Jumat, Januari 15, 2016

Menata Hati II

8

Ada gejolak yang menghantui pikirku, mengendapkan sepotong pertanyaan tentang segenap perasaan yang dulu sempat kutujukan kepadamu; untuk apa kebersamaan yang selama ini kita lalui?

***

"Cinta itu tanggungjawab."
katamu suatu ketika.

"Maksudnya?"
Tanyaku bingung.

Lantas kamu menyederhankan;
"Aku akan ikut bertanggungjawab atas senyummu, atas air-matamu dan atas apapun yang terjadi dengan kamu."

Mendengarnya, kodrat kewanitaanku langsung membentuk kombinasi menawan antara gerakan dan perasaan; tersenyum, menunduk, tersipu dan terharu. Ada satu kombinasi lagi yang seharusnya ditambahkan, yang baru aku sadari belakangan ini, setelah sekian lama kamu mengatakan itu; 'sedikit kebodohan' karena aku mempercayai kata-katamu itu.

Barangkali benar adanya, nasihat bijak yang mengatakan; jangan lihat siapa yang menyampaikan tapi lihatlah apa yang disampaikan. Kita sering tertipu dengan siapa yang menyampaikan. Lalu kita menjadi manusia yang tidak adil. Langsung menolaknya jika yang menyampaikan adalah orang yang tidak kita suka, dan langsung menerimanya jika yang menyampaikan adalah orang yang kita cinta. Termasuk yang aku lakukan kepadamu. Harusnya aku bisa bersikap adil, untuk memikirkan dan menyaring mana yang baik mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah; dari mulut siapapun perkataan itu keluar; termasuk perkataan dari mulutmu. Orang yang dulu pernah aku cintai.

Tak ada yang salah dengan kata-katamu itu. Memang benar adanya. Memang begitulah seharusnya. Yang salah adalah kondisinya. Karena kata-katamu itu tak akan pernah menjadi kenyataan kalau kita belum saling memiliki, kalau kita belum ada dalam ikatan suci. Kita hanya akan benar-benar mencintai apa yang kita miliki. Kita hanya akan benar-benar bertanggungjawab atas apa yang kita punya. Dan bagaimana aku mempercayai kata-katamu itu, jika memutuskan untuk berlanjut ke ikatan yang lebih suci saja, kamu tidak berani. Maka, jangan salahkan aku jika aku memutuskan untuk berpisah denganmu. Aku hanya butuh kepastian. Walaupun kepastian itu pahit dan menyakitkan. Buatku, ketidakpastian yang berkepanjangan jauh lebih menyakitkan.

"Lalu, buat apa kebersamaan kita selama ini, jika sekarang kita harus berpisah?"tanyamu menentangku

"Lalu, buat apa kebersamaaan kita selama ini, jika kita tak bisa saling memiliki?"jawbku menantangmu

Lalu, kita berdua terbungkus diam, tenggelam dalam lamunan masing-masing. Sesekali matamu tajam menatapku. Sedang pikiranku menerawang jauh, membuka file-file kebersamaan yang pernah kita lalui. Sambil menata hati, kuingat kembai kata-katamu kalau cinta adalah tanggungjawab. Jika demikian, berarti kamu memang tidak mencintai aku. Buktinya, kamu tidak mau mengambil tanggungjawab atas diriku dengan ikatan yang lebih suci. Lalu apa aku mencintai kamu?

"Kamu tidak akan menyesal kalau kita berpisah, padahal sudah sampai sejauh ini?"tanyamu memotong kebisuan

"Mungkin. Tapi aku akan lebih menyesal lagi jika tidak mengakhirinya sampai di sini. Di luar sana masih banyak kesempatan, kenapa aku harus bertahan dalam ketidakpastian?"

"Jadi, kita selesai?"

Tak ada suara. Hanya anggukan pelan dari kepalaku. Lalu, gelengan di dalam hatiku; tidak, ternyata aku tak mencintai kamu. Sebagaimana kamu yang tidak mencintai aku. Kita hanya sama-sama sedang keliru menyebut ego sebagai cinta.

9

Berkali-kali kubuka buku, membaca pengalaman orang-orang terdahulu, menyelami fenomena di sekitar demi mencari potongan definisi tentang apa yang sedang kurasakan terhadapmu; kenapa aku teramat membencimu?

***

Kesalahanku adalah membenci kamu, sama seperti kesalahanku terdahulu pernah menyukai kamu. And you know what? Benci selalu menyakitkan, dan membenci orang yang pernah kamu sukai, jauh lebih menyakitkan daripada membenci orang yang sudah dari awal tidak kamu sukai.

Harusnya aku tak perlu membenci kamu, sebagaimana aku juga tak perlu menyukai kamu.Kamu, sebagaimana manusia yang lain memang ada bukan untuk disuka atau dibenci.Menyukai dan membenci kamu adalah sama-sama kesalahan. Dan aku melakukan dua kesalahan berturut-turut.

Harusnya dari dulu aku mengerti, kalau setiap orang memiliki sisi baik dan sisi buruk. Tak mungkin semuanya baik. Tak mungkin tak ada yang buruk. Termasuk aku dan kamu. Punya sisi baik dan sisi buruk masing-masing.

Harusnya aku tak perlu rumit-rumit membedakan manusia, termasuk kamu yang ada di dalamnya, dengan pengelompokkan yang aneh-aneh. Golongan ini, golongan itu, atau golongan manapun yang kadang terlalalu egois merasa golongannya sendiri yang paling baik. Sederhana saja. Ada orang baik, ada orang buruk. Orang baik adalah mereka yang melakukan kebaikan. Orang buruk adalah mereka yang melakukan keburukan. Sudah. Cukup. Selesai. Karena setiap orang punya sisi baik dan sisi buruk, ada saatnya kita melakukan kebaikan, ada saatnya kita melakukan keburukan. Ada saatnya kita menjadi orang baik, ada saatnya kita menjadi orang buruk. Terkait intensitasnya, tentu saja berbeda satu sama yang lainnya.

Harusnya aku juga memahami, kalaupun harus ada benci diantara kita, benci itu hanya boleh diperuntukkan untuk keburukan kita. Dan kita masih punya sisi baik untuk disukai. Pun begitu dengan rasa suka, kalaupun aku harus menyukai kamu, aku cukup menyukai sisi baik kamu. Aku harus tetap memiliki ruang benci untuk sisi buruk kamu. Sebagaimana aku juga harus menyisakan ruang benci untuk keburukanku sendiri. Dengan begitu, harusnya aku juga bisa lebih adil dan rasional untuk membenci dan menyukai kamu. Tidak mengutamakan perasaan semata.

Kamu, sebagaimana manusia yang lainnya memang ada bukan untuk disukai atau dibenci. Tapi untuk saling sayang-menyayangi. Rasa sayang bermetamorfosis menjadi kebahagiaan tertentu ketika melihat kebaikan dan keberhasilan orang lain. Rasa sayang yang kadang berwujud maaf. Rasa sayang yang kadang menjelma menjadi marah atas keburukan orang lain, tapi marahnya marah sayang, bukan marah benci. Marah karena tidak ingin orang lain salah, marah karena ingin melihat orang lain lebih baik, marah yang berujung pada perubahan yang lebih baik, bukan marah karena tersakiti atau terdzolimi.

Aku tak mau lagi membenci atau menyukai kamu. Aku hanya ingin menyayangi kamu. Dan jujur, aku masih perlu banyak-banyak menata hati agar bisa menyayangi kamu.

10

Andai saja pilihan itu ada, tentu aku akan memilih untuk melupakanmu. Membuangmu jauh-jauh dari sudut ingatanku. Mengingatmu membuatku semakin resah, tapi melupakanmu bukanlah perkara yang cukup mudah. Namun apa daya, kebingunganganku menyudutkanku pada kondisi tanpa pilihan selain mengingatmu, walaupun mengingatmu adalah perkara yang tak selayaknya. 


***

Harusnya, aku tak perlu kehilangan jutaan detik yang berharga hanya untuk bersia-sia, terjebak dalam bingungnya perasaan terhadapmu; jika sedari dulu aku mengerti bahwa hati tidak ditugaskan untuk memilih. Seperti yang pernah dikatakan oleh seorang sahabatku, walaupun aku menyesal kenapa baru mendengarnya setelah semua ini terjadi.

"Hati tak perlu memilih, hati selalu tahu apa yang harus dirasa. Terlepas dari benar atau salah perasaan itu. Kalau kamu suka, rasai saja. Tak perlu berpaling dari perasaan sendiri. Kalau kamu benci, rasai saja. Tak perlu berpura-pura untuk menyukai apa yang kamu benci. Apalagi memaksa menyukai apa yang sebenarnya tidak kamu suka. Memaksa hanya akan membuat hatimu semakin luka. Termasuk memaksa untuk melupakannya. Jadi kalau hatimu bilang ingin mengingatnya, ingat saja tentangnya."

"Jadi tak masalah kalaupun perasaan itu salah?"

"Hati tak pernah tahu apa yang dirasanya itu benar atau salah. Karena hati diciptakan untuk merasa, bukan untuk berfikir tentang benar atau salah. Hati hanya bisa jujur, jujur terhadap apa yang dirasanya. Walaupun itu salah, walaupun itu bertentangan dengan kaidah baik-buruk sunatullah yang sudah dipaketkan Tuhan untuk dikenal oleh hati nurani. Hati tidak bisa berbohong. Tapi hati sangat bisa untuk salah. That`s why, selain menciptakan hati, Tuhan juga memberikan akal untuk berfikir, untuk mempertimbangkan baik-buruknya, untuk menentukan benar-salahnya. Gunakan juga itu, jangan hanya menggunakan hati saja."

"Jadi, aku harus gimana?"

"Rasakan saja apa yang harus dirasakan. Rasakan saja apa yang ingin hatimu rasakan. Entah itu suka, benci, atau mungkin rindu. Dengan begitu hatimu menjadi lega. Tapi sebelum melampiaskan perasaan kamu, sebelum mengungkapkannya, sebelum mengekspresikannya, jangan lupa gunakan akal kamu untuk berfikir tentang cara yang baik dan benar bagaimana melampiaskannya. Gunakan akal kamu untuk menata hati kamu, agar bisa meluruskan perasaan yang salah, atau perasaan yang tidak pada tempatnya."

***

Well, aku memang masih belum bisa melupakanmu. Aku juga tak bisa memaksa hatiku untuk melupakanmu. Dan ternyata aku tak perlu punya pilihan untuk melupakannmu. Barangkali juga untuk urusan hidup yang lainnya; kita tak perlu bingung dengan pilihan kalau kita sudah punya keinginan yang sungguh-sungguh. Dan sekarang, aku benar-benar ingin melupakanmu.

11

Ada rahasia yang ingin kuungkap tentang kebersamaan diantara kita. Walaupun bersamamu, adalah kenangan yang menyakitkan. Dan karena itulah kita berpisah, bukan? Bersusah payah aku menghapus kenangan itu. Sampai aku sadar, bahwa tak ada yang perlu dihapus dari sebuah kenangan. Kenangan, sepahit dan semenyakitkan apapun bentuknya, adalah mozaik yang membentuk diri, yang mau tak mau ikut berjasa atas diriku yang sekarang ini. Dan bagaimana mungkin aku menghapus bagian dari diriku sendiri? 

Sekarang, kubiarkan saja kenangan itu tumbuh subur dalam hatiku, agar bisa kupetik buahnya; berupa pelajaran berharga sepanjang hidup. Walaupun pelajaran itu tidak bisa kupetik setiap saat; tapi setidaknya sesekali aku bisa memetiknya jika perlu. Sesakali aku bisa melupakannya jika mau. Tentu saja itu semua tidak bisa kulakukan dengan jatuh bangun menghapus kenangan bersamamu.

Maka, biarkanlah kuungkap saja rahasia ini; rahasia yang belum dan perlu kamu ketahui, rahasia yang aku sendiri baru mengetahuinya, rahasia yang aku petik dari kenangan bersamamu. 

Harusnya, sepasang manusia memutuskan untuk hidup bersama karena sudah siap untuk saling menerima, bukan sekedar saling cinta, apalagi hanya emosi semata. Mungkin dengan begitu kamu tak perlu menyakitiku. Aku tersakiti karena tak bisa menerima sikapmu. Dan kamupun melakukan itu karena belum menerima kekuranganku. Ah, apapun bentuknya, rasa sakit selalu berawal dari ketidakterimaan. Barangkali itulah salah satu alasan kenapa Tuhan Yang Maha Tahu, menyuruh kita untuk bersyukur, untuk menerima apapun yang sudah ditetapkan kepada kita. Agar kita tidak banyak tersakiti oleh hidup dan kehidupan. Jadi, buat apa kita bersama jika tak mau saling menerima. Buat apa kita tetap bersama, jika nantinya hanya akan saling menyakiti. 

Aku pernah menyesal melewati kebersamaan yang menyakitkan bersama kamu. Padahal untuk apa? Sesal hanya membuat hati semakin sesak. Aku juga pernah sangat marah atas apa yang kamu lakukan terhadapku. Padahal untuk apa? Marah hanya membuat pikiranku semakin kacau, membuat masalah semakin rumit, dan membuat hatiku semakin kotor. 

Akhirnya, segala proses yang melelahkan ini, membawaku pada sebuah pemahaman yang selama ini menjadi misteri dan rahasia dalam hidupku, kenapa aku sering merasa tersakiti. And you know what; Ternyata, yang lebih banyak menyakiti kita adalah diri kita sendiri. Perasaan dan pikiran kita. Bukan orang lain. Jadi berhentilah untuk menyalahkan orang lain. Dan aku, tak lagi menyalahkanmu. 

12

Sahabatku yang satu itu memang aneh. Ia hanya tersenyum menanggapi keluhan panjang-lebarku tentang apa yang kurasakan. Rasa sakit yang berkepanjangan, rasa kecewa yang menyesakkan, rasa marah yang tak tahu harus dilampiaskan lewat apa. Terhadapmu. Kamu, yang telah melukai hatiku, yang telah menghancurkan kepercayaanku, yang telah banyak mengecewakanku.

Aku kira aku akan mendapatkan pembelaan darinya sebagai seorang sahabat. Minimal mendapatkan kata-kata sejenis; sabar ya, semuanya pasti berlalu, semuanya akan baik-baik saja. Atau kata-kata manis lainnya sebagai penghibur lara. Atau beberapa tindakan melankolis sebagai tanda berbelasungkawa. Tapi senyuman? Bagaiaman ia tega tersenyum di atas penderitaan sahabatnya sendiri. Untungnya, ia angkat suara sebelum kekesalanku kian memuncak:

***

"Selayaknya, hati digunakan sebagai tempat untuk mengalir. Bukan tempat untuk menyimpan seperti yang kamu lakukan saat ini."

"Maksud kamu?"

"Kamu sedang menyimpan rasa sakit, kesal, kecewa dan sejenisnya dalam hati kamu. Kapasitas hatimu sudah dipenuhi oleh perasaan yang menyesakkan itu. Kamu tidak lagi bisa menyadari dan menikmati betapa banyak rasa bahagia yang bisa kamu cicipi. Betapa banyak kamu melewati momentum rasa bahagia yang sebenarnya bisa dengan sangat mudah kamu rasakan pada hal-hal yang sederhana. Hati kamu hanya menyisakan sedikit ruang untuk perasaan yang baru, karena hatimu sudah penuh untuk menyimpan perasaan yang sebenarnya sudah menjadi masa lalu. Kamu masih punya masa depan untuk diperjuangkan, kamu juga punya masa sekarang untuk dinikmati, tapi kamu memperuntukkan hati kamu untuk merasakan masa lalu."

"Padahal, apapun jenisnya, perasaan tak perlu disimpan dalam hati. Biarkan hati menjadi tempat untuk mengalirnya perasaan. Dan biarkanlah aliran itu meningglkan bekas berupa kenangan, atau potongan hikmah yang akan memperkaya hatimu. Tapi, kamu tak perlu menyimpan perasaan itu. Cukup kenangan dan potongan hikmahnya saja. Agar kamu bisa  lebih bebas untuk merasakan dan menikmati banyak rasa dalam hidupmu. Tidak terpenjara oleh belenggu perasaan yang mengekang hatimu untuk merasa apa yang ingin dan seharusnya kamu rasakan."

"Kamu bisa dengan mudah mengatakan itu karena kamu tak tahu apa-apa tentang apa yang aku rasakan." ucapku setelah panjang lebar mendengarkan ucapnya.

"Aku, sedikit lebih tahu tentang apa yang sedang kamu rasakan. Karena aku juga pernah merasakan hal yang sama seperti yang kamu rasakan. Aku merasakannya lebih dulu daripada kamu" tegasnya meyakinkanku.

"Lalu?"

"Lalu, aku memilih untu bebas, untuk mengalirkan segala perasaan yang menyesakkan itu. Dan aliran itu menggoreskan sedikit kebijaksanaan dalam hatiku. Memang butuh waktu yang tidak sebentar untuk lepas dari belenggu perasaan itu. Tapi kebebasan membuat hatiku lebih kaya untuk merasakan apapun yang ingin dan harus kurasakan."

"Kalau aku jadi kamu, aku tetap tak akan pernah memaafkan orang itu. Seperti yang aku rasakan sekarang. Aku tak akan pernah memaafkannya."

"Kalau aku tak memaafkannya, aku tak akan pernah mau jadi sahabatmu lagi. Aku tak akan mau menemuimu, aku juga tak akan mau mendengarkan ceritamu lagi."

"Kenapa begitu?"
"Karena kamulah orang itu. Orang yang membuatku pernah merasakan apa yang sedang kamu rasakan sekarang."

Aku kaget tersentak. Dan senyumnya kian melebar. Senyum yang baru aku tahu apa maksudnya; senyum kebebasan. Senyum yang entah kapan aku memilikinya.

13

Ada firasat yang berbisik halus dari balik hatiku, mengetuk pikirku untuk melakukan tindakan yang  tak terbayangkan sebelumnya. Dan dengan sangat menyesal, aku menurutinya.

***

"Kalau nanti rasa ini berlalu, aku akan segera menemuimu. Menjawab segala kebingunganmu. Sekarang masih belum bisa. Karena aku sendiri masih bingung. Jadi daripada kita saling membingungkan, lebih baik saling menenangkan diri dengan menjaga jarak." kataku menutup perjumpaan, setelah beberapa lama kita tak sependapat. 

***

Sekarang saatnya telah tiba. Aku sudah yakin dengan keputusanku. Sudah tidak ragu lagi dengan perasaanku. Dan sudah tak sabar lagi untuk menyampaikannya kepadamu. Di sini, di tempat terakhir kali kita bertemu, saat ini juga. Sambil menunggumu, ingatanku kembali ke beberapa waktu silam, merangkai segala proses pemahaman yang kini aku punya.

***

Manusia punya kecenderungan untuk terbawa pada perasaannya. Sayangnya, sebongkah makhluk bernama perasaan itu, seringkali merepotkan. Karena aku manusia, aku juga merasakan betapa repotnya menghadapi perasaan sendiri, perasaan orang lain, termasuk perasaanku terhadap kamu. Sekian lama kebersamaan kita, di satu sisi aku ingin memilikimu. Tapi di sisi lain, keraguan menggodaku untuk tidak terburu-buru. Dan pada titik itulah kebingungan membawaku untuk mengikuti arus perasaan, yang maaf, telah membuatmu menunggu karena aku butuh waktu untuk meyakinkan diriku sendiri.

"Kalau perasaan bisa benar dan bisa salah, harusnya tidak semua perasaan harus dituruti ya?" tanyaku pada diriku sendiri.

"Iya lah. Sebagian perasaan itu kan nafsu, masa kamu mau menuruti nafsu kamu sih?"sebagian diriku memberi jawabannya.

"Iya, benar. Dan aku tak ingin memutuskan hidup bersamanya hanya karena nafsu."yakinku pada diri sendiri

"Kalau begitu kamu tak akan pernah bisa hidup bersama siapapun." sahabatku tak sependapat dengan keputusanku itu

"Maksud kamu?"

"Manusia tak akan pernah lepas dari yang namanya nafsu. Sudah satu paket diciptakan Tuhan bersama perasaan. Kalau kamu punya rasa cinta, kamu juga punya nafsu. Kabar buruknya, kita tidak bisa menghindari nafsu. Kabar baiknya, kita bisa mengendalikannya. Selalu ada jalan tengah, Dear. Kamu tak perlu mengorbankan diri sendiri seperti itu." Kata sahabtku dengan senyumannya.

"Aku masih bingung."

"Hmm, misalkan gini, katakanlah ada sepasang manusia yang saling mencintai. Setulus apapun mereka saling mencinta, mereka tidak akan terlepas dari yang namanya nafsu. Mereka mungkin mau berkorban untuk mebahagiakan pasangannya, tapi sejatinya kebahagian itu untuk diri mereka sendiri. Seseorang mau membahagiakan pasangannya, karena dengan begitu orang tersebut akan mmendapatkan kebahagiaan. Untuk siapa sebenarnya kebahagiaan itu? Untuk diri sendiri bukan? Hanya kebetulan kali ini kebahagiaan itu diperoleh dengan membahagiakan orang lain. Apakah itu tulus? Ah, ketulusan memang hubungan antara kita dengan Tuhan. Sulit sekali mengukurnya dengan hubungan antar manusia. Jadi, daripada kamu mengorbankan kebahagiaan diri kamu sendiri dengan melupakannya, lebih baik kamu mengendalikan nafsu kamu dengan hidup bersamanya. "

***

"Hai, sudah lama ya nunggunya?" Lamunanku terputus. Kamu datang dengan wajah cerah, seolah tahu kabar baik yang ingin aku sampaikan.

"Baru sebentar kok." Jawabku dengan muka yang lebih cerah. Tak sabar ingin memulai pembicaraan. Tentu saja waktuku menunggumu disini tak selama waktumu menunggu ketidakpastianku. Keteganganku membuatku diam sesaat. Bingung harus memulai dari mana. Kamupun mengambil alih urusan.

"Sebelumnya, terimakasih sudah memberikan kesempatan kepadaku untuk berpikir ulang dengan menjaga jarak. Sekarang aku jadi lebih matang." kamu memulai dengan sangat tenang. Berbeda sekali dengan kondisimu di pertemuan terakhir.

"Aku juga. Merasa lebih dewasa setelah beberapa lama menjaga jarak dengan kamu."jawabku malu-malu.

"Aku butuh sandaran, butuh orang yang mengerti, memahami dan menguatkan aku. Dan aku baru merasakannya ketika kamu menjaga jarak. Aku sering memikirkanmu setelah pembicaraan terakhir kita."

"Maaf." aku hanya menunduk, merasa dicintai dan merasa bersalah dalam waktu yang bersamaan.

"Akhirnya aku sadar, bahwa yang aku butuhkan adalah peran yang selama ini ada pada dirimu. Bukannya diri kamu. Waktu itu aku tak mau terjebak pada perasaan gelisah dan ketidakpastian yang berlarut-larut. Dan aku sudah menemukan orang lain yang bisa menggantikan peran kamu. Orang itu juga sudah bersedia untuk hidup bersamaku. Maaf, baru sekarang memberi tahu. Kamu melarangku untuk menghubungimu selama kita menjaga jarak. Kamu gpp kan?"

"Iya, gpp kok." Jawabku bohong. Kamu pamit meninggalkanku. Hatiku langsung berantakan. Air mataku jatuh tak tertahankan. Ternyata, aku masih jauh dari dewasa.


***


... bersambung

14

"What's going on, Dear?" tanya sahabatku. Bingung melihatku langsung mendekapnya sambil menangis. Dengan sedu sedan aku menjelaskan semuanya. Kesediaanku untuk hidup bersamamu. Pertemuan terakhir denganmu. Kebahagiaan yang sudah ada di depan mata, lalu hilang dalam sekejap. Perasaan kehilangan sebelum memiliki. Perempuan lain yang sudah kamu pilih. Penyesalan yang amat dalam. Juga rasa bersalah terhadap diri sendiri. Dan semua itu, sungguh menyakitkan.

Sahabatku hanya sabar mendengar. Diam sampai aku terdiam. Mungkin ia tahu aku hanya butuh didengar. Tapi buatku, sahabat sepertinya lebih layak dari sekedar pendengar. Ia selalu menguatkanku. Aku sangat percaya padanya. Dan seperti sebelumnya, aku akan melibatkannya.

"Aku harus gimana?" tanyaku meminta pendapat, setelah menatap wajah simpatinya.

"Kamu lebih tahu apa yang harus kamu lakukan, Dear. Kamu yang merasakan."

"Aku tak mau kehilangan dia."

"Iya, kamu memang tak harus kehilangan dia, sebagaimana kamu juga tak harus memilikinya.

"Maksudnya?"

"Hmm, kita tak pernah tahu siapa seseorang yang terbaik untuk hidup kita, sebelum kita hidup bersama orang tersebut. Jadi kalau kamu tidak berkesempatan untuk memilikinya, sudah pasti dia bukan yang terbaik buat kamu. Dan kamu tak harus kehilangan dia sebagai seorang sahabat, bukan?"

"Apa salah, kalau aku tetap memperjuangkannya?"

"Tentu saja tidak, Dear. Kamu berhak memperjuangkan apa yang kamu inginkan. Tapi untuk apa? Untuk memaksa perasaannya? Untuk menyakiti perempuan pilihannya?" Aku cuma pasrah menunduk, membenarkan apa yang dikatakan sahabatku itu. Dan ia melanjutkannya lagi, lebih halus.

"Yang harus kamu perjuangkan adalah kebahagiaan kamu. Dan kebahagiaan sejati, tak akan pernah bisa dibangun dari penderitaan orang lain, Dear. Kita memang punya keinginan, tapi Tuhan selalu lebih tahu mana yang terbaik untuk kehidupan kita. Dan kita hanya perlu mengikuti alurnya. Menentangnya hanya membuat kita semakin lelah. Lari dari alurnya hanya membuat kehidupan kita kehilangan makna. Makanya, untuk apapun yang menimpa kita; belajarlah untuk memahami. Jika belum bisa, cobalah untuk menerima. Jika dirasa sulit, berusahalah untuk berbaik sangka. Karena sekali lagi, Tuhan selalu lebih tahu mana yang terbaik untuk kamu, juga untuknya."

"Jadi, aku harus melupakannya?" dengan berat hati aku menanyakannya.

"Laki-laki itu, hanyalah sosok yang kamu inginkan, dan sosok itu pasti ada di ribuan laki-laki yang lainnya. Kamu hanya perlu membuka hati kamu untuk mencari penggantinya. Sebagaimana ia telah menemukan pengganti kamu. Mungkin itulah hal terbaik yang bisa kamu lakukan."

"Thanks ya, kamu selalu bisa menguatkan aku. Aku enggak tahu gimana jadinya kalau enggak ada kamu." aku sudah bisa tersenyum, walaupun masih agak canggung.

"Never mind, Dear. Itulah gunanya sahabat, bukan?" Ia membalas senyumku, jauh lebih tulus.

***

Beberapa minggu berlalu dari kejadian itu. Pikiranku sudah mulai jernih, hatiku sudah mulai bebas. Walaupun rasa itu masih belum sepenuhnya hilang. Dan hari ini, aku memutuskan untuk bertemu denganmu. Untuk berdamai dengan perasaanku sendiri, juga perasaanku terhadap kamu. Biarlah kita hidup pada jalan kita masing-masing, dan semoga kita sama-sama bahagia pada alur yang sudah ditetapkan Tuhan. Dan kamu harus tahu betapa leganya perasaan ini. Perasaan menerima. Walaupun hari ini, ketika bertemu denganmu, entah kenapa rasa menerima itu sirnah dengan tiba-tiba. Aku memang sudah menerima kenyataan tentang masa lalu kita. Yang belum aku terima adalah kenyataan yang ada di hadapanku; kenapa perempuan pilihanmu harus dia? Sahabat yang selama ini menguatkan aku.

***

bersambung...


15

Penari remaja itu langsung menghentikan gerakannya. Menuruti permintaan dewan juri yang memang memintanya berhenti, padahal baru dua menit ia beraksi. Semestinya, semua kontestan diberikan waktu lima menit. Karena merasa gagal, penari itu langsung pulang meninggalkan perlombaan, sekaligus meninggalkan dunia tari yang selama ini disenanginya. Dua puluh tahun kemudian, takdir mempertemukan [mantan] penari itu dengan dewan juri yang dulu menghentikan tariannya, padahal waktunya masih tersisa. Kesal dengan kehidupan yang selama ini dijalaninya, [mantan] penari itupun mengungkapkan kekecewaannya.

"Jujur ya Bu, sampai sekarang saya masih kecewa dengan perlombaan itu, termasuk dengan ibu yang menyuruh saya berhenti di tengah penampilan saya. Padahal, sudah berbulan-bulan saya berlatih untuk mempersiapkan lomba itu. Saya pikir, perlombaan itu akan membawa saya menjadi penari yang hebat. Tapi malah sebaliknya, karena perlombaan itu saya memutuskan untuk berhenti menari."

"Loh, justru saya yang kecewa terhadap kamu. Saya menyuruh kamu berhenti, karena saya sudah tahu kalau kamu itu bagus. Saya tidak perlu berlama-lama untuk menilai kamu. Dan kamu adalah yang terbaik dari semua kontestan. Sayangnya, ketika nama kamu dipanggil untuk babak terakhir, yang saya yakin kamu akan menjadi pemenangnya, kamu sudah tidak ada di tempat."

***

Dan dengan sangat menyesal, harus aku akui, kisah cinta dan persahabatanku pernah mengalami nasib yang tak jauh berbeda dengan penari itu. Untungnya, aku hanya menghabiskan dua bulan dalam kekecewaan. Tidak sampai dua puluh tahun terjebak dalam rasa sesak yang menyakitkan. Waktu itu, aku memang belum bisa menerima kenyataan pahit itu. Ketika kamu dengan sangat bahagia cerita tentang perempuan pilihanmu. Dan ketika aku tahu bahwa perempuan itu adalah sahabat terbaikku, sahabat yang selama ini menguatkan aku, dan sahabat yang tak mungkin menyakitiku. Tentu saja dia tidak tahu, kalau kamu adalah laki-laki yang sering aku ceritakan kepadanya. Aku bahkan tak pernah menyebut namamu. Dan sahabatku itu juga bukan orang yang mau repot-repot untuk mencampuri urusan orang lain terlalu dalam, termasuk sahabatnya sendiri. Ia hanya terlibat ketika diminta, dan membantu jika dibutuhkan. Jadi, ia memang tak layak untuk disalahkan. Aku juga memutuskan untuk tidak cerita kepadamu. Biarlah semuanya berjalan alami, sampai Tuhan menunjukkan dengan caranya sendiri, jikapun kalian harus sama-sama tahu.

Dan aku? Memilih menjauh dari kehidupan kalian. Sibuk berkutat dengan sesaknya perasaan sendiri. Sampai pada hari ini, akhirnya aku bisa keluar dari jebakan perasaan, yang dua bulan belakangan menyekapku dengan kegelisahan. Ya, hari ini aku memutuskan untuk bertemu dengan kalian. Tepatnya membuat janji dengan kamu dan perempuan pilihanmu. Hari ini aku ingin berdamai dengan kalian. Ah, bukan. Tepatnya dengan perasaanku sendiri.

Perjalanan hati ini, membuatku lebih menghargai hidup. Menjaga baik-baik apa yang sudah dimiliki. Memberikan pemahaman bahwa seharusnya, kebahagiaan memang tidak semata menjadi tujuan hidup. Toh kebahagiaan itu selalu ada di sekitar kita. Walaupun bukan berasal dari kita, kita tetep bisa merasakannya, jika kita mau membuka hati. Dan kebersamaan, memang selalu menjadi kekuatan dan kenangan tersendiri. Hanya saja, kebersamaan itu tidak selalu denganmu atau dengan kalian. Tapi juga bisa dengannya atau dengan mereka. Mungkin berbeda dalam rasa, tapi tak boleh berbeda dalam apa yang namanya esensi; bahwa hidup akan tetap berjalan di tempat manapun, dengan siapapun, tapi tidak sampai kapanpun.

Hari ini, aku ingin memeluk sahabatku, meminta maaf atas keegoisanku, dan bilang betapa aku bahagia memiliki sahabat sepertinya, betapa aku bahagia atas kebahagiannya yang bisa hidup bersama laki-laki sebaik kamu. Tulus. Karena itulah yang benar-benar aku rasakan. Ah, betapa indahnya menerima. Betapa bebasnya melepaskan. Betapa damainya memaafkan. Betapa leganya ketika kita tak lagi berharap. Betapa mudahnya bahagia, ketika kita sudah tulus untuk berbahagia dengan kebahagiaan orang lain. Dan betapa kurang-ajarnya kalian, karena sudah berpura-pura sedemikian rupa.

***

Adegan berpelukan itu memang ada. Aku memeluk sahabatku, mengatakan apa yang sudah kurencanakan sebelumnya. Kami saling menangis haru. Kamu hanya diam menonton. Adegan berubah seketika, manakala kalian tertawa. Dan aku mulai mencium ketidakberesan menyelimuti kita.

“Aaaaaarggghhh..” aku hanya teriak histeris, langsung mengambil bantal sofa dan memukul-mukulkannya kepada sahabatku sampai puas, sampai dia minta ampun sambil masih tetap tertawa dan bilang kalau kamulah ‘penjahat’ yang sebenarnya. Yang menyuruhnya berpura-pura untuk menjadi perempuan pilihan kamu. Dan dengan seenaknya sahabatku itu bilang, ia setuju demi kebaikan aku. Pandanganku langsung menoleh kepada kamu, meminta pertanggungjawaban atas perasaan yang merasa dipermainkan. Sementara sahabatku, yang baru bebas dari ‘siksaan bantal’ langsung kabur ke belakang. Bukan kabur sebenarnya, ia tak mengganggu.

***

“Maaf.”
“Aku butuh penjelasan, bukan butuh maaf” jawabku datar dan seenaknya kamu tersenyum

"Aku mau ketika nanti kita sudah saling memiliki, kita juga sudah siap untuk saling kehilangan. Karena sebenarnya, kita tak pernah memiliki bukan? Segalanya adalah titipan yang harus dijaga, dipertanggungjawabkan, dan terkadang diambil dengan tiba-tiba. Termasuk kamu, jika Tuhan menitipkan kamu kepadaku dan sebaliknya. Aku mau ikatan kita adalah ikatan yang membebaskan, bukan ikatan yang saling memberatkan apalagi saling mengekang. Aku mau ikatan kita adalah ikatan yang saling menguatkan dan melengkapi, bukan ikatan saling ketergantungan yang membuat satu orang diantara kita jadi lumpuh ketika tak ada yang satunya. Dan untuk itu semua, kita harus siap dan rela untuk kehilangan. Seperti kamu sudah merelakan aku, juga sepertiku dulu aku sempat merelakanmu, ketika kamu belum siap untuk hidup bersamku.”

Perjalanan hati yang belakangan ini aku lalui sangat cukup untuk mengerti penjelasan kamu. Dan jujur, harus aku akui; aku sepakat dengan kamu, dan aku juga berterimakasih kepada kamu. Sayangnya, aku masih malu buat mengakuinya. Nanti-nanti sajalah. Malah, jadi pertanyaan aneh yang keluar dari mulutku.

“Kenapa kamu tidak memilih sahabatku itu saja, dia jauh lebih baik daaripada aku bukan?”

"Jujur ya, sahabatmu itu memang jauh lebih baik daripada kamu. Bahkan mungkin jauh lebih sempurna untuk dijadikan pasangan hidup." Aku tertunduk, itu memang benar. Dan kebenaran lainnya, perempuan manapun tidak suka kekurangannya dibanding-bandingkan dengan kelebihan perempuan lainnya. Termasuk dengan sahabatnya sendiri. Kamu harus tahu itu.

"Sayangnya, aku menginginkan pasangan yang tepat, bukan pasangan yang sempurna. Dan kamu jauh lebih tepat untuk aku daripada sahabatmu atau yang lainnya. Biarlah kekurangan dan kelebihan kita masing-masing yang nanti akan saling menyempurnakan." aku masih menunduk, lebih dalam kali ini, antara terharu dan menyesal sudah berpikir yang tidak-tidak. Dan seketika, perasaanku kepadamu muncul kembali, perasaan yang sudah kupendam jauh-jauh. Perasaan yang sudah aku buang entah kemana. Perasaan yang tak lagi aku harapkan; rasa cinta yang sama, tapi dengan pemahaman yang baru. Kalau ingin tahu seperti apa, tanya saja pada air mataku yang mulai mengalir.


-selesai-

#diorama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar