Sumpah ya, aku enggak ngerti sama jalan pikiran orang-orang yang suka banget mencampuri urusan orang lain. Udah kayak enggak ada kerjaan lagi aja. Mending gitu kalau mereka bisa membantu atau setidaknya meringankan beban kita. Ini malah buatillfeel. Bikin kita enggak nyaman. Di tingkat akhir begini, lagi jungkir balik penelitian juga, paling males deh ditanya lulusnya kapan? Apalagi kalau yang nanya temen yang udah lulus duluan, atau senior yang baru-baru juga lulusnya. Aku sangsi deh, kalau pertanyaan itu adalah bentuk kepedulian mereka. Kayak mereka enggak pernah ngerasain aja dalam kondisi kayak aku sekarang. Sakit tahu, ditanya pada kondisi yang enggak pas kayak gitu. Ayah bundaku aja biasa aja kok. Sesekali nanya sih, tapi tulus gitu loh. “Putri gimana penelitiannya? Baik-baik aja kan? Enggak usah terlalu dipikirin, dinikmati aja.” Kan enak didengernya juga.
Ada lagi seniorku yang udah lulus juga udah nikah. Dulu dia benci banget kalau udah ditanya; Mbak kapan nih undangannya? Sekarang setiap ketemu pasti nanya; kapan nih undangannya? Pada bales dendam kali ya nih orang-orang. Apa lagi pada bercanda? Enggak lucu, tahu. Belum lagi kalau ada temen si A nikah sama si B misalkan, rame banget ngomongin kok bisa sih? Prosesnya gimana, dan seterusnya, dan sebagainya. Penting emang ya, buat diomongin? Seru gitu ya, ikut campur urusan orang lain? Terus kalau diomongin hidup kita dan mereka bisa jauh lebih bahagia dunia dan akhirat gitu?
Well, sorry, kalau omonganku lagi enggak bagus. Lagi sensitif inih ceritanya. Pasti diomelin Bunda kalau Bunda tahu aku ngomong begitu. Habisnya ngeselin sih. Oke, methinks that life is choice. Tiap orang punya pilihan masing-masing dong untuk menentukan hidupnya, untuk melakukan apapun yang mereka anggap penting, untuk menentukan mana yang diprioritaskan lebih dulu. Tentu saja kondisinya berbeda satu sama yang lain. Repotnya kadang kita suka banget membandingkan orang lain dengan ukuran yang kita lebih baik daripada mereka. Udah kayak yang paling bener dan baik aja. Padahal mah, masih banyak ukuran yang kalau kita gunakan, mereka jauh lebih baik daripada kita.
****
“Boleh Bunda jujur sama Putri?”
Aduh pake keceplosan segala lagi cerita ke bundanya. Harusnya bagian senior yang udah nikah tadi ga usah diceritain. Siap-siap ini mah, dinasihatin Bunda panjang lebar. Well, FYI, kalau bunda nanya model begitu, “Boleh Bunda jujur?” or “Boleh Bunda ngomong?” berarti di mata bunda, ada kesalahan cukup berat yang aku lakukan. Baik perbuatan atau perkataan. Mungkin sebagian orangtua akan otomatis marah, minimal melalui omelan-omelannya atau yang lebih keras dilanjutkan dengan hukuman, or yang tipekalnya emosian dan main tangan, refleks langsung mukul anaknya, walaupun pukulannya enggak keras-keras banget. Tapi tetep aja sih kalau menurutku, ketika orangtua memukul anaknya, sebenernya yang susah dihilangkan itu sakit hatinya, bukan bekas pukulannya. Untungnya, bunda enggak masuk dalam semua katagori yang aku jelasin tadi. Bunda mah kalau marah malah lucu, tapi kami anak-anaknya bisa dengan mudah menangkap kalau bunda enggak suka, bunda marah, dan perasaan-perasaan lainnya. Kayak pertanyaan pemancing tadi, itu maksudnya, “Putri enggak boleh gitu.” Terus nanti bunda akan jelasin bagian yang salah mana, seharusnya gimana. Tanpa menyalahkan aku, malah berperan sebagai orang yang bertanggungjawab atas kesalahan yang aku buat itu. Maklum lah ya, aku kan anaknya, tentu saja bunda merasa bertanggungjawab untuk mendidik aku.
Nah, aku baru ngerti belakangan, kalau pertanyaan bunda itu hanyalah strategi psikologis untuk buat aku lebih nyaman dan terbuka. Nggak ngerti juga deh, bunda sadar melakukannya atau cuma kebiasaan aja. Penjelasannya kira-kira begini. Kalau orang itu salah, enggak usah jauh-jauh, aku misalkan, enggak suka banget dijudge ini-itu, diomelin harus begini-begitu, walaupun akunya sadar kalau aku itu salah. Yang ada apa yang disampaikan orang lain untuk memperbaiki kesalahanku itu enggak akan masuk ke aku. Cenderung tertolak malah. Apalagi kalau disampaikannya dengan tiba-tiba. Nah pertanyaan bunda itu bikin aku lebih siap secara psikologis untuk menghadapi masukan atau kritikan yang akan bunda sampaikan. “Boleh bunda jujur?” meaning-nya so deep banget buat aku. Itu tanda kalau bunda itu khawatir, kalau bunda itu sayang sama aku, kalau bunda itu enggak mau melukai perasaan aku, kalau bunda itu pengen akunya lebih baik lagi. Kalau sebenernya, bunda berat buat menyampaikan itu khawatir akunya tersinggung atau tersakiti, tapi demi kebaikan aku, harus tetap bunda sampaikan. Jadi sekarang, kalian udah ngerti kan, buat orang yang biasa diperlakukan bunda seperti itu, betapa kurang ajarnya orang yang yang tiba-tiba ketemu, terus langsung nanya kapan lulusnya or mana undangannya? Eh, tuh kan, keceplosan lagi. Maap. Hehe.
“Ya boleh lah Bun, masa enggak boleh sih.” Jawabku santai sedikit bercanda. Kode yang cukup buat bunda untuk lanjut menasihati aku. Kalau akunya lagi males banget, lagi enggak pengen dinasihatin. Lagi bad mood, aku cukup bilang; ‘Putri pengen sendiri dulu Bunda.’ Atau ‘jangan sekarang ya Bunda’. Biasanya bunda akan tersenyum dan bilang; ‘Ya udah, entar kalau mau cerita bilang aja ya.” Ya, begitulah bunda. Dan sekarang Bunda sudah tersenyum manis di hadapanku, bersiap memberikan nasihatnya. Kalau sudah begitu, aku pasti akan mendengarkan dengan sepenuh hati.
“Putri, banyak orang yang mencari pembenaran dengan mengatakan bahwa kondisi yang menimpanya saat ini adalah pilihan hidupnya. Yang belum menikah misalkan, ketika ditanya kenapa atau kapan, bilang kalau itu adalah pilihannya, untuk memprioritaskan karir dulu atau yang lainnya, padahal hatinya mah berantakan. Merasa kesal dengan yang bertanya, atau merasa iri-iri gimana gitu ketika teman-temannya mendahuluinya. Begitu juga dengan kelulusan, seperti yang tadi Putri ceritakan. Padahal seharusnya, kita tak perlu membohongi diri sendiri dengan banyak alasan juga pembenaran untuk menutupi keterbatasan kita. Karena apapun bentuknya, kepada siapapun kita melakukannya, kebohongan selalu merepotkan pada akhirnya. Termasuk berbohong pada diri sendiri yang akan merepotkan perasaan. Nah, hal-hal seperti itu bukanlah pilihan hidup, Sayang. Tapi keterbatasan.” Tuh kan, penjelasan bunda jleb banget
“Loh, kenapa begitu, Bunda?”
“Pilihan, apapun bentuknya, selayaknya membuat yang menjalani pilihan tersebut nyaman dengan dirinya sendiri, nyaman dengan kondisinya, yakin dengan apa yang dia pilih, menikmati apa yang sudah menjadi konsekuensi dari pilihan yang dia ambil. Bukan malah sibuk membandingkin dirinya sendiri dengan orang lain, lantas menyalahkan orang lain atau kondisi atas apa yang sedang dialaminya.”
“Kayak yang tadi Putri cerita ya, Bun?” aku mulai menyadari kesalahanku
“Iya, Sayang. Harusnya kalau apa yang Putri jalankan dan kerjakan saat ini memang benar-benar pilihan hidup Putri, Putri enggak akan ngomong begitu. Putri akan fokus pada apa yang Putri kerjakan, pada apa yang sudah Putri putuskan, bukan malah sibuk menanggapi omongan orang lain dan menyalahkan mereka atas apa yang mereka lakukan ke Putri.”
“Maaf ya, Bun. Putri emang salah.”
“Iya, Gpp kok, Sayang. Jangan diulangi lagi tapinya ya. Bunda mau cerita nih, Putri mau denger?” kami sudah sama-sama tersenyum lega. Sesi jleb-nya udah selesai berarti.
“Enggak mau ah, males. Cerita bunda ngebosenin.” Aku pura-pura, becanda godain bunda. Padahal mah, pasti ceritanya seru.
“Ya udah kalau gitu, sana. Jauh-jauh dari Bunda.” Bunda cemberut, pura-pura juga pastinya. Lucu gitu mukanya.
“Haha. Becanda, Bunda. Putri mau dengerin kok.” Aku langsung pindah duduk di samping bunda, sengaja banget deket-deket dan menggeser bunda.
“Aduh, geser Putri. Bundanya sempit nih.” Cerita bundapun dimulai, setelah kami sama-sama tertawa.
_____________
Bersambung….
#diorama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar