Barangkali
segalanya akan lebih mudah, jika di dunia yang serba tak terduga ini ada yang
menjual benda yang bernama ‘kedewasaan’. Terserah mau menyerupai apa bentuknya.
Bisa menyerupai batu semacam jimat agar terkesan sedikit sakral misalkan,
sehingga siapapun yang membawanya akan serba dewasa untuk menyikapi sesuatu.
Tentu saja tidak perlu dikait-kaitkan dengan yang ghaib, apalagi menyamakan
batu itu dengan Tuhan. Ilmu pengetahuan dengan konsep metafisikanya harusnya
sudah bisa menjelaskan dengan masuk akal, apa hubungan antara batu yang dibawa
dengan proses pembentukan ‘kedewasaan’.
Atau misalkan lagi, ‘kedewasaan’ itu dijual dalam bentuk permen
karet beraneka rasa, yang setiap rasanya mengandung kadar dan kualitas
‘kedewasaan’ yang berbeda. Rasastrawberry untuk
‘kedewasaan’ jangka pendek, rasa jeruk untuk ‘kedewasaan’ jangka menengah, atau
rasa durian untuk ‘kedewasaan’ jangka panjang. Tentu saja di setiap kemasan ada
aturan pakainya, kapan dan untuk masalah apa saja jenis-jenis permen karet itu
boleh dikonsumsi.
Atau, di zaman yang serba canggih ini, katakanlah ada sekelompok
teroris jenius yang menguasi perusahaan garam. Kemudian, dengan serangkaian
proses kimia tertentu, garam itu dicampur dengan zat tertentu yang membuat efek
‘kedewasaan’ dan ‘kecanduan’ dengan kadar yang proporsional. Dengan strategi
pemasaran serba modern, dengan lobi-lobi politik, suap kanan suap kiri, garam
itu bisa dikonsumsi oleh seluruh penduduk, dicampur dengan beraneka makanan dan
masakan yang memerlukan garam. Sehingga secara otomatis, dengan semakin banyak
mengkonsumsi garam tersebut, tingkat ‘kedewasaan’ seseorang juga semakin
bertambah. Tentu saja tidak akan sampai over dosis. Siapa yang mau mengkonsumsi
garam secara berlebihan? Lagipula, selain kelompok teroris tadi, tidak
ada yang tahu kalau garam itu mengandung zat yang menyebabkan ‘kedewasaan’
sekaligus kecanduan, termasuk karyawan-karyawannya sekalipun.
***
Sayangnya itu semua hanya mimpi. Mimpi yang sekalipun
tidak pernah menjadi kenyataan. ‘Kedewasaan’ terlalu mahal untuk
diperjualbelikan. Juga terlalu agung untuk diciptakan dengan prosessi seperti
itu.
Diperlukan beberapa kali penolakan untuk benar-benar menyadari,
bahwa menerima adalah pilihan yang terbaik. Diperlukan beberapa kali sakit hati
dan kecewa untuk meyakini, bahwa keikhlasan selalu menjadi muara terbaik setiap
rasa. Diperlukan serangkaian konflik inetrpersonal dan intrapersonal untuk
menimbun banyak-banyak kesabaran. Diperlukan beraneka macam masalah untuk lebih
memahami apa itu tanggungjawab. Diperlukan ketulusan tingkat tinggi untuk
menempatkan ‘kedewasaan’ di hati seorang manusia, untuk kemudian dijelmakan dan
mendominasi tindak-tanduk kesehariannya. Walaupun tidak akan bisa
sempurna. Karena masih banyak benda dan sifat lain yang harus ditampung oleh
hati. Entah itu baik ataupun buruk.
Maka jika ada mata yang sedang menangis, jika ada pikiran yang
sedang terbebani, jika ada hati yang sedang berkecamuk, atau merasa berat
melangkahkan kaki; jangan terlalu khawatir. Begitupun dengan yang mengaku sudah
punya kedewasaan, lalu kesal melihat orang lain yang tak kunjung dewasa, lalu
kesal itu bermetamorfosis menjadi ketidaksukaan, dan ketidaksukaan tiba-tiba
berubah menjadi ‘dakwaan’ yang tidak semestinya; jangan begitu. Cause you know what? Hidup
ini proses. Dan proses ini masih belum selesai.
Katakanlah ada yang berjalan lurus-lurus saja dengan kedewasaan
yang sudah ada. Kemudian ada ‘terdakwa’ yang belum dewasa dan masih menjalani
proses yang berliku-liku. Sekilas, memang yang lurus-lurus lebih cepat mencapai
tujuan. Tapi, jika ‘terdakwa’ tadi menjalani prosesnya dengan baik, kemudian
menemukan jalan pintas yang lebih cepat untuk memahami, hanya tinggal menunggu
waktu dan momentum saja, kedewasaan ‘terdakwa’ tadi melesat jauh meninggalkan
orang yang sudah dewasa terlebih dahulu. Itulah kenapa Tuhan tidak
memperbolehkan manusia untuk sombong, kenapa Tuhan tidak memperbolehkan manusia
untuk meremehkan manusia yang lainnya. Karena semuanya masih bisa berubah.
Semuanya masih bisa berbalik. Selama jantung masih berdetak, selama waktu
masih berdetik, selama nadi masih berdenyut. Dan hati selalu bisa
berbolak-balik. Selamat berproses, proses yang tentu saja tidak semudah membaca
tulisan ini.
#diorama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar