Maaf,
jika kebersamaan ini harus terganggu dengan beberapa tanya. Tak apa. Jangan
khawatir. Bukankah ketenangan selalu butuh gangguan untuk mengukuhkan
eksistensinya. Apalah arti ketenangan jika ia tercipta dengan spontan, tanpa
gangguan yang sebelumnya dirasakan. Barangkali namanya bukan ketenangan lagi.
Tapi rutinitas; dan sebagian rutinitas akan terasa begitu membosankan.
Atau barangkali Tuhan sengaja menciptakan mereka menjadi satu
paket yang bertolak-belakang, tapi saling melengkapi, kemudian berjodoh pada
satu titik; titik dimana gangguan bermetamorfosis menjadi zat tertentu yang
benar-benar membuat ketenangan yang akan terjadi begitu nikmat untuk dirasakan.
Lalu datang kembali mengusik, jika ketenangan itu sudah kurang begitu dihayati
lagi sebagai rasa. Begitulah seterusnya. Siklus. Jadi, tak perlu menyalahkan
gangguan, tak perlu selalu berlari darinya. Karena bisa
jadi, ia ada untuk mengukuhkan. Mengukuhkan ketenangan. Mengukuhkan adanya kamu.
Lupakan sebentar tentang ketenangan dan gangguan, biarkan
kesejenakan ini memberikan ruang yang cukup bebas kepada beberapa tanya, agar
kebersamaan ini benar adanya; tidak sekedar ikut-ikutan, bukan hanya penggugur
kewajiban, apalagi keterpaksaan karena tak ada pilihan. Tapi jangan juga menjadikan
kebebasan sebagai keharusan; karena jika kebebasan sudah menjadi keharusan,
apalah arti dari kebebasan itu sendiri. Biarkan pilihan menjadi pemilik
kebebasan, dan keharusan cukup sesekali saja meminjamnya dari pilihan. Mari, kita berikan kesempatan kepada beberapa tanya; yang mungkin
akan sedikit mengganggu, tapi semoga bisa mengukuhkan di kemudian:
Sudahkah
hatimu ada di sini? Bersama kebersamaan ini? Menggerakan satu sama lain,
menguatkan satu sama lain, meringankan beban masing-masing, juga beban
kebersamaan itu sendiri. Adakah nama-nama itu terpantul bergantian dalam
serangkaian doa tulus, atau lebih sering bermunculan dalam
pembicaraan-pembicaraan tentang keburukan dan kekurangan? Adakah hati ini menyimpan
beribu maaf untuk beraneka rupa kesalahan, lalu maaf itu berganti dengan
tindakan bijak untuk memperbaiki kesalahannya? Atau lebih banyak kecewa disana,
lalu kecewa itu menjelma menjadi sikap menyalahkan, membiarkan, menjauhi
atau menghindari?
Barangkali, dalam ruang kebersamaan ini, hatimu masih
berserakan, belum padu pada satu titik, atau berjarak begitu jauh dari titik
itu. Titik asli yang benar-benar menjadi tujuan kebersamaan ini.
Dan begitu juga dengan hatiku.
^_^
Ada
tanya yang bergejolak, entah pantas atau tidak mendapat jawab; karena tidak
semua pertanyaan bisa dijawab, dan terkadang diam dan tak tahu menjadi jawab
yang paling bijak. Termasuk untuk mereka yang memiliki banyak hal untuk
disampaikan, tapi tak tahu bagaimana mengungkapkan. yang jelas, setiap tanya
harus disampaikan, terserah mau mendapat jawab yang seperti apa.
Kalau
hati bisa terluka, lalu bagaimana cara menyembuhkannya? Benarkah setiap
penyakit memiliki obat? Dan apakah setiap luka bisa disembuhkan? Lalu,
bagaimana memahami hati manusia yang masih terasa sakit, padahal peristiwanya
sudah jauh tertinggal di masa lampau?
***
Jika saja penyakit bisa dibuat, mungkin akan banyak yang meminta
dibuatkan penyakit 'amnesia sebagian'. Dengan formulasi tertentu, dengan proses
kimiawi tingkat tinggi, seseorang berhak meminta apa saja dari sebagian dirinya
untuk dilupakan. Katakanlah, yang dimaksud dengan apa itu adalah
kejadian-kejadian menyakitkan yang pernah dirasakan. Asal jangan minta untuk
melupakan Tuhan. Sehingga jika ada hati yang tersakiti, seseorang cukup meminum
beberapa pil 'amnesia sebagian' untuk melupakan kejadian menyakitkan itu.
Dosisnya diformulasikan dengan hari, tanggal, tahun dan jam berapa sampai jam
berapa kejadian menyakitkan itu menimpa. Barangkali itulah cara yang cukup
optimal untuk menyembuhkan sakit hati. Menyembuhkan sakit dengan penyakit.
Tentu saja jika pil itu benar-benar ada. Karena memang belum ada, dan mungkin
tak pernah ada, mari kita cari proses yang lebih alami.
***
Kadang manusia suka lupa, kalau kebersamaan juga mengandung
resiko. Ia bukan hanya menawarkan kenyamanan, kedekatan, kemudahan, keringanan
atau semangat yang bertaburan. Di sudut-sudut yang tak terduga, ia juga
menyimpan perbedaan yang tak bisa dihindari, konflik yang nyata dan
tersembunyi, yang sesekali bisa meledak begitu saja atau bahkan harus
diledakkan agar menimbulkan kelegaan. Mungkin akan menyakitkan. Tapi
bukankah sakit yang diketahui selalu lebih baik dari sakit yang tersembunyi?
Setidaknya; kalau tahu sedang sakit, ada yang berusaha untuk mengobati,
entah itu diri yang ada di sini, mereka yang ada di sana, atau bahkan
kebersamaan itu sendiri yang pelan-pelan akan menyembuhkan. Atau mungkin
ketidaktahuan adalah penawar dari rasa sakit itu sendiri? Tapi sepertinya
bukan, ketidaktahuan mungkin akan menghindari rasa sakit, tapi ia tak pernah
bisa menjadi penawar, tak akan sanggup untuk menyembuhkan, dan tentu saja tidak
memberikan ruang pembelajaran.
Hati punya bermacam sudut. Dan diantara sudut itu, ada satu
sudut yang bernama ketidaksukaan. Derajatnya berbeda satu sama lain. Sayangnya,
kebersamaan tidak lantas otomatis menghilangkan sudut ketidaksukaan tersebut
dari hati seseorang. Bahkan sesekali, kebersamaan itu juga memberikan ruang
yang lebih luas untuk memperlancip sudut ketidaksukaan itu. Bayangkan, ada
banyak hati disana, sedang setiap hati punya sudut ketidaksukaannya
masing-masing. Entah apa yang terjadi jika ketidaksukaan itu saling
berbenturan. Apapun itu, kebersamaan tidak akan syahdu lagi untuk dinikmati.
Hambar.
Barangkali kebersamaan harus dilihat dari dimensi lain. Bahwa,
jauh sebelum fisik bersama dalam suatu tempat, sebelum tangan bergotong royong
mengangkat beban bersama, sebelum pikiran berseliweran untuk dijadikan satu;
ada hal yang jauh lebih penting dan esensial untuk dilakukan terlebih dulu: menyatukan masing-masing hati yang masih berserakan. Tak perlu memaksa untuk menghilangkan
sudut ketidaksukaan, karena suka dan tidak suka adalah bagian dari hak asasi
manusia. Pilihan masing-masing individu yang kurang etis untuk dipaksakan. Tapi
lengkapilah sudut ketidaksukaan itu dengan persediaan maaf yang
sebanyak-banyaknya. Agar ketika orang lain menyentuh sudut ketidaksukaan itu,
sudut itu akan terkikis sedikit demi sedikit dengan ketenangan hati, dengan
kerelaan menerima sebagai resiko dari kebersamaan itu sendiri. Tidak menancap
di hati sendiri yang pada akhirnya hanya akan menyakiti diri sendiri.
Dan untuk yang belum tahu; sebeneranya
yang paling banyak menyakiti hati kita adalah diri kita sendiri. Pikiran dan
perasaan kita. Bukan orang lain.
^_^
Jika
diam bisa menghanyutkan, akankah diam juga bisa mendekatkan? Jika beda ada
dalam kebersamaan, haruskah semuanya disamakan?
****
Di era digital seperti ini, Seharusnya ada yang memasang iklan
dalam skala besar yang mengklarifikasi makna kebersamaan. Kebersamaan selalu
diekspektasikan dengan hal yang indah-indah, hal yang baik-baik; tanpa
mengingat bahwa setiap hal selalu memiliki sisi baik dan sisi buruknya
masing-masing. Akibat dari ekspektasi yang kurang proporsional itu, banyak
orang yang ada dalam suatu kominitas, tidak siap menghadapi sisi buruk dari
kebersamaan yang dilaluinya. Kaget. Responsif. Kecewa. Serta efek-efek berlebihan
lagi negatif lainnya.
Mari kita lihat kebersamaan dengan lebih sederhana. Kalau
kebersamaan terdiri dari banyak individu, sedang individu memiliki pikiran dan
hati masing-masing, kondisi yang juga berbeda, maka dalam konteks ini; sama
adalah sesuatu yang sangat mustahil. Berharap semuanya sama berarti sedang
meenerjunkan diri dalam jurang kekecewaan. Dan mengusahakan agar semuanya sama,
adalah tindakan yang sia-sia. Kenapa? Karena seseorang tidak selalu bisa
melihat dengan pasti isi kepala dan isi hati yang lainnya, kalau melihat saja
tidak bisa, bagaimana mungkin bisa menyamakannya.
Atau jangan-jangan, leluhur kita lupa untuk menjelaskan asal
kata dari kebersamaan, bahwa 'ber' dalam kata 'kebersamaan' adalah kependekan
dari kata 'berbeda'. yang artinya, dalam kebersamaan juga tetap ada hal yang
berbeda, selain beberapa hal yang harus disamakan untuk kebaikan
bersama. Pemahaman akan makna kebersamaan ini menjadi begitu penting dalam
suatu komunitas, karena pemahaman seseorang terhadap sesuatu, akan menjadi
landasan orang tersebut untuk bertindak dan menyikapi sesuatu.
Lantas, jika perbedaan tidak bisa dihindari dalam suatu
kebersamaan, mungkin pilihan terbaik adalah mempersiapkan pikiran dan hati
untuk menghadapi perbedaan itu. Dan hal paling bijak yang bisa dilakukan
seseorang terhadap apa yang namanya perbedaan adalah dengan menghargainya,
bukan selalu menyamakannya. Menghargai bukan hanya permasalahan pikiran,
toh banyak orang yang berpikiran maju, tapi tak kunjung bisa menghargai orang
lain. Lebih dalam dari itu, menghargai adalah pekerjaan hati. Pekerjaan untuk
menurunkan kadar ego yang dimiliki, untuk banyak-banyak menahan diri, untuk
sibuk memperbaiki diri, bukan meributi kekurangan orang lain. Jadi, apapun
bentuk kebersamaannya; tantangannya tidak akan jauh-jauh dari mengatasi dan
mengelola perbedaan. Dan cara terbaik untuk mengelolanya adalah dengan
menyediakan ruang hati yang selapang-lapangnya. Pikiran bisa lebih mudah
menyesuaikan, jika hatinya sudah terkondisikan.
Dalam kebersamaan skala kecil rumah tangga misalkan,
kalau sedang punya masalah karena perbedaan, tidak berarti harus cari isteri
baru, bukan? Tapi rasa cintanya yang harus diperbaharui, komitmennya yang harus
diperkuat. Keduanya mungkin bisa tumbuh dengan sendirinya, tapi bukan jaminan
akan langgeng selamanya, apalagi kalau tidak dipelihara.*
Dan sepertinya, itu juga berlaku pada kebersamaan yang lebih
besar daripada rumah tangga. Tentu saja dengan konteks yang berbeda. Tapi
tetap, cinta dan komitmen dalam setiap kebersamaan harus dijaga dan dipelihara.
Jangan didiamkan.
*adapted
quote from Dee; dengan banyak sekali penyesuaian.
^_^
Genggamlah
tanganku, tapi jangan terlalu erat. Karena aku ingin berjalan seiring, bukannya
digiring. [dee]
****
Siapa yang harus disalahkan, jika ternyata aku tak merasakan
bahagia yang kamu rasa? Siapa yang betanggungjawab, jika aku juga tak
mengetahui duka yang kamu derita? Padahal kita masih berada pada kebersamaan
yang sama. Dan bukankah kebersamaan ini menuntut untuk juga berbagi rasa, bukan
hanya berbagi beban? Atau jangan-jangan, akunya yang ketinggalan berita, kalau
ternyata sudah ada versi baru dari bentuk kebersamaan kita. Versi baru yang
menghilangkan variabel rasa, dan lebih sederhana dengan hanya memperhitungkan
kerja. Tugas ini harus selesai, yang ini harus begitu, yang itu harus begini.
Agak mirip seperti robot, hanya saja berbadan manusia.
Atau jangan-jangan tangan kita terlalu kuat untuk saling
menggenggam, kita tak mau saling melepaskan, tapi jadi sama-sama kesakitan.
Padahal kita sama-sama tahu, kalau kita bukan kanak-kanak lagi. Entahlah,
kekhwatiran kadang membuat orang jadi tak rasional. Bisa jadi juga, karena
pikiran kita terbiasa disamakan, dan pada satu titik kita jadi saling
membosankan, lalu kita sama-sama mencari pelarian. Dan kebersaman hanya
meninggalkan raga dan pertemuan. Sisanya ketakutan. Ketakutan akan kehilangan,
tapi tak mau saling mempertahankan.
Dalam kebersamaan ini, aku tahu kita sudah sama-sama lelah. Yang
aku tak tahu pasti; sudah berapa detik kita melaluinya dan sudah berapa dalam
kita memaknainya. Aku tak meragukan kamitmenmu, sebagaimana kamu juga tak
meragukan aku. Perjalanan sudah membuktikannya bukan? Dan bukti yang paling
nyata, kita masih sama-sama disini. Bersama dalam kebersamaan ini. Berbagi
beban, menjalani proses yang lelah-melelahkan, menghadapi rangkaian perjalanan
yang berkepanjangan, mengeluarkan keringat, bahkan sesekali air mata. Kamu
sudah memberikan yang kamu bisa, yang kamu punya. Semoga aku juga begitu.
Yang masih aku ragukan; apakah kita
sudah benar-benar memberikan hati kita? Untuk kebersamaan ini. Mungkin dari
situ semuanya akan mulai terjawab.
^_^
Jika
berkenan, mari berhenti sejenak, mendalami apa yang masih bergejolak di dalam
di benak. Jangan khawatir, kesejenakan tak akan membuat kita tertinggal jauh.
Bahkan kesejenakan harusnya diberhentikan di tempat-tempat tertentu di
persimpangan hidup. Entah sekedar mengisi bahan bakar untuk bertahan dalam pola
kehidupan yang warna-warni, mencari strategi untuk mendekatkan tujuan yang
serasa amat jauh, sampai mengumpulkan keberanian untuk memutar haluan; menciptakan
tujuan baru yang lebih hidup dan menghidupkan.
Entah sudah berapa kali, kesejenakan itu menyelinap dalam
kebersamaan ini. Yang belum kutahu benar, adakah
kesejenakan itu menyadarkan diri, mengalirikan stimulus untuk memperbaiki diri.
Atau hanya sekedar lewat; ingin bertamu tapi kitanya tak sempat menjamu; ingin
menyapa tapi kitanya terlampau sibuk dengan hampa. Akhirnya, kesejenakan jarang sekali
bisa berhasil menjalankan tugasnya. Atau lebih tepatnya, kita yang belum bisa
mempersahabatkan mereka: kesejenakan dan kebersamaan. Harus ada skenario agar
keduanya bisa saling bersahabat dan tak enggan untuk saling mendekat.
Boleh percaya, boleh tidak; kesejenakan sangat dekat dengan
malam. Bahkan Tuhan memberikan waktu khusus kepada kesejenakan di sepertiga
akhirnya. Jadi kalau ingin mendekati kesejenakan, coba saja dekati malam. Tak
selalu dengan sujud yang berkepanjangan. Juga tak melulu dengan doa yang
bertaburan. Sesekali hanya
cukup dengan beradu diam. Malam diam dengan gelapnya. Kita diam dengan beberapa
tanya. Bertanya dalam diam, berdiam dalam tanya. Tentang kebersamaan ini. Jangan khawatir, karena Tuhan Maha
Mendengar. Dia mengerti semua bahasa. Termasuk bahasa diam. Dan terkadang, Dia
juga memberikan jawaban dalam diam. Entah melalui isyarat apa dan
bagaimana.
Kebersamaan ini memiliki banyak beban yang harus dikerjakan.
Banyak amanah yang harus dipertanggungjawabkan. Tapi lebih penting dari itu;
ada fikiran yang harus diluruskan, ada hati yang harus dibersihkan. Sehingga,
walaupn banyak yang berbeda, masih bisa disatukan. Walaupun masih ada
ketidaksukaan, masih bisa disaling-mengertikan. Dan siapapun butuh kesejenakan
untuk melakukakannya.
Jangan lupa dengan keajaiban doa. Juga jangan lupa;
bahwa kerjakeras adalah salah satu doa yang paling mustajab.
^_^
Kadang,
kita berbeda logika. Lalu, kita sama-sama menjaga jarak. Aku tahu logikamu tak
bisa dipaksa. Sedang logikaku juga tak bisa menerima. Lantas senyum kita jadi
basa-basi.Tangan
kita saling berjabat, tapi mata kita masih ragu untuk saling menatap.
Sedangkan, hati kita masih enggan terikat.
Kita dipayungi kebersamaan yang sama. Tapi kita sama-sama
dihujani prasangka. Lalu, hubungan kita jadi kering kerontang. Padahal, kita
sama-sama mencintai kebersamaan ini. Yang belum kita pahami, kita sedang
mencinta dengan cara yang berbeda. Aku dengan caraku dan kamu dengan caramu.
Tapi masih sama-sama cinta. Sayangnya,
beda mulai menggerogoti cinta. Akhirnya, kebersamaan ini menjauhkan kita.
Barangkali kita harus bersahabat dengan apa yang namanya beda. Agar bisa
menjembatani antar logika, agar beda dan cinta bisa mesra beriringan, tidak
salinng berebutan, tidak saling menjauhkan.
Mari bersepakat untuk saling tidak sepakat; kalau
kebersamaan ini hanya tentang logika, atau sekedar kinerja. Tapi juga harus ada
hati yang menyerta. Atau, mari sama-sama belajar untuk mendalami sebuah rasa,
rasa yang selalu bisa menjadi penawar segala beda;
ikhlas.
^_^
Aku
tak mengerti kenapa bisa demikian. Kenapa kebersamaan ini tak lagi menyamankan.
Padahal, aku dan kamu sudah sama-sama memutuskan; untuk ada dalam satu
perjuangan. Bahkan
masih terikat dalam suatu perjanjian.
Jasadku memang ada menyerta, tapi pikirku gamang antara ada dan
tiada. Dan hatiku, sudah lari entah kemana. Padahal, kita sedang melewati
kebersamaan yang sama.
Kamu terlalu banyak menuntut. Sayangnya, aku juga
demikian. Dan kita terjebak dalam siklus saling menyalahkan. Aku menyalahkan kamu, kamu menyalahkan aku. Padahal
harusnya, aku menyalahkan aku dan kamu menyalahkan kamu. Karena aku lebih tahu
tentang diriku, kamu lebih tahu tentang dirimu. Dan kita lebih bisa
mengendalikan diri kita sendiri daripada mengendalikan orang lain. Atau
mungkin, tak ada yang perlu disalahkan. Tidak aku, tidak juga kamu. Karena
menyalahkan hanya akan membuat kita semakin beku. Dan beku akan membuat kita
sulit bergerak.
Akhirnya, kebersamaan tak membuat kita semakin dekat.
Walaupun kita berada pada tempat yang tak berjarak. Karena dekat memang bukan
sekedar permasalahan jarak, tapi tentang hati yang saling terikat.
Kalau begitu;
Mari berlomba-lomba untuk saling memberi, bukan
berebutan untuk saling menerima.
^_^
Darimanakah
datangnya rasa kecewa? Salahnya, kita sama-sama tak mencari tahu. Aku begitu
saja menemukannya pada sikapmu, pada katamu dan pada semua tentangmu yang tidak
sesuai pikirku, yang jauh dari harapku. Aku rasa kamupun demikian. Bahkan mungkin jauh lebih
banyak kecewa yang kamu temukan dalam diriku, ketimbang yang kutemukan dalam
dirimu. Akhirnya secara tidak sengaja, kebersamaan ini menjerumuskan kita pada
kompetisi yang tak diharapkan; berlomba-lomba untuk mengumpulkan kekecewaan.
Lantas, kita sama-sama mengaku sebagai pemenangnya, merasa sebagai orang yang terdzolimi
karena banyak dikecewakan lalu kekecewaan itu menjadi sebuah pembenaran untuk
melakukan sesuatu. Menjadi senjata tertentu untuk mengukuhkan bahwa kita patut
dikasihani. Bahwa kita benar dan orang lain salah karena telah membuat kita
kecewa. Padahal kita sama-sama sedang kalah. Kalah dengan perasaan
masing-masing. Kalah dengan diri sendiri.
Harusnya kita sama-sama menghayati, kalau dalam kebersamaan ini
ada aku dan kamu. Bukan hanya aku. Bukan cuma kamu. Jadi, kalau ada yang kurang beres dengan kebersamaan ini, berarti
kita sama-sama salah. Aku salah, kamu juga salah. Kadarnya mungkin berbeda,
tapi tetap sama-sama salah. Jadi tolong jangan saling menyerah.Jangan
pernah menyerah menghadapi aku dengan segala kekuranganku. Aku juga akan
berusaha demikian untuk menghadapimu. Selama ini kita tak sadar kalau kita
saling menyerah, tapi harus diakui buktinya memang demikian. Kalau tidak
percaya; tanya saja pada rasa kecewa yang kita miliki, saling diam yang kita alami,
atau penghindaran yang kita lalui. Padahal kita sama-sama belajar untuk saling
memahami, untuk saling merasa dan bertanggungjawab. Jadi jika aku salah, kamu
juga turut bertanggungjawab untuk memperbaikinya. Dan jika kamu salah, aku juga
turut bertanggungjawab untuk memperbaikinya. Sekali lagi, karena kita berada
dalam kebersamaan yang sama.
Darimanakah datangnya rasa kecewa? Yang membuat kepala
kita saling membatu dan hati kita jadi sedikit mengeras. Mari kita cari tahu
jawabannya, agar kebersamaan ini benar-benar bermakna. Tidak hanya perkumpulan
fisik, tapi juga perkumpulan hati yang saling berpadu.
***
Kita sama-sama lupa, bahwa perasaan adalah pilihan. Kita bisa
memilih apapun yang ingin kita rasakan. Tak ada yang bisa memaksa pilihan kita.
Dan kita bertanggungjawab terhadap pilihan yang kita ambil. Sayangnya, kita
sama-sama memilih pilihan yang salah. Pilihan untuk merasakan kekecewaan. Jadi
kalau kita memilih kecewa, tidak selayaknya menyalahkan orang yang membuat kita
kecewa. Padahal kita punya pilihan yang lainnya; pilihan untuk merasakan
kasih-sayang. Bahwa keburakan orang lain, kekurangannya atau apapun tentangnya
yang masih salah adalah kesempatan kita untuk menyayanginya; dengan memaafkan,
menerima, mengingatkan dan memperbaikinya. Dengan begitu stok ketulusan dan
kasihsayang kita akan bertambah, setidaknya dengan melalui kebersamaan ini.
Dan sunatullah ini akan selalu berlaku; kita hanya akan mendapatkan sesuai dengan apa yang kita berikan.
Apapun itu, kebaikan atau keburukan yang kita lakukan; akan kembali pada diri
kita masing-masing. Sekali lagi, kita hanya tinggal memilih. Terserah mau pilih
yang mana.
^_^
Cukup
lama kita berpura-pura. Berlaku seolah tak apa-apa. Padahal kita sama-sama
tahu, ada yang kurang beres diantara kita. Sayangnya, kita hanya bisa saling
curiga.
Sikap kita jadi serba canggung. Kinerja kita jadi serba
tanggung. Sedang pikiran kita tak lagi terhubung. Lupa, kalau kebersamaan ini
punya tujuan yang lebih agung.
Aku tahu ada bagian diriku yang tak kamu suka, yang belum aku
tahu adalah apa namanya. Jujur, ada juga bagian dirimu yang tak aku suka. Dan
aku yakin kamu juga belum tahu apa namanya. Karena mulut kita sama-sama kompak
untuk tak berbicara. Sayangnya, hati kita selalu ingin bersuara.
Aku bingung harus dari mana memulai ini. Tapi jelas,
ketidakberesan ini harus segera diakhiri. Aku tak mau berbohong lagi pada
diri sendiri. Karena perasaan yang diungkapkan selalu lebih baik daripada yang
tersembunyi. Terlalu banyak sembunyi hanya layak untuk mereka yang tak berani.
Termasuk dari kenyataan yang dihadapi.
Kenyataannya, ada ketidakberesan yang sedang kita alami. Sikap
kita sudah saling mengakui. Walaupun mulut kita sudah lama menutupi. Sekarang,
kita harus sama-sama dewasa untuk menghadapi. Bukan malah mencari seribu cara
untuk menghindari.
Dan kalau kamu memang berani; coba jujur dengan hatimu sendiri.
Aku juga akan mencoba dengan hatiku sendiri. Lalu, kita sama-sama terbuka
mengenai ketidakberesan ini. Aku bocorkan bagian dirimu yang tak aku sukai,
begitu juga dengan dirimu. Selanjutnya, kita bisa saling menerima dan
memperbaiki.
Semoga dengan begitu hati kita bisa saling berdamai.
Lalu mengikat kembali. Lebih erat lagi.
^_^
Aku
pernah berfikir; kalau diam sudah dirasa cukup, kenapa harus memaksakan untuk
bicara? Barangkali saling diam adalah pilihan yang paling bijak bagi kita,
daripada kita saling bicara kemudian jadi saling menyakiti.
Ada sebongkah makhluk di sudut hatiku. Sudah lama ia ingin
angkat bicara perihal ini. Dan selama itu pula hatiku tak peduli. Hatiku lebih
memilih mendengar makhluk lainnya dari sudut yang berbeda; makhluk yang bilang
kalau aku sudah benar adanya, benar dengan apa yang telah kulakukan padamu.
Walaupun sebenarnya aku tak melakukan apa-apa. Karena aku hanya mendiamkanmu.
Dan diam, berarti tak melakukan apa-apa.
Suatu ketika aku berduan dengan hening, sebagai pelarian dari
kebersamaan kita yang sudah terasa begitu membosankan. Lalu, hening
mempersilahkan sebongkah makhluk itu untuk bicara. Entah apa sebabnya. Yang
jelas, aku masih enggan menghiraukannya. Tapi aku mencoba mendengarkannya,
sekedar ingin menghormati hening, tak ada maksud lainnya. Dan makhluk itupun
mulai bicara. Nadanya lembut, tapi bertenaga:
"Memulai.
Itu yang harus kamu lakukan. Bukan menunggunya datang untuk mengakui kesalahan
dan meminta maaf. Menunggu hanya akan membuatmu lelah. Terlalu berharap hanya
akan membuatmu cemas. Belum tentu dia akan datang. Belum tentu dia sadar kalau
telah berbuat kesalahan. Kamu pikir diam-mu itu bisa menjelaskan? Diam-mu hanya
memberitahu tentang keegoisanmu, memberitahu bahwa kamu tak ada beda dengannya.
Sama-sama egois dan sama-sama salah."
"Hati
kamu itu lagi sakit. Kamu salah besar kalau berfikir diam adalah obatnya. Diam
hanya akan membuat sakitmu semakin menyebar, semakin membesar. Dan terbukti
sampai sekarang hatimu masih belum sembuh bukan? Atasi penyebabnya. Dan kamu
sudah tahu kalau penyebabnya adalah dia. Hadapi dia. Dan tak ada cara terbaik
untuk menghadapi kesalahan seseorang, keburukan seseorang selain dengan
memaafkannya, merelakannya, lalu membantu memperbaikinya. Membalas hanya akan
membuat hatimu semakin keruh, semakin kotor. Sedangkan menyimpannya dalam diam
hanya akan membuat hatimu semakin sesak. Jadi cukup sampai disini saja. Tak
perlu berlama-lama, tak usah berpanjang lebar. Memulai, jangan menunggu."
Sebongkah makhluk di sudut hatiku selesai bicara. Nampak lega
sekali kelihatannya. Lalu kami saling diam, masih ditemani hening. Entah kenapa
aku belum sepenuhnya bisa menerima penjelasan makhluk itu. Mungkin butuh
beberapa waktu, yang jelas hatiku tak ingin sakit berkepanjangan.
***
Oh iya, buat yang ingin berkenalan dengan makhluk itu,
namanya kasih-sayang. Ia mendiami tempat di salah satu sudut hatiku. Dan ia
juga pasti ada di salah satu sudut hatimu.
#diorama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar