1
Kelucuan
ini jadi amat membingungkan. Lucu harusnya mengundang tawa, memaksa sensor
tertentu dalam otak untuk mengantarkan sinyal kepada lima belas otot muka.
Untuk kemudian, diterjemahkan oleh mulut dan bibir menjadi gerakan menutup dan
membuka. Dan ssshhhh; pada saat membuka itulah oksigen menyelusup dengan lembut
untuk menggetarkan laring, membuat suara yang kita kenal sebagai tawa.
Tapi,
kenapa kelucuan ini malah menimbulkan keprihatinan? Apa akunya yang berlebihan
menganggap keanehan ini sebagai kelucuan. Atau jangan-jangan kita sudah sampai
pada titik abnormal; titik dimana yang baik menjadi begitu aneh karena sudah
terbiasa dengan yang buruk. Lalu, pada batas tertentu, kebiasaan ini mengubah
yang baik menjadi salah dan yang buruk menjadi benar. Parahnya, kita sama-sama
tak menyadarinya.
***
Kita
sama-sama tahu kalau tidak ada manusia yang sama. Semuanya memiliki beda di
banyak sisi. Sekalipun dua orang yang kembar identik, tetap memiliki sisi yang
berbeda. Pelajaran SD. Diulang lagi di SMP. Diperdalam lagi di SMA. Bahkan yang
tak mengecap bangku sekolahpun bisa membuktikannya dalam keseharian. Setiap
saat bisa dijumpai. Tak terbantahkan.
Keanehan
[kalau tak mau disebut sebagai kelucuan], mulai muncul manakala kita berhadapan
dengan perbedaan itu dalam kenyataan. Seolah lupa pelajaran yang didapat dari
SD-SMA. Kaget. Tidak terima. Inginnya menang sendiri. Maunya seperti yang
dipikirkan. Pokoknya harus sama. Dan sejenisnya dan sebagainya dan seterusnya.
Lalu, kita ditipu prasangka. Menganggap siapa yang berbeda dan apa yang tak
sama adalah buruk. Merasa diri yang paling baik, yang paling benar. Padahal
baik dan benar tidak selalu ditentukan oleh sama dan beda. Yang sama bisa saja
benar tapi yang berbeda juga tidak selalu salah bukan?
Bisa
jadi, kebersamaan ini ada karena ada banyak kesamaan diantara kita. Tapi bukan
berarti bisa begitu saja menghilangkan keragaman yang kita punya. Aku punya
karakter sendiri. Begitu juga kamu. Hati kita boleh saling terikat. Tapi bukan
berarti harus saling memaksakan diri. Aku akan tetap menjadi diriku. Dan
seharusnya kamupun leluasa untuk menjadi dirimu sendiri.
Kalaupun
beda diantara kita harus ada yang disamakan, aku tak mau kita saling menjadi
penyebab. Aku menyebabkan kamu berubah. Kamu menyebabkan aku berubah. Apalagi
kamu terpaksa berubah demi aku. Karena akupun tak mau berubah hanya demi kamu.
Bukan itu yang aku mau. Aku hanya mau kita saling membantu. Dan kita sama-sama
berubah karena kesadaran diri, karena kita mengerti: kalau ingin lebih baik,
berati harus ada yang berubah. Dan kalau ada yang harus berubah berarti ada
yang harus rela untuk menerima. Kalaupun memang belum bisa berubah, berarti
harus ada yang rela untuk memahami. Jadi, bukan dengan saling memaksakan diri.
***
Barangkali
ada yang lupa diajarkan oleh guru SD-SMA kita, dan kita harus otodidak untuk
mempelajarinya. Otak kita sudah diajarkan beraneka ragam bentuk perbedaan. Tapi
hati kita tidak diajari untuk menerima dan mengelolanya. Sudahlah, biarkan yang
berlalu tetap berlalu. Sekarang, mari kita mulai belajar. Belajar untuk menata
hati. Agar ia tak berserakan kemana-mana.
2
Aku
kira kita sudah saling memaafkan. Nyatanya, kita hanya saling melupakan.
Sayangnya, kadang kita malah ingat apa yang seharusnya dilupakan dan lupa
dengan apa yang harusnya tertanam dalam ingatan. Saling melupakan menjadi
kesalahan baru yang kita lakukan. Dan kata maaf yang pernah kita ucapkan, tak
cukup kuat untuk mengendalikan perasaan. Mulutmu memang pernah mengucap maaf.
Ringan. Mulutku juga menerimanya. Berat. Dan maaf menjadi kata tanpa makna.
Menjadi ritual yang terpaksa. Karena baru dilakukan oleh mulut semata. Karena
baru diucapkan dengan kata belaka.
****
Rumah
mungil itu bernama hati. Kita sama-sama tahu dimana lokasinya. Aku punya, kamu
juga. Pertanyaannya, seberapa kenal kita dengan penghuninya? Penghuninya memang
diri kita masing-masing. Tapi terkadang, diri kita tidak sesederhana yang kita
bayangkan. Memang demikian adanya. Karena kita manusia. Sedangkan Tuhan
menciptakan manusia satu paket dengan akal dan hatinya. Dengan logika dan
emosinya. yang membuat aku dan kamu beserta manusia lainnya menjadi begitu
unik, rumit dan tak terduga. Itulah kenapa banyak orang yang kesulitan untuk
mengenal dirinya sendiri. Tak terkecuali, kita.
Belakangan
aku mencoba mengelilingi rumah mungil itu. Menyibak bongkah-bongkah perasaan
yang ikut mendiaminya. Ada satu lokasi yang membuatku kaget tercengang. Kenapa
disana begitu kotor berdebu. Kenapa disana tampak lebih hitam dan gelap. Kenapa
disana terasa sakit. Dan kenapa disana ada namamu. Emosiku langsung mengambil
alih, membuat kesimpulan kalau kamulah penyebabnya. Kesimpulan itu benar
adanya. Memang kamulah penyebabnya. Yang salah adalah perlakuanku setelahnya.
Untung, logika masih berbaik hati untuk meluruskannya. Rumah mungil itu
rumahku. Ada dalam diriku. Kamu memang mengotorinya. Aku juga mungkin pernah
mengotori rumah mungilmu, yang baru aku mengerti adalah penjelasan di bawah
ini. Logika yang membantu menyusunnya;
Kita
bisa berada dalam kebersamaan yang sama. Tapi kita tidak bisa tinggal di hati
yang sama. Tuhan sudah memberikan porsinya masing-masing. Aku punya. Kamu juga
punya. Tidak bisa saling tukar. Sudah begitu adanya. Memang begitu takdirnya.
Karena kita bertanggungjawab terhadap diri kita sendiri. Termasuk rumah mungil
yang masing-masing kita miliki. Hati kita.
Mungkin,
sesekali kita bisa saling berkunjung. Sekedar bertamu. Dengan kepentingan yang
beraneka ragam. Tak lebih. Kalau rumah mungil ini adalah milikku, harusnya aku
yang bertanggungjawab membersihkannya dari segala kotoran, bukan? Terserah
darimana kotoran itu berasal. Termasuk kalau ada yang rusak dengan
bagian-bagiannya, aku juga yang seharusnya bertanggungjawab untuk
memperbaikinya. Tak peduli siapa yang menyebabkan kerusakan itu. Karena mereka
semua hanyalah tamu, yang kadang membuat ramai, membuat bahagia. Tapi sesekali
amat menyebalkan dan tega mengotori. Membersihkannya adalah kewajibanku sebagai
pemiliknya. Sedang membantu membersihkan adalah pilihan mereka sebagai tamu.
Ada yang berbaik hati untuk membantu membersihkan. Ada yang hanya meminta maaf
karena sudah mengotori. Ada juga yang tak peduli dengan apa yang sudah
dilakukannya. Sayangnya, jenis tamu terakhir yang paling banyak.
Tapi
apapun itu, aku ingin mejaga rumah mungil ini agar tetap bersih. Salah satunya
dengan memaafkan. Dan aku memaafkanmu. Walupun memaafkan adalah proses yang
sangat menyakitkan. Setidaknya bagiku. Itulah kenapa banyak orang yang sangat
sulit memaafkan. Tapi tak apalah, jika dengan begitu rumah mungil yang bernama
hati ini menjadi lebih bersih. Jika dengan begitu, semuanya akan lebih ringan
untuk kita jalani. Semoga kamu juga memaafanku. Dengan maaf yang benar. Dengan
maaf yang tulus. Dengan maaf yang bersumber dari asal segala rasa. Dari rumah
mungil ini. Dari hati. Bukan dari mulut semata. Bukan dengan kata belaka. Agar
kita bisa saling memahami, bahwa;
berdamai
dengan kesalahan masa lalu, selalu jauh lebih indah daripada melupakannya.
3
Dan
pada akhirnya; aku harus berterimakasih kepadamu. Terimakasih atas segala yang
pernah kamu lakukan kepadaku. Walaupun itu sungguh menyakitiku.
***
Syahdan,
anak kecil itu sangat dilindungi dari hujan. Bagi ibunya hujan itu merepotkan.
Dia tak mau anaknya kedinginan. Dia tak mau anaknya sakit karena kehujanan.
Sampai tibalah musim hujan yang cukup panjang. Dan sempurna anak itu di rumah
selama musim hujan. Diselimuti kehangatan di dalam sini dari dinginnya hujan di
luar sana.
Ibunya
melupakan dua hal; rasa sayang yang terlalu berlebih kadang amat melumpuhkan.
Perlindungan yang terlalu ketat kadang malah jadi melemahkan. Lihatlah anak
kesayangannya terputus dari pergaulan. Terasing dengan kesendirian. Hanya
karena hujan. Padahal sebagaimana tanaman, anak kecil itu butuh hujan
untuk melampiaskan keceriaan. Ia butuh tahu apa dan bagaimana itu hujan. Karena
suatu hari ia pasti akan langsung berhadapan dengan hujan. Suatu hari entah
kapan, ia akan punya masa-masa sendirian. Dan tak ada yang tahu persis, kapan
ibunya akan meninggalkan.
***
Akulah
ibu itu. Ibu dalam bentuk yang lain. Ibu pemiliki anak kecil. Anak kecil yang
juga dalam bentuk yang lain: hati. Dan kamulah hujan itu.
Kesalahanku
adalah terlalu memanjakannya. Melindunginya dari berbagai sakit. Padahal, sakit
juga rasa. Serumpun dengan bahagia, cinta dan sejenisnya. Karena sakit adalah
rasa, hati juga berhak untuk merasakannya. Tapi selama ini aku menjauhkan
hatiku dari rasa sakit. Aku terlalu takut untuk menghadapi sakit. Dan aku lebih
memilih untuk membuangnya jauh-jauh dari hati. Dengan menghindarimu. Menjauhi
pembawa hujan yang akan menyakiti. Membuangnya jauh-jauh dari pikiran. Dan
mengaku-ngaku kalau sudah ikhlas menerima dengan apa yang terjadi. Lantas, aku
menangaggap diriku menang. Hatiku menang. Aku ikhlas. Padahal menang itu butuh
perjuangan. Padahal ikhlas itu sebuah perjalanan. Adakah disebut menang kalau kita tak pernah bertarung? Adakah
disebut sampai kalau kita tak pernah berjalan?
***
Suatu
hari sang Ibu lalai untuk menjaga anak kecil kesayangannya. Lihatlah, anak itu
malah ketawa-ketiwi di halaman depan. Bermain dengan air hujan. Ketahuan ketika
hujan sudah berhenti. Sang Ibu hendak marah, tapi apa daya anaknya keburu demam
sebelum ibu marah. Dan anak itu sakit satu minggu lamanya. Tapi, Hey ketika
sembuh anak kecil itu jauh lebih ceria. Lebih menyenangkan melihatnya menikmati
keseharian. Wajahnya jauh lebih nyaman dan tentram dilihat. Setelah itu, Ibu
tadi tidak melindunginya lagi dari hujan. Sekarang, anak kecil itu tidak sakit
lagi walaupun ia kehujanan.
***
Ibu
dalam bentuk yang lain itu akhirnya sadar;
Perasaan,
apapun jenisnya, selalu indah jika dirasakan pada saat yang tepat. Jika kita
mengerti kenapa harus merasakan itu. Jika kita tahu harus diapakan perasaan
itu. Jika kita bisa menata ruang perasaan yang ada di hati. Agar tidak
tertukar. Agar enak untuk dirasakan. Tentu saja, kita akan lebih keren jika
menangis ketika sedih, bukannya tertawa.
Sekali
lagi; terimakasih. Terimakasih sudah menyakiti aku, sudah mengecewakanku; yang
membuatku mengerti bagaimana caranya memaafkan, yang membuatku sedikit tahu apa
itu kedewasaan, yang mengenalkanku dengan sesuatu yang bernama
kebijaksanaan.
4
Kalau
setiap orang hanya akan menuai apa yang ditanam, apa yang akan dituai oleh
orang yang menanam perasaan?
***
Hati
kita punya banyak ruang. Dan dari sekian banyak ruang itu, selalu tersedia
ruang benci diantaranya. Begitu juga dengan hatiku. Yang aku tak mengerti,
kenapa kamu harus memasukinya?
Ada
sejumput rindu yang menjemput. Mengajak hatiku berdamai untuk menerima apa yang
telah terjadi. Kembali ke masa lalu, merasakan apa yang pernah kita rasa dalam
kebersamaan ini. Menyusuri segala hal yang membuat kita saling merasa nyaman
untuk saling mendekat dan mengikat. Tapi kenyataan lebih kuat dari kenangan
masa lalu. Dan kabar buruknya, hatiku masih tetap menolak untuk berdamai. Atau
masalahnya bukan tentang masa lalu atau sekarang, toh banyak juga yang terjebak
dengan masa lalunya, hidup dalam harapan agar kondisinya seperti masa lalu,
padahal waktu sudah berdetak berjuta detik, dan kita sudah sama-sama mengalami
banyak perubahan.
Apa
memang begitu hukumnya, segala yang menyakitkan akan bertahan lebih lama
walaupun kadarnya hanya sedikit. Sedangkan segala yang membahagiakan akan cepat
terlupakan walaupun kadarnya melimpah. Barangkali itulah salah satu penyebab,
tetua kita yang bijak bestari menyimpulkan peribahasa yang serasa tak adil,
tapi memang begitu adanya: "Nila
setitik bisa merusak susu sebelangga"
Entahlah,
yang pasti sekarang kamu sedang menempati ruang benci di hatiku. Dan aku belum
tahu caranya untuk mengeluarkanmu dari sana. Apa aku usir saja kamu secara
paksa, agar kamu tidak mengganggu hidupku. Agar kamu tidak mencemari ruang yang
lainnya. Tapi bukankah itu percuma saja, karena walaupun kamu tak ada disana,
ruang itu akan tetap ada. Hanya siapa yang mendiaminya yang berbeda. Kalau
bukan kamu, tentu saja ada orang lain. Sekarangpun kamu bukan satu-satunya
penghuni. Masih banyak yang lainnya. Hanya saja, kamu yang paling mendominasi.
Apa aku hancurkan saja ruang itu, agar ruang itu tak ada dalam hatiku? Tapi
bagaimana bisa, bukankah hati adalah sesuatu yang diberikan Tuhan satu paket
dengan ruang-ruangnya. Sudah begitu adanya. Mana bisa melanggar
sunatullah-Nya.
"Aku
tak menanam rasa benci itu. Kamu yang membuatnya tumbuh di ruang benciku. Kamu
yang menyuburkannya dengan tingkahmu yang tak aku suka, dengan perilakumu yang
menyakiti. Dan aku yang harus menanggung deritanya, yang merasakan
ketidak-tenangan-nya." Itulah
apa yang aku pikirkan. Dulu.
Lalu,
kedewasaan menamparku, membangunkanku dari kekonyolan yang tak aku sadari. Hati
itu lahanku, milikku. Ruangan yang ada di dalamnya juga sepenuhnya kuasaku. Apa
yang harus ditanam dan tumbuh disana juga pilihanku. Jadi kalau kamu menawarkan
bibit kebencian, harusnya aku menolaknya. Tidak menerimanya begitu saja.
Jikapun tak sengaja bibit itu tersebar di ruang benciku, kemudian tumbuh subur,
harusnya aku bisa menatanya sedemikian hingga, agar ia tak tumbuh merajalela.
Agar ia tak menjadi parasit bagi yang lainnya.
Dan
parahnya, aku salah besar, ternyata ruangan di hatiku bukan diperuntukkan untuk
orang lain. Bukan juga untukmu. Ia diperuntukan bagi sifat-sifat yang dimiliki
orang lain. Termasuk sifatmu. Sifatnya, bukan orangnya. Setiap orang memiliki
sifat baik dan sifat buruk. Kalau begitu, harusnya kamu tidak hanya menempati
ruang benci di hatiku karena keburukanmu, tapi juga ruang sayang di hatiku
karena kebaikanmu. Dan harusnya aku yang lebih banyak mengajakmu untuk berada
di ruang sayang hatiku, bukan malah membiarkanmu berkeliaran di ruang bencinya.
Maaf.
***
Apa
yang dituai dari orang yang menanam perasaan? Sekarang, aku mengerti
jawabannya. Jawabannya adalah perasaan yang sama.
5
"Kamu,
hanya harus jujur dengan perasaan kamu sendiri. Membohongi perasaan hanya akan
mengusir ketenangan hatimu. Sedang menghindarinya, akan menghilangkan
keleluasaan yang kamu punya. Kamu jadi bukan kamu. Kamu ada, tapi sebagian
dirimu hilang entah kemana. Ditutupi topeng yang kamu sendiri tak tahu bagaimana
bentuknya. Dan yang nampak dari luar; kamu sudah bukan kamu lagi. Apakah orang
lain suka? Bisa jadi ia, kalau mereka belum tahu apa yang sebenarnya kamu
rasakan. Yang jelas kamu pasti tak menyukai dirimu sendiri. Karena kamu
mengerti apa yang sedang kamu rasakan. Karena kamu tahu dengan pasti; apa yang
kamu lakukan, apa yang kamu ungkapkan adalah bukan apa yang kamu rasakan.
Memang begitu adanya. Tak ada orang yang suka dibohongi. Termasuk dirimu,
walaupun pelakunya adalah diri kamu sendiri. Terserah mau secerdik apa kamu
membohongi dirimu sendiri."
Kalimat
itu menghujam dalam hatiku, keluar dari mulutku sendiri dan diperuntukan untuk
diriku sendiri. Tapi kamu punya andil yang sangat besar di belakangnya.
Pada
mulanya, aku hanya ingin menjaga perasaan kamu. Maka kusimpan saja
ketidaksukaan itu. Tak kuungkapkan, tapi sangat kurasakan. Dan sungguh sangat
tidak enak merasakannya. Inilah salah satu kebodohanku. Bagaimanalah bisa
menjaga perasaan orang lain, jika perasaan sendiri masih berantakan. Aku pikir
itu adalah bentuk pengorbananku untukmu, sebagai sahabat, atau sebagai apalah
karena kita sudah cukup lama melewati kebersamaan yang sama. Dan lagi-lagi aku
salah. Pengorbanan harusnya membuat kita bahagia. Tidak menderita, apalagi
menyisakan penyesalan. Sayangnya, yang terakhir yang aku rasakan. Penyesalan
yang aku sisakan. Dan benci yang aku simpan.
Padahal
perasaan ada bukan untuk disimpan. Ia ada untuk disalurkan atau dihentikan.
Menyimpan rasa benci hanya membuat hatiku semakin busuk. Dan aku membutuhkan
pelampiasan untuk menghentikannya. Terserah apakah itu baik; dengan membalas
segala benci dengan melakukan kebaikan terhadapmu, dengan mencoba menyadarkanmu
untuk berubah dan tak menyakiti lagi. Atau melalui cara buruk dengan memaki
atau memarahi kamu, meledakkan segala ketidaksukaanku padamu yang sudah lama
tertanam di dalam hati. Yang jelas, hatiku tak mau membusuk. Dan aku butuh
tempat untuk membuang perasaan itu. Walaupun memang, Tuhan selalu menjadi
tempat pelampiasan yang paling baik.
Barangkali
ini juga berlaku untuk rasa cinta. Cinta dalam konteks laki-laki dan perempuan.
Bukan cinta dalam konteks keluarga, sahabat atau kerabat. Menyimpannya hanya
akan menimbulkan ketidaktenangan, kekhwatiran dan perasaan tidak jelas lainnya.
Menyalurkan atau menghentikannya bisa jadi pilihan yang paling baik. Walaupun
itu butuh proses yang tidak sederhana. Dibutuhkan keberanian yang tidak kecil
untuk mengambil salah satu dari dua keputusan itu. Dan tentu saja, menyimpannya
adalah pilihan yang paling mudah sekaligus paling tidak gentleman yang
bisa dilakukan seseorang.
Ah,
sudahlah. Stop. Aku sedang tak ingin membicarakan cinta. Aku sedang
membicarakan benci. Dan aku masih membenci kamu. Tapi aku tak mau hatiku kian
membusuk. Aku sedang belajar untuk meneladani Ali:
***
Barangkali
kepala orang itu sudah terpisah dari badannya, jika saja orang itu tidak
meludahi Ali Bin Abi Thalib. Setelah salah satu musuhnya terdesak dalam duel di
sebuah peperangan, Ali sudah melayangkan pedangnya ke kepala musuhnya itu.
Sayangnya, sebelum pedang itu sampai ke kepala, musuhnya itu meludahi Ali. Maka
Ali tidak melanjutkan niatnya itu. Dan membiarkan musuhnya tetap hidup.
"Aku
ingin membunuhmu karena Allah. Tapi karena kamu meludahiku, aku khawatir niatku
sudah berubah. Aku tak ingin membunuhmu karena kemarahanku."
Bagitulah
jawaban Ali ketika ditanya musuh yang bersangkutan, kenapa Ali tak jadi
memenggal kepalanya.
***
Dan
aku? Tentu saja masih sangat jauh dari kebijaksanaan Ali. Tapi aku ingin jujur
dengan perasaanku sendiri, sebagaimana Ali jujur dengan perasaannya sendiri:
Aku membenci kamu. Dan aku sedang marah padamu. Sampai sekarang aku belum tahu
bagaimana melampiaskannya. Entah akan dengan cara yang baik, atau hanya bisa
dengan cara yang buruk. Aku juga belum tahu kamu harus tahu ataupun tidak. Kamu
akan tahu kalau aku memilih menyalurkannya dengan cara yang buruk. Dan tentu
saja kamu tak perlu tahu kalau aku bisa berdamai dengan hatiku sendiri untuk
memilih menyalurkan benci itu dengan cara yang baik. Syukur-syukur bisa
mematikannya.
Sekarang,
aku tak ingin lagi berbohong dengan perasaanku sendiri. Dan aku harus segera
meminta maaf pada diriku sendiri karena sudah sekian lama membohonginya. Aku
juga harus membujuk sebagian diriku yang lain untuk mau memaafkan diri sendiri.
Semoga saat untukmu segera tiba: saat aku minta
maaf dan memaafkan kamu.
6
Kecurigaan
ini jadi benar adanya, setelah mencuat sekelumit bukti bahwa ada yang aneh
dengan hubungan diantara kita. Awalnya aku kira kita sudah saling cinta. Tapi
kesimpulanku terlalu tergesa-gesa. Ternyata, hubungan kita terlalu dini untuk
didefinisikan sebagai cinta. Akupun jadi ragu. Apa benar ada seseorang yang
mencintai orang lain dengan begitu tulusnya? Apa iya, aku benar-benar mencintai
kamu?
Kejujuran
ini harus aku sampaikan kepadamu. Entah bagaimana caranya. Walaupun terkadang
kejujuran menjadi pilihan paling menyakitkan yang pernah ada. Tapi aku lebih
memilih menyakitimu dengan sebuah kejujuran ketimbang menyakitimu dengan
kebohongan yang suatu ketika bisa terungkap lalu berubah menjadi benci yang
begitu dalam. Benci yang sangat sulit termaafkan. Setidaknya sepahit apapun,
kejujuran masih menyisakan sedikit kelayakan untuk dimaafkan. Semoga begitu
juga dengan kejujuranku kepadamu, yang akan kamu ketahui sesaat lagi.
***
Bagaimanalah
ini. Biarkan aku mulai dari awal mula hubungan kita. Kita sama-sama lupa untuk
saling bersepakat. Akan diapakan hubungan ini. Akhirnya, kita seperti air yang
mengalir. Terbawa arus yang ada di hadapan. Masalahnya tidak semua arus yang
ada di hadapan kita bermuara pada kebaikan. Harusnya kita bisa menentukan
sendiri, akan dibawa kemana aliran ini. Kalau begitu, kita telusuri saja
dari hal yang cukup mendasar; Apa yang perlu dihasilkan dari sebuah hubungan?
Siapapun akan menjalin hubugan dengan orang lain jika hubungan itu
menguntungkan. Termasuk hubungan yang terjalin diantara kita. Dan itulah salah
satu alasan kenapa aku ada, kamu ada dan manusia ada. Untuk saling melengkapi
satu diantara lainnya. Untuk saling memberi dan mengambil manfaat dari
keberadaan satu dan yang lainnya.
Itulah
masalahnya. Itulah yang aku ingin jujur kepadamu, dan itulah yang mungkin akan
sangat menyakitimu: Ternyata aku tidak benar-benar mencintai kamu. Aku hanya
mencintai sebagian diriku sendiri yang hidup dalam diri kamu. Aku menyukai
kebaikan-kebaikan kamu dan segala hal tentang kamu yang sesuai dengan aku, yang
membuatku senang, atau yang aku inginkan dan ada dalam diri kamu.
Tapi
bagaimana dengan kekuranganmu, dengan keburukanmu, dengan semua hal yang aku
tidak sukai dari kamu? Haruskah aku memaksakan diriku untuk menyukainya? Dan
apakah masih disebut cinta jika ada paksaan di dalamnya? Selama ini, sepertinya
kita sama-sama saling menyembunyikan kekurangan kita, keburukan kita. Berusaha
nampak sesempurna mungkin. Dan apakah masih bisa disebut cinta, jika tidak
berani jujur apa adanya, jika masih sama-sama ketakutan dengan menyembunyikan
kondisi yang sebenarnya?
***
Barangkali
kita harus mengingat pelajaran tentang Ketuhanan. Bahwa Dialah yang memang
pantas dicintai dengan sebenar-benarnya cinta. Karena Dia yang Maha Sempurna
tanpa kekurangan secuilpun. Terlebih lagi, Dia yang menciptakan segenap
perasaan itu. Perasaan yang biasa kita sebut sebagai cinta. Walaupun
seringkali, kita menyalahgunakannya. Sedangkan aku, kamu dan yang lainnya
hanyalah manusia yang memang punya kecenderungan untuk lebih mencintai diri
sendiri daripada mencintaiNya, apalagi daripada mencintai orang lain.
Mungkin,
kita harus membuat kesepakatan ulang, tentang definisi baru dari jenis hubungan
yang kita punya. Tentunya dengan melibatkan Dia, yang sudah memberikan perasaan
ini. Bisa jadi, namanya bukan cinta lagi. Karena cinta ternyata belum relevan
untuk menaungi hubungan diantara kita. Barangkali benci. Eh, itu malah semakin
tidak relevan. Aku tidak membenci kamu. Aku hanya belum tahu bisa menerima atau
tidak segala kekurangan kamu. Dan aku juga tak yakin kamu mau menerima segala
kekuranganku. Bagaimana kita bisa saling menerima jika kita saling
menyembunyikan. Dan tentu saja aku tak mau ada salah satu diantara kita yang
mati kaget karena baru tahu di kemudian hari.
Apapun
nama hubungannya, bagaimanapun definisinya; aku harus harus belajar menata hati
untuk bisa mencintai diriku sendiri dengan benar, baru aku bisa mencintaimu
bahkan mencintai yang lainnya dengan benar juga. Dan katanya, hanya mereka yang
mencintai Penciptanya dengan benar, yang akan bisa mencintai dirinya sendiri
secara benar. Aku
harap, kamupun demikian. Atau, kalau tak mau repot-repot; kita sudahi saja
hubungan diantara kita. Maaf, atas kejujuran yang [mungkin] menyakitkan.
7
Kalau
kamu lihat akhir-akhir ini aku banyak diamnya; itu bukan karena aku tak mau
bicara lagi kepada kamu. Tapi memang sudah tak ada lagi yang perlu dibicarakan
mengenai hubungan diantara kita. Aku pikir
harusnya dari dulu kita demikian; menjadi orang yang lebih banyak bertindak
daripada bicara. Bukan malah banyak mengumbar janji, lalu jadi saling
mengingkari.
Janji
bukan hanya rangkaian kata pemanis suasana. Bukan juga sederetan kalimat
penghibur lara. Apalagi sekedar nuansa untuk menguatkan romansa. Janji adalah
tanggungjawab, hutang yang harus dibayar lunas pada saatnya, juga menjelaskan
identitas kamu. Jadi, kalau kalau kamu tak sanggup untuk memenuhinya, jangan
permainkan aku dengan janji-janjimu. Aku lebih menghargai ketidaksanggupanmu,
keterabatasanmu, juga semua tentang kekuranganmu. Selama kamu jujur, tidak
menutupinya dengan alasan, tidak mengalihkannya dengan janji sebagai
penyelamatan.
Urusan
ini bisa jadi sederhana untukmu, tapi tidak bagiku. Dicintai adalah hak semua
orang, termasuk aku dan kamu. Sedari dulu Tuhan sudah mengajari kita untuk
mencintai sesama. Bahkan para nabi banyak mengajarkan untuk tetap mencintai
orang yang membenci kita, membalas keburukannya dengan kebaikan. Dan itulah
cinta. Setiap orang masih punya hak dan kesempatan untuk dicintai, seburuk
apapun orang tersebut, setidakpantas apapun orang tersebut; selama ada orang
yang memiliki pemahaman seperti pemahaman para nabi, bahwa mencintai sesama
adalah salah satu kewajiban umat manusia. Terkait bagaimana bentuknya, seperti
apa perlakuannya, tentu saja menyesuaikan dengan kondisi dan pribadi
masing-masing.
Tapi
dipercaya, tidak sama dengan dicintai. Tidak semua orang memiliki hak untuk
dipercaya. Bahkan nabi akhir zaman lebih membenci orang yang tak dapat
dipercaya, tak menepati janjinya, orang munafik atau apalah namanya, daripada
orang yang membencinya, menghinanya bahkan menyakitinya. Dipercaya membutuhkan usaha yang lebih kuat dan pembuktian yang
lebih konkret daripada dicintai. Itulah kenapa dipercaya jauh lebih sulit
sekaligus lebih berharga daripada dicintai. Itulah kenapa aku menginginkan
seorang yang layak dipercaya, bukan hanya layak untuk sekedar dicintai. Dan mungkin, itulah juga salah satu
alasan kenapa beberapa teman kita [yang dulu sama-sama kita tertawakan],
berani memutuskan hidup bersama selamanya, hanya dengan menukar beberapa
lembar biodata, atau melalui perantara entah siapa lah. Setidaknya mereka sudah
saling percaya, walapun bisa jadi belum saling mencinta. Tapi rasa cinta sangat
mudah datang setelah adanya saling percaya. Sayangnya, rasa percaya tidak
otomatis datang bersama rasa cinta. Bahkan cinta lebih rentan untuk
menadatangkan benci, manakala ada kondisi yang tidak diharapkan, kondisi yang
tidak sesuai, atau sesekali disisipi rasa bosan. Seperti yang sedang aku alami
sekarang, terhadapmu.
Bagaimanapun,
aku akan mencoba untuk menata hati agar tetap mencintaimu. Bukan membencimu.
Entah sebagai apa dan bagaimana bentuknya. Tapi aku tak lagi mempercayaimu. Aku
juga tak tahu sampai kapan. Mungkin sampai kamu membuktikan bahwa kamu memang
layak untuk dipercaya. Dan itupun tidak sebesar kepercayaanku dulu.
Jadi
sekali lagi, semuanya sudah jelas. Tak ada lagi yang perlu dibicarakan tentang
hubungan diantara kita. Kalaupun ada, aku hanya ingin berterimakasih kepadamu.Terimakasih
telah memberitahu aku, dengan isyarat lembut dari sikapmu, dengan banyak janji
yang tak kamu penuhi, dengan ucapan yang jauh melebihi tindakanmu; kalau kamu
bukanlah orangnya, bukan orang yang tepat bersamaku untuk selamanya.
#diorama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar