“Kita,
selalu punya pilihan untuk menyikapi suatu kondisi, Nak.”
“Tapi hati Putri sudah terlanjur kecewa, Bunda.”
“Iya, yang harus Putri tahu, memilih itu tugasnya akal. Bukan
hati. Hati tak perlu memilih. Hati selalu tahu apa yang harus dirasa. Terlepas
dari benar atau salah perasaan itu. Hati juga terlalu jujur untuk bisa dipaksa.
Bunda jelas tidak bisa memaksa Putri yang sedang kecewa menjadi Putri yang
bahagia. Bahkan, Putri sendiri tidak bisa memaksa hati dan perasaan Putri. Yang
bisa kita lakukan adalah berproses, saling meluruskan antara akal dan hati.
Dengan proses pemahaman yang baik, cepat atau lambat waktu akan menyembuhkan
sakit hati itu, kekecewaan itu.“
“Maksudnya, Bunda?”
“Akal kita selalu diberikan kesempatan untuk memaknai suatu
peristiwa, untuk memberikan persepsi dan sudut pandang yang kita miliki
terhadap peristiwa itu. Pemaknaan yang kita berikan itulah yang akan sangat
berpengaruh pada apa yang kita rasa. Pemaknaan yang salah, cenderung bersifat
negatif, juga akan menghasilkan perasaan yang negatif. Sebaliknya pemaknaan
yang baik akan menghasilkan perasaan yang baik juga. Misalkan, kalau kita gagal
terhadap suatu hal, kemudian kita memaknai kegagalan itu sebagai ketidakberdayaan
kita, atau ketidakadilan nasib, pasti akan berujung kepada keputusasaan. Tapi,
kalau kita memaknainya sebagai sebuah pembelajaran, karena usaha kita yang
masih belum maksimal, karena perjuangan kita yang masih biasa-biasa saja,
karena Allah menjadikan kita kuat, pasti akan menimbulkan perasaan optimisme
dan semangat untuk menjadi lebih baik lagi.”
“Begitu juga dengan sakit hati. Kalau kita memaknai bahwa
manusia itu terbatas, banyak salah juga lalai, dan sesekali ketidakberuntungan
mendatangi kita, karena kita menjadi korban kelalaian itu, harusnya kita bisa
lebih memakluminya. Sakit sih, tapi begitulah adanya. Kita tidak bisa melawan
ketentuan itu. Itulah hukum kehidupan yang berlaku. Kita juga tidak hidup di
planet malaikat yang bebas dari kesalahan. Kita hidup di planet yang bernama
realitas; sesekali salah, sesekali menyakitkan. Bahkan kadang, kesalahan dan
menyakitkan itu terjadi dalam waktu yang bersamaan.”
“Apa Putri salah kalau ingin melampiaskan dan membalas
sakit hati Putri, bunda?”
“Tak ada yang perlu dibalas dari rasa sakit, sayang. Kalaupun
mau membalas, balasalah dengan penyadaran; karena hanya dengan begitulah yang
menyakiti bisa lebih sakit daripada yang tersakiti. Buat orang yang menyakiti
itu sadar akan kekeliruannya, sadar akan kesalahannya, dan menyesal dengan apa
yang telah dilakukannya. Lalu, jangan lupa menyempurnakannya dengan maaf.
Biarkan, kita sama-sama mendapatkan kebaikan dari peristiwa itu. Kalaupun
memang harus ada yang tersakiti, cukup kita saja yang tersakiti. Tak perlu
menambah sakit hati yang lainnya, termasuk orang yang menyakiti kita.”
“Tapi masih sakit, Bunda. Masih enggak terima.”
“Iya, bunda ngerti kok. Emang perlu waktu, perlu proses. Tidak
bisa langsung. Tidak bisa sekaligus. Tapi apapun itu, semoga bisa menikmati
prosesnya. Semoga bisa lebih banyak belajar dewasa dan bijaksana dalam
menghadapi kehidupan.”
“Emang bunda tahu, kenapa Putri sakit hati?”
“Mana bunda tahu, kan Putri baru cerita kalau lagi sakit hati,
belum cerita penyebabnya apa.”
“Capek deh.”
#diorama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar