Jumat, Januari 15, 2016

Kenapa

Eh, kalian kesel enggak sih, kalau ada orang yang sudah paham tapi melakukan kesalahan yang fatal. Kalau ada orang yang kayaknya baik, eh tapi malah begitu. Jujur kalau aku kesel. Banget. Jauh lebih kesel daripada yang melakukan kesalahan atau keburukan itu orang lain. Gimana gitu, keselnya beda aja. Pasti nantinya aku bakalan benci banget deh sama tuh orang. Enggak baik sih, tapi mau gimana lagi coba. Tanya sama bunda ah.


***

“Suka ataupun tidak, baik maupun buruk; dalam apa yang namanya bertindak, selalu ada kenapa yang melatarbelakanginya. Masalahnya, tidak semua kenapa itu bisa dilihat secara langsung. Banyak sekali kenapa yang tersembunyi dalam setiap tindakan orang lain. Jika kita memang benar-benar tidak tahu kenapa itu, setidaknya jangan berfikir dan menuduh yang macam-macam. Karena sering kali kenapanya itu bernama ketidaktahuan, kebelumpahaman, ketidaksengajaan, bisa juga ketidakberdayaan.”

“Jikapun kita mengetahui bahwa kenapanya itu sesuatu yang buruk; jangan lupa juga bahwa apa yang menurut kita buruk, belum tentu buruk juga untuk yang lain. Bahkan bisa jadi, penilaian kita yang kurang proporsional juga termasuk dalam katagori buruk itu sendiri.”

“Maksudnya, Bunda?”

“Kadang kita suka sekali memberikan penilaian yang berlebihaan kepada orang lain. Sangat tidak adil. Baru mendengar sedikit keburukannya saja, itupun dari orang lain, langsung tidak suka dan menganggap keburukan itu adalah satu-satunya fakta yang sebenar-benarnya. Padahal kita belum tahu asal muasalnya, kenapa begini begitunya. Seolah-olah segala yang berhubungan dengan orang yang dimaksud tiba-tiba menjadi buruk, kita menjadi sangat tidak suka. Padahal  apa yang namanya manusia selalu punya sisi baik dan sisi buruk. Tidak boleh kita melihatnya dari sisi buruknya saja.”

“Sebaliknya, kalau kita yang melakukan kesalahan itu, kalau kita yang mempunyai keburukan tersebut, kita berusaha mati-matian untuk mencari pembelaan dan pembenaran. Tidak terima kita diseperti-itukan. Mengumpulkan banyak alasan yang menguatkan bahwa kita tidak seperti itu. Sulit sekali menerima dan mengakuinya. Padahal, kita tidak akan menjadi sebegitu rendahnya jika mengakui, menerima dan berusaha memperbaiki kesalahan itu. Itulah manusia, Nak; punya kecenderungan untuk egois. Suka lupa dalam tindakannya, kalau kita diciptakan dengan kekurangan juga kelebihan untuk saling melengkapi, saling menolong juga saling memahami. Suka lupa bahwa hidup dan kehidupan, adalah rangkaian dari berbagai macam proses.”

“Makanya, jika ada keburukan atau kekurangan dari orang lain, kita diperintahkan untuk saling mengingatkan, bukan menyalahkan. Meluruskan, bukan menghakimi. Mendekati, bukan menjauhi. Mendampingi, bukan meninggalkan; karena, tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan menyalahkan juga tidak semua kebenenaran bisa didapatkan dengan menghakimi. Bahkan, menjauhi juga tidak selalu menimbulkan ketenangan.”

“Tapi kalau misalkan udah diingetin tapi enggak berubah juga gimana dong Bunda? Soalnya Putri sering banget nemuin orang yang kayak gitu, susah banget diingetin.”

“Mungkin cara mengingatkannya saja yang belum tepat, Nak. Masih inget enggak, cerita ayah tentang perkataan sahabat rasul yang namanya Amr bin Ash, yang pernah menjadi gubernur Mesir itu?”

“Yang mana itu ya, Bunda?”

“Kata-kata itu kayak obat, kalau obatnya sesuai dengan penyakitnya, diberikan dosis yang tepat,  akan menyembuhkan. Sebaliknya, kalau dosisnya tidak tepat, apalagi salah obat, akan membuat sakitnya semakin parah. Bahkan bisa jadi menimbulkan penyakit baru. Begitu juga dengan proses saling mengingatkan, kalau cara mengingatkannya kurang tepat, seenaknya saja, tidak dilihat dulu latar belakangnya gimana, tidak dipastikan dulu kondisinya seperti apa, merasa paling benar dan menyalahkan; pasti akan sangat sulit mengingatkan orang lain.”

“Atau bisa jadi juga, niat kitanya yang kurang tepat. Pada saat kita mengingatkan, sebenarnya kita mengingatkan yang bersangkutan bukan untuk kebaikannya, bukan untuk kemanfaatannya, tapi hanya untuk kebaikan kita dan kemanfaatan kita.”

“Maksudnya, Bunda?”

“Coba deh, Putri tanya pada diri sendiri; ketika mengingatkan orang yang salah tadi itu memang benar-benar ingin memperbaikinya, ingin membuat dia lebih baik atau lebih banyak sebagai ekspresi kekesalan Putri, karena kesalahan yang dilakukan oleh yang bersangkutan merepotkan Putri, membuat Putri enggak nyaman?”

“Lebih ke yang kedua sih, Bunda?”

“Kalau begitu wajar, kalau apa yang Putri sampaikan kurang begitu ngefek ke yang bersangkutan. Karena Putri nya masih belum bisa tulus, hatinya masih belum bersih. Jadinya enggak bisa nyambung sama hati temen yang salah tadi. Jadinya, kata-katanya kurang berbekas, kurang masuk di hati. Padahal apapun itu, tidak boleh niat baik dilakukan dengan cara yang buruk sayang, sebagaimana tidak serta merta niat buruk menjadi baik hanya karena dilakukan dengan cara yang baik. Rangkaian proses itu harus baik di awal, di tengah dan di akhirnya.”



***

“Coba, bunda tanya, Putri udah denger langsun g dari orangnya belum? Udah tahu kenapa dia melakukan itu belum?”
 “He, he, belum sih bunda. Baru denger dari temen yang lain.”
“Tuh, kan?”

Aku cuma nyengir kuda. Malu, tapi lega. Aih, daripada tambah malu lagi mending sementara aku sudahi saja pembicaraan ini dengan bunda. :)


#diorama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar