Jumat, Januari 15, 2016

Menyerah

“Bunda, apakah salah, jika Putri menyerah di titik ini?”

“Bunda sendiri tidak tahu persis, Nak. Yang jelas, apaapun keputusan yang kita ambil, semuanya sudah Allah tetapkan. Semuanya sudah Allah siapkan. Kita hanya tinggal merasakan. Rasakan saja dengan jujur. Putri akan tahu apakah Putri benar ataukah salah. Lagipula, sebagaimana dengan hidup, hati juga punya aturan tersendiri. Ikuti saja, jika itu benar-benar kata hatimu. Setidaknya kalaupun salah, hati akan lebih mudah berdamai dengan kata-katanya sendiri”

“Memang, kapan kita harus bertahan dan kapan kita harus menyerah, Bunda?”

“Lagi-lagi, Bunda juga tidak tahu persis, Nak. Terkadang, menyerah dan bertahan adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Ketika kita mempertahankan sesuatu, pada saat yang sama sebenarnya kita juga sedang menyerah pada sesuatu yang lain. Dan seringkali, pada saat menyerah akan sesuatu, pada saat yang sama kita sedang mempertahankan sesuatu yang lainnya.”

“Maksudnya, Bunda?”

“Kalau sebelumnya Putri bercerita tidak tahan dengan kondisi yang Putri rasakan, tidak nyaman menghadapinya, kemudian memilih untuk keluar dari kondisi tersebut; pada saat itu mungkin Putri menyerah dengan kondisi yang ada. Tapi pada sisi yang lain, sebenarnya Putri sedang mempertahankan perasaan Putri. Menjaga perasaan Putri agar tidak tersakiti, agar tidak terlibat lebih dalam lagi untuk hal yang tidak ingin Putri rasakan. Mungkin ada juga teman Putri yang merasakan hal yang sama, tapi memilih untuk bertahan dengan kondisi yang ada. Dan pada saat yang sama, sebenarnya dia juga sedang menyerah, menyerah pada apa yang namanya kenyataan.”

“Kalau Putri bertanya mana yang lebih tepat dari keputusan yang berbeda itu, ketepatannya masih belum bisa dilihat pada saat keputusan itu diambil. Ketepatannya ditentukan oleh apa yang dilakukan masing-masing yang mengambil keputusan itu selanjutnya. Bisa jadi kedua-duanya tepat, bisa jadi hanya satu yang tepat, bahkan bisa jadi dua-duanya tidak tepat. Yang bertahan pada kondisi, dikatakan mengambil keputusan yang tepat jika yang bersangkutan bisa menghadapi kondisi yang ada, berproses dengan baik sedikit demi sedikit untuk mengubah ketidaknyamanan itu menjadi sebuah perjuangan tersendiri, lalu menikmati perjuangannya, menemukan kekuatannya juga memperdalam pemahamannya. Yang memilih menyerah pada apa yang namanya kondisi, baru bisa dikatakan tepat jika yang bersangkutan bisa menemukan kondisi baru yang lebih baik, tidak terbawa dalam penyesalan yang berkepanjangan, juga tidak terlau terganggu dengan apa yang sudah dipilihnya, dan yang lebih penting bisa merasakan apa yang selama ini dicari, apa yang selama ini sangat ingin dirasakan.”

“Sebenarnya, apa yang harus kita pertahankan dan apa yang perlu kita lepaskan, Bunda?”

“Setiap orang punya prioritas masing-masing, sayang. Sebagaimana setiap orang juga berhak untuk memilih keputusannya masing-masing. Tapi kalo Bunda akan mempertahankan apa yang menurut bunda berharga, untuk hal yang lebih hakiki, bukan untuk hal yang sementara. Suka-duka, sedih-bahagia, sakit hati-kecewa; itu hanyalah sementara. Hari ini kita sedih, besok bisa jadi sudah bisa tertawa lebar. Pagi bahagia, sorenya bisa jadi sudah mendengar berita yang menyesakkan. Tapi pemaknaan dan penyikapan terhadap peristiwa itu yang hakiki, yang abadi. Pahala dari sabar dan syukur yang dibawa mati. Bukan kenangan perasaan.”

“Berarti, Putri salah ya Bunda?”

“Aduh, sayang. Benar salah itu relatif, tergantung dari sudut mana kita melihatnya. Kecuali, kalau Allah atau rasulNya sudah menetapkan itu benar atau salah. Dari sudut pandang organisasi yang ditinggalkan ada baik buruknya. Kurang baiknya, butuh waktu untuk mencari pengganti Putri, butuh waktu untuk menyesuaikan untuk komunikasi, untuk penjelasan dan yang lainnya. Baiknya, bisa dijadikan pelajaran bersama untuk saling menjaga, saling memahami juga saling memperkuat. Bisa memberi kesempatan orang lain, tempatnya pengganti putri untuk berkembang, dan semoga bisa menjalankan tugas dan kewajibannya jauh lebih baik dari Putri sehingga organisasinya juga menjadi lebih baik.”

“Dari sudut pandang Putri juga ada baik buruknya. Baiknya, mungkin Putri bisa lebih tenang, bisa lebih lega. Lepas dari beban yang selama ini serasa berat banget. Kurang baiknya, Putri kehilangan tempat untuk banyak belajar; belajar bersabar, belajar untuk kuat dalam ketidaknyamanan, juga belajar-belajar yang lainnya.”

“Kalau dari sudut pandang bunda, enggak masalah; selama anak bunda yang satu ini bisa belajar, bisa menyadari dimana salahnya jika ada yang salah, lalu mau memperbaikinya. Mau menjadikannya sebagai pengalaman masa lalu yang berharga, untuk dijadikan pelajaran di masa depan, seburuk apapun pengalaman itu. Toh, boleh jadi, kita memiliki masa lalu yang buruk. Tapi kita selalu diberikan kesempatan untuk mengubahnya. Selalu. Kesempatan untuk menjalankan masa depan yang lebih baik.“

“Kalaupun merasa benar dan tidak ada yang salah, setidaknya bisa memahami sekaligus memberi ruang maaf untuk yang salah. Diambil yang baiknya, lalu diperbaiki sebisa mungkin yang kurang baiknya. Itulah manusia. Punya banyak kelemahan. Perlu titik-titik tertentu dimana kita perlu menyerah, juga kapan kita harus benar-benar bertahan. Karena titik-titik itulah yang mengajarkan kita apa itu lemah, juga mengajarkan bagaimana harus menjadi kuat. Itulah hidup dan kehidupan. Bahwa apa yang ada di dalamnya adalah kumpulan dari satu proses ke proses lainnya. Dan hasil dari prosesnya, tentu saja berbeda antara satu manusia dengan manusia yang lainnya. Tergantung dari usaha manusianya, tentu saja sangat ditentukan oleh ketetapan dan kebijaksanaan Allah. Maka untuk menghargaiNya, kita harus selalu menyediakan ruang tersendiri untuk berserah, berserah diri kepada Allah. Atas apapun yang menimpa kita. Jadi, dibuat mudah saja, enggak usah dipersulit, oke?”

“Oke deh, Bunda.”


#diorama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar