Eh,
kalian kesel enggak sih, kalau ada orang yang sudah paham tapi melakukan
kesalahan yang fatal. Kalau ada orang yang kayaknya baik, eh tapi malah begitu.
Jujur kalau aku kesel. Banget. Jauh lebih kesel daripada yang melakukan
kesalahan atau keburukan itu orang lain. Gimana gitu, keselnya beda aja. Pasti
nantinya aku bakalan benci banget deh sama tuh orang. Enggak baik sih, tapi mau
gimana lagi coba. Tanya sama bunda ah.
***
“Suka ataupun tidak, baik maupun buruk; dalam apa yang namanya
bertindak, selalu ada kenapa yang melatarbelakanginya. Masalahnya, tidak semua
kenapa itu bisa dilihat secara langsung. Banyak sekali kenapa yang tersembunyi
dalam setiap tindakan orang lain. Jika kita memang benar-benar tidak tahu
kenapa itu, setidaknya jangan berfikir dan menuduh yang macam-macam. Karena
sering kali kenapanya itu bernama ketidaktahuan, kebelumpahaman,
ketidaksengajaan, bisa juga ketidakberdayaan.”
“Jikapun kita mengetahui bahwa kenapanya itu sesuatu yang buruk;
jangan lupa juga bahwa apa yang menurut kita buruk, belum tentu buruk juga
untuk yang lain. Bahkan bisa jadi, penilaian kita yang kurang proporsional juga
termasuk dalam katagori buruk itu sendiri.”
“Maksudnya, Bunda?”
“Kadang kita suka sekali memberikan penilaian yang berlebihaan
kepada orang lain. Sangat tidak adil. Baru mendengar sedikit keburukannya saja,
itupun dari orang lain, langsung tidak suka dan menganggap keburukan itu adalah
satu-satunya fakta yang sebenar-benarnya. Padahal kita belum tahu asal
muasalnya, kenapa begini begitunya. Seolah-olah segala yang berhubungan dengan
orang yang dimaksud tiba-tiba menjadi buruk, kita menjadi sangat tidak suka.
Padahal apa yang namanya manusia selalu punya sisi baik dan sisi buruk.
Tidak boleh kita melihatnya dari sisi buruknya saja.”
“Sebaliknya, kalau kita yang melakukan kesalahan itu, kalau kita
yang mempunyai keburukan tersebut, kita berusaha mati-matian untuk mencari
pembelaan dan pembenaran. Tidak terima kita diseperti-itukan. Mengumpulkan
banyak alasan yang menguatkan bahwa kita tidak seperti itu. Sulit sekali
menerima dan mengakuinya. Padahal, kita tidak akan menjadi sebegitu rendahnya
jika mengakui, menerima dan berusaha memperbaiki kesalahan itu. Itulah manusia,
Nak; punya kecenderungan untuk egois. Suka lupa dalam tindakannya, kalau kita
diciptakan dengan kekurangan juga kelebihan untuk saling melengkapi, saling
menolong juga saling memahami. Suka lupa bahwa hidup dan kehidupan, adalah
rangkaian dari berbagai macam proses.”
“Makanya, jika ada keburukan atau kekurangan dari orang lain,
kita diperintahkan untuk saling mengingatkan, bukan menyalahkan. Meluruskan,
bukan menghakimi. Mendekati, bukan menjauhi. Mendampingi, bukan meninggalkan;
karena, tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan menyalahkan juga tidak
semua kebenenaran bisa didapatkan dengan menghakimi. Bahkan, menjauhi juga
tidak selalu menimbulkan ketenangan.”
“Tapi kalau misalkan udah diingetin tapi enggak
berubah juga gimana dong Bunda? Soalnya Putri sering banget nemuin orang yang
kayak gitu, susah banget diingetin.”
“Mungkin cara mengingatkannya saja yang belum tepat, Nak. Masih
inget enggak, cerita ayah tentang perkataan sahabat rasul yang namanya Amr bin Ash, yang
pernah menjadi gubernur Mesir itu?”
“Yang mana itu ya, Bunda?”
“Kata-kata itu kayak obat, kalau obatnya sesuai dengan
penyakitnya, diberikan dosis yang tepat, akan menyembuhkan. Sebaliknya,
kalau dosisnya tidak tepat, apalagi salah obat, akan membuat sakitnya semakin
parah. Bahkan bisa jadi menimbulkan penyakit baru. Begitu juga dengan proses saling
mengingatkan, kalau cara mengingatkannya kurang tepat, seenaknya saja, tidak
dilihat dulu latar belakangnya gimana, tidak dipastikan dulu kondisinya seperti
apa, merasa paling benar dan menyalahkan; pasti akan sangat sulit mengingatkan
orang lain.”
“Atau bisa jadi juga, niat kitanya yang kurang tepat. Pada saat
kita mengingatkan, sebenarnya kita mengingatkan yang bersangkutan bukan untuk
kebaikannya, bukan untuk kemanfaatannya, tapi hanya untuk kebaikan kita dan
kemanfaatan kita.”
“Maksudnya, Bunda?”
“Coba deh, Putri tanya pada diri sendiri; ketika mengingatkan
orang yang salah tadi itu memang benar-benar ingin memperbaikinya, ingin
membuat dia lebih baik atau lebih banyak sebagai ekspresi kekesalan Putri,
karena kesalahan yang dilakukan oleh yang bersangkutan merepotkan Putri,
membuat Putri enggak nyaman?”
“Lebih ke yang kedua sih, Bunda?”
“Kalau begitu wajar, kalau apa yang Putri sampaikan kurang
begitu ngefek ke yang bersangkutan. Karena Putri nya masih belum bisa tulus,
hatinya masih belum bersih. Jadinya enggak bisa nyambung sama hati temen yang
salah tadi. Jadinya, kata-katanya kurang berbekas, kurang masuk di hati.
Padahal apapun itu, tidak boleh niat baik dilakukan dengan cara yang buruk
sayang, sebagaimana tidak serta merta niat buruk menjadi baik hanya karena
dilakukan dengan cara yang baik. Rangkaian proses itu harus baik di awal, di
tengah dan di akhirnya.”
***
“Coba, bunda tanya, Putri udah denger langsun g dari orangnya
belum? Udah tahu kenapa dia melakukan itu belum?”
“He, he, belum sih bunda. Baru denger dari temen yang
lain.”
“Tuh, kan?”
Aku cuma nyengir kuda. Malu, tapi lega. Aih, daripada tambah
malu lagi mending sementara aku sudahi saja pembicaraan ini dengan bunda. :)
#diorama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar