"Eh,
ngomong-ngomong kuliah Putra gimana kabarnya?”
“Baik kok, Bun. Sekarang mau ujian tengah semester.”
“Oh ya Bun, besok itu Putra enggak bisa ikut nemenin Bunda ya,
ada walimahan senior gitu.”
“Iya, gpp. Siapa emang yang nikah?”
“Kakak angkatan di fakultas. Padahal belum pada lulus loh Bunda,
dua-duanya masih tingkat akhir.”
“Terus, Putra mau minta izin ke Bunda nikah sebelum lulus gitu
yah?”
“Eh,, enggak kok Bun. Malah Putra enggak pengen nikah sebelum
lulus. Kebanyakan seniorku yang nikah belum lulus tuh, pada tersendat-sendat
gitu lulusnya. Dan punya image yang kurang baik gitu Bun. Suka diomongin gimana
gitu sama yang lainnya.”
“Eh, enggak boleh gitu. Jangan ketuker-tuker; yang harus kita
urusin itu kelemahannya kita, kekurangannya kita. Bukan meributkan
kekurangannya orang lain. Toh kalau diomongin dan diributin pun orang itu
enggak akan berubah. Enggak ada manfaatnya buat kita, apalagi buat orang yang
diomongin. Mending kalau mau membantu, bantu yang konkrit-konkrit aja. Dengan
doa yang tulus untuk kebaikan yang bersangkutan misalkan, atau melakukan hal
lain yang bisa meringankan bebannya. Kalau enggak bisa mendingan diem.”
“Lagipula, setiap orang punya rencana masing-masing, punya
prioritas yang berbeda, memiliki kondisi yang enggak sama. Kita juga enggak
selalu tahu kondisi mereka. Jadi, jangan menyamaratakan untuk menilai setiap
orang dengan standarnya kita. Berprasangka baik dan berpikiran positif selalu
menjadi landasan yang paling aman dan bijak untuk menilai orang lain, yang
sebenernya kita enggak tahu-tahu banget kondisi sebenarnya kayak gimana.”
bunda agak tegas dan serius banget, biasanya gaya
bunda yang kayak gini dipakai kalau bunda menjelaskan sesuatu yang enggak
disukainya. Sedikit lebih tinggi derajatnya daripada ‘omelan’ yang biasanya
digunakan untuk kesalahan atau hal-hal yang lebih sepele.
***
“Lagi pada ngomongin apaan sih, kayaknya dari tadi
seru amat. Ada nikah-nikahnya gitu ya? Putri ikutan dong.” Kak Putri udah nimbrung aja. Bunda melanjutkan
penjelasnnya, sudah agak melembut nadanya.
“Enggak ada orang yang enggak mau nikah koh, selama orang itu
normal. Hanya masalah waktu saja, kapan kondisi yang tepat untuk melaksanakannya.
Dan kondisi tepat itu, berbeda satu sama yang lainnya. Agama kita memang
menganjurkan untuk menyegerakan menikah. Tapi agama kita juga mengajarkan untuk
menghindari kemudhorotan atau keburukan yang terjadi akibat suatu hal yang kita
lakukan.”
“Kondisi ini yang berbeda satu sama yang lainnya. Ada yang
beruntung memiliki kondisi tepat yang cepat, secara pribadi sudah siap
lahir-batin, kondisi keluarga dan faktor yang lainnya juga mendukung. Ada yang
harus berjuang terlebih dahulu untuk meyakinkan keluarga, untuk menyamakan dan
menggabungkan dua latar belakang yang berbeda, ada yang harus mematangkan
kondisi dan persiapan masing-masing, yang harus ditempuh agar pernikahan itu
lebih berkah dengan keridhoan dan keikhlasan masing-masing pihak keluarga. Itu
yang enggak bisa kelihatan, yang karenanya kita enggak boleh sembarangan
menuduh orang lain begini-begitu, atau membuat asumsi yang macam-macam sesuka
hatinya kita. Ngerti?” aku cuma
mengangguk sambil nunduk, merasa berdosa. Kak Putri cuma bengong melompong,
masih mencoba mengikuti alur pembicaraan aku dan bunda.
“Nah, untuk ‘case’ dari senior Putra yang menikah besok, yang
dua-duanya belum lulus itu, bisa jadi yang bersangkutan sudah mempersiapkan
semuanya. Kondisinya juga sudah mendukung. Harusnya kita senang ada saudara
kita yang mencoba menjalankan ajaran agama untuk menyegerakan menikah. Kalaupun
memang benar, apa yang diomongin temen-temen di kampus kalau mereka belum bisa
mandiri, bakalan ngerepotin orang tua dan sebaginya dan seterusnya. Harusnya
kita juga tetap menghargai keputusan mereka. Setidaknya, mereka mengambil jalan
yang benar untuk menghindari perbuatan-perbuatan yang dilarang agama.”
“Banyak loh, teman-teman mereka yang lain yang berpacaran dengan
keterlaluan, yang melakukan tindakan-tindakan yang tidak seharusnya dilakukan
oleh orang yang belum menikah. Setidaknya mereka sudah benar untuk menghindari
itu, menjauhi kemudhorotan yang lebih besar walaupun untuk sementara harus
merepotkan orang tua, atau kuliahnya harus tersendat beberapa waktu. Semoga
dengan niat mereka yang mulia, Allah berkenan untuk memberikan banyak kemudahan
dan pertolongan.”
“Iya juga ya, Bun. Putra kok enggak kepikiran sampe
situ ya. Jadi merasa bersalah, sudah berprasangka yang enggak-enggak.”
“Makanya, jadi orang jangan sok tahu.” mulai deh, Kak Putri ngajak ribut. Untung aku lagi
enggak bernafsu buat meladeni. Jadi cuma mengiyakan.
“Iya, kakak bawel.” dan sekian detik kemudian, kami udah saling lempar
bantal kecil yang ada di sofa. Bunda cuma senyum-senyum aja liat kelakuan kami,
artinya keributan kami masih dalam taraf wajar.
***
Kerusuhan kecil sudah berakhir. Bantal-bantal yang berserakan
sudah kembali pada posisis semula. Hanya dengan isyarat mata galaknya bunda,
aku dan kak Putri udah langsung membereskan sisa-sisa ‘kerusuhan’. Kalau mata
Bunda bisa ngomong, kira-kira bunyinya gini: Kalian itu udah pada gede, masa
masih suka ribut kayak anak-anak gitu. Cepet beresin ruangannya. Setelah beres,
diskusi masih berlanjut. Kali ini Kak Putri yang banyak nanya.
“Kalau Putri kondisinya agak kebalikan sama Putra gitu, Bun.”
“Maksudnya, Kak?”
“Aku tuh punya beberapa temen yang udah nikah, sering ikut
kegiatan bareng senior juga yang udah pada gendong anak. Dan aku paling kesel
kalau ditanyain; kapan nyusul, kapan nikahnya, kapan sebar undangannya? Jangan
lama-lama, entar ketuaan loh. Nyebelin deh pokoknya.”
“Bilang aja iri.” Kali ini aku yang ngajak ribut
“Enggak gitu juga kali. Kalau aku sih mikirnya simple-simple
aja, tiap orang punya jodoh masing-masing kok, tinggal dijemput, diusahain dan
nunggu waktu aja. Dan aku emang masih belum mau ngejarnya sekarang, nanti-nanti
aja. Masih banyak yang pengen aku lakukan sebelum nikah. Mau lulus dulu, mau
buat ayah-bunda bahagia dulu, tapi tetep punya targetan usia maksimal kapan aku
harus nikah.”
“Terus masalahnya apa?”
“Masalahnya, di forum itu ada seniorku yang lain, yang aku tahu
banget dia lagi fighting abis-abisan buat nikah. Udah berkali-kali usaha masih
gagal juga. Enggak cocok lah, orangtuanya kurang merestui lah. Ya coba dijaga
perasaannya gitu loh. Aku aja hati-hati banget kalau nanya progress-nya gimana.
Kadang malah memilih untuk menghindari pembicaraan itu untuk menjaga
perasaannya. Ini malah ngompor-ngomporin, sok kasih nasehat bijak lagi. Padahal
belum pernah mengalami kondisi yang dialami temen aku itu.”
“Biasa aja kali. Kak Putri lebay nih.”
“Ini kenapa anak-anak bunda cara berpikirnya jadi kebolak-balik
gitu sih?” Bunda geleng-geleng kepala menyimak diskusi kami
“Maksudnya, Bun?”
bersambung...
#diorama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar