Jumat, Januari 15, 2016

Kriteria 6

"Oh ya, Bunda. Gimana pendapat bunda tentang poligami?" muka bunda langsung berubah, agak-agak gimana gitu.

“Kok nanya itu. Kenapa emang?”

“Gpp kok Bun, cuma pengen tahu aja. Kalau enggak mau jawab juga gpp kok.” Aku baru sadar kalo pertanyaanku itu agak sensitif buat bunda. Ah, buat sebagian besar kaum perempuan lebih tepatnya.

“Hmm, gimana ya?” bunda menarik napas, agak berat sepertinya.

“Bunda setuju-setuju aja dengan poligami. Walaupun berat menerimanya. Itu kan sesuatu yang sudah diatur, dan aturan secara agama membolehkannya bukan? Jadi klopun bunda enggak suka dibegitukan, walaupun semua perempuan di dunia menuntut agar poligami itu tidak diperbolehkan, tidak akan bisa mengubah hukum poligami. Hukum dasarnya tetap boleh. Tapi tidak semua yang boleh dilakukan harus dilakukan bukan?”

“Bunda menghargai laki-laki yang melakukan poligami, yang bisa berbuat adil dan membahagiakan lebih dari satu perempuan, yang punya tujuan mulia untuk menolong atau menyelamatkan perempuan dengan segala kondisi dan keterbatasan perempuan itu. Bunda menghargainya, setidaknya laki-laki tersebut tidak melakukan kemaksiatan yang tidak diperbolehkan oleh agama. Bukankah banyak laki-laki yang terjerumus dalam perselingkuhan? Setidaknya di mata bunda, laki-laki yang berpoligami jauh lebih baik daripada laki-laki yang selingkuh.”

“Bunda juga salut banget sama perempuan yang rela untuk dipoligami, yang mau berbagi suami yang dicintainya dengan perempuan lain, yang tentu saja memiliki kesabaran yang berlipat-lipat. Itu bukan perkara mudah loh. Hanya perempuan mulia yang bisa ikhlas berbagi seperti itu. Apalagi, jika bisa berbahagia dengan kondisi itu. Tapi jujur, sampai saat ini, bunda masih belum bisa seikhlas itu. Belum bisa aja kalau harus berbagi suami dengan perempuan lain. Ih, ngebayanginnya aja udah sakit hati duluan. Apalagi mengalaminya.”Bunda menjelsakan diakhiri dengan menggeleng-gelengkan kepala. Lucu deh ngeliatnya, aku cuma senyum.

“Jadi bingung, intinya, bunda setuju atau enggak nih dengan poligami? Tadi katanya setuju, tapi enggak mau dipoligami”

“Jawaban bunda ngebingungin ya? Gini deh, sepemahaman Bunda, poligami itu dibolehkan agama dengan tujuan yang baik. Tapi jika dengan melakukan poligami itu lebih banyak ketidakbaikan yang ditimbulkan, banyak yang tersakiti, berarti tujuannya tidak tercapai. Poligami itu boleh, tapi menyakiti isteri sangat tidak boleh. Jadi kalau menurut Bunda, selama poligami itu membawa lebih banyak kebaikan, isterinya juga ikhlas dan ridho untuk dipoligami, suaminya juga sudah bisa berlaku adil, alasannya juga tepat dan enggak dibuat-buat, silahkan saja. Tapi kalau belum bisa seperti itu, lebih baik tidak melakukannya.” 

“Kalau Ayah, gimana Bunda?” aku bertanya, lebih hati-hati kali ini

“Gimana apanya?”
“Ya, tentang poligami. Bunda pernah ngomong tentang poligami gitu enggak sama Ayah?”
“Pernah. Dulu banget waktu di awal-awal pernikahan.”
“Terus gimana?”

“Ayah dan Bunda enggak panjang lebar ngebahas itu. Waktu itu kami sedang ngomingin komitmen sebenernya. Komitmen untuk tidak saling menyakiti, apalagi disengaja. Kalaupun sesekali ada hal yang enggak disengaja menyakiti satu sama lain, kami juga berkomitmen untuk lebih mengedepankan kepentingan keluarga, kebaikan kami bersama, dengan saling memaafkan dan mengurangi ego masing-masing. Dan Ayah tahu banget, salah satu hal yang membuat Bunda sakit hati adalah poligami, sebagaimana Bunda juga tahu dan percaya; kalau ayah tidak akan pernah sengaja menyakiti bunda. Sampai hari ini pun belum. Kalaupun sesekali bunda tersakiti, itu bukan karena kesengajaan Ayah. Kaminya saja yang masih belum sama-sama cukup dewasa untuk saling menyikapinya perlakuan masing-masing. Dan dengan saling memahami dan mempercayai seperti itu, tidak ada lagi pembahasan poligamai antara ayah dan bunda. Semuanya sudah cukup jelas. Setidaknya sampai saat ini.”

***

“Kenapa ya Bun, banyak keluarga yang jadinya berantakan karena poligami?”

“Banyak juga kok, yang hidup berpoligami dan bahagia. Ada malah yang jauh lebih bahagia daripada mereka yang tidak melakukan poligami. Yang salah itu bukan poligamnya, tapi orang yang melakukannya. Kalau yang melakukannya menjalankan prosesnya dengan baik, sesuai dengan aturan dan sebagaimana mestinya, harusnya bisa bahagia dan juga menghasilkan kebaikan. Kalo bunda sih percaya, sesuatu yang dibolehkan oleh agama dan dilakukan dengan proses yang baik, pasti mengandung kebaikan juga. Tapi jika dilakukan dengan proses yang tidak baik, hasilnya juga tidak akan baik.”

“Boleh jadi kita tidak menyukai poligami, tidak setuju dengan poligami, tapi bukan berarti dengan begitu kita bisa langsung menyalahkan orang yang berpoligami, langsung tidak suka dengan mereka yang menjalani poligami. Itu pilihan lah ya, setiap orang punya alasan dan kondisi masing-masing. Sebagaimana bunda punya alasan untuk tidak ingin dipoligami, mereka juga punya alasan untuk melakukan poligami. Dan kita enggak boleh menghakimi mereka dengan alasan-alasan itu, apalagi kalau kita enggak tahu alasan di belakangnya seperti apa. Siapa tahu niatnya memang benar-benar mulia, prosesnya juga baik. Siapa tahu keluarga mereka yang berpoligami jauh lebih berbahagia daripada keluarganya kita. Makanya, karena kita enggak selalu tahu, jangan sok tahu, cukup berprasangka baik dan saling menghargai pilihan masing-masing saja. Jangan pernah membenci sesuatu yang belum benar-benar kita kita pahami, ok?”

“Iya, Bunda. Baiklah.”

***

“Eh, ngomong-ngomong kuliah Putra gimana kabarnya?”
“Baik kok, Bun. Sekarang mau ujian tengah semester. Oh ya Bun, besok itu Putra enggak bisa ikut nemenin Bunda ya, ada walimahan senior gitu.”
“Iya, gpp. Siapa emang yang nikah?”
“Kakak angkatan di fakultas. Padahal belum pada lulus loh Bunda, dua-duanya masih tingkat akhir.”
“Terus, ceritaya Putra mau minta izin ke Bunda nikah sebelum lulus gitu yah?”
“Eh,, ... “

***

Mana yang lebih menyakitkan, ditanya kapan lulus atau ditanya kapan nikah?

***


bersambung...


#diorama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar