Again,
hariku terjebak dalam rutinitas yang entah sampai kapan aku bisa bertahan. Aku
tak tahu apa yang salah dengan yang namanya rutinitas. yang aku tahu; betapa letihnya jiwa yang dipaksa ada, betapa lelahnya raga yang
bertindak tanpa rasa suka. Aku ada tapi tak pernah hadir. Aku bersua tapi tak
ada guna. Lalu,
untuk apa aku di sini? Akupun masih mencari jawabannya. Semoga keajaiban itu
segera datang.
Mungkin ada malaikat yang berbaik hati untuk menuliskan jawaban
permasalahanku, beserta langkah-langkah yang harus aku lakukan agar kondisi ini
bisa segera berakhir, lalu beralih pada kondisi yang lebih baik lagi, kondisi
yang aku harapkan. Lalu malaikat itu menyimpan jawaban tadi di bawah bantal,
dan betapa bahagianya aku ketika menemukan jawaban itu selepas tidur. Atau
katakanlah ada segerombolan penjahat yang mengancamku dengan pistol, menuntutku
untuk menikmati segala rutinitas yang aku lakukan, berbahagia atasnya. Karena
kalau tidak, mereka akan menembakku. Walaupun barangkali, mati ditembak jauh
lebih mudah daripada memaksakan perasaan. Sayangnya, aku tidak hidup di dunia
dongeng. Aku hidup dalam dunia yang bernama realitas. Jadi malaikat dan
penjahat itu tak pernah datang.
Memang, tak ada yang bisa menduga kapan keajaiban itu datang,
melalui siapa atau dengan cara apa. Tapi ia ada, sebagaimana Tuhan ada. Kita
hanya harus mempercayainya. Keajaiban itu akhirnya datang juga kepadaku melalui
ayahku. Bukan melalui malaikat apalagi penjahat. Ayahku memberikan kejutan
untuk ulangtahunku; datang dari kampung halaman sana hanya untuk menemuiku di
sini. Membawa hadiah yang tak akan kulupa seumur hidup; kehadirannya dan
sepotong cerita tentang ombak. Barangkali benar apa yang dikatakan Rumi; berterimakasihlah kepada siapapun yang datang, karena setiap tamu
adalah pemandu yang dikirimkan Tuhan.
***
Ayahku bercerita tentang dua gulung ombak yang sedang berdiskusi
di lepasnya lautan. Ombak yang pertama bercerita tentang rasa takutnya karena
sebentar lagi ia akan sampai di tepi pantai. Betapa tak nyamannya dia melewati
perjalan menuju pantai. Dan sebagaimana lazimnya ombak, ia akan menghilang,
meluruh bersama pasir pantai, diinjak-injak oleh manusia yang berjalan-jalan
riang di pinggir pantai. Ombak kedua yang ada di belakang ombak pertama
menimpali:
"Kamu takut karena kamu berfikir kalau kamu itu ombak. Tapi
saya tak pernah merasa takut, karena saya berfikir; saya adalah bagian dari
lautan. Walaupun pada kenyataannya, saya hanyalah segulung ombak."
***
Ayahku memang berbeda dari kebanyakan orangtua
lainnya. Ia tak pernah melarang. Ia hanya memberi pengertian. Ia tak pernah
keberatan. Ia hanya menjelaskan. Dan aku cukup berpengalaman untuk mengambil kesimpulan
dari penjelasanya, dari pengertiannya. Bahkan terkadang, penjelasannya ibarat
petunjuk yang membuka pemahaman-pemahaman yang lainnya.
Dari ceritanya aku disadarkan, betapa kondisiku tak jauh berbeda
dari ombak yang pertama. Merasa berbeda dengan laut, dengan pinggiran pantai,
dengan semua yang yang ada di sekitar. Padahal kesemuanya itu adalah bagian
utuh yang bernama lautan. Ombak itu adalah aku, lautannya adalah dunia di
sekitarku. Entah itu pekerjaan, lingkungan atau yang lainnya. Dan kondisi yang
aku alami sekarang ini tercipta karena aku terlalu merasakan perbedaan yang
ada. Sejatinya perbedaan memang selalu ada. Perbedaan status, perbedaan
keinginan, perbedaan visi, perbedaan lingkungan, juga perbedaan kondisi.
Sayangnya, yang selama ini belum aku pahami; perbedaan
memang harus diakui, tapi tak perlu terlalu dirasakan. Karena dengan mengakui
perbedaan kita bisa saling menghargai. Tapi semakin dalam perbedaan itu
dirasakan, kita akan semakin kesepian, merasa sendiri, merasa tidak nyaman.
Perbedaan juga terkadang memaksa kita untuk berpura-pura kuat
dan berani, padahal sebenarnya kita merasakan sebaliknya. Padahal seharusnya,
kita tidak usah berpura-pura kuat ketika sedang merasa lemah, atau berpura-pura
berani padahal merasa takut. Barangkali, dunia ini akan menjadi tempat yang
lebih indah kalau setiap orang yang merasa lemah jujur mengakui dan berkata
dengan rendah hati; Aku punya masalah. Aku lemah dan sedang berusaha semaksimal
mungkin.
Anyway, sebelum pulang ayahku berpesan:
“Nak, kita tidak akan pernah tahu tempat kita berada atau
pekerjaan yang kita lakukan itu cocok atau tidak buat kita, sesuai atau tidak
dengan keinginan kita, sebelum kita melakukan yang terbaik di tempat atau
pekerjaan itu. Mungkin akan lebih baik kamu mengambil kesimpulan setelah kamu
melakukan yang terbaik yang kamu bisa.”
Dan sejak itu, aku mulai menikmati rutinitasku. Tak ada yang
salah dengan rutinitas, selama kita bisa menikmatinya bukan? Selama kita
berbahagia dengan rutinitas yang kita lakukan.
#diorama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar