Jumat, Januari 15, 2016

Kedewasaan

Barangkali segalanya akan lebih mudah, jika di dunia yang serba tak terduga ini ada yang menjual benda yang bernama ‘kedewasaan’. Terserah mau menyerupai apa bentuknya. Bisa menyerupai batu semacam jimat agar terkesan sedikit sakral misalkan, sehingga siapapun yang membawanya akan serba dewasa untuk menyikapi sesuatu. Tentu saja tidak perlu dikait-kaitkan dengan yang ghaib, apalagi menyamakan batu itu dengan Tuhan. Ilmu pengetahuan dengan konsep metafisikanya harusnya sudah bisa menjelaskan dengan masuk akal, apa hubungan antara batu yang dibawa dengan proses pembentukan ‘kedewasaan’.

Atau misalkan lagi, ‘kedewasaan’ itu dijual dalam bentuk permen karet beraneka rasa, yang setiap rasanya mengandung kadar dan kualitas ‘kedewasaan’ yang berbeda.  Rasastrawberry untuk ‘kedewasaan’ jangka pendek, rasa jeruk untuk ‘kedewasaan’ jangka menengah, atau rasa durian untuk ‘kedewasaan’ jangka panjang. Tentu saja di setiap kemasan ada aturan pakainya, kapan dan untuk masalah apa saja jenis-jenis permen karet itu boleh dikonsumsi.

Atau, di zaman yang serba canggih ini, katakanlah ada sekelompok teroris jenius yang menguasi perusahaan garam. Kemudian, dengan serangkaian proses kimia tertentu, garam itu dicampur dengan zat tertentu yang membuat efek ‘kedewasaan’ dan ‘kecanduan’ dengan kadar yang proporsional. Dengan strategi pemasaran serba modern, dengan lobi-lobi politik, suap kanan suap kiri, garam itu bisa dikonsumsi oleh seluruh penduduk, dicampur dengan beraneka makanan dan masakan yang memerlukan garam. Sehingga secara otomatis, dengan semakin banyak mengkonsumsi garam tersebut, tingkat ‘kedewasaan’ seseorang juga semakin bertambah. Tentu saja tidak akan sampai over dosis. Siapa yang mau mengkonsumsi garam secara berlebihan?  Lagipula, selain kelompok teroris tadi, tidak ada yang tahu kalau garam itu mengandung zat yang menyebabkan ‘kedewasaan’ sekaligus kecanduan, termasuk karyawan-karyawannya sekalipun.

***

Sayangnya itu semua hanya mimpi. Mimpi yang sekalipun tidak pernah menjadi kenyataan. ‘Kedewasaan’ terlalu mahal untuk diperjualbelikan. Juga terlalu agung untuk diciptakan dengan prosessi seperti itu.

Diperlukan beberapa kali penolakan untuk benar-benar menyadari, bahwa menerima adalah pilihan yang terbaik. Diperlukan beberapa kali sakit hati dan kecewa untuk meyakini, bahwa keikhlasan selalu menjadi muara terbaik setiap rasa. Diperlukan serangkaian konflik inetrpersonal dan intrapersonal untuk menimbun banyak-banyak kesabaran. Diperlukan beraneka macam masalah untuk lebih memahami apa itu tanggungjawab. Diperlukan ketulusan tingkat tinggi untuk menempatkan ‘kedewasaan’ di hati seorang manusia, untuk kemudian dijelmakan dan mendominasi tindak-tanduk kesehariannya. Walaupun  tidak akan bisa sempurna. Karena masih banyak benda dan sifat lain yang harus ditampung oleh hati. Entah itu baik ataupun buruk.

Maka jika ada mata yang sedang menangis, jika ada pikiran yang sedang terbebani, jika ada hati yang sedang berkecamuk, atau merasa berat melangkahkan kaki; jangan terlalu khawatir. Begitupun dengan yang mengaku sudah punya kedewasaan, lalu kesal melihat orang lain yang tak kunjung dewasa, lalu kesal itu bermetamorfosis menjadi ketidaksukaan, dan ketidaksukaan tiba-tiba berubah menjadi  ‘dakwaan’ yang tidak semestinya; jangan begitu. Cause you know what? Hidup ini proses. Dan proses ini masih belum selesai.

Katakanlah ada yang berjalan lurus-lurus saja dengan kedewasaan yang sudah ada. Kemudian ada ‘terdakwa’ yang belum dewasa dan masih menjalani proses yang berliku-liku. Sekilas, memang yang lurus-lurus lebih cepat mencapai tujuan. Tapi, jika ‘terdakwa’ tadi menjalani prosesnya dengan baik, kemudian menemukan jalan pintas yang lebih cepat untuk memahami, hanya tinggal menunggu waktu dan momentum saja, kedewasaan ‘terdakwa’ tadi melesat jauh meninggalkan orang yang sudah dewasa terlebih dahulu. Itulah kenapa Tuhan tidak memperbolehkan manusia untuk sombong, kenapa Tuhan tidak memperbolehkan manusia untuk meremehkan manusia yang lainnya. Karena semuanya masih bisa berubah. Semuanya masih bisa berbalik.  Selama jantung masih berdetak, selama waktu masih berdetik, selama nadi masih berdenyut.  Dan hati selalu bisa berbolak-balik. Selamat berproses, proses yang tentu saja tidak semudah membaca tulisan ini.

#diorama 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar