"Oh
ya, Bunda. Gimana pendapat bunda tentang poligami?" muka bunda langsung berubah, agak-agak gimana gitu.
“Kok nanya itu. Kenapa emang?”
“Gpp kok Bun, cuma pengen tahu aja. Kalau enggak mau
jawab juga gpp kok.” Aku
baru sadar kalo pertanyaanku itu agak sensitif buat bunda. Ah, buat sebagian
besar kaum perempuan lebih tepatnya.
“Hmm, gimana ya?” bunda menarik napas, agak berat sepertinya.
“Bunda setuju-setuju aja dengan poligami. Walaupun berat
menerimanya. Itu kan sesuatu yang sudah diatur, dan aturan secara agama
membolehkannya bukan? Jadi klopun bunda enggak suka dibegitukan, walaupun semua
perempuan di dunia menuntut agar poligami itu tidak diperbolehkan, tidak akan
bisa mengubah hukum poligami. Hukum dasarnya tetap boleh. Tapi tidak semua yang
boleh dilakukan harus dilakukan bukan?”
“Bunda menghargai laki-laki yang melakukan poligami, yang bisa
berbuat adil dan membahagiakan lebih dari satu perempuan, yang punya tujuan
mulia untuk menolong atau menyelamatkan perempuan dengan segala kondisi dan
keterbatasan perempuan itu. Bunda menghargainya, setidaknya laki-laki tersebut
tidak melakukan kemaksiatan yang tidak diperbolehkan oleh agama. Bukankah
banyak laki-laki yang terjerumus dalam perselingkuhan? Setidaknya di mata
bunda, laki-laki yang berpoligami jauh lebih baik daripada laki-laki yang
selingkuh.”
“Bunda juga salut banget sama perempuan yang rela untuk
dipoligami, yang mau berbagi suami yang dicintainya dengan perempuan lain, yang
tentu saja memiliki kesabaran yang berlipat-lipat. Itu bukan perkara mudah loh.
Hanya perempuan mulia yang bisa ikhlas berbagi seperti itu. Apalagi, jika bisa
berbahagia dengan kondisi itu. Tapi jujur, sampai saat ini, bunda masih belum
bisa seikhlas itu. Belum bisa aja kalau harus berbagi suami dengan perempuan
lain. Ih, ngebayanginnya aja udah sakit hati duluan. Apalagi mengalaminya.”Bunda
menjelsakan diakhiri dengan menggeleng-gelengkan kepala. Lucu deh ngeliatnya,
aku cuma senyum.
“Jadi bingung, intinya, bunda setuju atau enggak nih
dengan poligami? Tadi katanya setuju, tapi enggak mau dipoligami”
“Jawaban bunda ngebingungin ya? Gini deh, sepemahaman Bunda,
poligami itu dibolehkan agama dengan tujuan yang baik. Tapi jika dengan
melakukan poligami itu lebih banyak ketidakbaikan yang ditimbulkan, banyak yang
tersakiti, berarti tujuannya tidak tercapai. Poligami itu boleh, tapi menyakiti
isteri sangat tidak boleh. Jadi kalau menurut Bunda, selama poligami itu
membawa lebih banyak kebaikan, isterinya juga ikhlas dan ridho untuk
dipoligami, suaminya juga sudah bisa berlaku adil, alasannya juga tepat dan
enggak dibuat-buat, silahkan saja. Tapi kalau belum bisa seperti itu, lebih
baik tidak melakukannya.”
“Kalau Ayah, gimana Bunda?” aku bertanya, lebih hati-hati kali ini
“Gimana apanya?”
“Ya, tentang poligami. Bunda pernah ngomong tentang poligami
gitu enggak sama Ayah?”
“Pernah. Dulu banget waktu di awal-awal pernikahan.”
“Terus gimana?”
“Ayah dan Bunda enggak panjang lebar ngebahas itu. Waktu itu
kami sedang ngomingin komitmen sebenernya. Komitmen untuk tidak saling
menyakiti, apalagi disengaja. Kalaupun sesekali ada hal yang enggak disengaja
menyakiti satu sama lain, kami juga berkomitmen untuk lebih mengedepankan
kepentingan keluarga, kebaikan kami bersama, dengan saling memaafkan dan
mengurangi ego masing-masing. Dan Ayah tahu banget, salah satu hal yang membuat
Bunda sakit hati adalah poligami, sebagaimana Bunda juga tahu dan percaya;
kalau ayah tidak akan pernah sengaja menyakiti bunda. Sampai hari ini pun
belum. Kalaupun sesekali bunda tersakiti, itu bukan karena kesengajaan Ayah.
Kaminya saja yang masih belum sama-sama cukup dewasa untuk saling menyikapinya
perlakuan masing-masing. Dan dengan saling memahami dan mempercayai seperti
itu, tidak ada lagi pembahasan poligamai antara ayah dan bunda. Semuanya sudah
cukup jelas. Setidaknya sampai saat ini.”
***
“Kenapa ya Bun, banyak keluarga yang jadinya
berantakan karena poligami?”
“Banyak juga kok, yang hidup berpoligami dan bahagia. Ada malah
yang jauh lebih bahagia daripada mereka yang tidak melakukan poligami. Yang
salah itu bukan poligamnya, tapi orang yang melakukannya. Kalau yang
melakukannya menjalankan prosesnya dengan baik, sesuai dengan aturan dan
sebagaimana mestinya, harusnya bisa bahagia dan juga menghasilkan kebaikan.
Kalo bunda sih percaya, sesuatu yang dibolehkan oleh agama dan dilakukan dengan
proses yang baik, pasti mengandung kebaikan juga. Tapi jika dilakukan dengan
proses yang tidak baik, hasilnya juga tidak akan baik.”
“Boleh jadi kita tidak menyukai poligami, tidak setuju dengan
poligami, tapi bukan berarti dengan begitu kita bisa langsung menyalahkan orang
yang berpoligami, langsung tidak suka dengan mereka yang menjalani poligami.
Itu pilihan lah ya, setiap orang punya alasan dan kondisi masing-masing.
Sebagaimana bunda punya alasan untuk tidak ingin dipoligami, mereka juga punya
alasan untuk melakukan poligami. Dan kita enggak boleh menghakimi mereka dengan
alasan-alasan itu, apalagi kalau kita enggak tahu alasan di belakangnya seperti
apa. Siapa tahu niatnya memang benar-benar mulia, prosesnya juga baik. Siapa
tahu keluarga mereka yang berpoligami jauh lebih berbahagia daripada
keluarganya kita. Makanya, karena kita enggak selalu tahu, jangan sok tahu,
cukup berprasangka baik dan saling menghargai pilihan masing-masing saja.
Jangan pernah membenci sesuatu yang belum benar-benar kita kita pahami, ok?”
“Iya, Bunda. Baiklah.”
***
“Eh, ngomong-ngomong kuliah Putra gimana kabarnya?”
“Baik kok, Bun. Sekarang mau ujian tengah semester. Oh ya Bun,
besok itu Putra enggak bisa ikut nemenin Bunda ya, ada walimahan senior gitu.”
“Iya, gpp. Siapa emang yang nikah?”
“Kakak angkatan di fakultas. Padahal belum pada lulus loh Bunda,
dua-duanya masih tingkat akhir.”
“Terus, ceritaya Putra mau minta izin ke Bunda nikah
sebelum lulus gitu yah?”
“Eh,, ... “
***
Mana yang lebih menyakitkan, ditanya kapan lulus atau
ditanya kapan nikah?
***
bersambung...
#diorama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar