Jumat, Januari 15, 2016

Komitmen

Aih, bukankah malang bukan kepalang nasib seorang perempuan yang sedang terburu-buru dikejar waktu, tapi terjebak dalam konspirasi angkot? Dimulai dengan lama sekali angkotnya jalan karena menunggu penumpang penuh; teriakan calo yang sangat jauh dari sopan santun; ditambah lagi satu dua orang penumpang merokok di dalam angkot; kadang angkotnya pura-pura maju tanda akan jalan untuk menarik penumpang lainnya, lalu setelah penumpangnya masuk angkotnya mundur lagi; belum lagi mendengar keluhan dan melihat muka para penumpang yang kesel; ditambah tampang cuek dan tanpa dosa sopir angkot menanggapi keluhan penumpangnya; dan tak lupa suara klakson yang sesekali diiringi teriakan nama hewan di kebun binatang yang keluar dari pengendara lainnya karena macet. Dan perempuan malang itu bernama Putri. Diriku sendiri. Argh. Memang Tak ada hal yang lebih berat dari istiqomah. Tak ada. Setidaknya buatku. Saat ini. Bagaimanalah ini. Untuk tepat waktu menghadiri kegiatan saja sulitnya minta ampun.


***

Kalau dari buku yang aku baca tentang progression of commitment value- suatu konsep yang menjelaskan tingkatan komitmen seseorang terhadap apa yang dilakukannya, komitmen seseorang bisa dibagi menjadi beberapa tingkatan; yang paling rendah disebutkomitmen politis, seseorang berkomitmen terhadap sesuatu karena motif yang seadanya. Misalnya karena terpaksa, karena harus atau sekedar tuntutan pekerjaan. Komitmen seperti ini biasanya dimiliki oleh orang yang pekerjaannya hanya menerima tugas secara teknis saja. Tanpa mau memahaminya. Hasil dari pekerjaannya juga cenderung begitu-begitu saja, apa adanya, sebatas penggugur kewajiban belaka, minim dari prestasi.

Tingkatan selanjutnya disebut dengan komitmen intelektual, seseorang berkomitmen kepada sesuatu, karena sesuatu itu masuk akal dan menguntungkan bagi dirinya. Atau bisa juga karena sesuatu itu merupakan kebutuhan intelektualnya. Sudah mulai melibatkan pemikiran tapi belum menjadi motivasi yang cukup kuat untuk bertindak.

Tingkatan ketiga disebut komitmen emosional, pada tingkatan ini komitmen sudah suka rela, tidak memikirkan untung rugi lagi. Jika komitmen intelektual memberikan sebuah penyadaran bahwa ide atau tindakan itu benar atau nyata, maka komitmen emosional mendorong seseorang untuk bergerak.

Tingkatan yang paling tinggi disebut komitmen spiritual, dimana seseorang memberikan komitmen terhadap apa yang dikerjakannya karena panggilan jiwa, memahami dan meyakini bahwa tindakannya adalah sebuah kebaikan dan kebajikan. Orang yang memiliki komitmen jenis ini, akan senang melakukan pekerjaannya juga berusaha mati-matian untuk melakukan yang terbaik atas apa yang dikerjakannya.

Tentu saja pembagian komitmen itu tidak bersifat mutlak untuk seseorang. Bisa jadi untuk tugas atau pekerjaan tertentu kita bisa memberikan komitmen spiritual, tapi untuk pekerjaan lain kita hanya bisa sebatas memberikan komitmen intelektual. Bisa jadi di satu organisasi kita mempunyai komitmen emosional, tapi diorganisasi lainnya kita hanya mempunyai komitmen politis.

***

Lalu, apa hubungannya dengan angkot yang kutumpangi ini? Tentu saja ada, jika tidak buat apa aku bercerita panjang lebar tentang komitmen coba. Bisa juga ini berhubungan dengan tugas, pekerjaan atau organisasi dimana kita berada sekarang. Kebetulan supir angkot yang aku tumpangi ini (dan menurutku kebanyakan sopir angkot lainnya) hanya memberikan komitmen politis atau komitmen intelektual terhadap pekerjaannya sebagai sopir angkot. Masih egois untuk mementingkan kepentingan dirinya menarik angkot, untuk mendapatkan keuntungan atau pendapatan yang sebanyak-banyaknya, dan demi itu sadar ataupun tidak mereka banyak mendzolimi orang lain, kurang memperhatikan kepentingan orang lain. Dari mulai menunggu penumpang sampai penuh yang tak mengenal batas lamanya waktu, sehingga banyak penumpang yang kehilangan waktu sia-sia, membuat penumpang kesal juga marah, berhenti dan mencari penumpang sembarangan yang membuat kemacetan, dan efek-efek negatif yang lainnya.

Tentu saja tidak adil jika melihat supir angkot itu hanya dari satu sisi saja. Di sisi yang lain mereka juga pahlawan keluarga yang menafkahi dan menghidupi keluarganya. Inilah intinya, pekerjaan apapun yang dilakukan dengan sepenuh hati, dengan memberikankomitmen spiritual terhadapnya, selalu menimbulkan kesan dan kepuasan tersendiri, yang secara tidak langsung berpengaruh baik terhadap orang-orang di sekitarnya atau orang-orang yang berhubungan dengannya. Bayangkan jika seorang supir angkot tujuan utamanya untuk membantu dan mempermudah penumpang, untuk memberikan pelayanan terbaik kepada penumpangnya. Pasti akan memperhatikan keselamatan dan kenyamanan penumpangnya, tentu saja menghormati waktu penumpang untuk tidak berlama-lama menunggu penumpang yang lainnya. 


***

Dua puluh dua menit sudah aku berada di angkot ini, dan perjalanan belum ada setengahnya. Maka gagal jugalah targetan bulan ini. Sebelumnya, ayah mengajariku untuk belajar dari apa saja, dari mana saja. Kata ayah, belajar itu sepanjang hidup, tak boleh berhenti belajar. Itu biasa, nasihat yang bisa dijumpai dimana saja; yang tak biasa nasihat ayah selanjutnya;

“Belajar itu harus dengan kesadaran, perlu perencanaan. Coba Putri list apa saja yang harus dan perlu Putri pelajari setiap bulannya, bulan ini mau belajar apa, mau mendalami apa, mau meningkatkan kompetensi apa, mau memperbaiki akhlak yang mana; dengan begitu setiap bulan Putri punya pelajaran yang baru, punya wawasan yang luas, lebih mengenal diri sendiri, mengetahui kekuatan dan kelemahan Putri, semakin cerdas otaknya, juga semakin cantik perilakunya.”

Dan bulan ini aku sedang belajar untuk istiqomah, terutama istiqomah untuk menghormati waktu; untuk berusaha datang in-time atau beberapa menit sebelum acara atau sebelum janji yang melibatkan orang lain. Dan baru di awal bulan, sepertinya aku gagal. Karena sudah hampir dipastikan, aku akan telat datang di acara nanti. Tapi tunggu dulu deh, sepertinya aku masih punya kesempatan kalau mengingat kata bunda;

“Istiqomah itu bukan sekedar konsisten, Sayang. Sulit sekali untuk istiqomah jika kita memahaminya sesempit itu. Padahal kita manusia, punya kecenderungan untuk lalai, sesekali lupa. Istiqomah juga mencakup konsekuen, berani bertanggungjawab atas kelalaian atau lupa yang sesekali itu.”

“Misalkan, dulu rasulullah rajin banget sholat malam, setiap hari. Tapi, kalau sesekali lelah karena perang atau urusan umat lainnya rasul juga nggak sempet sholat malam. Kalau kita memahami istiqomah itu sekedar konsisten, Berarti kalau gitu rasulullah enggak istiqomah dong, karena enggak konsisten setiap hari. Tapi rasulullah orang yang istiqomah, karena kalau malamnya beliau enggak sholat malam, pasti besoknya beliau konsekuen untuk menunaikan sholat dluhanya dengan rakaat yang lebih banyak daripada hari-hari biasanya.”

“Nah, kalau kita ingin istiqomah untuk melakukan sesuatu yang rutin, tapi di beberapa kesempatan kita tidak bisa melakukannya karena kondisi yang tidak memungkinkan, kita masih diberikan kesempatan untuk istiqomah dengan menggantinya di waktu lain atau dengan menggantinya dengan perbuatan baik lainnya.”

“Istiqomah juga harus mencakup persisten, melakukan sesuatunya dengan sebaik mungkin, dengan perbuatan yang sebaik-baiknya. Tidak sekedar formalitas atau target untuk bisa istiqomah itu sendiri. Apalagi hanya menggugurkan kewajiban saja. Memang berat sih, makanya untuk istiqomah kita harus berani untuk keras terhadap diri sendiri, tidak manja apalagi cengeng. Tidak banyak alasan.”

Berarti kalau begitu, aku bisa sedikit lebih tenang. Masih punya kesempatan untuk istiqomah menjaga waktu, tentu saja dengan mengganti ketelatan ini dengan perbuatan baik lainnya. Nanti deh aku pikirkan apa gantinya.


***

Ah, akhirnya aku sampai juga ke tempat acara. Telat setengah jam dari waktu yang seharusnya.
Dan entah harus mengeluarkan ekspresi apa. Bayangpun, acaranya masih belum dimulai. Ruangan masih kosong melompong. Baru segelintir orang yang ada di sana. Komitmen memang benar-benar langka ya, sekaligus mahal.  


#diorama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar