Jumat, Januari 15, 2016

Hati Yang Berserakan

Maaf, jika kebersamaan ini harus terganggu dengan beberapa tanya. Tak apa. Jangan khawatir. Bukankah ketenangan selalu butuh gangguan untuk mengukuhkan eksistensinya. Apalah arti ketenangan jika ia tercipta dengan spontan, tanpa gangguan yang sebelumnya dirasakan. Barangkali namanya bukan ketenangan lagi. Tapi rutinitas; dan sebagian rutinitas akan terasa begitu membosankan. 

Atau barangkali Tuhan sengaja menciptakan mereka menjadi satu paket yang bertolak-belakang, tapi saling melengkapi, kemudian berjodoh pada satu titik; titik dimana gangguan bermetamorfosis menjadi zat tertentu yang benar-benar membuat ketenangan yang akan terjadi begitu nikmat untuk dirasakan. Lalu datang kembali mengusik, jika ketenangan itu sudah kurang begitu dihayati lagi sebagai rasa. Begitulah seterusnya. Siklus. Jadi, tak perlu menyalahkan gangguan, tak perlu selalu berlari darinya. Karena bisa jadi, ia ada untuk mengukuhkan. Mengukuhkan ketenangan. Mengukuhkan adanya kamu.  

Lupakan sebentar tentang ketenangan dan gangguan, biarkan kesejenakan ini memberikan ruang yang cukup bebas kepada beberapa tanya, agar kebersamaan ini benar adanya; tidak sekedar ikut-ikutan, bukan hanya penggugur kewajiban, apalagi keterpaksaan karena tak ada pilihan. Tapi jangan juga menjadikan kebebasan sebagai keharusan; karena jika kebebasan sudah menjadi keharusan, apalah arti dari kebebasan itu sendiri. Biarkan pilihan menjadi pemilik kebebasan, dan keharusan cukup sesekali saja meminjamnya dari pilihan. Mari, kita berikan kesempatan kepada beberapa tanya; yang mungkin akan sedikit mengganggu, tapi semoga bisa mengukuhkan di kemudian:

Sudahkah hatimu ada di sini? Bersama kebersamaan ini? Menggerakan satu sama lain, menguatkan satu sama lain, meringankan beban masing-masing, juga beban kebersamaan itu sendiri. Adakah nama-nama itu terpantul bergantian dalam serangkaian doa tulus, atau lebih sering bermunculan dalam pembicaraan-pembicaraan tentang keburukan dan kekurangan? Adakah hati ini menyimpan beribu maaf untuk  beraneka rupa kesalahan, lalu maaf itu berganti dengan tindakan bijak untuk memperbaiki kesalahannya? Atau lebih banyak kecewa disana, lalu  kecewa itu menjelma menjadi sikap menyalahkan, membiarkan, menjauhi atau menghindari? 

Barangkali, dalam ruang kebersamaan ini, hatimu masih berserakan, belum padu pada satu titik, atau berjarak begitu jauh dari titik itu. Titik asli yang benar-benar menjadi tujuan kebersamaan ini.  

Dan begitu juga dengan hatiku. 

^_^

Ada tanya yang bergejolak, entah pantas atau tidak mendapat jawab; karena tidak semua pertanyaan bisa dijawab, dan terkadang diam dan tak tahu menjadi jawab yang paling bijak. Termasuk untuk mereka yang memiliki banyak hal untuk disampaikan, tapi tak tahu bagaimana mengungkapkan. yang jelas, setiap tanya harus disampaikan, terserah mau mendapat jawab yang seperti apa.

Kalau hati bisa terluka, lalu bagaimana cara menyembuhkannya? Benarkah setiap penyakit memiliki obat? Dan apakah setiap luka bisa disembuhkan? Lalu, bagaimana memahami hati manusia yang masih terasa sakit, padahal peristiwanya sudah jauh tertinggal di masa lampau?

***

Jika saja penyakit bisa dibuat, mungkin akan banyak yang meminta dibuatkan penyakit 'amnesia sebagian'. Dengan formulasi tertentu, dengan proses kimiawi tingkat tinggi, seseorang berhak meminta apa saja dari sebagian dirinya untuk dilupakan. Katakanlah, yang dimaksud dengan apa itu adalah kejadian-kejadian menyakitkan yang pernah dirasakan. Asal jangan minta untuk melupakan Tuhan. Sehingga jika ada hati yang tersakiti, seseorang cukup meminum beberapa pil 'amnesia sebagian' untuk melupakan kejadian menyakitkan itu. Dosisnya diformulasikan dengan hari, tanggal, tahun dan jam berapa sampai jam berapa kejadian menyakitkan itu menimpa. Barangkali itulah cara yang cukup optimal untuk menyembuhkan sakit hati. Menyembuhkan sakit dengan penyakit. Tentu saja jika pil itu benar-benar ada. Karena memang belum ada, dan mungkin tak pernah ada, mari kita cari proses yang lebih alami.

***

Kadang manusia suka lupa, kalau kebersamaan juga mengandung resiko. Ia bukan hanya menawarkan kenyamanan, kedekatan, kemudahan, keringanan atau semangat yang bertaburan. Di sudut-sudut yang tak terduga, ia juga menyimpan perbedaan yang tak bisa dihindari, konflik yang nyata dan tersembunyi, yang sesekali bisa meledak begitu saja atau bahkan harus diledakkan agar menimbulkan kelegaan. Mungkin akan menyakitkan. Tapi bukankah sakit yang diketahui selalu lebih baik dari sakit yang tersembunyi? Setidaknya;  kalau tahu sedang sakit, ada yang berusaha untuk mengobati, entah itu diri yang ada di sini, mereka yang ada di sana, atau bahkan kebersamaan itu sendiri yang pelan-pelan akan menyembuhkan. Atau mungkin ketidaktahuan adalah penawar dari rasa sakit itu sendiri? Tapi sepertinya bukan, ketidaktahuan mungkin akan menghindari rasa sakit, tapi ia tak pernah bisa menjadi penawar, tak akan sanggup untuk menyembuhkan, dan tentu saja tidak memberikan ruang pembelajaran.

Hati punya bermacam sudut. Dan diantara sudut itu, ada satu sudut yang bernama ketidaksukaan. Derajatnya berbeda satu sama lain. Sayangnya, kebersamaan tidak lantas otomatis menghilangkan sudut ketidaksukaan tersebut dari hati seseorang. Bahkan sesekali, kebersamaan itu juga memberikan ruang yang lebih luas untuk memperlancip sudut ketidaksukaan itu. Bayangkan, ada banyak hati disana, sedang setiap hati punya sudut ketidaksukaannya masing-masing. Entah apa yang terjadi jika ketidaksukaan itu saling berbenturan. Apapun itu, kebersamaan tidak akan syahdu lagi untuk dinikmati. Hambar.

Barangkali kebersamaan harus dilihat dari dimensi lain. Bahwa, jauh sebelum fisik bersama dalam suatu tempat, sebelum tangan bergotong royong mengangkat beban bersama, sebelum pikiran berseliweran untuk dijadikan satu; ada hal yang jauh lebih penting dan esensial untuk dilakukan terlebih dulu: menyatukan masing-masing hati yang masih berserakan. Tak perlu memaksa untuk menghilangkan sudut ketidaksukaan, karena suka dan tidak suka adalah bagian dari hak asasi manusia. Pilihan masing-masing individu yang kurang etis untuk dipaksakan. Tapi lengkapilah sudut ketidaksukaan itu dengan persediaan maaf yang sebanyak-banyaknya. Agar ketika orang lain menyentuh sudut ketidaksukaan itu, sudut itu akan terkikis sedikit demi sedikit dengan ketenangan hati, dengan kerelaan menerima sebagai resiko dari kebersamaan itu sendiri. Tidak menancap di hati sendiri yang pada akhirnya hanya akan menyakiti diri sendiri.

Dan untuk yang belum tahu; sebeneranya yang paling banyak menyakiti hati kita adalah diri kita sendiri. Pikiran dan perasaan kita. Bukan orang lain.

^_^

Jika diam bisa menghanyutkan, akankah diam juga bisa mendekatkan? Jika beda ada dalam kebersamaan, haruskah semuanya disamakan? 

****

Di era digital seperti ini, Seharusnya ada yang memasang iklan dalam skala besar yang mengklarifikasi makna kebersamaan. Kebersamaan selalu diekspektasikan dengan hal yang indah-indah, hal yang baik-baik; tanpa mengingat bahwa setiap hal selalu memiliki sisi baik dan sisi buruknya masing-masing. Akibat dari ekspektasi yang kurang proporsional itu, banyak orang yang ada dalam suatu kominitas, tidak siap menghadapi sisi buruk dari kebersamaan yang dilaluinya. Kaget. Responsif. Kecewa. Serta efek-efek berlebihan lagi negatif lainnya.

Mari kita lihat kebersamaan dengan lebih sederhana. Kalau kebersamaan terdiri dari banyak individu, sedang individu memiliki pikiran dan hati masing-masing, kondisi yang juga berbeda, maka dalam konteks ini; sama adalah sesuatu yang sangat mustahil. Berharap semuanya sama berarti sedang meenerjunkan diri dalam jurang kekecewaan. Dan mengusahakan agar semuanya sama, adalah tindakan yang sia-sia. Kenapa? Karena seseorang tidak selalu bisa melihat dengan pasti isi kepala dan isi hati yang lainnya, kalau melihat saja tidak bisa, bagaimana mungkin bisa menyamakannya. 

Atau jangan-jangan, leluhur kita lupa untuk menjelaskan asal kata dari kebersamaan, bahwa 'ber' dalam kata 'kebersamaan' adalah kependekan dari kata 'berbeda'. yang artinya, dalam kebersamaan juga tetap ada hal yang berbeda, selain beberapa hal yang harus disamakan untuk kebaikan bersama. Pemahaman akan makna kebersamaan ini menjadi begitu penting dalam suatu komunitas, karena pemahaman seseorang terhadap sesuatu, akan menjadi landasan orang tersebut untuk bertindak dan menyikapi sesuatu. 

Lantas, jika perbedaan tidak bisa dihindari dalam suatu kebersamaan, mungkin pilihan terbaik adalah mempersiapkan pikiran dan hati untuk menghadapi perbedaan itu. Dan hal paling bijak yang bisa dilakukan seseorang terhadap apa yang namanya perbedaan adalah dengan menghargainya, bukan selalu menyamakannya. Menghargai bukan hanya permasalahan pikiran, toh banyak orang yang berpikiran maju, tapi tak kunjung bisa menghargai orang lain. Lebih dalam dari itu, menghargai adalah pekerjaan hati. Pekerjaan untuk menurunkan kadar ego yang dimiliki, untuk banyak-banyak menahan diri, untuk sibuk memperbaiki diri, bukan meributi kekurangan orang lain. Jadi, apapun bentuk kebersamaannya; tantangannya tidak akan jauh-jauh dari mengatasi dan mengelola perbedaan. Dan cara terbaik untuk mengelolanya adalah dengan menyediakan ruang hati yang selapang-lapangnya. Pikiran bisa lebih mudah menyesuaikan, jika hatinya sudah terkondisikan. 

Dalam kebersamaan skala kecil rumah tangga misalkan, kalau sedang punya masalah karena perbedaan, tidak berarti harus cari isteri baru, bukan? Tapi rasa cintanya yang harus diperbaharui, komitmennya yang harus diperkuat. Keduanya mungkin bisa tumbuh dengan sendirinya, tapi bukan jaminan akan langgeng selamanya, apalagi kalau tidak dipelihara.*

Dan sepertinya, itu juga berlaku pada kebersamaan yang lebih besar daripada rumah tangga. Tentu saja dengan konteks yang berbeda. Tapi tetap, cinta dan komitmen dalam setiap kebersamaan harus dijaga dan dipelihara. Jangan didiamkan. 
  
*adapted quote from Dee; dengan banyak sekali penyesuaian. 

^_^

Genggamlah tanganku, tapi jangan terlalu erat. Karena aku ingin berjalan seiring, bukannya digiring. [dee]


****

Siapa yang harus disalahkan, jika ternyata aku tak merasakan bahagia yang kamu rasa? Siapa yang betanggungjawab, jika aku juga tak mengetahui duka yang kamu derita? Padahal kita masih berada pada kebersamaan yang sama. Dan bukankah kebersamaan ini menuntut untuk juga berbagi rasa, bukan hanya berbagi beban? Atau jangan-jangan, akunya yang ketinggalan berita, kalau ternyata sudah ada versi baru dari bentuk kebersamaan kita. Versi baru yang menghilangkan variabel rasa, dan lebih sederhana dengan hanya memperhitungkan kerja. Tugas ini harus selesai, yang ini harus begitu, yang itu harus begini. Agak mirip seperti robot, hanya saja berbadan manusia. 

Atau jangan-jangan tangan kita terlalu kuat untuk saling menggenggam, kita tak mau saling melepaskan, tapi jadi sama-sama kesakitan. Padahal kita sama-sama tahu, kalau kita bukan kanak-kanak lagi. Entahlah, kekhwatiran kadang membuat orang jadi tak rasional. Bisa jadi juga, karena pikiran kita terbiasa disamakan, dan pada satu titik kita jadi saling membosankan, lalu kita sama-sama mencari pelarian. Dan kebersaman hanya meninggalkan raga dan pertemuan. Sisanya ketakutan. Ketakutan akan kehilangan, tapi tak mau saling mempertahankan.  

Dalam kebersamaan ini, aku tahu kita sudah sama-sama lelah. Yang aku tak tahu pasti; sudah berapa detik kita melaluinya dan sudah berapa dalam kita memaknainya. Aku tak meragukan kamitmenmu, sebagaimana kamu juga tak meragukan aku. Perjalanan sudah membuktikannya bukan? Dan bukti yang paling nyata, kita masih sama-sama disini. Bersama dalam kebersamaan ini. Berbagi beban, menjalani proses yang lelah-melelahkan, menghadapi rangkaian perjalanan yang berkepanjangan, mengeluarkan keringat, bahkan sesekali air mata. Kamu sudah memberikan yang kamu bisa, yang kamu punya. Semoga aku juga begitu.

Yang masih aku ragukan; apakah kita sudah benar-benar memberikan hati kita? Untuk kebersamaan ini. Mungkin dari situ semuanya akan mulai terjawab.    

^_^

Jika berkenan, mari berhenti sejenak, mendalami apa yang masih bergejolak di dalam di benak. Jangan khawatir, kesejenakan tak akan membuat kita tertinggal jauh. Bahkan kesejenakan harusnya diberhentikan di tempat-tempat tertentu di persimpangan hidup. Entah sekedar mengisi bahan bakar untuk bertahan dalam pola kehidupan yang warna-warni, mencari strategi untuk mendekatkan tujuan yang serasa amat jauh, sampai mengumpulkan keberanian untuk memutar haluan; menciptakan tujuan baru yang lebih hidup dan menghidupkan. 

Entah sudah berapa kali, kesejenakan itu menyelinap dalam kebersamaan ini. Yang belum kutahu benar, adakah kesejenakan itu menyadarkan diri, mengalirikan stimulus untuk memperbaiki diri. Atau hanya sekedar lewat; ingin bertamu tapi kitanya tak sempat menjamu; ingin menyapa tapi kitanya terlampau sibuk dengan hampa. Akhirnya, kesejenakan jarang sekali bisa berhasil menjalankan tugasnya. Atau lebih tepatnya, kita yang belum bisa mempersahabatkan mereka: kesejenakan dan kebersamaan. Harus ada skenario agar keduanya bisa saling bersahabat dan tak enggan untuk saling mendekat. 

Boleh percaya, boleh tidak; kesejenakan sangat dekat dengan malam. Bahkan Tuhan memberikan waktu khusus kepada kesejenakan di sepertiga akhirnya. Jadi kalau ingin mendekati kesejenakan, coba saja dekati malam. Tak selalu dengan sujud yang berkepanjangan. Juga tak melulu dengan doa yang bertaburan. Sesekali hanya cukup dengan beradu diam. Malam diam dengan gelapnya. Kita diam dengan beberapa tanya. Bertanya dalam diam, berdiam dalam tanya. Tentang kebersamaan ini. Jangan khawatir, karena Tuhan Maha Mendengar. Dia mengerti semua bahasa. Termasuk bahasa diam. Dan terkadang, Dia juga memberikan jawaban dalam diam. Entah melalui isyarat apa dan bagaimana. 

Kebersamaan ini memiliki banyak beban yang harus dikerjakan. Banyak amanah yang harus dipertanggungjawabkan. Tapi lebih penting dari itu; ada fikiran yang harus diluruskan, ada hati yang harus dibersihkan. Sehingga, walaupn banyak yang berbeda, masih bisa disatukan. Walaupun masih ada ketidaksukaan, masih bisa disaling-mengertikan. Dan siapapun butuh kesejenakan untuk melakukakannya.

Jangan lupa dengan keajaiban doa. Juga jangan lupa; bahwa kerjakeras adalah salah satu doa yang paling mustajab. 

^_^

Kadang, kita berbeda logika. Lalu, kita sama-sama menjaga jarak. Aku tahu logikamu tak bisa dipaksa. Sedang logikaku juga tak bisa menerima. Lantas senyum kita jadi basa-basi.Tangan kita saling berjabat, tapi mata kita masih ragu untuk saling menatap. Sedangkan, hati kita masih enggan terikat.

Kita dipayungi kebersamaan yang sama. Tapi kita sama-sama dihujani prasangka. Lalu, hubungan kita jadi kering kerontang. Padahal, kita sama-sama mencintai kebersamaan ini. Yang belum kita pahami, kita sedang mencinta dengan cara yang berbeda. Aku dengan caraku dan kamu dengan caramu. Tapi masih sama-sama cinta. Sayangnya, beda mulai  menggerogoti cinta. Akhirnya, kebersamaan ini menjauhkan kita. Barangkali kita harus bersahabat dengan apa yang namanya beda. Agar bisa menjembatani antar logika, agar beda dan cinta bisa mesra beriringan, tidak salinng berebutan, tidak saling menjauhkan.

Mari bersepakat untuk saling tidak sepakat; kalau kebersamaan ini hanya tentang logika, atau sekedar kinerja. Tapi juga harus ada hati yang menyerta. Atau, mari sama-sama belajar untuk mendalami sebuah rasa, rasa yang selalu bisa menjadi penawar segala beda;

ikhlas.

^_^

Aku tak mengerti kenapa bisa demikian. Kenapa kebersamaan ini tak lagi menyamankan. Padahal, aku dan kamu sudah sama-sama memutuskan; untuk ada dalam satu perjuangan. Bahkan masih terikat dalam suatu perjanjian.

Jasadku memang ada menyerta, tapi pikirku gamang antara ada dan tiada. Dan hatiku, sudah lari entah kemana. Padahal, kita sedang melewati kebersamaan yang sama.

Kamu terlalu banyak menuntut. Sayangnya, aku juga demikian. Dan kita terjebak dalam siklus saling menyalahkan. Aku menyalahkan kamu, kamu menyalahkan aku. Padahal harusnya, aku menyalahkan aku dan kamu menyalahkan kamu. Karena aku lebih tahu tentang diriku, kamu lebih tahu tentang dirimu. Dan kita lebih bisa mengendalikan diri kita sendiri daripada mengendalikan orang lain. Atau mungkin, tak ada yang perlu disalahkan. Tidak aku, tidak juga kamu. Karena menyalahkan hanya akan membuat kita semakin beku. Dan beku akan membuat kita sulit bergerak.

Akhirnya, kebersamaan tak membuat kita semakin dekat. Walaupun kita berada pada tempat yang tak berjarak. Karena dekat memang bukan sekedar permasalahan jarak, tapi tentang hati yang saling terikat.

Kalau begitu;
Mari berlomba-lomba untuk saling memberi, bukan berebutan untuk saling menerima. 

^_^

Darimanakah datangnya rasa kecewa? Salahnya, kita sama-sama tak mencari tahu. Aku begitu saja menemukannya pada sikapmu, pada katamu dan pada semua tentangmu yang tidak sesuai pikirku, yang jauh dari harapku. Aku rasa kamupun demikian. Bahkan mungkin jauh lebih banyak kecewa yang kamu temukan dalam diriku, ketimbang yang kutemukan dalam dirimu. Akhirnya secara tidak sengaja, kebersamaan ini menjerumuskan kita pada kompetisi yang tak diharapkan; berlomba-lomba untuk mengumpulkan kekecewaan. Lantas, kita sama-sama mengaku sebagai pemenangnya, merasa sebagai orang yang terdzolimi karena banyak dikecewakan lalu kekecewaan itu menjadi sebuah pembenaran untuk melakukan sesuatu. Menjadi senjata tertentu untuk mengukuhkan bahwa kita patut dikasihani. Bahwa kita benar dan orang lain salah karena telah membuat kita kecewa. Padahal kita sama-sama sedang kalah. Kalah dengan perasaan masing-masing. Kalah dengan diri sendiri.

Harusnya kita sama-sama menghayati, kalau dalam kebersamaan ini ada aku dan kamu. Bukan hanya aku. Bukan cuma kamu. Jadi, kalau ada yang kurang beres dengan kebersamaan ini, berarti kita sama-sama salah. Aku salah, kamu juga salah. Kadarnya mungkin berbeda, tapi tetap sama-sama salah. Jadi tolong jangan saling menyerah.Jangan pernah menyerah menghadapi aku dengan segala kekuranganku. Aku juga akan berusaha demikian untuk menghadapimu. Selama ini kita tak sadar kalau kita saling menyerah, tapi harus diakui buktinya memang demikian. Kalau tidak percaya; tanya saja pada rasa kecewa yang kita miliki, saling diam yang kita alami, atau penghindaran yang kita lalui. Padahal kita sama-sama belajar untuk saling memahami, untuk saling merasa dan bertanggungjawab. Jadi jika aku salah, kamu juga turut bertanggungjawab untuk memperbaikinya. Dan jika kamu salah, aku juga turut bertanggungjawab untuk memperbaikinya. Sekali lagi, karena kita berada dalam kebersamaan yang sama.

Darimanakah datangnya rasa kecewa? Yang membuat kepala kita saling membatu dan hati kita jadi sedikit mengeras. Mari kita cari tahu jawabannya, agar kebersamaan ini benar-benar bermakna. Tidak hanya perkumpulan fisik, tapi juga perkumpulan hati yang saling berpadu.

***

Kita sama-sama lupa, bahwa perasaan adalah pilihan. Kita bisa memilih apapun yang ingin kita rasakan. Tak ada yang bisa memaksa pilihan kita. Dan kita bertanggungjawab terhadap pilihan yang kita ambil. Sayangnya, kita sama-sama memilih pilihan yang salah. Pilihan untuk merasakan kekecewaan. Jadi kalau kita memilih kecewa, tidak selayaknya menyalahkan orang yang membuat kita kecewa. Padahal kita punya pilihan yang lainnya; pilihan untuk merasakan kasih-sayang. Bahwa keburakan orang lain, kekurangannya atau apapun tentangnya yang masih salah adalah kesempatan kita untuk menyayanginya; dengan memaafkan, menerima, mengingatkan dan memperbaikinya. Dengan begitu stok ketulusan dan kasihsayang kita akan bertambah, setidaknya dengan melalui kebersamaan ini.

Dan sunatullah ini akan selalu berlaku; kita hanya akan mendapatkan sesuai dengan apa yang kita berikan. Apapun itu, kebaikan atau keburukan yang kita lakukan; akan kembali pada diri kita masing-masing. Sekali lagi, kita hanya tinggal memilih. Terserah mau pilih yang mana.

^_^

Cukup lama kita berpura-pura. Berlaku seolah tak apa-apa. Padahal kita sama-sama tahu, ada yang kurang beres diantara kita. Sayangnya, kita hanya bisa saling curiga. 

Sikap kita jadi serba canggung. Kinerja kita jadi serba tanggung. Sedang pikiran kita tak lagi terhubung. Lupa, kalau kebersamaan ini punya tujuan yang lebih agung. 

Aku tahu ada bagian diriku yang tak kamu suka, yang belum aku tahu adalah apa namanya. Jujur, ada juga bagian dirimu yang tak aku suka. Dan aku yakin kamu juga belum tahu apa namanya. Karena mulut kita sama-sama kompak untuk tak berbicara. Sayangnya, hati kita selalu ingin bersuara. 

Aku bingung harus dari mana memulai ini. Tapi jelas, ketidakberesan ini harus segera diakhiri.  Aku tak mau berbohong lagi pada diri sendiri. Karena perasaan yang diungkapkan selalu lebih baik daripada yang tersembunyi. Terlalu banyak sembunyi hanya layak untuk mereka yang tak berani. Termasuk dari kenyataan yang dihadapi. 

Kenyataannya, ada ketidakberesan yang sedang kita alami. Sikap kita sudah saling mengakui. Walaupun mulut kita sudah lama menutupi. Sekarang, kita harus sama-sama dewasa untuk menghadapi. Bukan malah mencari seribu cara untuk menghindari. 

Dan kalau kamu memang berani; coba jujur dengan hatimu sendiri. Aku juga akan mencoba dengan hatiku sendiri. Lalu, kita sama-sama terbuka mengenai ketidakberesan ini. Aku bocorkan bagian dirimu yang tak aku sukai, begitu juga dengan dirimu. Selanjutnya, kita bisa saling menerima dan memperbaiki. 

Semoga dengan begitu hati kita bisa saling berdamai. Lalu mengikat kembali. Lebih erat lagi. 

^_^

Aku pernah berfikir; kalau diam sudah dirasa cukup, kenapa harus memaksakan untuk bicara? Barangkali saling diam adalah pilihan yang paling bijak bagi kita, daripada kita saling bicara kemudian jadi saling menyakiti. 

Ada sebongkah makhluk di sudut hatiku. Sudah lama ia ingin angkat bicara perihal ini. Dan selama itu pula hatiku tak peduli. Hatiku lebih memilih mendengar makhluk lainnya dari sudut yang berbeda; makhluk yang bilang kalau aku sudah benar adanya, benar dengan apa yang telah kulakukan padamu. Walaupun sebenarnya aku tak melakukan apa-apa. Karena aku hanya mendiamkanmu. Dan diam, berarti tak melakukan apa-apa. 

Suatu ketika aku berduan dengan hening, sebagai pelarian dari kebersamaan kita yang sudah terasa begitu membosankan. Lalu, hening mempersilahkan sebongkah makhluk itu untuk bicara. Entah apa sebabnya. Yang jelas, aku masih enggan menghiraukannya. Tapi aku mencoba mendengarkannya, sekedar ingin menghormati hening, tak ada maksud lainnya. Dan makhluk itupun mulai bicara. Nadanya lembut, tapi bertenaga:


"Memulai. Itu yang harus kamu lakukan. Bukan menunggunya datang untuk mengakui kesalahan dan meminta maaf. Menunggu hanya akan membuatmu lelah. Terlalu berharap hanya akan membuatmu cemas. Belum tentu dia akan datang. Belum tentu dia sadar kalau telah berbuat kesalahan. Kamu pikir diam-mu itu bisa menjelaskan? Diam-mu hanya memberitahu tentang keegoisanmu, memberitahu bahwa kamu tak ada beda dengannya. Sama-sama egois dan sama-sama salah."

"Hati kamu itu lagi sakit. Kamu salah besar kalau berfikir diam adalah obatnya. Diam hanya akan membuat sakitmu semakin menyebar, semakin membesar. Dan terbukti sampai sekarang hatimu masih belum sembuh bukan? Atasi penyebabnya. Dan kamu sudah tahu kalau penyebabnya adalah dia. Hadapi dia. Dan tak ada cara terbaik untuk menghadapi kesalahan seseorang, keburukan seseorang selain dengan memaafkannya, merelakannya, lalu membantu memperbaikinya. Membalas hanya akan membuat hatimu semakin keruh, semakin kotor. Sedangkan menyimpannya dalam diam hanya akan membuat hatimu semakin sesak. Jadi cukup sampai disini saja. Tak perlu berlama-lama, tak usah berpanjang lebar. Memulai, jangan menunggu."

Sebongkah makhluk di sudut hatiku selesai bicara. Nampak lega sekali kelihatannya. Lalu kami saling diam, masih ditemani hening. Entah kenapa aku belum sepenuhnya bisa menerima penjelasan makhluk itu. Mungkin butuh beberapa waktu, yang jelas hatiku tak ingin sakit berkepanjangan. 


***

Oh iya, buat yang ingin berkenalan dengan makhluk itu, namanya kasih-sayang. Ia mendiami tempat di salah satu sudut hatiku. Dan ia juga pasti ada di salah satu sudut hatimu. 


#diorama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar