“Ini
kenapa anak-anak bunda cara berpikirnya jadi kebolak-balik gini sih.” Bunda geleng-geleng kepala menyimak diskusi kami
“Maksudnya, Bun?”
“Putri bener, kalau kita harus menjaga perasaan orang lain.
Jangan sampai niat baik untuk mengingatkan orang lain agar segera menikah,
malah membuat orang yang diingatkan merasa enggak nyaman, merasa enggak tenang,
serta berpikiran dan berprasangka yang enggak-enggak. Emang sudah berapa ribu
orang sih yang berhasil diingatkan dengan cara seperti itu. Disindir kapan
nikahnya, kapan mau nyusul atau berbagai bentuk sindiran lainnya; yang ada
malah semakin membebani orang yang bersangkutan. Apalagi kalau perempuan, yang
kebanyakan punya tingkat sensitivitas yang lebih dari rata-rata. Apalagi kalau
usianya sudah lewat 25 gitu, pasti banyak yang sedang gelisah untuk urusan
jodoh ini. Makanya, harus dijaga perasaannya. Doa tulus di akhir malam tanpa
sepengetahun mereka, mungkin jauh lebih efektif dan konkrit untuk membantu dan
menolong mereka untuk segera menikah. Bukan dengan sindiran atau pembicaraan
yang sebenarnya enggak konkrit-konkrit banget. Malah efek buruknya yang lebih
banyak.”
“Lagi pula menjaga hati dan perasaan itu enggak gampang loh.
Harusnya yang sudah menikah bisa menghargai orang yang belum menikah, karena
mereka masih berjuang untuk mengendalikan hawa nafsunya, untuk mengontrol hati
dan perasaannya, untuk menghindari perbuatan yang tidak diperbolehkan oleh
agama. Dan mereka masih bisa menjaganya. Belum tentu juga kan, bagi yang sudah
menikah kalau berada pada kondisi yang belum menikah tadi, bisa bertahan lebih
lama dengan kondisi
“Tuh kan Putri bener. Yess!!”
“Eh tunggu dulu, bunda masih belum selesai. Putri emang benar
sudah punya pola pikir yang seperti itu. Tapi Putri masih salah dalam
menggunakannya.”
“Salah gimananya, Bun?” kak Putri bingung, aku tertawa.
“Cara berfikir kayak gitu, nanti saja Putri gunakan kalau Putri
sudah nikah. Biar nanti bisa lebih bijak memandang teman-teman atau juniornya
Putri yang belum nikah. Tapi untuk kondisi Putri saat ini, yang belum nikah dan
belum lulus juga, Putri harus menggunakan cara berfikir yang lain. Cara berfikir
yang berbeda dari apa yang tadi bunda jelasin. Cara berpikir yang juga membuat
Putri lebih bijak dalam menyikapi kondisi Putri, dari sudut pandang yang
berbeda dari biasanya. Bukan malah yang berfikir dan berprasangka yang
enggak-enggak terhadap orang yang suka kampanye buat segera nikah.”
“Cara berpikir yang kayak gimana emangnya, Bunda?” kali ini aku yang bertanya penasaran
“Gini, mereka hanya sedang berbagi bahagia dengan cara yang
berbeda. Mereka sudah merasakan bahagia dan indahnya pernikahan. Makanya mereka
juga ingin, sahabat-sahabatnya, saudara-saudarinya segera merasakan kebahagiaan
yang mereka rasakan. Salah satu caranya, ya dengan ‘mengkampanyekan’
cepet-cepet nikah gitu, memotivasi agar yang lain juga mengikuti jejak mereka
yang sudah nikah dan bahagia dengan kehidupan baru bersama keluarga kecilnya.
Dan menikah itu baik kan? Sedangkan, mengajak dan mempengaruhi orang lain untuk
berbuat baik adalah bentuk kebaikan yang lainnya. Harusnya kita bisa menghargai
usaha mereka, bersyukur diberikan saudara-saudari seperti mereka; yang mau
mengingatkan, memotivasi dan berbagi kebahagiaan.”
“Tapi caranya itu loh Bun, kadang timing-nya
enggak tepat banget. Enggak ngena gitu. Enggak ngenakin deh pokoknya.” Kak Putri masih ngotot. Aku cuma nonton dua perempuan
yang sedang asyik berdiskusi ini
“Makanya, Bunda kan tadi bilang, jangan kebolak-balik.
Masalahnya, sekarang Putri masih menggunakan cara berfikir yang pertama tadi,
yang harusnya digunakan oleh orang yang sudah menikah. Sebaliknya, senior Putri
yang suka kampanye cepet nikah itu, menggunakan cara berfikir yang kedua, yang
harusnya digunakan buat orang-orang yang belum menikah. Makanya jadi kusut gitu
kan, Putrinya sebel dan enggak suka. Seniornya Putri juga enggak sadar dan
enggak peka. Enggak ketemu jadinya. Lama-kelamaan hubungan kalian jadi enggak
harmonis. Jadi ada sekat gitu nantinya. Coba kalau salah satu diantara kalian
menggunakan cara berfikir yang benar, kondisinya enggak akan serumit itu.
Syukur-syukur kalau kedua-duanya benar.”
“Iya gitu, Bun?”
“Misalkan gini, kalau seniornya Putri menggunakan cara berfikir
pertama yang bunda jelasin tadi, harusnya beliau akan lebih berhati-hati untuk
berbicara tentang nikah pernikahan dengan orang-orang yang belum menikah.
Enggak memulai duluan, apalagi sampai ngompor-ngomporin. Lebih peka untuk
menjaga perasaan yang lainnya. Kecuali kalau beliau ditanya tentang
pengalamannya, dimintai pendapat sama yang lainnya. Tentu saja yang lainnya
enggak akan sensitif, karena secara psikologis sudah siap mendengar dan belajar
dari pengalamannya. Beres kan? Enggak ada masalah sensitif, kesel dan
sejenisnya lagi.”
“Atau, kalau Putri atau teman-teman Putri lainnya yang belum
menikah, menggunakan cara berfikir yang benar, cara berfikir kedua yang tadi
bunda jelasin, walaupun senior Putri itu suka membicarakan pernikahan,
ngompor-ngomporin buat segera nikah, Putri enggak akan bermasalah, enggak akan
ambil pusing, karena hati dan pikiran Putri sudah terkondisikan untuk
menghargai senior Putri yang sedang berbagi kebahagiaan. Bahkan, Putri bisa
lebih membahagiakannya dengan berdiskusi lebih lanjut, gimana caranya;
kok bisa cepet dan lancar sih, ada saran dan masukan enggak buat Putri, nanti
begini begitunya gimana, Putri masih polos loh. Kan kalau begitu sama-sama enak,
sama-sama nyaman dan menyamankan.”
“Iya juga sih ya, Bun. Hehe..” Kak Putri senyum-senyum tanpa dosa. Bunda
menghembuskan napas [bukan yang terakhir loh ya], lega sekali kelihatannya.
Lalu melanjutkan penjelasannya.
“Nah, cara berfikir ini juga berlaku untuk nasihat-menasihati,
yang tadi Putri bilang seniornya sok bijak menasihati ini itu padahal
belum pernah mengalami kondisi yang sama. Kalau kita sebagai orang yang
menasehati, memang seharusnya kita melakukan hal itu dulu sebelum menasihati.
Allah enggak suka sama orang yang bisanya ngomong doang, tapi enggak pernah
melakukannya. Tapi Allah juga juga menyuruh kita untuk menyampaikan kebaikan.
Sedangkan Islam itu memudahkan, tidak menyulitkan. Dalam konteks ini, kita
masih boleh untuk menyampaikan kebaikan, walaupun sebenarnya kita masih
tertatih-tatih dalam perjuangan untuk melakukannya. Tapi jujur dalam
menyampaikannya.”
“Misalkan gini kata-katanya: ini baik loh,
tapi jujur kalau saya pribadi masih belum rutin melakukannya. Masih
bolong-bolong. Lagi diusahain sih buat istiqomah. Doain ya. Kalo kamu mau ikut
bareng-bareng juga boleh. Dengan
begitu, perintah untuk menyampaikan kebaikan tetap terlaksana, kita juga enggak
menjadi orang yang dibenci Allah, karena sedang berusaha untuk menjalankannya.
Yang dinasehati juga enggak merasa digurui, karena dari awal sudah tahu kalo
yang menasehati enggak hebat-hebat banget. Beda dikit lah. Masih bisa
terjangkau. Enggak eksklusif dan keliatan suci banget. Sekali lagi, ini cara berfikir
kalau kita sebagai orang yang menasihati.”
“Kalau kita sebagai orang yang dinasehati, gimana
Bunda?” kali
ini aku yang bertanya.
“Jangan ngurusin orang yang menasihati. Melakukan atau enggak
orang yang dimaksud, baik atau buruk yang bersangkutan, itu urusan dia
sama Allah. Bukan urusannya kita. Urusannya kita adalah belajar, mengambil
hikmah sebanyak mungkin dari siapapun. Seburuk apapun orang yang dimaksud.
Karena hanya dengan begitulah, kita bisa lebih banyak mendapatkan hikmah, lebih
banyak mendapatkan masukan untuk memperbaiki diri.”
“Jadi, jangan kebolak-balik lagi cara berfikirnya.
Awas ya, kalau masih kebolak-balik.”Bunda berkacak
pinggang, mukanya pura-pura galak, tapi malah lucu.
“Iya, Bunda.” kali ini aku dan Kak Putri mengangguk kompak, lalu
tertawa berbarengan lihat wajah lucu bunda.
#diorama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar