Jumat, Januari 15, 2016

Menata Hati I

1

Kelucuan ini jadi amat membingungkan. Lucu harusnya mengundang tawa, memaksa sensor tertentu dalam otak untuk mengantarkan sinyal kepada lima belas otot muka. Untuk kemudian, diterjemahkan oleh mulut dan bibir menjadi gerakan menutup dan membuka. Dan ssshhhh; pada saat membuka itulah oksigen menyelusup dengan lembut untuk menggetarkan laring, membuat suara yang kita kenal sebagai tawa.

Tapi, kenapa kelucuan ini malah menimbulkan keprihatinan? Apa akunya yang berlebihan menganggap keanehan ini sebagai kelucuan. Atau jangan-jangan kita sudah sampai pada titik abnormal; titik dimana yang baik menjadi begitu aneh karena sudah terbiasa dengan yang buruk. Lalu, pada batas tertentu, kebiasaan ini mengubah yang baik menjadi salah dan yang buruk menjadi benar. Parahnya, kita sama-sama tak menyadarinya.

***

Kita sama-sama tahu kalau tidak ada manusia yang sama. Semuanya memiliki beda di banyak sisi. Sekalipun dua orang yang kembar identik, tetap memiliki sisi yang berbeda. Pelajaran SD. Diulang lagi di SMP. Diperdalam lagi di SMA. Bahkan yang tak mengecap bangku sekolahpun bisa membuktikannya dalam keseharian. Setiap saat bisa dijumpai. Tak terbantahkan.

Keanehan [kalau tak mau disebut sebagai kelucuan], mulai muncul manakala kita berhadapan dengan perbedaan itu dalam kenyataan. Seolah lupa pelajaran yang didapat dari SD-SMA. Kaget. Tidak terima. Inginnya menang sendiri. Maunya seperti yang dipikirkan. Pokoknya harus sama. Dan sejenisnya dan sebagainya dan seterusnya. Lalu, kita ditipu prasangka. Menganggap siapa yang berbeda dan apa yang tak sama adalah buruk. Merasa diri yang paling baik, yang paling benar. Padahal baik dan benar tidak selalu ditentukan oleh sama dan beda. Yang sama bisa saja benar tapi yang berbeda juga tidak selalu salah bukan?

Bisa jadi, kebersamaan ini ada karena ada banyak kesamaan diantara kita. Tapi bukan berarti bisa begitu saja menghilangkan keragaman yang kita punya. Aku punya karakter sendiri. Begitu juga kamu. Hati kita boleh saling terikat. Tapi bukan berarti harus saling memaksakan diri. Aku akan tetap menjadi diriku. Dan seharusnya kamupun leluasa untuk menjadi dirimu sendiri.

Kalaupun beda diantara kita harus ada yang disamakan, aku tak mau kita saling menjadi penyebab. Aku menyebabkan kamu berubah. Kamu menyebabkan aku berubah. Apalagi kamu terpaksa berubah demi aku. Karena akupun tak mau berubah hanya demi kamu. Bukan itu yang aku mau. Aku hanya mau kita saling membantu. Dan kita sama-sama berubah karena kesadaran diri, karena kita mengerti: kalau ingin lebih baik, berati harus ada yang berubah. Dan kalau ada yang harus berubah berarti ada yang harus rela untuk menerima. Kalaupun memang belum bisa berubah, berarti harus ada yang rela untuk memahami. Jadi, bukan dengan saling memaksakan diri.


***

Barangkali ada yang lupa diajarkan oleh guru SD-SMA kita, dan kita harus otodidak untuk mempelajarinya. Otak kita sudah diajarkan beraneka ragam bentuk perbedaan. Tapi hati kita tidak diajari untuk menerima dan mengelolanya. Sudahlah, biarkan yang berlalu tetap berlalu. Sekarang, mari kita mulai belajar. Belajar untuk menata hati. Agar ia tak berserakan kemana-mana.

2

Aku kira kita sudah saling memaafkan. Nyatanya, kita hanya saling melupakan. Sayangnya, kadang kita malah ingat apa yang seharusnya dilupakan dan lupa dengan apa yang harusnya tertanam dalam ingatan. Saling melupakan menjadi kesalahan baru yang kita lakukan. Dan kata maaf yang pernah kita ucapkan, tak cukup kuat untuk mengendalikan perasaan. Mulutmu memang pernah mengucap maaf. Ringan. Mulutku juga menerimanya. Berat. Dan maaf menjadi kata tanpa makna. Menjadi ritual yang terpaksa. Karena baru dilakukan oleh mulut semata. Karena baru diucapkan dengan kata belaka.

****

Rumah mungil itu bernama hati. Kita sama-sama tahu dimana lokasinya. Aku punya, kamu juga. Pertanyaannya, seberapa kenal kita dengan penghuninya? Penghuninya memang diri kita masing-masing. Tapi terkadang, diri kita tidak sesederhana yang kita bayangkan. Memang demikian adanya. Karena kita manusia. Sedangkan Tuhan menciptakan manusia satu paket dengan akal dan hatinya. Dengan logika dan emosinya. yang membuat aku dan kamu beserta manusia lainnya menjadi begitu unik, rumit dan tak terduga. Itulah kenapa banyak orang yang kesulitan untuk mengenal dirinya sendiri. Tak terkecuali, kita.

Belakangan aku mencoba mengelilingi rumah mungil itu. Menyibak bongkah-bongkah perasaan yang ikut mendiaminya. Ada satu lokasi yang membuatku kaget tercengang. Kenapa disana begitu kotor berdebu. Kenapa disana tampak lebih hitam dan gelap. Kenapa disana terasa sakit. Dan kenapa disana ada namamu. Emosiku langsung mengambil alih, membuat kesimpulan kalau kamulah penyebabnya. Kesimpulan itu benar adanya. Memang kamulah penyebabnya. Yang salah adalah perlakuanku setelahnya. Untung, logika masih berbaik hati untuk meluruskannya. Rumah mungil itu rumahku. Ada dalam diriku. Kamu memang mengotorinya. Aku juga mungkin pernah mengotori rumah mungilmu, yang baru aku mengerti adalah penjelasan di bawah ini. Logika yang membantu menyusunnya;

Kita bisa berada dalam kebersamaan yang sama. Tapi kita tidak bisa tinggal di hati yang sama. Tuhan sudah memberikan porsinya masing-masing. Aku punya. Kamu juga punya. Tidak bisa saling tukar. Sudah begitu adanya. Memang begitu takdirnya. Karena kita bertanggungjawab terhadap diri kita sendiri. Termasuk rumah mungil yang masing-masing kita miliki. Hati kita.

Mungkin, sesekali kita bisa saling berkunjung. Sekedar bertamu. Dengan kepentingan yang beraneka ragam. Tak lebih. Kalau rumah mungil ini adalah milikku, harusnya aku yang bertanggungjawab membersihkannya dari segala kotoran, bukan? Terserah darimana kotoran itu berasal. Termasuk kalau ada yang rusak dengan bagian-bagiannya, aku juga yang seharusnya bertanggungjawab untuk memperbaikinya. Tak peduli siapa yang menyebabkan kerusakan itu. Karena mereka semua hanyalah tamu, yang kadang membuat ramai, membuat bahagia. Tapi sesekali amat menyebalkan dan tega mengotori. Membersihkannya adalah kewajibanku sebagai pemiliknya. Sedang membantu membersihkan adalah pilihan mereka sebagai tamu. Ada yang berbaik hati untuk membantu membersihkan. Ada yang hanya meminta maaf karena sudah mengotori. Ada juga yang tak peduli dengan apa yang sudah dilakukannya. Sayangnya, jenis tamu terakhir yang paling banyak.

Tapi apapun itu, aku ingin mejaga rumah mungil ini agar tetap bersih. Salah satunya dengan memaafkan. Dan aku memaafkanmu. Walupun memaafkan adalah proses yang sangat menyakitkan. Setidaknya bagiku. Itulah kenapa banyak orang yang sangat sulit memaafkan. Tapi tak apalah, jika dengan begitu rumah mungil yang bernama hati ini menjadi lebih bersih. Jika dengan begitu, semuanya akan lebih ringan untuk kita jalani. Semoga kamu juga memaafanku. Dengan maaf yang benar. Dengan maaf yang tulus. Dengan maaf yang bersumber dari asal segala rasa. Dari rumah mungil ini. Dari hati. Bukan dari mulut semata. Bukan dengan kata belaka. Agar kita bisa saling memahami, bahwa;

berdamai dengan kesalahan masa lalu, selalu jauh lebih indah daripada melupakannya.

3

Dan pada akhirnya; aku harus berterimakasih kepadamu. Terimakasih atas segala yang pernah kamu lakukan kepadaku. Walaupun itu sungguh menyakitiku. 


***

Syahdan, anak kecil itu sangat dilindungi dari hujan. Bagi ibunya hujan itu merepotkan. Dia tak mau anaknya kedinginan. Dia tak mau anaknya sakit karena kehujanan. Sampai tibalah musim hujan yang cukup panjang. Dan sempurna anak itu di rumah selama musim hujan. Diselimuti kehangatan di dalam sini dari dinginnya hujan di luar sana. 

Ibunya melupakan dua hal; rasa sayang yang terlalu berlebih kadang amat melumpuhkan. Perlindungan yang terlalu ketat kadang malah jadi melemahkan. Lihatlah anak kesayangannya terputus dari pergaulan. Terasing dengan kesendirian. Hanya karena hujan. Padahal sebagaimana tanaman, anak kecil itu butuh hujan untuk melampiaskan keceriaan. Ia butuh tahu apa dan bagaimana itu hujan. Karena suatu hari ia pasti akan langsung berhadapan dengan hujan. Suatu hari entah kapan, ia akan punya masa-masa sendirian. Dan tak ada yang tahu persis, kapan ibunya akan meninggalkan. 


***

Akulah ibu itu. Ibu dalam bentuk yang lain. Ibu pemiliki anak kecil. Anak kecil yang juga dalam bentuk yang lain: hati. Dan kamulah hujan itu.  

Kesalahanku adalah terlalu memanjakannya. Melindunginya dari berbagai sakit. Padahal, sakit juga rasa. Serumpun dengan bahagia, cinta dan sejenisnya. Karena sakit adalah rasa, hati juga berhak untuk merasakannya. Tapi selama ini aku menjauhkan hatiku dari rasa sakit. Aku terlalu takut untuk menghadapi sakit. Dan aku lebih memilih untuk membuangnya jauh-jauh dari hati. Dengan menghindarimu. Menjauhi pembawa hujan yang akan menyakiti. Membuangnya jauh-jauh dari pikiran. Dan mengaku-ngaku kalau sudah ikhlas menerima dengan apa yang terjadi. Lantas, aku menangaggap diriku menang. Hatiku menang. Aku ikhlas. Padahal menang itu butuh perjuangan. Padahal ikhlas itu sebuah perjalanan. Adakah disebut menang kalau kita tak pernah bertarung? Adakah disebut sampai kalau kita tak pernah berjalan? 


***

Suatu hari sang Ibu lalai untuk menjaga anak kecil kesayangannya. Lihatlah, anak itu malah ketawa-ketiwi di halaman depan. Bermain dengan air hujan. Ketahuan ketika hujan sudah berhenti. Sang Ibu hendak marah, tapi apa daya anaknya keburu demam sebelum ibu marah. Dan anak itu sakit satu minggu lamanya. Tapi, Hey ketika sembuh anak kecil itu jauh lebih ceria. Lebih menyenangkan melihatnya menikmati keseharian. Wajahnya jauh lebih nyaman dan tentram dilihat. Setelah itu, Ibu tadi tidak melindunginya lagi dari hujan. Sekarang, anak kecil itu tidak sakit lagi walaupun ia kehujanan. 


***

Ibu dalam bentuk yang lain itu akhirnya sadar; 

Perasaan, apapun jenisnya, selalu indah jika dirasakan pada saat yang tepat. Jika kita mengerti kenapa harus merasakan itu. Jika kita tahu harus diapakan perasaan itu. Jika kita bisa menata ruang perasaan yang ada di hati. Agar tidak tertukar. Agar enak untuk dirasakan. Tentu saja, kita akan lebih keren jika menangis ketika sedih, bukannya tertawa. 

Sekali lagi; terimakasih. Terimakasih sudah menyakiti aku, sudah mengecewakanku; yang membuatku mengerti bagaimana caranya memaafkan, yang membuatku sedikit tahu apa itu kedewasaan, yang mengenalkanku dengan sesuatu yang bernama kebijaksanaan. 

4

Kalau setiap orang hanya akan menuai apa yang ditanam, apa yang akan dituai oleh orang yang menanam perasaan?


***

Hati kita punya banyak ruang. Dan dari sekian banyak ruang itu, selalu tersedia ruang benci diantaranya. Begitu juga dengan hatiku. Yang aku tak mengerti, kenapa kamu harus memasukinya? 

Ada sejumput rindu yang menjemput. Mengajak hatiku berdamai untuk menerima apa yang telah terjadi. Kembali ke masa lalu, merasakan apa yang pernah kita rasa dalam kebersamaan ini. Menyusuri segala hal yang membuat kita saling merasa nyaman untuk saling mendekat dan mengikat. Tapi kenyataan lebih kuat dari kenangan masa lalu. Dan kabar buruknya, hatiku masih tetap menolak untuk berdamai. Atau masalahnya bukan tentang masa lalu atau sekarang, toh banyak juga yang terjebak dengan masa lalunya, hidup dalam harapan agar kondisinya seperti masa lalu, padahal waktu sudah berdetak berjuta detik, dan kita sudah sama-sama mengalami banyak perubahan. 

Apa memang begitu hukumnya, segala yang menyakitkan akan bertahan lebih lama walaupun kadarnya hanya sedikit. Sedangkan segala yang membahagiakan akan cepat terlupakan walaupun kadarnya melimpah. Barangkali itulah salah satu penyebab, tetua kita yang bijak bestari menyimpulkan peribahasa yang serasa tak adil, tapi memang begitu adanya: "Nila setitik bisa merusak susu sebelangga"

Entahlah, yang pasti sekarang kamu sedang menempati ruang benci di hatiku. Dan aku belum tahu caranya untuk mengeluarkanmu dari sana. Apa aku usir saja kamu secara paksa, agar kamu tidak mengganggu hidupku. Agar kamu tidak mencemari ruang yang lainnya. Tapi bukankah itu percuma saja, karena walaupun kamu tak ada disana, ruang itu akan tetap ada. Hanya siapa yang mendiaminya yang berbeda. Kalau bukan kamu, tentu saja ada orang lain. Sekarangpun kamu bukan satu-satunya penghuni. Masih banyak yang lainnya. Hanya saja, kamu yang paling mendominasi. Apa aku hancurkan saja ruang itu, agar ruang itu tak ada dalam hatiku? Tapi bagaimana bisa, bukankah hati adalah sesuatu yang diberikan Tuhan satu paket dengan ruang-ruangnya. Sudah begitu adanya. Mana bisa melanggar sunatullah-Nya. 

"Aku tak menanam rasa benci itu. Kamu yang membuatnya tumbuh di ruang benciku. Kamu yang menyuburkannya dengan tingkahmu yang tak aku suka, dengan perilakumu yang menyakiti. Dan aku yang harus menanggung deritanya, yang merasakan ketidak-tenangan-nya." Itulah apa yang aku pikirkan. Dulu.

Lalu, kedewasaan menamparku, membangunkanku dari kekonyolan yang tak aku sadari. Hati itu lahanku, milikku. Ruangan yang ada di dalamnya juga sepenuhnya kuasaku. Apa yang harus ditanam dan tumbuh disana juga pilihanku. Jadi kalau kamu menawarkan bibit kebencian, harusnya aku menolaknya. Tidak menerimanya begitu saja. Jikapun tak sengaja bibit itu tersebar di ruang benciku, kemudian tumbuh subur, harusnya aku bisa menatanya sedemikian hingga, agar ia tak tumbuh merajalela. Agar ia tak menjadi parasit bagi yang lainnya. 

Dan parahnya, aku salah besar, ternyata ruangan di hatiku bukan diperuntukkan untuk orang lain. Bukan juga untukmu. Ia diperuntukan bagi sifat-sifat yang dimiliki orang lain. Termasuk sifatmu. Sifatnya, bukan orangnya. Setiap orang memiliki sifat baik dan sifat buruk. Kalau begitu, harusnya kamu tidak hanya menempati ruang benci di hatiku karena keburukanmu, tapi juga ruang sayang di hatiku karena kebaikanmu. Dan harusnya aku yang lebih banyak mengajakmu untuk berada di ruang sayang hatiku, bukan malah membiarkanmu berkeliaran di ruang bencinya. Maaf.

***

Apa yang dituai dari orang yang menanam perasaan? Sekarang, aku mengerti jawabannya. Jawabannya adalah perasaan yang sama. 

5

"Kamu, hanya harus jujur dengan perasaan kamu sendiri. Membohongi perasaan hanya akan mengusir ketenangan hatimu. Sedang menghindarinya, akan menghilangkan keleluasaan yang kamu punya. Kamu jadi bukan kamu. Kamu ada, tapi sebagian dirimu hilang entah kemana. Ditutupi topeng yang kamu sendiri tak tahu bagaimana bentuknya. Dan yang nampak dari luar; kamu sudah bukan kamu lagi. Apakah orang lain suka? Bisa jadi ia, kalau mereka belum tahu apa yang sebenarnya kamu rasakan. Yang jelas kamu pasti tak menyukai dirimu sendiri. Karena kamu mengerti apa yang sedang kamu rasakan. Karena kamu tahu dengan pasti; apa yang kamu lakukan, apa yang kamu ungkapkan adalah bukan apa yang kamu rasakan. Memang begitu adanya. Tak ada orang yang suka dibohongi. Termasuk dirimu, walaupun pelakunya adalah diri kamu sendiri. Terserah mau secerdik apa kamu membohongi dirimu sendiri."

Kalimat itu menghujam dalam hatiku, keluar dari mulutku sendiri dan diperuntukan untuk diriku sendiri. Tapi kamu punya andil yang sangat besar di belakangnya.

Pada mulanya, aku hanya ingin menjaga perasaan kamu. Maka kusimpan saja ketidaksukaan itu. Tak kuungkapkan, tapi sangat kurasakan. Dan sungguh sangat tidak enak merasakannya. Inilah salah satu kebodohanku. Bagaimanalah bisa menjaga perasaan orang lain, jika perasaan sendiri masih berantakan. Aku pikir itu adalah bentuk pengorbananku untukmu, sebagai sahabat, atau sebagai apalah karena kita sudah cukup lama melewati kebersamaan yang sama. Dan lagi-lagi aku salah. Pengorbanan harusnya membuat kita bahagia. Tidak menderita, apalagi menyisakan penyesalan. Sayangnya, yang terakhir yang aku rasakan. Penyesalan yang aku sisakan. Dan benci yang aku simpan.

Padahal perasaan ada bukan untuk disimpan. Ia ada untuk disalurkan atau dihentikan. Menyimpan rasa benci hanya membuat hatiku semakin busuk. Dan aku membutuhkan pelampiasan untuk menghentikannya. Terserah apakah itu baik; dengan membalas segala benci dengan melakukan kebaikan terhadapmu, dengan mencoba menyadarkanmu untuk berubah dan tak menyakiti lagi. Atau melalui cara buruk dengan memaki atau memarahi kamu, meledakkan segala ketidaksukaanku padamu yang sudah lama tertanam di dalam hati. Yang jelas, hatiku tak mau membusuk. Dan aku butuh tempat untuk membuang perasaan itu. Walaupun memang, Tuhan selalu menjadi tempat pelampiasan yang paling baik.

Barangkali ini juga berlaku untuk rasa cinta. Cinta dalam konteks laki-laki dan perempuan. Bukan cinta dalam konteks keluarga, sahabat atau kerabat. Menyimpannya hanya akan menimbulkan ketidaktenangan, kekhwatiran dan perasaan tidak jelas lainnya. Menyalurkan atau menghentikannya bisa jadi pilihan yang paling baik. Walaupun itu butuh proses yang tidak sederhana. Dibutuhkan keberanian yang tidak kecil untuk mengambil salah satu dari dua keputusan itu. Dan tentu saja, menyimpannya adalah pilihan yang paling mudah sekaligus paling tidak gentleman yang bisa dilakukan seseorang.

Ah, sudahlah. Stop. Aku sedang tak ingin membicarakan cinta. Aku sedang membicarakan benci. Dan aku masih membenci kamu. Tapi aku tak mau hatiku kian membusuk. Aku sedang belajar untuk meneladani Ali:

***

Barangkali kepala orang itu sudah terpisah dari badannya, jika saja orang itu tidak meludahi Ali Bin Abi Thalib. Setelah salah satu musuhnya terdesak dalam duel di sebuah peperangan, Ali sudah melayangkan pedangnya ke kepala musuhnya itu. Sayangnya, sebelum pedang itu sampai ke kepala, musuhnya itu meludahi Ali. Maka Ali tidak melanjutkan niatnya itu. Dan membiarkan musuhnya tetap hidup.

"Aku ingin membunuhmu karena Allah. Tapi karena kamu meludahiku, aku khawatir niatku sudah berubah. Aku tak ingin membunuhmu karena kemarahanku."

Bagitulah jawaban Ali ketika ditanya musuh yang bersangkutan, kenapa Ali tak jadi memenggal kepalanya.

***

Dan aku? Tentu saja masih sangat jauh dari kebijaksanaan Ali. Tapi aku ingin jujur dengan perasaanku sendiri, sebagaimana Ali jujur dengan perasaannya sendiri: Aku membenci kamu. Dan aku sedang marah padamu. Sampai sekarang aku belum tahu bagaimana melampiaskannya. Entah akan dengan cara yang baik, atau hanya bisa dengan cara yang buruk. Aku juga belum tahu kamu harus tahu ataupun tidak. Kamu akan tahu kalau aku memilih menyalurkannya dengan cara yang buruk. Dan tentu saja kamu tak perlu tahu kalau aku bisa berdamai dengan hatiku sendiri untuk memilih menyalurkan benci itu dengan cara yang baik. Syukur-syukur bisa mematikannya.

Sekarang, aku tak ingin lagi berbohong dengan perasaanku sendiri. Dan aku harus segera meminta maaf pada diriku sendiri karena sudah sekian lama membohonginya. Aku juga harus membujuk sebagian diriku yang lain untuk mau memaafkan diri sendiri. Semoga saat untukmu segera tiba: saat aku minta maaf dan memaafkan kamu.

6

Kecurigaan ini jadi benar adanya, setelah mencuat sekelumit bukti bahwa ada yang aneh dengan hubungan diantara kita. Awalnya aku kira kita sudah saling cinta. Tapi kesimpulanku terlalu tergesa-gesa. Ternyata, hubungan kita terlalu dini untuk didefinisikan sebagai cinta. Akupun jadi ragu. Apa benar ada seseorang yang mencintai orang lain dengan begitu tulusnya? Apa iya, aku benar-benar mencintai kamu?

Kejujuran ini harus aku sampaikan kepadamu. Entah bagaimana caranya. Walaupun terkadang kejujuran menjadi pilihan paling menyakitkan yang pernah ada. Tapi aku lebih memilih menyakitimu dengan sebuah kejujuran ketimbang menyakitimu dengan kebohongan yang suatu ketika bisa terungkap lalu berubah menjadi benci yang begitu dalam. Benci yang sangat sulit termaafkan. Setidaknya sepahit apapun, kejujuran masih menyisakan sedikit kelayakan untuk dimaafkan. Semoga begitu juga dengan kejujuranku kepadamu, yang akan kamu ketahui sesaat lagi.

***

Bagaimanalah ini. Biarkan aku mulai dari awal mula hubungan kita. Kita sama-sama lupa untuk saling bersepakat. Akan diapakan hubungan ini. Akhirnya, kita seperti air yang mengalir. Terbawa arus yang ada di hadapan. Masalahnya tidak semua arus yang ada di hadapan kita bermuara pada kebaikan. Harusnya kita bisa menentukan sendiri, akan dibawa kemana aliran ini.  Kalau begitu, kita telusuri saja dari hal yang cukup mendasar; Apa yang perlu dihasilkan dari sebuah hubungan? Siapapun akan menjalin hubugan dengan orang lain jika hubungan itu menguntungkan. Termasuk hubungan yang terjalin diantara kita. Dan itulah salah satu alasan kenapa aku ada, kamu ada dan manusia ada. Untuk saling melengkapi satu diantara lainnya. Untuk saling memberi dan mengambil manfaat dari keberadaan satu dan yang lainnya.

Itulah masalahnya. Itulah yang aku ingin jujur kepadamu, dan itulah yang mungkin akan sangat menyakitimu: Ternyata aku tidak benar-benar mencintai kamu. Aku hanya mencintai sebagian diriku sendiri yang hidup dalam diri kamu. Aku menyukai kebaikan-kebaikan kamu dan segala hal tentang kamu yang sesuai dengan aku, yang membuatku senang, atau yang aku inginkan dan ada dalam diri kamu.

Tapi bagaimana dengan kekuranganmu, dengan keburukanmu, dengan semua hal yang aku tidak sukai dari kamu? Haruskah aku memaksakan diriku untuk menyukainya? Dan apakah masih disebut cinta jika ada paksaan di dalamnya? Selama ini, sepertinya kita sama-sama saling menyembunyikan kekurangan kita, keburukan kita. Berusaha nampak sesempurna mungkin. Dan apakah masih bisa disebut cinta, jika tidak berani jujur apa adanya, jika masih sama-sama ketakutan dengan menyembunyikan kondisi yang sebenarnya?

***

Barangkali kita harus mengingat pelajaran tentang Ketuhanan. Bahwa Dialah yang memang pantas dicintai dengan sebenar-benarnya cinta. Karena Dia yang Maha Sempurna tanpa kekurangan secuilpun. Terlebih lagi, Dia yang menciptakan segenap perasaan itu. Perasaan yang biasa kita sebut sebagai cinta. Walaupun seringkali, kita menyalahgunakannya. Sedangkan aku, kamu dan yang lainnya hanyalah manusia yang memang punya kecenderungan untuk lebih mencintai diri sendiri daripada mencintaiNya, apalagi daripada mencintai orang lain.

Mungkin, kita harus membuat kesepakatan ulang, tentang definisi baru dari jenis hubungan yang kita punya. Tentunya dengan melibatkan Dia, yang sudah memberikan perasaan ini. Bisa jadi, namanya bukan cinta lagi. Karena cinta ternyata belum relevan untuk menaungi hubungan diantara kita. Barangkali benci. Eh, itu malah semakin tidak relevan. Aku tidak membenci kamu. Aku hanya belum tahu bisa menerima atau tidak segala kekurangan kamu. Dan aku juga tak yakin kamu mau menerima segala kekuranganku. Bagaimana kita bisa saling menerima jika kita saling menyembunyikan. Dan tentu saja aku tak mau ada salah satu diantara kita yang mati kaget karena baru tahu di kemudian hari.

Apapun nama hubungannya, bagaimanapun definisinya; aku harus harus belajar menata hati untuk bisa mencintai diriku sendiri dengan benar, baru aku bisa mencintaimu bahkan mencintai yang lainnya dengan benar juga. Dan katanya, hanya mereka yang mencintai Penciptanya dengan benar, yang akan bisa mencintai dirinya sendiri secara benar. Aku harap, kamupun demikian. Atau, kalau tak mau repot-repot; kita sudahi saja hubungan diantara kita. Maaf, atas kejujuran yang [mungkin] menyakitkan. 

7

Kalau kamu lihat akhir-akhir ini aku banyak diamnya; itu bukan karena aku tak mau bicara lagi kepada kamu. Tapi memang sudah tak ada lagi yang perlu dibicarakan mengenai hubungan diantara kita. Aku pikir harusnya dari dulu kita demikian; menjadi orang yang lebih banyak bertindak daripada bicara. Bukan malah banyak mengumbar janji, lalu jadi saling mengingkari.

Janji bukan hanya rangkaian kata pemanis suasana. Bukan juga sederetan kalimat penghibur lara. Apalagi sekedar nuansa untuk menguatkan romansa. Janji adalah tanggungjawab, hutang yang harus dibayar lunas pada saatnya, juga menjelaskan identitas kamu. Jadi, kalau kalau kamu tak sanggup untuk memenuhinya, jangan permainkan aku dengan janji-janjimu. Aku lebih menghargai ketidaksanggupanmu, keterabatasanmu, juga semua tentang kekuranganmu. Selama kamu jujur, tidak menutupinya dengan alasan, tidak mengalihkannya dengan janji sebagai penyelamatan.

Urusan ini bisa jadi sederhana untukmu, tapi tidak bagiku. Dicintai adalah hak semua orang, termasuk aku dan kamu. Sedari dulu Tuhan sudah mengajari kita untuk mencintai sesama. Bahkan para nabi banyak mengajarkan untuk tetap mencintai orang yang membenci kita, membalas keburukannya dengan kebaikan. Dan itulah cinta. Setiap orang masih punya hak dan kesempatan untuk dicintai, seburuk apapun orang tersebut, setidakpantas apapun orang tersebut; selama ada orang yang memiliki pemahaman seperti pemahaman para nabi, bahwa mencintai sesama adalah salah satu kewajiban umat manusia. Terkait bagaimana bentuknya, seperti apa perlakuannya, tentu saja menyesuaikan dengan kondisi dan pribadi masing-masing.

Tapi dipercaya, tidak sama dengan dicintai. Tidak semua orang memiliki hak untuk dipercaya. Bahkan nabi akhir zaman lebih membenci orang yang tak dapat dipercaya, tak menepati janjinya, orang munafik atau apalah namanya, daripada orang yang membencinya, menghinanya bahkan menyakitinya. Dipercaya membutuhkan usaha yang lebih kuat dan pembuktian yang lebih konkret daripada dicintai. Itulah kenapa dipercaya jauh lebih sulit sekaligus lebih berharga daripada dicintai. Itulah kenapa aku menginginkan seorang yang layak dipercaya, bukan hanya layak untuk sekedar dicintai. Dan mungkin, itulah juga salah satu alasan kenapa beberapa teman kita [yang dulu sama-sama kita tertawakan], berani  memutuskan hidup bersama selamanya, hanya dengan menukar beberapa lembar biodata, atau melalui perantara entah siapa lah. Setidaknya mereka sudah saling percaya, walapun bisa jadi belum saling mencinta. Tapi rasa cinta sangat mudah datang setelah adanya saling percaya. Sayangnya, rasa percaya tidak otomatis datang bersama rasa cinta. Bahkan cinta lebih rentan untuk menadatangkan benci, manakala ada kondisi yang tidak diharapkan, kondisi yang tidak sesuai, atau sesekali disisipi rasa bosan. Seperti yang sedang aku alami sekarang, terhadapmu.

Bagaimanapun, aku akan mencoba untuk menata hati agar tetap mencintaimu. Bukan membencimu. Entah sebagai apa dan bagaimana bentuknya. Tapi aku tak lagi mempercayaimu. Aku juga tak tahu sampai kapan. Mungkin sampai kamu membuktikan bahwa kamu memang layak untuk dipercaya. Dan itupun tidak sebesar kepercayaanku dulu.

Jadi sekali lagi, semuanya sudah jelas. Tak ada lagi yang perlu dibicarakan tentang hubungan diantara kita. Kalaupun ada, aku hanya ingin berterimakasih kepadamu.Terimakasih telah memberitahu aku, dengan isyarat lembut dari sikapmu, dengan banyak janji yang tak kamu penuhi, dengan ucapan yang jauh melebihi tindakanmu; kalau kamu bukanlah orangnya, bukan orang yang tepat bersamaku untuk selamanya.


#diorama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar