Udah lama ih, Putri enggak cerita-cerita. Maklum udah masuk tingkat akhir banget nih, lagi sibuk-sibuknya penelitian akhir, salah satu fase paling sulit dalam kehidupan mahasiswa. Anyway, keluarga Putri masih lengkap adanya. Ada Ayah yang selalu cool dengan cerita-cerita bijaknya, ada bunda yang pokoknya keren banget dan tentu saja keduanya masih selalu kompak bersekongkol untuk mendidik anak-anaknya. Tak lupa adik lelakiku, masih jadi teman berantem yang nyebelin, tapi ah, [semoga dia nggak baca ini] kadang bikin kangen juga.
Forum perempuan antara aku dan bunda masih tetep eksis. Lebih intens malah sekarang, karena kata Bunda, sebentar lagi -aku juga nggak tahu sebentar lagi versinya bunda itu berapa lama- kami akan berpisah. Kan nanti, ehem, kalau akunya sudah berkeluarga, ikut suami, jadi kemungkinan nggak tinggal sama bunda lagi. Jadinya mau puas-puasin kebersamaan dengan bunda. Apalagi di fase-fase kritis kayak begini.
Okey, jadi ceritanya aku ini lagi tertekan banget. Penelitianku harus ngulang dari awal, ada kesalahan metode penelitian soalnya, dikejar-kejar dosen pembimbing pula biar cepet lulus karena beliau mau lanjut studi di luar negeri. Teman-teman yang lain satu persatu sudah pada seminar lanjut sidang lanjut lulus. Beluman lagi menghadapi pertanyaan yang mengguncang mental dan spiritual [yang ini agak berlebihan], udah lulus? Ini orang-orang pada enggak punya perasaan apa? Nambahin dosa aku aja karena kesel. Pertanyaan kalian itu enggak bikin aku cepet lulus, tahu. Lebih lama malah jadinya karena bikin illfeel, bad mood dan jadi males. Bundaaaaaaa, I need you ….
****
“Hidup itu emang enggak selalu mudah kok, Sayang. Terkadang kita harus menghadapi kesulitan-kesulitan dalam menjalaninya. Tapi ada satu hal, yang kalau kita punya itu, kita akan lebih mudah melewati masa-masa sulit dalam kehidupan kita.”
Itu yang bunda sampaikan, sekaligus bikin penasaran, setelah khusyuk mendengar keluh kesahku yang panjang lebar [tanpa memotong, tanpa bertanya], setalah senyum manis dan adem banget waktu aku selesai cerita. Ya Allah, makasih banget udah menciptakan makhluk sesabar Bunda. Kapan dong, akunya bisa sesabar itu?
“Apa itu, Bun, apa?”
“Pemahaman yang baik, sayang. Banyak orang yang mempermasalahkan hal-hal yang sebenarnya sepele karena pemahamannya masih belum baik, akhirnya malah mempersulit diri sendiri juga orang lain. Dengan pemahaman yang baik, kita bisa melihat permasalahan yang ada dengan lebih jernih, sehingga kita bisa lebih baik menyikapi kesulitan-kesulitan yang ada.”
“Untuk apa yang tadi Putri keluhkan misalkan, harusnya tidak akan terlalu menjadi masalah kalau Putri memahami bahwa dalam hidup ini kita selalu punya ukuran dalam menilai sesuatu. Tentu saja ukuran yang kita gunakan tidak selalu sama dengan ukuran yang digunakan oleh orang lain. Bahkan malah banyak yang berbeda. Masalahnya, sering sekali kita menggunakan ukuran yang tidak sesuai untuk menilai diri kita sendiri dan juga orang lain.”
“Maksudnya, Bun?”
“Hmm, coba deh, sekarang Bunda tanya, kenapa Putri memakai baju ini?” tanya bunda sambil lembut memegang bajuku.
“Ya karena Putri senang pakainya bunda. Suka aja. Nyaman.”
“Bisa enggak kira-kira Putri memakai semua pakaian yang Putri suka?”
“Ye enggak lah bunda, kan makainya enggak bisa semuanya. Harus satu-satu.”
“Aduh, maksud Bunda itu, kan kita ga bisa memakai baju yang kita suka, kalau kita enggak punya baju itu. Kalau misalkan Putri lagi jalan-jalan ke mall, terus liat orang asing yang bajunya bagus banget, walaupun Putri suka, walaupun Putri pengen banget, kan Putri tetep enggak bisa pake. Kecuali Putri nemu model yang sama di toko baju, terus membelinya sehingga baju itu jadi miliknya Putri. Baru deh Putri bisa pakai sesuka hati.”
“Hehe.. iya ya Bun.”
“Terus kalau bajunya Putri itu kebesaran atau kekecilan, walaupun Putri suka, Putri akan pakai enggak?”
“Ya enggak dong Bun. Enggak enak dong kalau ukurannya enggak pas. Aduh, kok jadi ngomongin baju sih Bunda, enggak nyambung.”
“Nyambung kok, Sayang. Karena ternyata begitulah salah satu cara memandang hidup, sama kayak kita pakai baju, harus memilih ukuran yang pas untuk menilai atau melihat sesuatu, agar kita lebih nyaman dalam menajalaninya. Orang lain akan menilai kita dengan ukurannya mereka, Sayang. Terlepas tepat atau tidak ukuran yang mereka gunakan itu. Repotnya, kita jadi terbawa dan terpengaruh dengan ukuran yang digunkan orang lain untuk menilai kita tersebut. Padahal mah ukuran yang digunakan itu enggak pas untuk diri kita sendiri, kita enggak nyaman dengan ukuran itu, kita juga enggak suka dengan ukurannya. Apalagi jika ukuran yang digunakan itu adalah apa yang belum kita capai atau belum kita punya. Nah, pertanyaannya adalah, kalau kita enggak nyaman, enggak suka, bahkan enggak punya, kenapa kita harus repot-repot menggunakan ukuran itu? Kenapa kita tidak memakai ukuran yang lainnya?”
“Aduh, agak ribet buat dipahamin nih, Bun. Kasih contoh lagi dong.”
“Dulu ya, waktu bunda dan ayah menikah, kita berasal dari keluarga dengan latar belakang yang jauh berbeda. Entah dari status sosial, ataupun adat-istiadat. Beberapa pihak keluarga ada yang mempermasalahkannya, karena mereka menggunakan ukuran status sosial juga bibit bebet bobot keluarga untuk menentukan pasangan hidupnya. Beberapa teman-teman juga ada yang kurang sepakat, terkait kondisi dan status kami waktu itu. Untungnya, kami tidak pernah menggunakan perbedaan itu sebagai ukuran kebahagiaan atau ukuran untuk menjalani rumahtangga seperti beberapa keluarga dan temen-teman kami. Sampai sekarang, perbedaan itu tidak masalah buat ayah atupun bunda, karena kami punya banyak ukuran lain yang digunakan untuk membina rumah tangga. Ukuran yang membuat kami jauh lebih nyaman juga bahagia.”
“Cie.. Bunda.. Terus dulu keluarga dan temen-temen ayah dan bunda yang enggak setuju gimana?”
“Ya, mereka tetep kurang suka. Di awal-awal kami sering jadi bahan gosip atau omongan-omongan yang kurang baik. Begini dan begitu. Untungnya lagi, ayah dan bunda enggak pernah menjadikan omongan orang lain sebagai ukuran kebahagiaan kami. Jadi enggak terlalu bermasalah. Toh yang menjalani juga ayah dan bunda inih, bukan mereka. Emang sih, di awal-awal sesekali bunda suka nangis, kesel, sebel dan sejenisnya gitu. Ya, sebatas melampiaskan emosi aja. Tapi enggak sampai bermasalah atau mengganggu banget, karena sekali lagi, itu bukan ukuran yang terlalu penting buat ayah dan bunda. Akhirnya, ukuran orang lain itu, termasuk omongan-omongan yang negatif tadi, kami gunakan sebagai ukuran yang lain, ukuran untuk memperbaiki diri, bukan ukuran kebahagiaan kami. Alhamdulillah dengan seperti itu, perlahan-lahan mereka bisa menerima. Dan tentunya, ayah dan bunda jadi belajar banyak hal, belajar untuk memperbaiki diri.”
“Terus, Bun?”
“Ya gitu deh ceritanya. Intinya, Putri harus siap-siap dengan ukuran yang digunakan oleh orang lain, dan harus punya ukuran sendiri yang membuat Putri nyaman dengan diri sendiri dan orang lain. Nanti pas tingkat akhir, Putri akan dinilai dengan ukuran yang disebut kelulusan. Dihadapkan pada pertanyaan yang terkadang menyakitkan; Gimana penelitiannya? Sudah lulus belum? Kapan wisudanya? Dan seterusnya. Nanti kalau sudah lulus, Putri harus menghadapi ukuran pekerjaan; sdah kerja belum? Kerjanya dimana? Penghsilannya berapa? Nanti lanjut lagi ke ukuran selanjutnya, ukuran pernikahan; kapan mau nikah, sama siapa, undangannya mana? Setelah nikah ukuran orang lain akan masih mengejar. Sudah isi belum? Sudah punya anak berapa, dan seterusnya dan seterusnya engak pernah selesai. Kebayang kan gimana repot dan stressnya menghadapi ukuran-ukuran tersebut, kalau kita tidak punya pemahaman yang baik.”
“Gimana dong caranya Bunda, biar Putri punya pemahaman yang baik kayak Bunda?”Bunda tersenyum sebelum mejawab pertanyaanku
“Dengan iqro’ sayang, seperti yang yang diajarkan oleh Allah melalui malaikat Jibril kepada rasulullah.”
“Hah, cuma dengan baca Bunda? Baca buku apa emangnya, Bunda?” Kali ini bunda agak cemberut dengan pertanyaanku
“Aduh, ini anak bunda, katanya mahasiswa, udah mau lulus lagi, masa belum ngerti apa itu iqro’?” Bunda gemes narik pipi aku, aku cengengesan tanpa dosa. Selalu suka dengan style marah sayangnya bunda.
“Hehe, kan bundanya belum ngajarin aku tentang itu.”
“Membaca buku itu hanya salah satu bentuk dari iqra’, Sayang, tapi bukan satu-satunya, dan bukan itu esensinya. Allah memerintahkan membaca agar kita mengerti, agar kita memahami. Dan untuk itu, banyak hal yang harus dan bisa kita baca, salah satunya adalah kejadian yang menimpa kita sehari-hari. Bacalah itu, tanya kenapa bisa begini, kenapa bisa begitu, cari tahu apa yang salah dan seharusnya bagaimana, ambil hikmah dan pelajaran sebanyak-banyaknya, entah itu dari pengalaman pribadi atau pengalamannya orang lain, dengan begitulah pemahaman kita tentang hidup akan semakin bertambah jadi lebih baik lagi, Sayang. Dengan begitulah kita bisa menjadi manusia yang belajar tanpa henti. Itulah esensi dari iqro bukan hanya membaca buku. Setiap hari setiap orang mengalami peristiwa, tapi sedikit sekali yang mau membacanya. Padahal, banyak banget yang bisa kita pelajari dari peristiwa-peristiwa itu. Gitu. Gimana, sudah ngerti sekarang?”
“Iya, Bunda, ngerti. Makasih ya Bunda yang baik hati…” aku bangkit dari sofa tempat dudukku, berdiri menuju kamar, sebelumnya meluk leher bunda yang sedang duduk dari belakang, dan berbisik halus di telinga kanannya;
“… tapi cerewet ….” lalu aku tertawa dan kabur ke kamar. Bunda juga ikut tertawa, dan mengejar aku ke kamar. Dulu aku pernah cerita kan ya, kalau bunda itu kadang kayak anak-anak kalau diajak becanda kayak gitu. Sekarang aku baru ngerti kalau sifat kanak-kanak-nya itu adalah bukti kedewasaan bunda. Cause you know what? Bunda sengaja meladeni bercandaanku itu, walaupun kadang enggak penting, walaupun kayak anak-anak, tak lain hanya untuk menghibur aku.
#diorama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar