam hidup. Seringkali ketika kita mencari petunjuk untuk menemukan solusi permasalahan yang kita hadapi, kita langsung mencarinya ke orang-orang tertentu atau ke tempat yang kita anggap lebih ‘terang’. Padahal, terkadang solusinya ada di tempat yang gelap. Ada di dalam masalah itu sendiri. Ada dalam diri kita sendiri. Tersembunyi dalam ketidakberdayaan atau ketidaktahuan kita. Kita hanya perlu sedikit kesabaran untuk menjalaninya, sedikit jeli untuk menemukan kuncinya. Mungkin dengan lebih mendekat kepada Allah, akan banyak membantu.”

Aku mulai mengerti, mulai bisa tersenyum, dan mulai bisa menikmati eskrimnya. Dan semoga bakalan lebih sering mendekatiNya.




*cerita tentang bus dan kunci diadaptasi dari buku "Letter to Sam" karya Daniel Gotttlieb[highly recomended book]


#diorama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar