Rabu, Januari 13, 2016

Pilihan 2

Well, aku memang dibesarkan ayah dan bunda dengan cerita. Dari anak-anak sampai mau lulus kuliah begini. Entah cerita kehidupan mereka sendiri atau cerita tentang orang lain. Waktu kecil ayah dan bunda selalu mengantarkan aku tidur dengan mendongeng. Entah bergantian atau sama-sama. Bagi bunda, dongeng bukan sekedar pengantar tidur. Dongeng adalah ekspresi sayangnya, kadang kemarahannya, kebahagiaannya, kesedihannya, lebih sering kekesalannya. Kalau hari itu akunya lagi ngeselin, bunda pasti akan marah-marah dalam dongengnya. Bukan marah ke aku tentunya, marah ke tokoh dalam dongeng itu yang juga ngeselin kayak aku. Aku sih ketawa aja. Orang bunda marahnya lucu. Hehe. Tapi, aku menangkap jelas maksudnya apa, kalau aku enggak boleh ngeselin kayak hari itu. Tapi kalau misalkan akunya lagi jadi anak yang baik banget, melakukan sesuatu yang menurut bunda itu kemajuan yang oke buat aku, gaya cerita bunda juga akan berbeda, bunda akan cerita dengan wajah yang berbinar-binar bahagia, tentu saja tema ceritanya akan disesuaikan dengan kelakuanku pada hari itu, yang menurut bunda perlu diperbaiki atau diapresiasi. Ah Bunda, segitunya. Tentu saja itu dulu, waktu usiaku masih kanak-kanak. Menginjak dewasa, ayah bunda juga masih suka bercerita, tentu saja ceritanya disesuaikan dengan kondisi aku, dan tentu pula momennya bukan sebelum tidur kayak aku masih bocah dulu. Tapi di forum keluarga, atau di forum perempuan kayak sekarang.

Waktu kuliah aku baru ngerti maksudnya kenapa. Pernah dengar kalau pengalaman adalah guru yang terbaik, bukan? Ayah dan bunda mengajariku dengan pengalaman-pengalaman itu. Pengalaman dari siapapun yang sekiranya bisa diambil pelajarannya. Karena pengalaman yang kita alami sangat terbatas, dan kita bisa dengan mudah beajar dari pengalamannya orang lain kalau kitanya mau. Tanpa menggurui, tanpa mengharuskan ini-itu, dan mudah dimengerti oleh aku ataupun adikku. Kalian ga suka kan kalau diomelin atau diceramahin? Walaupun yang ngomel itu orangtuanya kalian? Walaupun kaliannya salah? Kalaupun diomelin yang ada bukannya sadar, tapi takut. Buktinya, sering diomelin untuk hal yang sama kan? Nah, bunda ngerti banget tentang itu. Tapi bukannya bunda nggak perneh ngomel ya, kan bunda juga manusia yang punya batas kesabaran di titik tertentu, kalau keceplosan, atau aku dan adikku lagi ngeselinnya keterlaluan, bunda juga ngomel kok. Tapi yaitu, kadarnya enggak banyak. Sesekali aja. Banyaknya lewat cerita. Alternatif terbaik buat kami. Akunya ngerti maksud ayah dan bunda, mereka juga bisa melampiaskan segala emosinya lewat cerita. Bukan perkataan atau omelan yang memperlebar gap dan ketidaknyamanan antara anak dan orangtua. Jadi sekarang kalian tahu kan, kenapa aku deket banget sama Bunda? Karena bunda selalu memberikan kenyamanan buat anak-anaknya.

Ada negatifnya juga sih. Di awal-awal masa remajaku, jadinya aku ketergantungan banget sama bunda. Dan agak-agak gimana gitu, kalau ada orang lain yang memperlakukan aku terlalu keras. Ya, rasa sayang yang berlebihan memang terkadang nggak baik buat yang menyayangi dan disayangi. Ayah ngerti banget tentang itu, suka mewanti-wanti bunda kalau nggak boleh terlalu begitu sama anak-anaknya. Nanti anak-anaknya jadi manja. Karena dunia di luar sana, tidak sebijak dunianya bunda. Akhirnya, enggak tahu gimana caranya mereka bersepakat untuk membuat koridor dalam mendidik anak-anaknya; menyangi tapi tidak memanjakan. Jadi aku dan adikku tetep dapat hukuman kalau bandel atau salah, tetep dimarahin kalau nakalnya keterlaluan. Tapi enggak tahu gimana caranya, aku sih nangkepnya kalau itu juga bentuk kasih sayang mereka dengan cara yang lain.  Okelah, nantilah lain kali aku ceritain gimana-gimananya, sekarang kita kembali lanjutin cerita bunda.

****


“Ayo dong, Bunda, mulai ceritanya..”
“Iya, geser dulu makanya Putrinya, bunda masih kesempitan nih..”
“Hehe.. iya, Putri geser nih..” bunda geleng-geleng kepala melihat ulahku.

“Dulu ya, ada orang yang mempersiapkan diri berbulan-bulan untuk memenuhi salah satu target hidupnya, mencapai puncak Jaya Wijaya, salah satu puncak tertinggi di Indonesia. Akhirnya, waktu yang ditunggu-tunggu tiba juga, dia berkesempatan untuk mendaki gunung itu dengan bersusah payah. Sampai pada ketinggan beberapa meter lagi menuju puncak teritngginya, dia memutuskan untuk berhenti dan turun kembali. Tidak melanjutkannya sampai puncak, padahal kekuatannya masih sangat cukup untuk menyelesaikan perjalanannya. Untuk menaklukan salah satu puncak tertinggi di Indonesia.”*

“Loh kok gitu, kenapa memang, Bun? Enggak sayang apa?”
“Ih, Putri dengerin bundanya dulu dong, kan belum selesai ceritanya.”
“Hehe, oke bunda. Penasaran soalnya.” Aku cengengesan liat muka bunda yang kesel, tapi bundanya senyum lagi liat muka aku..

“Bunda juga awalnya berfikir kayak Putri. Kan sayang, dia sudah bersusah payah untuk mempersiapkan diri. Tapi dia bilang, kalau dia mau, dia bisa saja terus mendaki dan sampai pada puncaknya. Tapi buat apa? Toh pada akhirnya semuanya akan jadi kenangan. Dan menurutnya, jauh lebih indah dan puas mengenang kalau dia pernah mendaki Jaya Wijaya, sudah hampir sampai pada puncaknya, kemudian memutuskan untuk berhenti dan cukup, lalu turun kembali. Ketimbang sekedar mengenang kalau dia pernah menaklukan Jaya Wijaya. Banyak orang yang bisa menaklukan Jaya Wijaya, tapi mungkin orang itulah yang paling merasakan kepuasan dan kenangan yang paling indah.”

“Wow.” Aku masih speechless denger cerita Bunda.

“Bunda banyak belajar dari orang itu. Ternyata memang begitulah kehidupan, Sayang. Kita tidak akan pernah merasa puas dengan mendapatkan ini atau mendapatkan itu. Karena setelah itu, kita akan menginginkan ini itu yang lainnya. Rasa puas hanya akan kita dapatkan dengan merasa cukup. Dan terkadang, di titik-titik tertentu, apalagi untuk hal yang bersifat duniawi, seperti pendaki gunung tadi; diri kita sendiri yang harus memutuskan kalau ini sudah cukup. Sehingga kita punya ruang yang cukup untuk lebih banyak bersyukur, juga bisa mengendalikan diri dari sifat serakah lagi berlebihan, banyak menuntut juga tak pernah puas dan iri dengan apa yang sudah didapatkan oleh orang lain.”

“Tapi kan enggak lucu juga, Bunda, kalau kita suka berhenti di tengah-tengah.”

“Aduh, Putri enggak benar-benar memperhatikan cerita bunda nih. Enggak harus selalu, Sayang. Tapi sesekali. Itupun alasannya karena kita sendiri yang memilih untuk cukup, bukan karena keterpaksaan atau keterbatasan. Sehingga yang terasa adalah kedamaian, tentram dengan diri kita sendiri. Sama kayak yang diajarin rasulullah dan para sahabat terdahulu tentang tawadhu atau sikap rendah hati juga sederhana. Mereka melakukannya bukan karena mereka tidak bisa bermewah-mewah, mereka sangat bisa untuk itu kalau mau, tapi mereka memilih untuk sederhana, untuk merasa cukup di titik yang mereka tentukan sendiri. Bukan karena keterbatasan atau ketidaksanggupan mereka.”

“Begitu juga dengan kondisi yang sedang Putri hadapi sekarang ini. Kondisi ketika Putri masih berada di fase sulit tugas akhir, sementara teman-teman Putri sudah mendahului Putri. Atau nanti ketika sudah lulus dan saatnya menikah, Tapi Putri belum berada dalam kondisi itu. Bersyukur, sayang. Setidaknya Putri sudah berada di titik ini, toh banyak orang di luar sana yang bahkan tidak pernah mendapat kesempatan untuk menuntut ilmu dengan baik. Bersyukur Putri masih bisa bertahan, berarti Allah sedang memberikan Putri kesempatan untuk memiliki kesabaran yang lebih banyak. Anggap saja ujian itu sebagai bentuk kasih sayang Allah, jadi semakin berat ujiannya, berarti semakin sayang Allah sama kita. Semua itu akan kita sadari kalau kita sudah merasa cukup, Sayang. Percayalah, Allah selalu memberikan apa yang kita butuhkan, walaupun apa yang kita butuhkan itu terkadang apa yang bukan kita inginkan. Artinya, apapun yang Allah berikan kepada kita, pasti kadarnya sudah cukup untuk kehidupan kita. Kitanya saja yang nggak pernah merasa puas.  Percayalah, kalau Allah akan selalu menambah nikmat orang-orang yang bersyukur, jadi kalau kita merasa nikmat kita belum bertambah, masih segitu-segitu aja, masih belum ada kemajuan, berarti emang kitanya yang kurang bersyukur. Dan hanya mereka yang merasa cukup, yang bisa bersyukur dengan baik, Sayang.

****

Hey, sudah sudah pernah kuceritakankah pada kalian, kalau cerita bunda sering buat aku menangis? Seperti sekarang, aku sudah sesenggukan di dekapan bunda.


__________________

*cerita bunda tentang pendaki Jaya Wiyaya, diadaptasi dari cerita yang ditulis Tere Liye, dengan banyak penyesuaian dan dipotret dari sudut pandang yang berbeda.

#diorama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar