Jumat, Januari 15, 2016

Ombak

Again, hariku terjebak dalam rutinitas yang entah sampai kapan aku bisa bertahan. Aku tak tahu apa yang salah dengan yang namanya rutinitas. yang aku tahu; betapa letihnya jiwa yang dipaksa ada, betapa lelahnya raga yang bertindak tanpa rasa suka. Aku ada tapi tak pernah hadir. Aku bersua tapi tak ada guna. Lalu, untuk apa aku di sini? Akupun masih mencari jawabannya. Semoga keajaiban itu segera datang.

Mungkin ada malaikat yang berbaik hati untuk menuliskan jawaban permasalahanku, beserta langkah-langkah yang harus aku lakukan agar kondisi ini bisa segera berakhir, lalu beralih pada kondisi yang lebih baik lagi, kondisi yang aku harapkan. Lalu malaikat itu menyimpan jawaban tadi di bawah bantal, dan betapa bahagianya aku ketika menemukan jawaban itu selepas tidur. Atau katakanlah ada segerombolan penjahat yang mengancamku dengan pistol, menuntutku untuk menikmati segala rutinitas yang aku lakukan, berbahagia atasnya. Karena kalau tidak, mereka akan menembakku. Walaupun barangkali, mati ditembak jauh lebih mudah daripada memaksakan perasaan. Sayangnya, aku tidak hidup di dunia dongeng. Aku hidup dalam dunia yang bernama realitas. Jadi malaikat dan penjahat itu tak pernah datang.

Memang, tak ada yang bisa menduga kapan keajaiban itu datang, melalui siapa atau dengan cara apa. Tapi ia ada, sebagaimana Tuhan ada. Kita hanya harus mempercayainya. Keajaiban itu akhirnya datang juga kepadaku melalui ayahku. Bukan melalui malaikat apalagi penjahat. Ayahku memberikan kejutan untuk ulangtahunku; datang dari kampung halaman sana hanya untuk menemuiku di sini. Membawa hadiah yang tak akan kulupa seumur hidup; kehadirannya dan sepotong cerita tentang ombak. Barangkali benar apa yang dikatakan Rumi; berterimakasihlah kepada siapapun yang datang, karena setiap tamu adalah pemandu yang dikirimkan Tuhan.


***

Ayahku bercerita tentang dua gulung ombak yang sedang berdiskusi di lepasnya lautan. Ombak yang pertama bercerita tentang rasa takutnya karena sebentar lagi ia akan sampai di tepi pantai. Betapa tak nyamannya dia melewati perjalan menuju pantai. Dan sebagaimana lazimnya ombak, ia akan menghilang, meluruh bersama pasir pantai, diinjak-injak oleh manusia yang berjalan-jalan riang di pinggir pantai. Ombak kedua yang ada di belakang ombak pertama menimpali:

"Kamu takut karena kamu berfikir kalau kamu itu ombak. Tapi saya tak pernah merasa takut, karena saya berfikir; saya adalah bagian dari lautan. Walaupun pada kenyataannya, saya hanyalah segulung ombak."


***

Ayahku memang berbeda dari kebanyakan orangtua lainnya. Ia tak pernah melarang. Ia hanya memberi pengertian. Ia tak pernah keberatan. Ia hanya menjelaskan. Dan aku cukup berpengalaman untuk mengambil kesimpulan dari penjelasanya, dari pengertiannya. Bahkan terkadang, penjelasannya ibarat petunjuk yang membuka pemahaman-pemahaman yang lainnya.

Dari ceritanya aku disadarkan, betapa kondisiku tak jauh berbeda dari ombak yang pertama. Merasa berbeda dengan laut, dengan pinggiran pantai, dengan semua yang yang ada di sekitar. Padahal kesemuanya itu adalah bagian utuh yang bernama lautan. Ombak itu adalah aku, lautannya adalah dunia di sekitarku. Entah itu pekerjaan, lingkungan atau yang lainnya. Dan kondisi yang aku alami sekarang ini tercipta karena aku terlalu merasakan perbedaan yang ada. Sejatinya perbedaan memang selalu ada. Perbedaan status, perbedaan keinginan, perbedaan visi, perbedaan lingkungan, juga perbedaan kondisi. Sayangnya, yang selama ini belum aku pahami;  perbedaan memang harus diakui, tapi tak perlu terlalu dirasakan. Karena dengan mengakui perbedaan kita bisa saling menghargai. Tapi semakin dalam perbedaan itu dirasakan, kita akan semakin kesepian, merasa sendiri, merasa tidak nyaman.

Perbedaan juga terkadang memaksa kita untuk berpura-pura kuat dan berani, padahal sebenarnya kita merasakan sebaliknya. Padahal seharusnya, kita tidak usah berpura-pura kuat ketika sedang merasa lemah, atau berpura-pura berani padahal merasa takut. Barangkali, dunia ini akan menjadi tempat yang lebih indah kalau setiap orang yang merasa lemah jujur mengakui dan berkata dengan rendah hati; Aku punya masalah. Aku lemah dan sedang berusaha semaksimal mungkin.

Anyway, sebelum pulang ayahku berpesan:

“Nak, kita tidak akan pernah tahu tempat kita berada atau pekerjaan yang kita lakukan itu cocok atau tidak buat kita, sesuai atau tidak dengan keinginan kita, sebelum kita melakukan yang terbaik di tempat atau pekerjaan itu. Mungkin akan lebih baik kamu mengambil kesimpulan setelah kamu melakukan yang terbaik yang kamu bisa.”

Dan sejak itu, aku mulai menikmati rutinitasku. Tak ada yang salah dengan rutinitas, selama kita bisa menikmatinya bukan? Selama kita berbahagia dengan rutinitas yang kita lakukan. 

#diorama


Tidak ada komentar:

Posting Komentar