Aih,
bukankah malang bukan kepalang nasib seorang perempuan yang sedang terburu-buru
dikejar waktu, tapi terjebak dalam konspirasi angkot? Dimulai dengan lama
sekali angkotnya jalan karena menunggu penumpang penuh; teriakan calo yang
sangat jauh dari sopan santun; ditambah lagi satu dua orang penumpang merokok
di dalam angkot; kadang angkotnya pura-pura maju tanda akan jalan untuk menarik
penumpang lainnya, lalu setelah penumpangnya masuk angkotnya mundur lagi; belum
lagi mendengar keluhan dan melihat muka para penumpang yang kesel; ditambah
tampang cuek dan tanpa dosa sopir angkot menanggapi keluhan penumpangnya; dan
tak lupa suara klakson yang sesekali diiringi teriakan nama hewan di kebun
binatang yang keluar dari pengendara lainnya karena macet. Dan perempuan malang
itu bernama Putri. Diriku sendiri. Argh. Memang Tak ada hal yang lebih berat dari
istiqomah. Tak ada. Setidaknya buatku. Saat ini. Bagaimanalah ini. Untuk tepat
waktu menghadiri kegiatan saja sulitnya minta ampun.
***
Kalau dari buku yang aku baca tentang progression of commitment value- suatu konsep yang menjelaskan
tingkatan komitmen seseorang terhadap apa yang dilakukannya, komitmen seseorang
bisa dibagi menjadi beberapa tingkatan; yang paling rendah disebutkomitmen
politis, seseorang
berkomitmen terhadap sesuatu karena motif yang seadanya. Misalnya karena
terpaksa, karena harus atau sekedar tuntutan pekerjaan. Komitmen seperti ini
biasanya dimiliki oleh orang yang pekerjaannya hanya menerima tugas secara
teknis saja. Tanpa mau memahaminya. Hasil dari pekerjaannya juga cenderung
begitu-begitu saja, apa adanya, sebatas penggugur kewajiban belaka, minim dari
prestasi.
Tingkatan selanjutnya disebut dengan komitmen intelektual, seseorang berkomitmen
kepada sesuatu, karena sesuatu itu masuk akal dan menguntungkan bagi dirinya.
Atau bisa juga karena sesuatu itu merupakan kebutuhan intelektualnya. Sudah
mulai melibatkan pemikiran tapi belum menjadi motivasi yang cukup kuat untuk
bertindak.
Tingkatan ketiga disebut komitmen
emosional, pada
tingkatan ini komitmen sudah suka rela, tidak memikirkan untung rugi lagi. Jika
komitmen intelektual memberikan sebuah penyadaran bahwa ide atau tindakan itu
benar atau nyata, maka komitmen emosional mendorong seseorang untuk bergerak.
Tingkatan yang paling tinggi disebut komitmen spiritual, dimana seseorang
memberikan komitmen terhadap apa yang dikerjakannya karena panggilan jiwa,
memahami dan meyakini bahwa tindakannya adalah sebuah kebaikan dan kebajikan.
Orang yang memiliki komitmen jenis ini, akan senang melakukan pekerjaannya juga
berusaha mati-matian untuk melakukan yang terbaik atas apa yang dikerjakannya.
Tentu saja pembagian komitmen itu tidak bersifat mutlak untuk
seseorang. Bisa jadi untuk tugas atau pekerjaan tertentu kita bisa memberikan
komitmen spiritual, tapi untuk pekerjaan lain kita hanya bisa sebatas
memberikan komitmen intelektual. Bisa jadi di satu organisasi kita mempunyai
komitmen emosional, tapi diorganisasi lainnya kita hanya mempunyai komitmen
politis.
***
Lalu, apa hubungannya dengan angkot yang kutumpangi ini? Tentu
saja ada, jika tidak buat apa aku bercerita panjang lebar tentang komitmen
coba. Bisa juga ini berhubungan dengan tugas, pekerjaan atau organisasi dimana
kita berada sekarang. Kebetulan supir angkot yang aku tumpangi ini (dan
menurutku kebanyakan sopir angkot lainnya) hanya memberikan komitmen politis atau komitmen intelektual terhadap
pekerjaannya sebagai sopir angkot. Masih egois untuk mementingkan kepentingan
dirinya menarik angkot, untuk mendapatkan keuntungan atau pendapatan yang
sebanyak-banyaknya, dan demi itu sadar ataupun tidak mereka banyak mendzolimi
orang lain, kurang memperhatikan kepentingan orang lain. Dari mulai menunggu
penumpang sampai penuh yang tak mengenal batas lamanya waktu, sehingga banyak
penumpang yang kehilangan waktu sia-sia, membuat penumpang kesal juga marah,
berhenti dan mencari penumpang sembarangan yang membuat kemacetan, dan
efek-efek negatif yang lainnya.
Tentu saja tidak adil jika melihat supir angkot itu hanya dari
satu sisi saja. Di sisi yang lain mereka juga pahlawan keluarga yang menafkahi
dan menghidupi keluarganya. Inilah intinya, pekerjaan apapun yang dilakukan
dengan sepenuh hati, dengan memberikankomitmen spiritual terhadapnya,
selalu menimbulkan kesan dan kepuasan tersendiri, yang secara tidak langsung
berpengaruh baik terhadap orang-orang di sekitarnya atau orang-orang yang
berhubungan dengannya. Bayangkan jika seorang supir angkot tujuan utamanya
untuk membantu dan mempermudah penumpang, untuk memberikan pelayanan terbaik
kepada penumpangnya. Pasti akan memperhatikan keselamatan dan kenyamanan
penumpangnya, tentu saja menghormati waktu penumpang untuk tidak berlama-lama
menunggu penumpang yang lainnya.
***
Dua puluh dua menit sudah aku berada di angkot ini, dan
perjalanan belum ada setengahnya. Maka gagal jugalah targetan bulan ini.
Sebelumnya, ayah mengajariku untuk belajar dari apa saja, dari mana saja. Kata
ayah, belajar itu sepanjang hidup, tak boleh berhenti belajar. Itu biasa, nasihat
yang bisa dijumpai dimana saja; yang tak biasa nasihat ayah selanjutnya;
“Belajar itu harus dengan kesadaran, perlu
perencanaan. Coba Putri list apa saja yang harus dan perlu Putri pelajari
setiap bulannya, bulan ini mau belajar apa, mau mendalami apa, mau meningkatkan
kompetensi apa, mau memperbaiki akhlak yang mana; dengan begitu setiap bulan
Putri punya pelajaran yang baru, punya wawasan yang luas, lebih mengenal diri
sendiri, mengetahui kekuatan dan kelemahan Putri, semakin cerdas otaknya, juga
semakin cantik perilakunya.”
Dan bulan ini aku sedang belajar untuk istiqomah, terutama
istiqomah untuk menghormati waktu; untuk berusaha datang in-time atau
beberapa menit sebelum acara atau sebelum janji yang melibatkan orang lain. Dan
baru di awal bulan, sepertinya aku gagal. Karena sudah hampir dipastikan, aku
akan telat datang di acara nanti. Tapi tunggu dulu deh, sepertinya aku masih
punya kesempatan kalau mengingat kata bunda;
“Istiqomah
itu bukan sekedar konsisten, Sayang. Sulit sekali untuk istiqomah jika kita
memahaminya sesempit itu. Padahal kita manusia, punya kecenderungan untuk
lalai, sesekali lupa. Istiqomah juga mencakup konsekuen, berani
bertanggungjawab atas kelalaian atau lupa yang sesekali itu.”
“Misalkan,
dulu rasulullah rajin banget sholat malam, setiap hari. Tapi, kalau sesekali
lelah karena perang atau urusan umat lainnya rasul juga nggak sempet sholat
malam. Kalau kita memahami istiqomah itu sekedar konsisten, Berarti kalau gitu
rasulullah enggak istiqomah dong, karena enggak konsisten setiap hari. Tapi
rasulullah orang yang istiqomah, karena kalau malamnya beliau enggak sholat
malam, pasti besoknya beliau konsekuen untuk menunaikan sholat dluhanya dengan
rakaat yang lebih banyak daripada hari-hari biasanya.”
“Nah,
kalau kita ingin istiqomah untuk melakukan sesuatu yang rutin, tapi di beberapa
kesempatan kita tidak bisa melakukannya karena kondisi yang tidak memungkinkan,
kita masih diberikan kesempatan untuk istiqomah dengan menggantinya di waktu
lain atau dengan menggantinya dengan perbuatan baik lainnya.”
“Istiqomah
juga harus mencakup persisten, melakukan sesuatunya dengan sebaik mungkin,
dengan perbuatan yang sebaik-baiknya. Tidak sekedar formalitas atau target
untuk bisa istiqomah itu sendiri. Apalagi hanya menggugurkan kewajiban saja.
Memang berat sih, makanya untuk istiqomah kita harus berani untuk keras
terhadap diri sendiri, tidak manja apalagi cengeng. Tidak banyak alasan.”
Berarti kalau begitu, aku bisa sedikit lebih tenang. Masih punya
kesempatan untuk istiqomah menjaga waktu, tentu saja dengan mengganti ketelatan
ini dengan perbuatan baik lainnya. Nanti deh aku pikirkan apa gantinya.
***
Ah, akhirnya aku sampai juga ke tempat acara. Telat setengah jam
dari waktu yang seharusnya.
Dan entah harus mengeluarkan ekspresi apa. Bayangpun, acaranya
masih belum dimulai. Ruangan masih kosong melompong. Baru segelintir orang yang
ada di sana. Komitmen memang benar-benar langka ya, sekaligus mahal.
#diorama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar