“Gpp
kok, segala lelah akan berbuah. Hanya masalah waktu saja kapan buah itu bisa
dinikmati. Ada
buah yang bisa kita panen dan nikmati dalam waku dekat, ada yang harus menunggu
sampai batas waktu tertentu agar buah itu benar-benar siap unuk dinikmati. Yang
pasti, siapa yang menuai usaha sekecil apapun, akan menuai hasilnya. Kalau
tidak sekarang mungkin nanti. Kalau tidak di dunia sini, mungkin Allah sudah
mempersiapkan buah yang lebih baik di akhirat sana. Jadi, Putri enggak perlu
kecewa.”
“Tapi kan sedih, Bunda. Dia itu temen deket aku banget. Enggak
rela harus kehilangan dia. Enggak rela dia berubah begitu jauh. Apalagi udah
lama berjuang bersama. Kenapa dia harus keluar dari organisasi yang selama ini
mendidik dan membesarkannya coba. Sedihnya lagi aku gagal membuat dia
bertahan.”
“Iya wajarlah kalau sedih, Nak. Malah aneh kalau gagal
tapi bahagia.”
“Berarti enggak salah dong kalo Putri sedih karena
merasa kehilangan?”
“Emang siapa yang bilang sedih itu salah? Tapi yang harus kita
pahami, suka dan duka itu masih sama-sama rasa, sama-sama produknya hati. Hanya
penyajiannya saja yang berbeda. Jika diolah dengan bumbu penerimaan yang sama,
dengan sabar dan syukur yang saling melengkapi; rasanya tidak akan berbeda
jauh.”
“Tak ada cara terbaik untuk memahami kehilangan selain
dari sisi yang pergi, bukan sisi yang ditinggalkan*.”
“Maksudnya Bun?”
“Kalau Putri melihat keluarnya temen Putri dari sisi Putri yang
ditinggalkan sebagai seorang sahabat, pasti Putri hanya akan menuai kesedihan
karena harus berpisah dengannya, tidak sering ketemu seperti biasanya, tidak
sedekat dulu, akan ada banyak sekat yang menghalangi. Begitu juga ketika Putri
melihat dari sisi organisasi yang ditinggalkan, pasti hanya akan menuai
kekecewaan. Kecewa karena komitmen atau etika organisasi yang dilanggar.”
“Terus?”
“Sekarang, coba Putri lihat dari sisi yang meninggalkan.
Bukankah temen Putri itu suka cerita tentang ketidaknyamanannya, tidak tahan
dengan perasaannya, suka tidak enak dan terganggu, yang membuat
produktivitasnya di beberapa aspek kehidupan menurun drastis? Semoga dengan
keluarnya yang bersangkutan dari organisasi, hidupnya bisa lebih tenang,
terlepas dari masalah yang selama ini membebaninya, bisa lebih menikmati
hidupnya. Dan yang paling penting, tetap terjaga dalam kebaikan, walaupun sudah
tidak bersama-sama lagi. Dengan melihat dari sisi itulah, kita bisa lebih bijak
memahami kehilangan, bisa lebih paham; bahwa dibalik peristiwa semenyakitkan
kehilangan, masih tersimpan ruang untuk menempatkan kebahagiaan.”
“Ah, bahkan terkadang kita tak perlu kehilangan jika
kita mau mempertahankan.”
“Emang bisa, bunda?”
“Putri boleh kehilangan temen yang bersangkutan dalam tim
organisasi, tapi Putri punya pilihan untuk tidak kehilangan dia sebagai seorang
sahabat. Kita punya banyak dimensi kehidupan, kehilangan satu dimensi bukan
berarti kehilangan semuanya. Anggap saja organisasi itu sebagai salah satu
dimensi, dan kebetulan kalian tidak bersepakat dalam hal organisasi itu. Tidak
sepemahaman dan tak sejalan pikiran. Cukup saling menghormati dan menghargai
tentang keputusannya masing-masing. Tapi tentu saja kalian masih punya kegiatan
yang bisa dilakukan bersama, masih bisa jalan bareng, masih bisa ketawa-ketiwi
bukan? Toh sahabat tak harus selamanya sejalan, tak harus semuanya searah.
Bahkan perlu beda untuk saling membuktikan, perlu jeda untuk bisa lebih
merekat.”
“Iya juga ya, Bun. Kenapa selama ini enggak kepikiran?”
“Karena kalian sama-sama egois untuk lebih dulu
memulai. Oh ya, Emang kenapa temennya sampai memutuskan keluar begitu?”
“Biasa lah, Bun. Karena enggak sreg dengan apa yang ada, enggak suka
dengan ini-itunya dan merasa sudah banyak dikecewakan. Mungkin karena dianya
masih belum matang dan belum bisa berfikir dewasa aja kali ya, sampai dia
mengambil keputusan itu.”
“Atau mungkin sebaliknya, Putri dan teman-teman Putri
yang belum bisa berfikir matang dan dewasa sehingga yang bersangkutan tidak
sanggup bertahan dan memutuskan untuk keluar.”
“Lho kok gitu, Bun?”
“Nak, kadang kita terlalu egois untuk melihat dari satu sisi
saja. Sisi dimana kita terlihat benar. Sisi dimana kita punya segudang
pembelaan dan pembenaran. Kita sering melupakan sisi lainnya, sisi gelap tempat
kesalahan kita, tempat kelemahan kita. Dalam kasus ini, Putri melihat dari sisi
yang pertama, tapi lupa melihat dari sisi yang kedua; karena bisa jadi temen
Putri itu memutuskan keluar karena sikap dan perilaku Putri dan temen-temen
lainnya yang kurang berkenan dan membuatnya kecewa.”
“Apa kita harus selalu menggunakan sisi kedua tadi dalam setiap
permasalahan, Bunda.”
“Tidak selalu, yang paling bijak adalah melihatnya dari dua
sisi, lalu mempertemukannya di tengah-tengah. Ambil yang baik dari kedua sisi,
dan tinggalkan sebisa mungkin yang kurang baiknya.”
“Tapi kenapa ya, Bun; Putri kok merasa kasus kayak
temen Putri tadi semakin banyak menjamur di berbagai macam organisasi, kayak
virus yang menebarkan penyakit?”
“Penyakit tidak mati dengan membunuh pasiennya,
sayang. Penyakit hanya akan mati dengan memberikan obatnya.”
“Maksudnya Bunda?”
“Penyakit yang sama, bisa muncul kapan saja, juga bisa menimpa
siapa saja. Yang harus diberantas adalah faktor penyebabnya, bukan pasien yang
mengalaminya. Kalau pasien, ya harus diobati agar sembuh. Karena kalau dibiarkan
akan membawa dampak yang semakin parah, berakibat buruk pada individu juga
organisasinya. Mungkin kalau sakitnya sudah parah banget alternatifnya
dimusnahkan, dikeluarkan dari organisasi. Tapi jika penyebabnya tidak diatasi,
penyakit yang sama bisa dengan mudah muncul kembali. Bahkan, pasien yang
dikeluarkan tadi bisa jadi menimbulkan penyakit yang lebih parah lagi.”
***
Ah
iya, bunda benar. Kita tak harus kehilangan semuanya. Tak harus melepaskan
semuanya. Karena setiap kita punya hak untuk mempertahankan apa yang penting
buat kita, sampai Allah benar-benar mengambilnya dari kita. Maaf, untuk segala
keegoisanku. Kepada siapapun yang pernah merasakannya.
*quotes by Tere Liye
Tidak ada komentar:
Posting Komentar