8
Ada
gejolak yang menghantui pikirku, mengendapkan sepotong pertanyaan tentang
segenap perasaan yang dulu sempat kutujukan kepadamu; untuk apa kebersamaan
yang selama ini kita lalui?
***
"Cinta
itu tanggungjawab."
katamu
suatu ketika.
"Maksudnya?"
Tanyaku
bingung.
Lantas
kamu menyederhankan;
"Aku
akan ikut bertanggungjawab atas senyummu, atas air-matamu dan atas apapun yang
terjadi dengan kamu."
Mendengarnya,
kodrat kewanitaanku langsung membentuk kombinasi menawan antara gerakan dan
perasaan; tersenyum, menunduk, tersipu dan terharu. Ada satu kombinasi lagi
yang seharusnya ditambahkan, yang baru aku sadari belakangan ini, setelah
sekian lama kamu mengatakan itu; 'sedikit kebodohan' karena aku mempercayai
kata-katamu itu.
Barangkali
benar adanya, nasihat bijak yang mengatakan; jangan lihat siapa yang
menyampaikan tapi lihatlah apa yang disampaikan. Kita sering tertipu dengan
siapa yang menyampaikan. Lalu kita menjadi manusia yang tidak adil. Langsung
menolaknya jika yang menyampaikan adalah orang yang tidak kita suka, dan
langsung menerimanya jika yang menyampaikan adalah orang yang kita cinta.
Termasuk yang aku lakukan kepadamu. Harusnya aku bisa bersikap adil, untuk memikirkan
dan menyaring mana yang baik mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang
salah; dari mulut siapapun perkataan itu keluar; termasuk perkataan dari
mulutmu. Orang yang dulu pernah aku cintai.
Tak
ada yang salah dengan kata-katamu itu. Memang benar adanya. Memang begitulah
seharusnya. Yang salah adalah kondisinya. Karena kata-katamu itu tak akan
pernah menjadi kenyataan kalau kita belum saling memiliki, kalau kita belum ada
dalam ikatan suci. Kita hanya akan benar-benar mencintai apa yang kita miliki.
Kita hanya akan benar-benar bertanggungjawab atas apa yang kita punya. Dan
bagaimana aku mempercayai kata-katamu itu, jika memutuskan untuk berlanjut ke
ikatan yang lebih suci saja, kamu tidak berani. Maka, jangan salahkan aku jika
aku memutuskan untuk berpisah denganmu. Aku hanya butuh kepastian. Walaupun
kepastian itu pahit dan menyakitkan. Buatku, ketidakpastian yang berkepanjangan
jauh lebih menyakitkan.
"Lalu,
buat apa kebersamaan kita selama ini, jika sekarang kita harus berpisah?"tanyamu
menentangku
"Lalu,
buat apa kebersamaaan kita selama ini, jika kita tak bisa saling
memiliki?"jawbku menantangmu
Lalu,
kita berdua terbungkus diam, tenggelam dalam lamunan masing-masing. Sesekali
matamu tajam menatapku. Sedang pikiranku menerawang jauh, membuka file-file
kebersamaan yang pernah kita lalui. Sambil menata hati, kuingat kembai
kata-katamu kalau cinta adalah tanggungjawab. Jika demikian, berarti kamu
memang tidak mencintai aku. Buktinya, kamu tidak mau mengambil tanggungjawab
atas diriku dengan ikatan yang lebih suci. Lalu apa aku mencintai kamu?
"Kamu
tidak akan menyesal kalau kita berpisah, padahal sudah sampai sejauh ini?"tanyamu
memotong kebisuan
"Mungkin.
Tapi aku akan lebih menyesal lagi jika tidak mengakhirinya sampai di sini. Di
luar sana masih banyak kesempatan, kenapa aku harus bertahan dalam
ketidakpastian?"
"Jadi,
kita selesai?"
Tak
ada suara. Hanya anggukan pelan dari kepalaku. Lalu, gelengan di dalam hatiku;
tidak, ternyata aku tak mencintai kamu. Sebagaimana kamu yang tidak mencintai
aku. Kita hanya sama-sama sedang keliru menyebut ego sebagai cinta.
9
Berkali-kali
kubuka buku, membaca pengalaman orang-orang terdahulu, menyelami fenomena di
sekitar demi mencari potongan definisi tentang apa yang sedang kurasakan
terhadapmu; kenapa aku teramat membencimu?
***
Kesalahanku
adalah membenci kamu, sama seperti kesalahanku terdahulu pernah menyukai kamu.
And you know what? Benci selalu menyakitkan, dan membenci orang yang pernah
kamu sukai, jauh lebih menyakitkan daripada membenci orang yang sudah dari awal
tidak kamu sukai.
Harusnya
aku tak perlu membenci kamu, sebagaimana aku juga tak perlu menyukai kamu.Kamu,
sebagaimana manusia yang lain memang ada bukan untuk disuka atau dibenci.Menyukai
dan membenci kamu adalah sama-sama kesalahan. Dan aku melakukan dua kesalahan
berturut-turut.
Harusnya
dari dulu aku mengerti, kalau setiap orang memiliki sisi baik dan sisi buruk.
Tak mungkin semuanya baik. Tak mungkin tak ada yang buruk. Termasuk aku dan
kamu. Punya sisi baik dan sisi buruk masing-masing.
Harusnya
aku tak perlu rumit-rumit membedakan manusia, termasuk kamu yang ada di
dalamnya, dengan pengelompokkan yang aneh-aneh. Golongan ini, golongan itu,
atau golongan manapun yang kadang terlalalu egois merasa golongannya sendiri
yang paling baik. Sederhana saja. Ada orang baik, ada orang buruk. Orang baik
adalah mereka yang melakukan kebaikan. Orang buruk adalah mereka yang melakukan
keburukan. Sudah. Cukup. Selesai. Karena setiap orang punya sisi baik dan sisi
buruk, ada saatnya kita melakukan kebaikan, ada saatnya kita melakukan
keburukan. Ada saatnya kita menjadi orang baik, ada saatnya kita menjadi orang
buruk. Terkait intensitasnya, tentu saja berbeda satu sama yang lainnya.
Harusnya
aku juga memahami, kalaupun harus ada benci diantara kita, benci itu hanya
boleh diperuntukkan untuk keburukan kita. Dan kita masih punya sisi baik untuk
disukai. Pun begitu dengan rasa suka, kalaupun aku harus menyukai kamu, aku
cukup menyukai sisi baik kamu. Aku harus tetap memiliki ruang benci untuk sisi
buruk kamu. Sebagaimana aku juga harus menyisakan ruang benci untuk keburukanku
sendiri. Dengan begitu, harusnya aku juga bisa lebih adil dan rasional untuk
membenci dan menyukai kamu. Tidak mengutamakan perasaan semata.
Kamu,
sebagaimana manusia yang lainnya memang ada bukan untuk disukai atau dibenci. Tapi untuk saling sayang-menyayangi. Rasa sayang
bermetamorfosis menjadi kebahagiaan tertentu ketika melihat kebaikan dan
keberhasilan orang lain. Rasa sayang yang kadang berwujud maaf. Rasa sayang
yang kadang menjelma menjadi marah atas keburukan orang lain, tapi marahnya
marah sayang, bukan marah benci. Marah karena tidak ingin orang lain salah,
marah karena ingin melihat orang lain lebih baik, marah yang berujung pada
perubahan yang lebih baik, bukan marah karena tersakiti atau terdzolimi.
Aku
tak mau lagi membenci atau menyukai kamu. Aku hanya ingin menyayangi kamu. Dan
jujur, aku masih perlu banyak-banyak menata hati agar bisa menyayangi kamu.
10
Andai
saja pilihan itu ada, tentu aku akan memilih untuk melupakanmu. Membuangmu
jauh-jauh dari sudut ingatanku. Mengingatmu membuatku semakin resah, tapi
melupakanmu bukanlah perkara yang cukup mudah. Namun apa daya, kebingunganganku
menyudutkanku pada kondisi tanpa pilihan selain mengingatmu, walaupun
mengingatmu adalah perkara yang tak selayaknya.
***
Harusnya,
aku tak perlu kehilangan jutaan detik yang berharga hanya untuk bersia-sia,
terjebak dalam bingungnya perasaan terhadapmu; jika sedari dulu aku mengerti
bahwa hati tidak ditugaskan untuk memilih. Seperti yang pernah dikatakan oleh
seorang sahabatku, walaupun aku menyesal kenapa baru mendengarnya setelah semua
ini terjadi.
"Hati
tak perlu memilih, hati selalu tahu apa yang harus dirasa. Terlepas dari benar
atau salah perasaan itu. Kalau
kamu suka, rasai saja. Tak perlu berpaling dari perasaan sendiri. Kalau kamu
benci, rasai saja. Tak perlu berpura-pura untuk menyukai apa yang kamu benci.
Apalagi memaksa menyukai apa yang sebenarnya tidak kamu suka. Memaksa hanya
akan membuat hatimu semakin luka. Termasuk memaksa untuk melupakannya. Jadi
kalau hatimu bilang ingin mengingatnya, ingat saja tentangnya."
"Jadi
tak masalah kalaupun perasaan itu salah?"
"Hati
tak pernah tahu apa yang dirasanya itu benar atau salah. Karena hati diciptakan
untuk merasa, bukan untuk berfikir tentang benar atau salah. Hati hanya bisa
jujur, jujur terhadap apa yang dirasanya. Walaupun itu salah, walaupun itu
bertentangan dengan kaidah baik-buruk sunatullah yang sudah dipaketkan Tuhan
untuk dikenal oleh hati nurani. Hati tidak bisa berbohong. Tapi hati sangat
bisa untuk salah. That`s why, selain menciptakan hati, Tuhan juga memberikan
akal untuk berfikir, untuk mempertimbangkan baik-buruknya, untuk menentukan
benar-salahnya. Gunakan juga itu, jangan hanya menggunakan hati saja."
"Jadi,
aku harus gimana?"
"Rasakan
saja apa yang harus dirasakan. Rasakan saja apa yang ingin hatimu rasakan.
Entah itu suka, benci, atau mungkin rindu. Dengan begitu hatimu menjadi lega.
Tapi sebelum melampiaskan perasaan kamu, sebelum mengungkapkannya, sebelum
mengekspresikannya, jangan lupa gunakan akal kamu untuk berfikir tentang cara
yang baik dan benar bagaimana melampiaskannya. Gunakan akal kamu untuk menata
hati kamu, agar bisa meluruskan perasaan yang salah, atau perasaan yang tidak
pada tempatnya."
***
Well,
aku memang masih belum bisa melupakanmu. Aku juga tak bisa memaksa hatiku untuk
melupakanmu. Dan ternyata aku tak perlu punya pilihan untuk melupakannmu.
Barangkali juga untuk urusan hidup yang lainnya; kita tak perlu bingung dengan pilihan kalau kita sudah punya
keinginan yang sungguh-sungguh. Dan sekarang, aku benar-benar ingin
melupakanmu.
11
Ada
rahasia yang ingin kuungkap tentang kebersamaan diantara kita. Walaupun
bersamamu, adalah kenangan yang menyakitkan. Dan karena itulah kita berpisah,
bukan? Bersusah payah aku menghapus kenangan itu. Sampai aku sadar, bahwa tak ada yang perlu dihapus dari sebuah kenangan. Kenangan, sepahit
dan semenyakitkan apapun bentuknya, adalah mozaik yang membentuk diri, yang mau
tak mau ikut berjasa atas diriku yang sekarang ini. Dan bagaimana mungkin aku menghapus
bagian dari diriku sendiri?
Sekarang,
kubiarkan saja kenangan itu tumbuh subur dalam hatiku, agar bisa kupetik
buahnya; berupa pelajaran berharga sepanjang hidup. Walaupun pelajaran itu
tidak bisa kupetik setiap saat; tapi setidaknya sesekali aku bisa memetiknya
jika perlu. Sesakali aku bisa melupakannya jika mau. Tentu saja itu semua tidak
bisa kulakukan dengan jatuh bangun menghapus kenangan bersamamu.
Maka,
biarkanlah kuungkap saja rahasia ini; rahasia yang belum dan perlu kamu
ketahui, rahasia yang aku sendiri baru mengetahuinya, rahasia yang aku petik
dari kenangan bersamamu.
Harusnya,
sepasang manusia memutuskan untuk hidup bersama karena sudah siap untuk saling
menerima, bukan sekedar saling cinta, apalagi hanya emosi semata.
Mungkin dengan begitu kamu tak perlu menyakitiku. Aku tersakiti karena tak bisa
menerima sikapmu. Dan kamupun melakukan itu karena belum menerima kekuranganku.
Ah, apapun bentuknya, rasa sakit selalu berawal dari ketidakterimaan.
Barangkali itulah salah satu alasan kenapa Tuhan Yang Maha Tahu, menyuruh kita
untuk bersyukur, untuk menerima apapun yang sudah ditetapkan kepada kita. Agar
kita tidak banyak tersakiti oleh hidup dan kehidupan. Jadi, buat apa kita
bersama jika tak mau saling menerima. Buat apa kita tetap bersama, jika
nantinya hanya akan saling menyakiti.
Aku
pernah menyesal melewati kebersamaan yang menyakitkan bersama kamu. Padahal
untuk apa? Sesal hanya membuat hati semakin sesak. Aku juga pernah sangat marah
atas apa yang kamu lakukan terhadapku. Padahal untuk apa? Marah hanya membuat
pikiranku semakin kacau, membuat masalah semakin rumit, dan membuat hatiku
semakin kotor.
Akhirnya,
segala proses yang melelahkan ini, membawaku pada sebuah pemahaman yang selama
ini menjadi misteri dan rahasia dalam hidupku, kenapa aku sering merasa
tersakiti. And you know what; Ternyata, yang
lebih banyak menyakiti kita adalah diri kita sendiri. Perasaan dan pikiran
kita. Bukan orang lain. Jadi berhentilah untuk menyalahkan orang lain. Dan aku,
tak lagi menyalahkanmu.
12
Sahabatku
yang satu itu memang aneh. Ia hanya tersenyum menanggapi keluhan
panjang-lebarku tentang apa yang kurasakan. Rasa sakit yang berkepanjangan,
rasa kecewa yang menyesakkan, rasa marah yang tak tahu harus dilampiaskan lewat
apa. Terhadapmu. Kamu, yang telah melukai hatiku, yang telah menghancurkan
kepercayaanku, yang telah banyak mengecewakanku.
Aku
kira aku akan mendapatkan pembelaan darinya sebagai seorang sahabat. Minimal
mendapatkan kata-kata sejenis; sabar ya, semuanya pasti berlalu, semuanya akan
baik-baik saja. Atau kata-kata manis lainnya sebagai penghibur lara. Atau
beberapa tindakan melankolis sebagai tanda berbelasungkawa. Tapi senyuman?
Bagaiaman ia tega tersenyum di atas penderitaan sahabatnya sendiri. Untungnya,
ia angkat suara sebelum kekesalanku kian memuncak:
***
"Selayaknya,
hati digunakan sebagai tempat untuk mengalir. Bukan tempat untuk menyimpan
seperti yang kamu lakukan saat ini."
"Maksud
kamu?"
"Kamu
sedang menyimpan rasa sakit, kesal, kecewa dan sejenisnya dalam hati kamu.
Kapasitas hatimu sudah dipenuhi oleh perasaan yang menyesakkan itu. Kamu tidak
lagi bisa menyadari dan menikmati betapa banyak rasa bahagia yang bisa kamu
cicipi. Betapa banyak kamu melewati momentum rasa bahagia yang sebenarnya bisa
dengan sangat mudah kamu rasakan pada hal-hal yang sederhana. Hati kamu hanya
menyisakan sedikit ruang untuk perasaan yang baru, karena hatimu sudah penuh
untuk menyimpan perasaan yang sebenarnya sudah menjadi masa lalu. Kamu masih
punya masa depan untuk diperjuangkan, kamu juga punya masa sekarang untuk
dinikmati, tapi kamu memperuntukkan hati kamu untuk merasakan masa lalu."
"Padahal,
apapun jenisnya, perasaan tak perlu disimpan dalam hati. Biarkan hati menjadi
tempat untuk mengalirnya perasaan. Dan biarkanlah aliran itu meningglkan bekas
berupa kenangan, atau potongan hikmah yang akan memperkaya hatimu. Tapi, kamu
tak perlu menyimpan perasaan itu. Cukup kenangan dan potongan hikmahnya saja.
Agar kamu bisa lebih bebas untuk merasakan dan menikmati banyak rasa
dalam hidupmu. Tidak terpenjara oleh belenggu perasaan yang mengekang hatimu
untuk merasa apa yang ingin dan seharusnya kamu rasakan."
"Kamu
bisa dengan mudah mengatakan itu karena kamu tak tahu apa-apa tentang apa yang
aku rasakan." ucapku
setelah panjang lebar mendengarkan ucapnya.
"Aku,
sedikit lebih tahu tentang apa yang sedang kamu rasakan. Karena aku juga pernah
merasakan hal yang sama seperti yang kamu rasakan. Aku merasakannya lebih dulu
daripada kamu" tegasnya
meyakinkanku.
"Lalu?"
"Lalu,
aku memilih untu bebas, untuk mengalirkan segala perasaan yang menyesakkan itu.
Dan aliran itu menggoreskan sedikit kebijaksanaan dalam hatiku. Memang butuh
waktu yang tidak sebentar untuk lepas dari belenggu perasaan itu. Tapi
kebebasan membuat hatiku lebih kaya untuk merasakan apapun yang ingin dan harus
kurasakan."
"Kalau
aku jadi kamu, aku tetap tak akan pernah memaafkan orang itu. Seperti yang aku
rasakan sekarang. Aku tak akan pernah memaafkannya."
"Kalau
aku tak memaafkannya, aku tak akan pernah mau jadi sahabatmu lagi. Aku tak akan
mau menemuimu, aku juga tak akan mau mendengarkan ceritamu lagi."
"Kenapa
begitu?"
"Karena
kamulah orang itu. Orang yang membuatku pernah merasakan apa yang sedang kamu
rasakan sekarang."
Aku
kaget tersentak. Dan senyumnya kian melebar. Senyum yang baru aku tahu apa
maksudnya; senyum kebebasan. Senyum yang entah kapan aku memilikinya.
13
Ada
firasat yang berbisik halus dari balik hatiku, mengetuk pikirku untuk melakukan
tindakan yang tak terbayangkan sebelumnya. Dan dengan sangat menyesal,
aku menurutinya.
***
"Kalau
nanti rasa ini berlalu, aku akan segera menemuimu. Menjawab segala
kebingunganmu. Sekarang masih belum bisa. Karena aku sendiri masih bingung.
Jadi daripada kita saling membingungkan, lebih baik saling menenangkan diri
dengan menjaga jarak." kataku menutup perjumpaan, setelah beberapa lama
kita tak sependapat.
***
Sekarang
saatnya telah tiba. Aku sudah yakin dengan keputusanku. Sudah tidak ragu lagi
dengan perasaanku. Dan sudah tak sabar lagi untuk menyampaikannya kepadamu. Di
sini, di tempat terakhir kali kita bertemu, saat ini juga. Sambil menunggumu,
ingatanku kembali ke beberapa waktu silam, merangkai segala proses pemahaman
yang kini aku punya.
***
Manusia
punya kecenderungan untuk terbawa pada perasaannya. Sayangnya, sebongkah
makhluk bernama perasaan itu, seringkali merepotkan. Karena aku manusia, aku
juga merasakan betapa repotnya menghadapi perasaan sendiri, perasaan orang
lain, termasuk perasaanku terhadap kamu. Sekian lama kebersamaan kita, di satu
sisi aku ingin memilikimu. Tapi di sisi lain, keraguan menggodaku untuk tidak
terburu-buru. Dan pada titik itulah kebingungan membawaku untuk mengikuti arus
perasaan, yang maaf, telah membuatmu menunggu karena aku butuh waktu untuk
meyakinkan diriku sendiri.
"Kalau
perasaan bisa benar dan bisa salah, harusnya tidak semua perasaan harus
dituruti ya?" tanyaku
pada diriku sendiri.
"Iya
lah. Sebagian perasaan itu kan nafsu, masa kamu mau menuruti nafsu kamu
sih?"sebagian diriku memberi jawabannya.
"Iya,
benar. Dan aku tak ingin memutuskan hidup bersamanya hanya karena nafsu."yakinku
pada diri sendiri
"Kalau
begitu kamu tak akan pernah bisa hidup bersama siapapun." sahabatku tak sependapat dengan keputusanku itu
"Maksud
kamu?"
"Manusia
tak akan pernah lepas dari yang namanya nafsu. Sudah satu paket diciptakan
Tuhan bersama perasaan. Kalau kamu punya rasa cinta, kamu juga punya nafsu.
Kabar buruknya, kita tidak bisa menghindari nafsu. Kabar baiknya, kita bisa
mengendalikannya. Selalu ada jalan tengah, Dear. Kamu tak perlu mengorbankan
diri sendiri seperti itu." Kata sahabtku dengan senyumannya.
"Aku
masih bingung."
"Hmm,
misalkan gini, katakanlah ada sepasang manusia yang saling mencintai. Setulus
apapun mereka saling mencinta, mereka tidak akan terlepas dari yang namanya
nafsu. Mereka mungkin mau berkorban untuk mebahagiakan pasangannya, tapi
sejatinya kebahagian itu untuk diri mereka sendiri. Seseorang mau membahagiakan
pasangannya, karena dengan begitu orang tersebut akan mmendapatkan kebahagiaan.
Untuk siapa sebenarnya kebahagiaan itu? Untuk diri sendiri bukan? Hanya
kebetulan kali ini kebahagiaan itu diperoleh dengan membahagiakan orang lain.
Apakah itu tulus? Ah, ketulusan memang hubungan antara kita dengan Tuhan. Sulit
sekali mengukurnya dengan hubungan antar manusia. Jadi, daripada kamu
mengorbankan kebahagiaan diri kamu sendiri dengan melupakannya, lebih baik kamu
mengendalikan nafsu kamu dengan hidup bersamanya. "
***
"Hai,
sudah lama ya nunggunya?" Lamunanku terputus. Kamu datang dengan wajah cerah,
seolah tahu kabar baik yang ingin aku sampaikan.
"Baru
sebentar kok." Jawabku
dengan muka yang lebih cerah. Tak sabar ingin memulai pembicaraan. Tentu saja
waktuku menunggumu disini tak selama waktumu menunggu ketidakpastianku.
Keteganganku membuatku diam sesaat. Bingung harus memulai dari mana. Kamupun
mengambil alih urusan.
"Sebelumnya,
terimakasih sudah memberikan kesempatan kepadaku untuk berpikir ulang dengan
menjaga jarak. Sekarang aku jadi lebih matang." kamu memulai dengan sangat tenang. Berbeda sekali
dengan kondisimu di pertemuan terakhir.
"Aku
juga. Merasa lebih dewasa setelah beberapa lama menjaga jarak dengan
kamu."jawabku malu-malu.
"Aku
butuh sandaran, butuh orang yang mengerti, memahami dan menguatkan aku. Dan aku
baru merasakannya ketika kamu menjaga jarak. Aku sering memikirkanmu setelah
pembicaraan terakhir kita."
"Maaf." aku hanya menunduk, merasa dicintai dan merasa bersalah
dalam waktu yang bersamaan.
"Akhirnya
aku sadar, bahwa yang aku butuhkan adalah peran yang selama ini ada pada
dirimu. Bukannya diri kamu. Waktu itu aku tak mau terjebak pada perasaan
gelisah dan ketidakpastian yang berlarut-larut. Dan aku sudah menemukan orang
lain yang bisa menggantikan peran kamu. Orang itu juga sudah bersedia untuk
hidup bersamaku. Maaf, baru sekarang memberi tahu. Kamu melarangku untuk
menghubungimu selama kita menjaga jarak. Kamu gpp kan?"
"Iya,
gpp kok." Jawabku
bohong. Kamu pamit meninggalkanku. Hatiku langsung berantakan. Air mataku jatuh
tak tertahankan. Ternyata, aku masih jauh dari dewasa.
***
...
bersambung
14
"What's
going on, Dear?" tanya
sahabatku. Bingung melihatku langsung mendekapnya sambil menangis. Dengan sedu
sedan aku menjelaskan semuanya. Kesediaanku untuk hidup bersamamu. Pertemuan
terakhir denganmu. Kebahagiaan yang sudah ada di depan mata, lalu hilang dalam
sekejap. Perasaan kehilangan sebelum memiliki. Perempuan lain yang sudah kamu
pilih. Penyesalan yang amat dalam. Juga rasa bersalah terhadap diri sendiri.
Dan semua itu, sungguh menyakitkan.
Sahabatku
hanya sabar mendengar. Diam sampai aku terdiam. Mungkin ia tahu aku hanya butuh
didengar. Tapi buatku, sahabat sepertinya lebih layak dari sekedar pendengar.
Ia selalu menguatkanku. Aku sangat percaya padanya. Dan seperti sebelumnya, aku
akan melibatkannya.
"Aku
harus gimana?" tanyaku
meminta pendapat, setelah menatap wajah simpatinya.
"Kamu
lebih tahu apa yang harus kamu lakukan, Dear. Kamu yang merasakan."
"Aku
tak mau kehilangan dia."
"Iya,
kamu memang tak harus kehilangan dia, sebagaimana kamu juga tak harus
memilikinya.
"Maksudnya?"
"Hmm,
kita tak pernah tahu siapa seseorang yang terbaik untuk hidup kita, sebelum
kita hidup bersama orang tersebut. Jadi kalau kamu tidak berkesempatan untuk
memilikinya, sudah pasti dia bukan yang terbaik buat kamu. Dan kamu tak harus
kehilangan dia sebagai seorang sahabat, bukan?"
"Apa
salah, kalau aku tetap memperjuangkannya?"
"Tentu
saja tidak, Dear. Kamu berhak memperjuangkan apa yang kamu inginkan. Tapi untuk
apa? Untuk memaksa perasaannya? Untuk menyakiti perempuan
pilihannya?" Aku cuma pasrah menunduk, membenarkan apa yang dikatakan
sahabatku itu. Dan ia melanjutkannya lagi, lebih halus.
"Yang
harus kamu perjuangkan adalah kebahagiaan kamu. Dan kebahagiaan sejati, tak
akan pernah bisa dibangun dari penderitaan orang lain, Dear. Kita memang punya
keinginan, tapi Tuhan selalu lebih tahu mana yang terbaik untuk kehidupan kita.
Dan kita hanya perlu mengikuti alurnya. Menentangnya hanya membuat kita semakin
lelah. Lari dari alurnya hanya membuat kehidupan kita kehilangan makna.
Makanya, untuk apapun yang menimpa kita; belajarlah untuk memahami. Jika belum
bisa, cobalah untuk menerima. Jika dirasa sulit, berusahalah untuk berbaik
sangka. Karena sekali lagi, Tuhan selalu lebih tahu mana yang terbaik untuk
kamu, juga untuknya."
"Jadi,
aku harus melupakannya?" dengan
berat hati aku menanyakannya.
"Laki-laki
itu, hanyalah sosok yang kamu inginkan, dan sosok itu pasti ada di ribuan
laki-laki yang lainnya. Kamu hanya perlu membuka hati kamu untuk mencari
penggantinya. Sebagaimana ia telah menemukan pengganti kamu. Mungkin itulah hal
terbaik yang bisa kamu lakukan."
"Thanks
ya, kamu selalu bisa menguatkan aku. Aku enggak tahu gimana jadinya kalau
enggak ada kamu." aku
sudah bisa tersenyum, walaupun masih agak canggung.
"Never
mind, Dear. Itulah gunanya sahabat, bukan?" Ia membalas senyumku, jauh lebih tulus.
***
Beberapa
minggu berlalu dari kejadian itu. Pikiranku sudah mulai jernih, hatiku sudah
mulai bebas. Walaupun rasa itu masih belum sepenuhnya hilang. Dan hari ini, aku
memutuskan untuk bertemu denganmu. Untuk berdamai dengan perasaanku sendiri,
juga perasaanku terhadap kamu. Biarlah kita hidup pada jalan kita
masing-masing, dan semoga kita sama-sama bahagia pada alur yang sudah
ditetapkan Tuhan. Dan kamu harus tahu betapa leganya perasaan ini. Perasaan
menerima. Walaupun hari ini, ketika bertemu denganmu, entah kenapa rasa
menerima itu sirnah dengan tiba-tiba. Aku memang sudah menerima kenyataan
tentang masa lalu kita. Yang belum aku terima adalah kenyataan yang ada di
hadapanku; kenapa perempuan pilihanmu harus dia? Sahabat yang selama ini
menguatkan aku.
***
bersambung...
15
Penari
remaja itu langsung menghentikan gerakannya. Menuruti permintaan dewan juri
yang memang memintanya berhenti, padahal baru dua menit ia beraksi. Semestinya,
semua kontestan diberikan waktu lima menit. Karena merasa gagal, penari itu
langsung pulang meninggalkan perlombaan, sekaligus meninggalkan dunia tari yang
selama ini disenanginya. Dua puluh tahun kemudian, takdir mempertemukan
[mantan] penari itu dengan dewan juri yang dulu menghentikan tariannya, padahal
waktunya masih tersisa. Kesal dengan kehidupan yang selama ini dijalaninya,
[mantan] penari itupun mengungkapkan kekecewaannya.
"Jujur
ya Bu, sampai sekarang saya masih kecewa dengan perlombaan itu, termasuk dengan
ibu yang menyuruh saya berhenti di tengah penampilan saya. Padahal, sudah
berbulan-bulan saya berlatih untuk mempersiapkan lomba itu. Saya pikir,
perlombaan itu akan membawa saya menjadi penari yang hebat. Tapi malah
sebaliknya, karena perlombaan itu saya memutuskan untuk berhenti menari."
"Loh,
justru saya yang kecewa terhadap kamu. Saya menyuruh kamu berhenti, karena saya
sudah tahu kalau kamu itu bagus. Saya tidak perlu berlama-lama untuk menilai
kamu. Dan kamu adalah yang terbaik dari semua kontestan. Sayangnya, ketika nama
kamu dipanggil untuk babak terakhir, yang saya yakin kamu akan menjadi
pemenangnya, kamu sudah tidak ada di tempat."
***
Dan
dengan sangat menyesal, harus aku akui, kisah cinta dan persahabatanku pernah
mengalami nasib yang tak jauh berbeda dengan penari itu. Untungnya, aku hanya
menghabiskan dua bulan dalam kekecewaan. Tidak sampai dua puluh tahun terjebak
dalam rasa sesak yang menyakitkan. Waktu itu, aku memang belum bisa menerima
kenyataan pahit itu. Ketika kamu dengan sangat bahagia cerita tentang perempuan
pilihanmu. Dan ketika aku tahu bahwa perempuan itu adalah sahabat terbaikku,
sahabat yang selama ini menguatkan aku, dan sahabat yang tak mungkin
menyakitiku. Tentu saja dia tidak tahu, kalau kamu adalah laki-laki yang sering
aku ceritakan kepadanya. Aku bahkan tak pernah menyebut namamu. Dan sahabatku
itu juga bukan orang yang mau repot-repot untuk mencampuri urusan orang lain
terlalu dalam, termasuk sahabatnya sendiri. Ia hanya terlibat ketika diminta,
dan membantu jika dibutuhkan. Jadi, ia memang tak layak untuk disalahkan. Aku
juga memutuskan untuk tidak cerita kepadamu. Biarlah semuanya berjalan alami,
sampai Tuhan menunjukkan dengan caranya sendiri, jikapun kalian harus sama-sama
tahu.
Dan
aku? Memilih menjauh dari kehidupan kalian. Sibuk berkutat dengan sesaknya
perasaan sendiri. Sampai pada hari ini, akhirnya aku bisa keluar dari jebakan
perasaan, yang dua bulan belakangan menyekapku dengan kegelisahan. Ya, hari ini
aku memutuskan untuk bertemu dengan kalian. Tepatnya membuat janji dengan kamu
dan perempuan pilihanmu. Hari ini aku ingin berdamai dengan kalian. Ah, bukan.
Tepatnya dengan perasaanku sendiri.
Perjalanan
hati ini, membuatku lebih menghargai hidup. Menjaga baik-baik apa yang sudah
dimiliki. Memberikan pemahaman bahwa seharusnya, kebahagiaan memang tidak
semata menjadi tujuan hidup. Toh kebahagiaan itu selalu ada di sekitar kita.
Walaupun bukan berasal dari kita, kita tetep bisa merasakannya, jika kita mau
membuka hati. Dan kebersamaan, memang selalu menjadi kekuatan dan kenangan
tersendiri. Hanya saja, kebersamaan itu tidak selalu denganmu atau dengan
kalian. Tapi juga bisa dengannya atau dengan mereka. Mungkin berbeda dalam
rasa, tapi tak boleh berbeda dalam apa yang namanya esensi; bahwa hidup akan
tetap berjalan di tempat manapun, dengan siapapun, tapi tidak sampai kapanpun.
Hari
ini, aku ingin memeluk sahabatku, meminta maaf atas keegoisanku, dan bilang
betapa aku bahagia memiliki sahabat sepertinya, betapa aku bahagia atas
kebahagiannya yang bisa hidup bersama laki-laki sebaik kamu. Tulus. Karena
itulah yang benar-benar aku rasakan. Ah, betapa indahnya menerima. Betapa
bebasnya melepaskan. Betapa damainya memaafkan. Betapa leganya ketika kita tak
lagi berharap. Betapa mudahnya bahagia, ketika kita sudah tulus untuk
berbahagia dengan kebahagiaan orang lain. Dan betapa kurang-ajarnya kalian,
karena sudah berpura-pura sedemikian rupa.
***
Adegan
berpelukan itu memang ada. Aku memeluk sahabatku, mengatakan apa yang sudah
kurencanakan sebelumnya. Kami saling menangis haru. Kamu hanya diam menonton.
Adegan berubah seketika, manakala kalian tertawa. Dan aku mulai mencium
ketidakberesan menyelimuti kita.
“Aaaaaarggghhh..” aku hanya teriak histeris, langsung mengambil bantal
sofa dan memukul-mukulkannya kepada sahabatku sampai puas, sampai dia minta
ampun sambil masih tetap tertawa dan bilang kalau kamulah ‘penjahat’ yang
sebenarnya. Yang menyuruhnya berpura-pura untuk menjadi perempuan pilihan kamu.
Dan dengan seenaknya sahabatku itu bilang, ia setuju demi kebaikan aku.
Pandanganku langsung menoleh kepada kamu, meminta pertanggungjawaban atas perasaan
yang merasa dipermainkan. Sementara sahabatku, yang baru bebas dari ‘siksaan
bantal’ langsung kabur ke belakang. Bukan kabur sebenarnya, ia tak mengganggu.
***
“Maaf.”
“Aku
butuh penjelasan, bukan butuh maaf” jawabku datar dan seenaknya kamu tersenyum
"Aku
mau ketika nanti kita sudah saling memiliki, kita juga sudah siap untuk saling
kehilangan. Karena sebenarnya, kita tak pernah memiliki bukan? Segalanya adalah
titipan yang harus dijaga, dipertanggungjawabkan, dan terkadang diambil dengan
tiba-tiba. Termasuk kamu, jika Tuhan menitipkan kamu kepadaku dan sebaliknya.
Aku mau ikatan kita adalah ikatan yang membebaskan, bukan ikatan yang saling
memberatkan apalagi saling mengekang. Aku mau ikatan kita adalah ikatan yang
saling menguatkan dan melengkapi, bukan ikatan saling ketergantungan yang
membuat satu orang diantara kita jadi lumpuh ketika tak ada yang satunya. Dan
untuk itu semua, kita harus siap dan rela untuk kehilangan. Seperti kamu sudah
merelakan aku, juga sepertiku dulu aku sempat merelakanmu, ketika kamu belum
siap untuk hidup bersamku.”
Perjalanan
hati yang belakangan ini aku lalui sangat cukup untuk mengerti penjelasan kamu.
Dan jujur, harus aku akui; aku sepakat dengan kamu, dan aku juga berterimakasih
kepada kamu. Sayangnya, aku masih malu buat mengakuinya. Nanti-nanti sajalah.
Malah, jadi pertanyaan aneh yang keluar dari mulutku.
“Kenapa
kamu tidak memilih sahabatku itu saja, dia jauh lebih baik daaripada aku
bukan?”
"Jujur
ya, sahabatmu itu memang jauh lebih baik daripada kamu. Bahkan mungkin jauh
lebih sempurna untuk dijadikan pasangan hidup." Aku tertunduk, itu memang benar. Dan kebenaran
lainnya, perempuan manapun tidak suka kekurangannya dibanding-bandingkan dengan
kelebihan perempuan lainnya. Termasuk dengan sahabatnya sendiri. Kamu harus
tahu itu.
"Sayangnya,
aku menginginkan pasangan yang tepat, bukan pasangan yang sempurna. Dan kamu
jauh lebih tepat untuk aku daripada sahabatmu atau yang lainnya. Biarlah
kekurangan dan kelebihan kita masing-masing yang nanti akan saling
menyempurnakan." aku
masih menunduk, lebih dalam kali ini, antara terharu dan menyesal sudah
berpikir yang tidak-tidak. Dan seketika, perasaanku kepadamu muncul kembali,
perasaan yang sudah kupendam jauh-jauh. Perasaan yang sudah aku buang entah
kemana. Perasaan yang tak lagi aku harapkan; rasa cinta yang sama, tapi dengan
pemahaman yang baru. Kalau ingin tahu seperti apa, tanya saja pada air mataku
yang mulai mengalir.
-selesai-
#diorama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar